Optimisme a. Responden I

lainnya. Sedangkan dari programnya adalah bagaimana terapis menjalin hubungan baik dengan pecandu. Setelah Irfan pulih dari kecanduan narkoba maka ada sebuah hasrat akan kehidupan yang lebih baik lagi. Pada saat ini ia sudah mulai bisa mengontrol dirinya untuk tidak kembali lagi menggunakan narkoba. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte 2002 bahwa kontrol impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.

3. Optimisme a. Responden I

Pada masa kecanduannya Abdi tidak pernah berpikir mengenai masa depan. Tujuan hidup Abdi pada saat itu adalah bagaimana caranya mendapatkan narkoba. Abdi merasa tidak bisa lepas dari belenggu narkoba dan seperti diperbudak oleh narkoba. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Adisti 2003, pecandu diartikan sebagai addict, yaitu orang yang sudah menjadi “budak dari obat”, dan tidak mampu lagi menguasai dirinya apapun melepaskan diri dari cengkraman obat yang sudah menjadi tuannya. Secara fisik dan psikis seperti didorong untuk kembali lagi menggunakan obat tersebut. Setelah Abdi bergabung dalam PMI, maka perlahan-lahan ia mulai bisa melupakan narkoba. Di PMI Abdi diberikan banyak kegiatan yang menyita waktu dan pikiran, hal tersebut membuatnya tidak memilki waktu bergabung kembali dengan teman-temanya sesama pecandu. Selain itu, ia juga mendapatkan banyak materi yang menolongnya untuk menata kehidupan yang lebih baik lagi. Setelah bergabung dengan PMI selama setahun, Abdi mulai memikirkan mengenai masa depannya. Awalnya Abdi hanya menjalani segala sesuatunya tanpa harapan yang besar, hanya sekedar segala sesuatunya berjalan sebagaimana adanya saja. Namun, setelah hampir 3 tahun menjalani tugasnya di PMI Abdi mulai serius memikirkan masa depannya. Waktu itu ia melihat para korban tsunami di Aceh yang kebanyakan putus asa dan tidak bepengharapan. Mulai dari situ ia berpikir bahwa kehidupan ini perlu ditata dan direncanakan walaupun kita tidak tahu akan ada apa di masa depan. Pada waktu itu ia juga mendapatkan pelatihan bagaimana membuat blue print kehidupan dan akhirnya ia mengaplikasikannya dalam kehidupannya sendiri. Ia yakin jika kita bekerja keras, maka apa yang kita cita-citakan akan dapat kita raih, tinggal seberapa yakin saja kita terhadap keinginan kita tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte 2002, bahwa seseorang yang optimis adalah seseorang yang melihat bahwa masa depan kita akan cerah dan mau berjuang menggapai masa depan yang lebih baik lagi. Optimisme dalam diri Abdi mendorongnya untuk bekerja keras meraih mimpinya, karena ia yakin sekalipun banyak tantangan ia akan dapat meraih apa yang dicita-citakannya. Walaupun ia pernah mengalami kegagalan namun ia tidak langsung menyerah. Dahulu ia mempunyai mimpi ingin membangun tempat rehabilitasi gratis bagi remaja pecandu yang tidak mampu. Ia tetap optimis walaupun pada saat itu ada banyak tantangan yang dihadapi, pada saat itu ia terkendala tidak mempunyai dana. Namun, berkat kegigihan dan kerja kerasnya serta bantuan orang-orang disekitarny, maka akhirnya impiannya tersebut terwujud. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Peterson dan Chang dalam Siebert, 2005 mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah pemegang kendali atas arah hidup mereka. Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu Siebert, 2005. Hal tersebut sesuai dengan Abdi yang rasa optimisnya tumbuh ketika satu per satu apa yang diinginkannya terwujud. Ia melakukan setiap nasehat-nasehat orang yang diberikan kepadanya dan ternyata ia benar-benar mengalaminya. Perlahan-lahan ia mulai yakin pada drinya sendiri, yakin bahwa kita dapat meraih apa yang kita inginkan jika kita bekerja keras, hingga akhirnya saat ini ia menjadi pribadi yang optimis. b. Responden II Irfan adalah seorang anak yang berasal dari keluarga yang berkecukupan secara finansial. Selama masa kecanduannya ia tidak pernah memikirkan mengenai masa depan. Irfan hanya memikirkan bagaimana ia dapat memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Adisti 2003, pecandu diartikan sebagai addict, yaitu orang yang sudah menjadi “budak dari obat”, dan tidak mampu lagi menguasai dirinya apapun melepaskan diri dari cengkraman obat yang sudah menjadi tuannya. Secara fisik dan psikis seperti didorong untuk kembali lagi menggunakan obat tersebut. Selama dalam proses pemulihan Irfan menyimpan banyak pertanyaan mengenai masa depannya. Mengenai apa yang akan dikerjakannya setelah keluar dari rehabilitasi, apakah ia dapat tetap bertahan untuk tidak menggunakan kembali nantinya. Namun, ia tetap yakin mengenai masa depannya karena ia mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Menurut Sarafino 2006, dukungan sosial dapat berupa emotional esteem support,tangible or instrumental support, dan informational support. Irfan mendapatkan dukungan informasi yang dibutuhkan selama upaya proses pemulihan dari keluarganya, dana untuk biaya Irfan pada saat di rehabilitasi, dan dukungan secara emosional berupa perhatian dari keluarganya. Selain itu, Irfan juga termotivasi untuk memiliki kehidupan dan masa depan yang lebih baik lagi karena melihat teman-teman sesama pecandunya dahulu saat itu sudah berhasil. Teman-temannya tersebut sudah memiliki pekerjaan yang baik dan sudah berkeluarga. Melihat keadaan tersebut Irfan mulai merefleksikan kepada dirinya dan mencoba memahami dirinya pada saat itu. Seperti yang dikemukakan oleh Bastaman 1996, bahwa tahap pertama dalam proses pencarian makna hidup adalah memahami kondisi dirinya dan memiliki suatu kesadaran atas buruknya kondisinya sehingga melakukan perubahan ke arah hidup yang lebih baik lagi. Setelah pulih dari kecanduan narkoba dan selesai mengikuti pelatihan konselor Irfan, kemudian ikut bergabung menjadi salah satu konselor di rehabilitasi tempat ia dirawat sebelumnya. Setelah menjalankan tugasnya sebagai konselor dan staf di rehabilitasi tersebut selama 3 tahun, maka mulai tumbuh suatu rasa yakin pada dirinya bahwa ia mampu bertahan tidak kembali menggunakan narkoba. Selain itu, ia juga dapat bekerja dengan baik sebagai konselor dan staf. Sejak itu Irfan perlahan-lahan mulai yakin akan masa depannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemjukakan oleh Reivich Shatte 2002, bahwa optimisme sangat berhubungan dengan Self-Efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang inividu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik.

4. Causal Analysis