“... jadi dulu di Aceh itu 2007 aku kerja sama dengan Caritas Jerman, jadi lembaga Katolik membangun panti rehab untuk pecandu di Aceh sama
tempat kerjaku dulu di Yakita, programnya sukses sampe hari ini jadi programnya bagus, trus jalan banyak orang yang datang jadi caritas
Jerman mau membuat program yang sama tapi di Medan, nah saat itu ada bule namanya Kristian itu dulu kepala kantor Caritas di Banda Aceh. Pada
bulan Agustus atau September 2009 kan ada konferensi Aids se Asia pasifik di Bali nah aku dapet beasiswa ketemu dia di sana...”
R1. W2. b. 441-455. h.19
Setelah itu pada tahun 2009 Abdi ditawari oleh sebuah pimpinan lembaga untuk bekerja sama membuat sama seperti yang sudah dibuat di Aceh di Medan.
Ia kemudian memikirkan dan melihat proposalnya dan akhirnya setuju. Sampai saat ini Abdi masih tetap di Medan.
“...dari konferensi International Aids Society, ketemu di sana, cerita bahwa caritas Jerman pengen buat program di Medan, kekmana bisa
ngebantu gak ada kesibukan apa, jadi ditawarin. Jadi, saya bilang ngebantu dalam hal apa kalo ngebantu sih saya bisa-bisa aja, kebetulan waktu
sayapun gak padat-padat kali freelance kan, nah dikasi liatlah proposal programnya sebenarnya hampir sama dengan program yang ada di Banda
Aceh, nah sebenarnya udah oke. Nah, Oktober atau November atau bulan apa itu lupa diundanglah aku ke sini sama Cordia Caritas di interview
segala macem, nanya-nanya pengalaman kerja, dimana, ya akhirnya oke setuju okelah di sini, jadi diminta bantuan gak ngelamar sebenarnya. Jadi,
gak sengaja masukin lamaran karna pengalaman kerja di Banda Aceh dulu, si kristiannya pindah ke kantor pusat dia jadi kepala kantor di
Indonesia, tahu kerja saya di Aceh jadi akhirnya di rekomendasikan untuk membantu konsep ini di Medan gitu...”
R1. W2. b. 457-484. h.19-20
5. Self Efficacy
Ketika abdi menyadari bahwa dirinya adalah seorang pecandu maka yang terpikirkan pada saat itu adalah bahwa dirinya sudah hancur dan tidak tertolong
lagi. “...Wah...yang keinget pada saat itu hancur, selesai ini mikirnya amburadul
aja semua ni. Udah gak bisa ditolong kayaknya udah gak bisa punya hidup
yang lebih baik lagi ni, di otaknya udah kepikiran ya udah nanggung ajalah...”
R1. W2. b. 126-141. h.3 Namun kemudian di tengah jalan Abdi dibantu teman-temannya untuk
pulih dan ia juga melihat teman-temannya ada yang bisa pulih akhirnya ia perlahan-lahan mulai mencoba dan akhirnya berhasil.
“...Tapi kemudian di tengah jalan ada temen-temen juga yang membantu, liat temen-temen juga ada yang bisa, perlahan-lahan ya akhirnya bisa juga.
Mulai mencari aktivitas, ada juga temen-temen yang kasi pekerjaan, ketemu sama orang yang memang mendukung, pecandu yang udah
berhasil keluar dan berubah. Pecandu memang harus mempunyai banyak dukungan dan aktivitas...”
R1. W1. b. 131-141. h.4 Dulu Abdi merupakan orang yang tidak memikirkan masa depan dan
bukan orang yang yakin akan dirinya sendiri. Abdi hanya berpikir apa yang dikerjakan saat ini dikerjakan saja kalau baik hasilnya bagus tetapi kalu tidak ya
sudah. “...kalau dulu ya jalani ajalah mau bagus ya bagus mau gak ya udah, tapi
alhamdulilahnya karna kitapun nyarik trus, berusaha trus, akhirnya ada jalan tinggal ngelakuin aja. makanya kalau sekarang optimis optimis aja
gak ada lagi pesimis pesimis jadi kebalik sekarang pola pikirnya. Alhamdulilah sekarang bisa sampai di sini...”
