1 Latar tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya persitiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar juga harus didukung oleh kehidupan sosial
masyarakat, nilai-nilai, tingkah laku, suasana, dan sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya Nurgiyantoro,
2009: 227-228. 2
Latar waktu Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam karya fiksi. Menurut Genette via Nurgiyantoro, 2009: 231 latar waktu memiliki makna ganda, yaitu mengacu pada waktu
penulisan cerita dan urutan waktu kejadian yang dikisahkan dalam cerita. 3
Latar sosial Latar sosial melukiskan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu
tempat dalam karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan
bersikap yang tercermin dalam kehidupan masyarakat yang kompleks Nurgiyantoro, 2009: 223.
4. Tema
Menurut Stanton melalui Nurgiyantoro, 2005: 67, tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Dalam karya fiksi, tema seringkali
diwujudkan secara eksplisit tersurat atau implisit tersirat, sehingga untuk menemukan tema orang harus membaca cerita dengan cermat. Sedangkan
perwujudan tema secara eksplisit tersurat dapat dilihat dari judul karya fiksi.
Selain itu tema suatu cerita kemungkinan juga tersirat dalam penokohan yang didukung oleh pelukisan latar atau terungkap dalam cerita yang terdapat pada
tokoh utama. Nasution Via Mido, 1994: 19 mengemukakan bahwa macam- macam tema ada dua yaitu tema utama atau tema pokok atau major theme dan
anak tema atau tema bawah atau minor theme. Tema bawah berfungsi untuk menyokong dan menonjolkan tema utama atau tema pokok, menghidupkan
suasana cerita atau juga dapat dijadikan sebagai latar belakang cerita. Tema bawah bisa lebih dari satu, sedangkan tema utama atau tema pokok tidak mungkin
lebih dari satu. C.
Keterkaitan antarunsur Intrinsik Karya Sastra
Sebuah karya sastra yang baik adalah perwujudan dari sebuah kesatuan atau unitas Tarigan, 1985: 142. Keterjalinan antarunsur pembentuknya mampu
menghadirkan harmoni makna yang menyeluruh sehingga membentuk satu rangkaian cerita yang menarik. Hubungan antarunsur tersebut adalah relasi antara
alur, penokohan, dan latar serta sudut pandang yang diikat oleh tema sebagai kerangka dasar pembuatan sebuah karya. Para tokoh yang ada di dalam cerita
saling berinteraksi sehingga dapat menggerakkan cerita dan membuat cerita itu menjadi menarik. Peristiwa-peristiwa cerita dimanifestasikan lewat perbuatan,
tingkah laku, dan sikap para tokoh Nurgiyantoro, 2005: 114. Maka dari itu alur tidak dapat dipisahkan dari penokohan.
Adanya latar juga berkaitan dengan penokohan karena latar dapat memberikan gambaran atau perwatakan seorang tokoh berdasarkan tempat
dimana dia tinggal. Stanton melalui Pradopo, 1995: 43 menyatakan bahwa latar
cerita akan mempengaruhi perwatakan, menggambarkan tema, dan mewakili nada atau suasana emosional yang mengelilingi tokoh. Penokohan juga mempunyai
relasi yang erat dengan latar. Latar mempunyai tiga aspek yaitu mengenai tempat, hubungan waktu, dan lingkungan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Di sisi lain, sifat-sifat latar juga sering mempengaruhi karakter seorang
tokoh, semisal orang yang tinggal di kota pasti akan berbeda wataknya dengan orang yang tinggal di desa. Keterkaitan antarunsur di atas akan menimbulkan
kesatuan cerita yang diikat oleh tema. Dengan kata lain, tema cerita merupakan hal pokok yang dapat diketahui berdasarkan perilaku para tokoh, latar, maupun
kejadian-kejadian yang dialami para tokoh sehingga dapat diketahui pula makna yang terkandung dalam suatu cerita.
D. Sadisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV tahun 2008, sadisme merupakan kekejaman, kebuasan, keganasan, kekasaran : kepuasan seksual yang
diperoleh dengan menyakiti orang lain yang disayang secara jasmani atau
rohani. Secara garis besar Larousse mengemukakan pengertian sadisme dalam
kamus Le Petit Larousse Illustré 1967 : 704, yaitu : Le sadisme est le plaisir à voir souffrir les autres. Perversion dans
laquelle la satisfaction sexuelle ne peut être obtenue qu’en infligeant des souffrances physiques, morales du partenaire. pour Freud, le sadisme est
le détournement sur un objet extérieur de la pulsion de mort.
Sadime merupakan kepuasan melihat orang lain menderita. Gangguan jiwa dimana kepuasan seksual hanya dapat dicapai dengan menimbulkan
kesakitan fisik, moral pasangan. Bagi Freud, sadisme merupakan penyimpangan terhadap suatu obyek di luar dorongan kematian.
Freud melalui Semiun, 2006: 82 mengemukakan sadisme adalah insting yang dimanifestasikan bila kenikmatan seksual diperoleh dari menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan kepada orang lain. Freud menambahkan kalau perbuatan sadis ini dilakukan secara ekstrem, maka sadisme dilihat sebagai perbuatan
seksual yang tidak wajar. Namun, sadisme yang tidak berlebihan adalah suatu kebutuhan umum dan dalam batas-batas tertentu ada dalam semua hubungan
seksual. Dikatakan tidak wajar bila tujuan seksual dari kenikmatan erotic menjadi sekunder terjhadap tujuan destruktif.
Menurut Erich 2000 : 403-404, ada dua konsep konvensional tentang sifat sadisme, yang terkadang digunakan secara terpisah namun ada kalanya
terpadu. Salah satunya diistilahkan dengan “algolagnia” algos= nyeri, lagneia= nafsu atau keinginan kuat. Dalam konsep ini esensi sadisme dilihat sebagai
keinginan untuk menimbulkan rasa nyeri, baik yang ada atau tidak ada, kaitannya dengan seks.
Marcuse melalui Erich, 2000: 405 menilai sadisme sebagai salah satu ungkapan kebebasan seks manusia. Tulisan-tulisan Marquis de Sade ditanggapi
oleh beberapa media masa yang secara politik cukup radikal sebagai manifestasi dari “ kebebasan “ ini. Menurut Sade melalui Erich, 2000: 405 sadisme
merupakan suatu hasrat manusia, dan bahwa kebebasanlah yang menuntut agar manusia memiliki hak untuk melampiaskan hasrat sadistik dan masokistik
mereka, seperti juga hak-hak lain, jika ini member kenikmatan bagi mereka.