BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dekade terakhir ini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan
multidimensional, baik ditinjau dari segi mikro keluarga maupun makro ketahanan nasional. Hal ini semakin mengkhawatirkan dengan dampak buruk
ekonomi dan sosial yang besar. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus
meningkat, peningkatan yang terjadi tidak saja dari jumlah pelaku tetapi juga dari jumlah narkoba yang disita serta jenis narkoba Mabes Polri, dalam Badan
Narkotika Nasional, 2009. Hasil temuan Badan Narkotika Nasional BNN sampai pada tahun 2008,
tercatat sebanyak 175.535 orang jumlah tersangka pengguna narkoba di Indonesia, dengan persentase kenaikan jumlah tersangka rata-rata 52,8 tiap
tahunnya Dit IVNarkoba, 2009. Kepala Direktorat IV Narkoba, Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Pol Indradi Thanos mengatakan, sejak 2005
Indonesia menjadi pasar sabu tiga besar dunia, selain China dan Amerika Serikat. Perubahan dari negara transit menjadi negara tujuan berlangsung dalam dua tahun
Ariesta, 2010.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta, 1982 narkoba adalah akronim dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Narkoba mempunyai banyak
macam, bentuk, warna dan pengaruh terhadap tubuh. Akan tetapi dari sekian banyak macam, bentuk dan lain-lain tersebut narkoba mempunyai banyak
persamaan. Salah satunya adalah sifat ketergantungan terhadap obat tersebut. Sifat ketergantungan tersebut dapat menimbulkan berbagai macam dampak yang
merugikan akibat dari adanya pengaruh zat-zat yang terkandung didalam zat narkotik tersebut Adisti, 2007.
Darmono 2009 menyatakan penggunaan narkoba sangat membahayakan karena dapat mempengaruhi pikiran yang menyebabkan korban tidak sadar apa
yang sedang dilakukannya. Karena efeknya yang menyebabkan adiksi maka obat tersebut harus dikonsumsi terus-menerus oleh penderita kecanduan, semakin lama
semakin meningkat dosisnya. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani akan menyebabkan overdosis yang berakhir dengan kematian si penderita.
Sasangka 2003 menyatakan penggunaan narkoba menimbulkan efek ketergantungan baik ketergantungan fisik maupun psikologis. Ketergantungan
fisik terlihat pada saat penghentian penggunaan narkoba. Penghentian penggunaan narkoba ini akan menimbulkan gejala-gejala abstinensi suatu rangkaian gejala
yang hebat karena pemakaian obat dihentikan. Misalnya pada obat-obatan turunan morfin akan mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair,
gangguan lambung dan usus, sakit perut dan lambung, tidak bisa tidur dan sebagainya. Gejala-gejala abstinensi tersebut hanya dapat diatasi jika
menggunakan narkoba yang sejenis. Keadaan tersebut bisa menimbulkan kematian. Rasa khawatir yang mendalam akan timbulnya gejala-gejala abstinensi
mendorong seseorang menggunakan narkoba lagi. Hal ini dirasakan oleh salah seorang pecandu narkoba P 27 tahun yang diwawancarai oleh peneliti:
“...Gimana ya mbak...kalo pagi itu kira-kira jam 2 ato jam 3 mau minta badan ini. Kadang gak ngerti mata ini langsung terbuka sendiri, langsung
kepikiran obat, obat aja di otak ini. Karena kalo gak ada bisa sakaw, kalo dah sakaw menderita kalilah rasanya mbak badan ini keringatan terus
padahal tidur di bawah kipas, gemetaran, bolak-balik ke kamar mandi karena mules perut, gak tenanglah pokoknya, tulang-tulang ini kayak
digigit-gigit rasanya. Kalo dah malam kayak gitu mau cari obat kemana? Makanyalah mbak ini aku beli sekarang buat persediaan aja nanti malam...”
Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010 Ketergantungan psikologis terjadi ketika pengguna narkoba ingin
menghindari persoalan hidup yang dihadapi dan melepaskan diri dari suatu keadaan atau kesulitan hidup. Kesulitan hidup tersebut dapat berupa tekanan
ekonomi, konflik dalam keluarga, masalah pekerjaan, atau masalah-masalah lain yang dapat menimbulkan stres. Keadaan tersebut terus-menerus terjadi atau
berulang kembali. Akibatnya pengguna narkoba tergantung dengan narkoba yang dikonsumsinya. Penggunaan yang semula dalam waktu-waktu tertentu, akhirnya
menjadi kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan Sasangka, 2003. Sasangka 2003 menyatakan penggunaan narkoba juga berpengaruh
terhadap masayarakat luas, antara lain: meningkatnya kriminalitas atau gangguan kamtibmas, menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan maupun
perkelompok, timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat,
banyaknya kecelakaan lalu lintas, menyebarkan penyakit tertentu lewat jarum suntik yang dipakai oleh pecandu HIVAIDS, Hepatitis B , Hepatitis C, dll.
Melihat begitu besarnya efek dari penggunaan narkoba bagi individu itu sendiri maupun bagi masyarakat luas, pemerintah dalam Undang-Undang
Narkotika pasal 45 mewajibkan pecandu untuk menjalani pengobatan dan perawatan melalui fasilitas rehabilitasiilitasi. Rehabilitasiilitasi dilakukan dengan
maksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penderita yang bersangkutan Supramono, 2004.
Salah satu cara untuk memulihkan pecandu narkoba adalah dengan terapi, namun terapi terhadap kasus penyalahgunaan narkoba sering kali tidak membawa
hasil. Kadang-kadang justru pasien yang diterapi kembali ke panti rehabilitasiilitasi dalam keadaan lebih parah. Seseorang yang sudah dinyatakan
pulih seringkali kambuh karena terpengaruh dari lingkungan Sasangka, 2003. Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu
narkoba, yaitu H 38 tahun: “...Kalau berhenti tidak menggunakan setiap orang sebenarnya bisa tetapi
mempertahanakan agar tetap bersih itu yang paling sulit. Banyak yang sudah keluar dari rehabilitasi kembali pake lagi karena mereka sugesti,
ketemu dengan teman-temannya sesama pemakai, dan kegiatan yang kurang. Kalau memang mau benar-benar bersih harus ada banyak kegiatan
biar sibuk dan jauhi lingkungan pemakai...”
Komunikasi personal, 12 September 2010 Thombs dalam W.Amita, 2001 menyatakan bahwa seorang pecandu
narkoba tidak mampu melewati stres dan tekanan atas simptom disfungsi otak
seperti penurunan daya ingat, penurunan daya konsentrasi serta sugesti physical craving yang dialaminya. Sebagian dari mereka juga sering merasa kesulitan
memaksimalkan perawatan yang mereka jalani dan merasa tidak yakin bahwa mereka dapat pulih dan terlepas dari ketergantungan narkoba yang ia alami.
Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu narkoba, yaitu N 20 tahun:
“...Selama ini rasa percaya diri saya selalu kurang, takut bertemu dengan orang, selalu merasa curiga kepada setiap orang yang belum saya kenal,
padahal saya hampir 3 tahun tidak menggunakan obat-obatan lagi. Namun di masa antara 2 tahun pertama tersebut memang ada lebih kurang 3 kali
saya kembali terpleset menggunakan obat-obatan tersebut karena saya bergaul kembali dengan teman-teman saya yang menggunakan...” dalam
Willy, 2005.
Kunci keberhasilan untuk lepas dari kecanduan narkoba terletak dalam diri pecandu itu sendiri. Willy 2005 menyatakan niat merupakan modal yang sangat
luar biasa. Niat tersebut harus dijalankan bagaimanapun risikonya. Kesulitan untuk berhenti merupakan problema yang terberat bagi seorang pecandu, apalagi
yang ketergantungannya parah, karena mereka mempunyai sugesti yang sangat kuat untuk selalu menggunakan. Untuk itu sebelum benar-benar lebih parah
akibatnya, sangat baik jika ada niat berhenti total. Seperti pengakuan Ari Lasso di suatu media massa, seorang penyanyi
yang juga adalah mantan pecandu narkoba: “...Hingga saya sampai pada satu titik balik. Saya menyadari bahwa semua
yang saya dapat ini tidak akan ada artinya bila diri kita sendiri hilang. Kita tidak tahu siapakah diri kita yang sesungguhnya, apakah ini yang kita cita-
citakan, apakah ini yang kita cari sesungguhnya dalam hidup kita. Dulu saya enggak sembuh-sembuh karena belum punya niat yang kuat...” Erviani,
2007.
Proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari
narkoba maka dalam perjalanannya ada saat-saatnya pecandu relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba.
Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba Sarafino, 2006.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang pecandu relapse adalah tekanan psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan dengan masalah
medis, hubungan sosial seperti bertemu dengan teman lama yang merupakan pengguna, atau lingkungan seperti melintasi jalan tempat biasanya
menggunakan narkoba, berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan dapat mempengaruhi seseorang relapse,
persentasi kemungkinan pecandu narkoba relapse adalah antara 40 sampai 60 National Institute on Drug Abuse, 2009.
Hasil penelitian dari Curry McBride, 1994; Ossip-Klein, 1986 dalam Sarafino, 2006 menyatakan perkiraan relapse terjadi bervariasi mulai dari 50
sampai 80 , tergantung banyak faktor meliputi metode yang digunakan untuk berhenti, seberapa parah tingkat penggunaannya, dan lingkungannya.
Selain hal-hal di atas Witkiewitz Marlatt dalam Sarafino, 2006 menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pecandu relapse adalah self-efficacy
rendah, reinforcement kenikmatan, craving yang tinggi sugesti yang sangat kuat
untuk selalu menggunakan, motivasi yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, emosi negatif dan koping yang buruk Sarafino, 2006.
Russel et al., 2001 dalam Sarafino, 2006 perbedaan dari pengguna yang dapat berhenti dan tidak dapat berhenti adalah mereka yang berhasil berhenti
memiliki self-esteem yang lebih tinggi, memiliki pengalaman intoksikasi yang lebih sedikit, dan memiliki jaringan sosial yang sedikit dengan para pengguna.
Menurut World Health Organization WHO dalam Konsensus, 2002, seseorang dikatakan pulih dari ketergantungan narkoba apabila sudah bebas atau
bersih dari narkoba selama minimal 2 dua tahun. Tidak semua pecandu narkoba berhasil pulih dan mendapat gelar menjadi mantan pecandu narkoba.
Seperti hasil kutipan wawancara dengan salah seorang mantan pecandu narkoba, yaitu E 38 tahun:
“...Sedikit yang berhasil bebas dari narkoba dan tetap bertahan, kami saja dari sepuluh orang yang direhabilitasi kemaren cuma dua orang yang
berhasil, yang lainnya balik lagi kayak dulu, bahkan ada yang tambah parah. Bersih dari obat setelah direhabilitasi gak otomatis membuat kita
bersih selamanyaa trus lepas dari narkoba begitu saja. Justru masa-masa mempertahankan untuk tetap bersih dari obat di tengah-tengah lingkungan
yang bebas, gak kayak di rehab dulu ini, yang paling sulit. Adakalanya memang jatuh balik lagi make tapi pecandu harus tetap punya satu harapan
bahwa dia bisa lepas dari narkoba, kalo gak bisa tambah parah. Karena waktu kita bolak-balik pngen berhenti tapi bolak-balik juga gak berhasil
bisa buat kita stres sendiri dan malas untuk berusaha lagi. Kalo udah gitu, ya udahlah mau kekmana lagi balik lagi make merupakan kemungkinan
yang udah gak terelakkan. Abang aja udah berapa kali relaps, tapi terus coba lagi sampe akhirnya sekarang bisa gak pake lagi...”
Komunikasi Personal, 6 September 2010. Pengguna narkoba harus berjuang keras untuk bisa tetap bertahan tidak
menggunakan narkoba di tengah-tengah banyaknya godaan yang memicu mereka
relapse. Kemampuan seseorang untuk tetap berdiri teguh di tengah-tengah banyaknya kesulitan yang dihadapinya ini disebut dengan resiliensi. Menurut
Reivich dan Shatte 2002 resiliensi terdiri dari tujuh faktor yakni, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, causal analysis, efikasi diri, dan
reaching out. Reivich Shatte 2002 menyatakan regulasi emosi adalah kemampuan
untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya dengan pengendalian impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu
untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang
rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian impuls berhubungan dengan empati,
orang dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan orang lain. Empati merupakan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda
kondisi emosional dan psikologis orang lain. Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah optimise. Optimisme yang dimiliki
oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi
di masa depan. Hal ini juga merefleksikan Self-Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Individu yang resilien juga memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua
penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak
pada salah satu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir mempengaruhi bagaimana pencapaian individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif
dalam kehidupannya. Kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa disebut dengan reaching out.