R1. W2. b. 212-220. h.5 Semakin hari Abdi mulai mencoba setiap masukan dan nasehat dari
teman-teman dan orang-orang disekitarnya. Ia bekerja keras untuk medapatkan yang diinginkannya dan diyakininya akan biasa tercapai.
“...karna saya sudah membuktikan teorinya, masalah itu tadi apa apa yang diomongin orang aku cobain semua. Kalo kata orang biar berhasil berdoa,
kerja keras itu aku jalanin itu apa yang orang omongin. Stepnya satu satu aku lewatin tu, kerja keras, tekun, ulet, yakin aku coba eksperimen aja
dengan diriku sendiri dan ternyata bener, sebelum aku bilang ke orang aku praktekin sendiri...”
R1. W1. b. 227-243. h.6
Setelah Abdi mencoba setiap hal yang dikatakan orang-orang tadi akhirnya ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Mulai dari situ tumbuhlah
sebuah keyakinan dalam diri ia bahwa kita pasti akan dapat berhasil meraih apa yang kita inginkan, masalahnya hanya seberapa yakin kita terhadap apa yang kita
inginkan tersebut. “...Nah, setelah dijajal ya memang keras, kerja keras, lumayan baru 2007
berhasil setelah 6 tahun bisa. Ya...yakin aja, kalo kita yakin jalani aja tunggu waktunya aja, sekarang sih yang aku yakini kejadian semua tinggal
seberapa kita yakin, kerjain, buktinya ada...” R1. W1. b. 237-243. h.6
Ketika ditanya apakah Abdi sekarang yakin dengan kemampuannya ia
menjawab tanpa ragu bahwa ia yakin dengan dirinya sendiri karena sudah ada bukti dan hasil yang didapatkannya. Ia dapat berhasil bekerja di dunia sosial dan
menikmati apa yang dikerjakannya sampai saat ini. Abdi juga sering megikuti training ke berbagai tempat sebagai perwakilan dari PMI.
“...oh yakin...kalo sekarang 300 persen yakin...” R1. W1. b. 223. h.5
“...sampe 2004 disitu aku ikut training di UNCIEF perwakilan dari PMI untuk belajar itu ini. Udah belajar kemudian dikirim ke Aceh waktu
tsunami. Direkrut sama Palang Merah Internasional, trus direkrut sama bagian PBB di LA buat penelitian di sana, kerja sama Yakita. Gitulah
terus jadi kemana-mana sampe akhirnya jadi sekarang. Jadi di awal 2001 itu udah betul-betul kehidupannya bener-bener kayak dibalik, karna
memang memilih aktif di sosial dan Tuhan kasih jalan diikutin aja...” R1. W2. b. 161-175. h.12-13
6. Empati
Abdi sewaktu masih aktif menjadi pecandu narkoba adalah pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Apa hal yang membuatnya senang akan
dilakukannya tanpa peduli apa yang dirasakan oleh orang lain. Ia hanya
memikirkan bagaimana ia dapat narkoba dan bisa tenang hari ini. Apapun caranya dilakukannya bahkan jika harus merugikan orang lain.
