Tabel 1 : Tahap Penceritaan
Situation inittiale
Action proprement dite Situation
Finale
Alur sebuah cerita juga dapat tergambar melalui skema penggerak aktan yang disebut force agissante untuk menganalisis unsur-unsur yang membentuk
kedinamisan suatu cerita diperlukan penafsiran aktan. Force agissante sendiri terdiri dari le destinateur, le destinataire, le sujet, l’adjuvant, l’opposant. Keenam
aktan tersebut saling berhubungan dan mempunyai pungsi tetap dalam cerita. Fungsi-fungsi aktan tersebut adalah sebagai berikut :
a Le destinateur pengirim yang memberi sebuah objek, sebuah perintah yang
menyebabkan apabila objek atau perintah diterima atau menghambat apabila objek atau perintah di tolak pergerakan cerita.
b le destinataire penerima berfungsi untuk menerima objek atau perintah.
c Le sujet subjek yang menginginkan, membidik, mengejar, sebuah benda,
harta atau seseorang. d
L’objet objek, sesuatu yang diimpikan atau di cari subjek. e
L’adjuvant pendukung, berfungsi membantu subjek dalam mencari objek. f
L’opposant penghalang berfungsi menghalangi subjek dalam mencari objek. Shmitt Viala, 1982:73.
1 2
3 4
5 L’action se
déclenche L’action se
développe L’action se
dénoue
DESTINATEUR OBJET DESTINATAIRE
SUJET
ADJUVANTS OPPOSANTS
Gambar 1: Skema Force Agissante Skema force agissante di atas menjelaskan bahwa le destinateur
pengirim merupakan penggerak cerita yang membuat le sujet subjek mengejar l’objet. Le sujet dibantu oleh l’adjuvant pendukung tetapi dihalangi oleh
l’opposant pengahalang. Akhir cerita dalam peneltian ini dikategorikan sesuai dengan salah satu
dari tujuh tipe akhir cerita yang dikemukakan oleh Peyroutet 2001: 8 yaitu: a.
Fin retour à la situation de départ Akhir cerita yang kembali lagi ke situasi awal cerita.
b. Fin heureuse Akhir cerita yang bahagia
c. Fin comique Akhir cerita yang lucu.
d. Fin tragique sans espoir Akhir yang tragis dan tidak ada harapan.
e. Suite possible Akhir cerita yang mungkin masih berlanjut.
f. Fin réflexive Akhir cerita yang ditutup dengan perkataan narator yang
memetik hikmah dari cerita tersebut.
Macam cerita dalam karya sastra menurut Peyroutet 2001: 12 dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:
a. Le récit réaliste adalah cerita yang menggambarkan keadaan seperti
kenyataannya, seperti tempat, waktu, dan keadaan sosialnya. b.
Le récit historique adalah cerita yang menggambarkan tentang sejarah, dimana tempat, waktu, peristiwa, dan pakaiannya harus disesuaikan dengan kondisi
saat itu. c.
Le récit d’aventures adalah cerita tentang petualangan yang biasanya terjadi di tempat yang jauh.
d. Le récit policier adalah cerita yang melibatkan polisi atau detektif, yang
menguak tentang pembunuhan, pencurian dan sebagainya. e.
Le récit fantastique adalah cerita khayalan atau cerita fiktif yang berasal dari daya imajinasi penulis.
f. Le récit de science-fiction adalah cerita rekaan tentang pengetahuan atas
teknologi
2. Penokohan
Sebuah cerita tidak mungkin akan berjalan tanpa adanya penokohan dan perwatakan. Dua hal tersebut merupakan penggerak cerita dalam roman.
Kehadiran tokoh dapat menghidupkan cerita dan adanya perwatakan dapat menimbulkan pergeseran serta konflik yang dapat melahirkan cerita. Schmitt dan
Viala 1982: 69 menjelaskan tentang pengertian tokoh sebagai berikut :
Les participants de l’action sont ordinairement les personnages du récit. Il s’agit très souvent d’humains ; mais un chose, an animal ou une entité la
Justice, la Mort, etc. peuvent être personnifiés et considérés alors comme des personnages.
Tokoh adalah pelaku dalam cerita. Tokoh ini biasanya diperankan oleh manusia. Namun, sesuatu berwujud benda, binatang, atau bahkan sebuah
entitas keadilan, kematian, dan lain-lain juga bisa dianggap sebagai tokoh.