Faktor-faktor resiliensi ini sebenarnya dimiliki oleh setiap orang namun yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya adalah bagaimana
orang tersebut mempergunakan dan memaksimalkan faktor-faktor dalam dirinya sehingga menjadi sebuah kemampuan yang menonjol Reivich Shatte, 2002.
Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte selama lima belas tahun di universitas Pennsylvania, faktor-faktor resiliensi dapat membantu pemulihan
seseorang dari adiksi. Dengan adanya faktor-faktor resiliensi dalam diri seorang pecandu narkoba, maka hal ini akan membantu mereka untuk bertahan
menghadapi kesulitan-kesulitan yang dialami, masa-masa krisis, dan mengatasi hal-hal yang dapat memicu stres pada saat dalam proses pemulihan. Selain itu
juga memberikan kemampuan untuk bangkit lebih baik melebihi keadaan sebelumnya Reivich dan Shatte, 2002.
Selain itu, faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan pada pecandu narkoba dalam membuat keputusan secara cepat dan tabah dalam
keadaan yang kacau atau masalah-masalah kehidupan yang dialaminya. Faktor- faktro resiliensi ini memampukan mereka untuk mengatasinya dengan damai,
humor, dan optimis Reivich Shatte, 2002. Dengan masalah-masalah yang dihadapi pecandu narkoba, banyak yang
relapse tetapi dengan kegigihan dan rasa optimis dalam dirinya ada juga yang
bangkit dari masalah dan keluar dari belenggu narkoba. Tidak hanya keluar dari belenggu narkoba tetapi juga menjadi orang yang berguna bagi masyarakat
bahkan menjadi motivator dan inspirator bagi teman-temannya yang mengalami hal sama dengan dia sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh A 41 tahun,
salah seorang mantan pecandu narkoba yang telah menikmati kehidupannya tanpa narkoba. Ia sekarang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dalam pengurangan dampak buruk bahaya narkoba dan pencegahan HIV Aids. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan A:
“...teman-teman yang lain banyak yang bilang, untuk apa berhenti toh nanti gak ada kerjaan, mana ada lagi orang yang percaya sama pecandu.
Kalo didengerin ya emang gak bakalan bisa lepas, abang sih mikirnya kalo gini terus mau jadi apa. Makanya abang tetap punya harapanlah untuk
hidup lebih baik lagi, setidaknya gak jadi budak obat lagi..”
Komunikasi Personal, 5 Oktober 2010 Untuk melihat faktor-faktor resiliensi dalam diri mantan pecandu narkoba
maka peneliti memilih mantan pecandu narkoba dewasa awal yang berusia antara 25-50 tahun. Peneliti membuat batasan usia ini karena pada usia ini merupakan
usia produktif dari seorang individu untuk bekerja, bebas dari tanggungan orang tua, bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri Papalia, Wendkos, Duskin,
2007. Selama hampir lima belas tahun di universitas Pennsylvenia Reivich dan
Shatte sudah membuktikan manfaat dari resiliensi dalam kehidupan melalui sebuah penelitian yang dilakukannya bersama rekan-rekannya. Reivich dan Shatte
menemukan bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor penting untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka mengembangkan suatu
metode untuk memperkaya kapasitas resiliensi diri seseorang untuk meraih tujuan hidup mereka Reivich dan Shatte, 2002.
Faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan untuk meraih level tertinggi dalam suatu pekerjaan, mengalami kepenuhan, hubungan yang
penuh kasih, meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan anak-anak yang sukses. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang dibutuhkan
dan dapat menikmati kebahagiaan bersama keluarga. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana
dinamika faktor-faktor resiliensi pada mantan pecandu narkoba.
B. Rumusan Masalah