“...Yang pentinga saya seneng, gak peduli yang lain mau seneng, mau susah. Gak peduli kita, yang penting kitanya e...dapet kepuasan, trus yang
kita mau juga tercapai, masalah orang lain mau sakit kepala, mau apa itu gak aku pikirin. Kalo lagi asyik dulu mah bagaimana caranya biar bisa
selamat aja” R1. W2. b. 715-723. h. 25
Setelah mengikuti pelatihan dan pendidikan dasar di PMI Abdi
mengalami banyak perubahan termasuk dalam hal kepedulian dan berempati terhadap orang lain. Ketika ia melakukan tugasnya menolong orang lain ia
menempatkan posisi orang yang kesusahan tersebut seandainya adalah dirinya sendiri atau keluarganya. Hal tersebut membuat Abdi tidak egois dan mulai
memperhatikan sekelilingnya. Ia memaknai situasi yang dialaminya dengan berpikir bahwa suatu saat bisa saja kita yang berada pada posisi mereka yang
sedang kesusahan tersebut. “... yang terpikirkan saya ya berempati, kalo sempet kejadian kayak gini
menimpa saya, keluarga saya ngeri juga kan, trus kalo saya kurang memperhatikan sekeliling trus egoislah, kemudian tidak peduli dengan
kejadian yang dialami oleh orang lain dan berpikir ah...yang penting saya enggak, ngeri juga kalo gitu nah karna situasi-situasi yang seperti itulah
kita ngeliat orang yang tadinya punya rumah, punya apa habis semua hartanya segala macem, jadi memaknai kehidupannya mungkin suatu saat
kita juga akan disitu. Kalo kita jadi orang yang susahnyakan gak ada orang yang nolongnya kan bete banget gitu ya, gila ya ada orang yang mampu
kog gak mau nolong...” R1. W2. b. 835-853. h.28
Situasi-situasi yang dihadapi oleh Abdi tersebutlah yang menanamkan
nilai-nilai peduli terhadap sesama dan tenggang rasa dalam dirinya. Nilai-nilai tersebut yang dipegang Abdi sampai saat ini sehingga ia senang membantu orang
lain, sekalipun ada orang yang meragukan kebaikannya ia tidak peduli.
“...Situasi-situasi seperti itu yang akhirnya menanamkan sense, atau nilai- nilai tepo seliro kata orang Jawa, peduli sesama, trus tenggang rasa juga,
pengalaman-pengalaman itu yang kuambil dan aku bawa sampai sekarang makanya gak pernah, ya kata orang sering terlalu baik, ada juga yang
bilang wah ini baik karna ada maunya apa segala macem, tapi yah jujur orang mau bilang apa ya terserah.
R1. W2. b. 853-859. h. 28
Abdi saat ini menjadi orang yang senang menolong, jika ia bisa menolong maka semampunya ia kan menolong. Jika ia tidak bisa menolong maka ia akan
tetap menolong dengan mencarikan bantuan siapa orang yang dapat menolong. “...Ya saya sekarang begini kalo ada orang butuh bantuan selama saya bisa
ya ayo. Karna saya sudah berikrar kepada diri saya sendiri selama saya mampu ada orang meminta pertolongan saya akan berikan. Kalo misalnya
ada orang yang meminta pertolongan trus saya gak mampu memberikan pertolongan saya akan tetap membantu dengan mencarikan orang lain
yang bisa membantu jadi kita jembatannya. Filosofi itu yang sampe sekarang nempel, jadi orang mau bilang apapun ya gak pedulilah, bila
penting toh orang yang merasakan,ya biarin aja orang bilang apa...” R1. W2. b.864-880. h. 28
Sebagai mantan pecandu Abdi juga prihatin dan kasihan melihat teman- temannya yang sampai saat ini masih terbelenggu narkoba. salah satu alasannya
bekerja dibidang yang ia tekuni saat ini adalah karena ia peduli dengan orang- orang yang kecanduan narkoba. karena ia sudah merasakan betapa tidak enaknya
dan betapa buruknya dampak dari kecanduan narkoba. “...ya kekmanalah ya...berusahalah untuk membantu, saya kerja di sinipun
salah satunya karna memang ingin membantu orang-orang yang sudah sempat kecanduan. Bukan tidak mungkin suatu saat jauh-jauhlah tapi
bukan tidak mungkin suatu saat anggota keluarga kita yang kena, anak kita atau siapalah. Kan banyak orang tua sekarang tidak peduli dengan
masalah narkoba tiba-tiba tahu anaknya kecanduan baru heran, baru sibuk stres sendiri padahal selama ini tidak peduli dengan masalah itu....”
R1. W1. b.315-327. h. 7
7. Reaching out