Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENGGUNAAN PERJANJIAN
STANDAR PADA KONTRAK BISNIS WARALABA LOKAL
A. KESEIMBANGAN KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM KONTRAK BISNIS WARALABA DENGAN MODEL PERJANJIAN STANDAR
Kemampuan untuk menghasilkan suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam jangka waktu panjang merupakan faktor penting dalam
mengimplementasikan konsep bisnis franchise. Suatu bentuk konsep bisnis pemasaran, franchise meiliki ciri konsep bisnis total total business consept yang
merupakan kombinasi 4 P : Product, price, place distribution dan promotion. Konsep itu dikemas dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang
memilki standar dan mudah ditranferkan, serta dijalankan secara universal dapat diterapkan oleh para calon wira usaha dari beragam kultur diberbagai tempat
manca negara khusus dalam sistem franchise yang disebut dengan business format franchise, franchisor tidak hanya menggunakan franchise sebagai sarana
pemasaran hasil produksinya, melainkan lebih terfokus pada upaya mentransferkan paket-paket usaha barang jasa tertentu miliknya secara natural.
Transfer paket usaha tersebut selanjutnya disertai dengan adanya keharusan bagi franchisor untuk selalu menjaga kelangsungan kerjasama dengan para pemakai
paket usaha faranchise karena jika terjadi kegagalan pada usaha franchisee maka pada gilirannya akan dapat menggangu kelangsungan usaha franchisor, atau
setidaknya akan dapat menjatuhkan citra nama baik franchisor.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
Pada umumnya outlet yang dikelola oleh franchisee tidak ada investasi ataupun penyertaan modal equity participation dari franchisor. Dalam hal
pengadaan peralatan yang dibutuhkan oleh franchisee untuk keperluan operasional produksi, biasanya franchisor menawarkan jasa untuk menyediakan
peralatan tersebut. Franchisee dapat membelinya melalui fasiltas leasing sewa- beli. Walaupun demikian, ternyata peran franchisor cukup dominan terhadap
usaha franchisee. Hal ini dapat dibuktikan bahwa untuk mendesain outlet atau menatanya tetap ditentukan atau harus mendapatkan persetujuan dari franchisor.
Dari kondisi ini tampak bahwa posisi franchisee dapat dikatakan sebagai pemilik
modal saja.
Bentuk bantuan lain yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee adalah bantuan managemen dan technical assistance yang sifatnya
berkesinambungan, terutama dalam hal penyusunan rencana business plan dan strategi pemasaran, pengendalian kualitas produk, latihan lanjutan, pemberian
hasil riset dan pengembangan produk jasa serta promosi dagang. Untuk mendukung keberhasilan sinergi kerja dalam perjanjian
franchising ini ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu ; akses modal, akses pasar, skill dan teknologi know-how dan trade secret, akses merek
dagang jasa yang sudah teruji, manajemen, dan hubungan kemitraan. Agar perjanjian waralaba dapat berjalan lancar, franchisor perlu menyampaikan semua
informasi yang berhubungan dengan kegiatan usahanya kepada franchisee saat mempromosikan jenis usaha yang akan di franchisekan. Dengan demikian,
franchisee dapat mempertimbangkan atau memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian waralaba yang dimaksud atau tidak.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
Dalam hal membuat perjanjian waralaba franchisor dan franchisee diberi peluang secara bebas untuk menentukan syarat perjanjian kontrak yang mereka
inginkan dan dianggap sah jika mereka ada kata sepakat yang ditandai dengan adanya penandatanganan kontrak atau perjanjian tersebut. Namun undang-undang
masih membatasi tindakan para pihak tersebut, karena masih dipertanyakan apakah perjanjian tersebut sesuai dengan kepatutan, keadilan, kebiasaan dan
undang-undang itu sendiri. Jadi kebebasan berkontrak yang dimaksud tidaklah dalam pengertian bebas mutlak. Jika bertentangan dengan kepatutan, keadilan,
kebiasaan, dan undang-undang oleh pemerintah dapat dilarang diberlakukan. Apalagi kebebasan yang dimaksud berkaitan dengan kegiatan bisnis, yaitu
kebebasan atau kesewenang-wenangan yang hanya bertujuan mengejar kuntungan ekonomi.