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkah tokoh yang memiliki peranan
tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu Aminudin, 1987: 79.
Kehadiran tokoh tambahan turut mempertajam dan menonjolkan peranan dan perwatakan tokoh utama serta memperjelas tema pokok yang disampaikan
serta membuat cerita menjadi realistis dan sesuai dengan kenyataannya. Teknik pelukisan tokoh menurut Altenbernd Lewis melalui Nurgiyantoro, 2005: 194
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, teknik ekspositori atau teknik analitik dan teknik dramatik. Teknik ekspositori atau teknik analitik dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Teknik dramatik dilakukan secara tak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara
eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pembaca hanya dapat mengetahuinya berdasarkan aktivitas yang dilakukan, tindakan atau tingkah laku,
dan juga melalui peristiwa. Dilihat dari segi peranan tokoh dalam cerita, terdapat tokoh yang ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar
cerita dan terdapat pula tokoh yang hanya muncul beberapa kali.
Menurut Nurgiyantoro 2005: 76-77 tokoh yang mendominasi cerita dalam fungsi utama disebut tokoh utama, dan tokoh yang hanya muncul beberapa
kali disebut tokoh tambahan. Menurut fungsi penampilan tokoh terdapat dua tokoh yang berlainan sifatnya, yaitu tokoh protagonis dan antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang mempunyai kelakuan terpuji yang menampilkan sesuatu sesuai dengan harapan pembaca. Pada umumnya tokoh ini
mempunyai sifat baik. Sebaliknya, tokoh antagonis merupakan tokoh yang berlawanan dengan tokoh protagonis dan menimbulkan antipati dikalangan
pembaca. Berdasarkan perwatakannya, Forster melalui Nurgiyantoro, 2005: 181
membedakan tokoh cerita menjadi tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu sifat atau
watak tertentu. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki watak tertentu
yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit
diduga. Meskipun tokoh-tokoh dalam cerita hanya fiktif namun gambaran kepribadian serta fisiknya dapat diketahui melalui tingkah laku, keterangan dari
tokoh lain, latar psikologis maupun sosialnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita mengakibatkan konflik muncul karena adanya tokoh, sehingga
sebuah cerita tidak mungkin akan berjalan tanpa adanya tokoh-tokoh yang menghidupkan cerita.
3. Latar
Menurut Abrams via Nurgiyantoro, 2009: 216, fiksi sebagai sebuah dunia, selain membutuhkan tokoh, cerita, plot, dan tokoh juga memerlukan latar.
Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Brooks dalam Tarigan, 1991: 136 mendefinisikan latar adalah sebagai latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam suatu
cerita. Nurgiyantoro 2009: 217-219 mengemukakan tahap awal cerita pada
umunya berisi penyesuaian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan, misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan,
suasana tempat, mungkin berhubungan dengan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Latar merupakan
pijakan cerita secara konkret dan jelas unutk memberika kesan realistis pada pembaca. Latar tempat dan waktu dikategorikan dalam latar fisik physical
setting. Namun, latar tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu saja, atau yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan latar spiritual spiritual setting. Dengan demikian, latar
dapat dibedakan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
1 Latar tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya persitiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar juga harus didukung oleh kehidupan sosial
masyarakat, nilai-nilai, tingkah laku, suasana, dan sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya Nurgiyantoro,
2009: 227-228. 2
Latar waktu Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam karya fiksi. Menurut Genette via Nurgiyantoro, 2009: 231 latar waktu memiliki makna ganda, yaitu mengacu pada waktu
penulisan cerita dan urutan waktu kejadian yang dikisahkan dalam cerita. 3
Latar sosial Latar sosial melukiskan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu
tempat dalam karya fiksi. Latar sosial berkaitan dengan kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan
bersikap yang tercermin dalam kehidupan masyarakat yang kompleks Nurgiyantoro, 2009: 223.
4. Tema
Menurut Stanton melalui Nurgiyantoro, 2005: 67, tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Dalam karya fiksi, tema seringkali
diwujudkan secara eksplisit tersurat atau implisit tersirat, sehingga untuk menemukan tema orang harus membaca cerita dengan cermat. Sedangkan
perwujudan tema secara eksplisit tersurat dapat dilihat dari judul karya fiksi.