Dalam bisnis waralaba terdapat dua aspek penting yaitu aspek perjanjian dan aspek lisensi. Didalam prakteknya, waralaba dijalankan dengan adanya
kontrak baku atau perjanjian standar. Artinya segala persyaratan dan isi perjanjian telah ditentukan sepenuhnya oleh franchisor.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa klausula dalam perjanjian waralaba adalah sebagai berikut :
1. Sifat perjanjian dari waralaba sangat pribadi yang maksudnya adalah bahwa
hak dan kewajiban franchise tidak mudah dialihkan kepada pihak lain, baik dengan cara jual-beli maupun karena pemindahan hak dan kewajiban
franchisee. Kalaupun terjadi pemindahan hak dan kewajiban franchisee kepada pihak lain franchisee baru, maka pemindahan itu harus mendapatkan
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
persetujuan, dan franchisee ynag ditunjuk itu harus memenuhi persyaratan lain yang ditentukan oleh franchisor. Persyaratan tersebut adalah :
a. franchise baru yang diusulkan harus mempunyai pengalaman usaha baik
reputasi secara personal dan finansial, stabilitas personal maupun finansial, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meluangkan waktu yang
cukup untuk menjalankan tokooutletgerai. b.
franchise yang baru harus menyetujui secara tertulis mengambil alih seluruh tanggung jawab atau kewajiban franchisee lama yang tertuang
dalam perjanjian waralaba dan harus dapat melaksakan dengan baik, meskipun bertujuan demikian adalam prakteknya, banyak perjanjian
waralaba yang dapat dialihkan kepada pihak lain, walaupun pemindahan hak dan kewajiban franchisee itu sifatnya terbatas. Misalnya, hak usaha
hanya dapat diberikan kepada salah anggota keluarga, terutama bila pemegang franchise adalah sebuah perusahaan berbadan hukum yang
pemilik modalnya adalah para anggota keluarga.
2. Posisi franchisor lebih kuat karena ia dapat memutuskan perjanjian secara
sepihak atas dasar adanya pelanggaran atau kesalahan dari franchisee dalam menjalankan usahanya. Bila persyaratan semacam ini dilihat dari segi bisnis,
tindakan franchisor tersebut dapat merugikan pihak franchisee dan bersifat berat sebelah. Jika terjadi pemutusan perjanjian secara sepihak, walaupun hal
itu telah mendapatkab persetujuan dan disebutkan dalam klausul perjanjian, maka secara hukum tidakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan
melawan hukum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 1266 KUHPerdata.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
Pendapat Subekti yang mengatakan bahwa suatu asas yang berlaku umum, yaitu “setiap orang tidak boleh menjadi hakim sendiri”, sehubungan dengan asas
ini beliau menjelaskan bahwa dalam suatu kasus hutang-piutang jika pelaksanaan pemenuhan kewajiban si berhutang dilakukan sendiri oleh orang yang berpiutang
melakukan penyitaan dengan tidak melewati hakim, maka tindakan tersebut dinamakan “Parate Eksekusi” atau tindakan pemutusan hubungan hukum
sepihak.
49
a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan
yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memnuhi kewajibannya;
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, apabila akibat dari tindakan itu orang yang berpiutang merugikan pihak lain, maka karena salahnya ia wajib
membayar ganti rugi. Pendapat Subekti sejalan dengan ketentuan pasal 1266 KUHPerdata yang
merumuskan:
b. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan haus dimintakan kepada hakim; c.
Permintaan ini harus juga dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan;
d. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, menurut keadaan
hakim leluasa atas permintaan tergugat memberikan jangka waktu untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari satu
bulan.
49
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1994. hal 124
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
Sehubungan dengan penjelasan diatas, apabila franchisor ditempatkan sebagai pihak yang berpiutang, bila dikaitkan dengan klausul Termination dalam
suatu perjanjian waralaba yang memberikan peluang kepada franchisor untuk dapat bertindak secara sepihak memutuskan hubungan perjanjian tersebut, secara
hukum termination dalam perjanjian waralaba itu dapat dibatalkan.
3. Pada saat berakhirnya perjanjian, atau bila perjanjian waralaba itu
diperpanjang lagi, franchisee diwajibkan mengembalikan dan menghentikan seluruh penggunaan nama dagangjasa, trade secret, know-how, termasuk juga
pengembalian seluruh material yang berkaitan dengan indentitas franchisor seperti : daftar menu, point of sale, dan design outlet milik franchisor. Dalam
kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan franchisee sebagai pemilik modal sangat lemah, sebab dana yang telah diinvestasikan kedalam
usaha waralaba tersebut tidak dapat dijalankan secara independen dan secara hukumpun franchisee tidak dapat perlindungan hukum yang memadai.
4. Bila ada perubahan atau penambahan pada outlet milik franchisee yanbg
dimintakan oleh franchisor, yang mana menurut franchisor penambahan atau perubahan sangat dibutuhkan dalam rangka perbaikan mutu tokooutletgerai,
maka seluruh biaya yang diakibatkannya merupakan tanggung jawab pihak franchisee. Keadaan ini tentunya merupakan tambahan bagi franchisee.
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
5. Jika tokooutletgerai, tempat usaha perlu direnovasi, ataupun dipindahkan,
berdasarkan atas keinginan franchisor setelah diadakan perpanjangan perjanjian, maka kewajiban franchisee adalah harus mengikuti kehendak
franchisor. Berkaitan dari kesimpulan diatas bila diamati secara cermat, isi
perjanjian waralaba tersebut tampak lebih banyak menguntungkan pihak franchisor dan jelas terlihat adanya sifat tying business yang dilakukan oleh
franchisor. Dilain pihak franchisee hanya berhadapan dengan pihak take it or leave it terhadap syarat perjanjian yang dihadapkan kepadanya, ditambah lagi
peran franchisor sangat dominan terhadap franchisee. Bila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak yang merupakan dasar
pembuatan perjanjian, maka tampak bahwa perjanjian baku yang diwujudkan dalam perjanjian waralaba telah mengurangi peran asas kebebasan berkontrak itu
sendiri. Secara rinci kebebasan yang berkurang atau tidak dapat dilaksanakan khususnya bagi franchisee antara lain adalah :
a. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian, karena memang
perjanjian waralaba selalu dibuat dalam bentuk baku; b.
Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, karena memang isi perjanjian waralaba telah disiapkan oleh franchisor;
c. Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian waralaba karena
memang isi dan syarat dalam perjanjian waralaba itu merupakan kehendak dari franchisor.
Sedangkan kebebasan yang masih dapat dilaksanakan atau diwujudkan sekalipun dalam perjanjian waralaba itu menggunakan syarat baku, yaitu :
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
a. Kebebasan bagi franchisee untuk memilih siapa calon franchisor yang
menjadi partner bisnisnya; b.
Kebebasan franchisee untuk menentukan apakah ia akan memutuskan untuk menandatangani perjanjian waralaba itu atau tidak.
Berdasarkan dengan ini, menurut Zeylemeyer mengikatnya suatu perjanjian baku disebabkan oleh adanya ajaran penundukan kemauan
wilsinderwerping. Ia menyatakan bahwa orang mau tunduk dan menerima atau menandatangani suatu dokumen perjanjian tidak lain disebabkan karena ada
pengaturan, dan rasa aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang ahli dalam bidangnya dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat
berbuat lain kecuali tunduk
50
Begitu pula Zonderland berpendapat bahwa dari aspek ekonomi keterikatan pada syarat baku dalam suatu perjanjian lebih disebabkan karena
konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus adanya kemauan menerima . Demikian Stein mengatakan bahwa keputusan
praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terkait pada semua syarat baku suatu perjanjian tanpa mempertimbangkan apakah ia
memahami syarat-syarat perjanjian itu atau tidak. Menurutnya, berdasarkan fiksi adanya kamauan dan kepercayaan itulah yang membangkitkan kepercayaan para
pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang kemudian dikuatkan dengan adanya penandatanganan atau penerimaan. Dengan demikian apabila debitur
menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secar suka rela setuju atas isi perjanjian tersebut.
50
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hal 27
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
apapun yang tercantum dalam syarat perjanjian baku tersebut. Pendekatan riilnya adalah kebutuhan ekonomi yang mana kebutuhan tersebut hanya akan terpenuhi
jika konsumen mengadakan perjanjian dengan pengusaha walaupun dengan syarat-syarat baku lebih memberatkan.
51
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun waralaba diterapkan dalam perjanjian baku yang syarat dan isi
perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh franchisor dan klausula-klausula yang disepakati itu dapat memberatkan pihak franchisee, namun kata sepakat di
dalamnya tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari kemauan dan sikap menerima franchisee terhadap segala konsekuensi dari isi perjanjian tersebut. Selain itu
adalah sangat sulit untuk mengurangi beban franchisee agar sama dengan hak dan kewajiban franchisor sekalipun didasari oleh undang-undang. Terlebih lagi dalam
perjanjian waralaba berkaitan erat dengan penggunaan hak milik intelektual yang penggunaannya dipengaruhi oleh konsep bisnis yang individualistik,. Namun
Sehubungan dengan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, hubungan franchisee dengan franchisor adalah semata-mata karena kebutuhan
ekonomi. Oleh karena itu sudah sewajarnya adalah bahwa dengan hukum alam pihak franchisor memiliki posisi atau kedudukan yang lebih kuat dan dapat
berperan besar terhadap franchisee. Hal ini sejalan pula dengan pandangan Hondius yang mengatakan bahwa mengikatnya perjanjian baku disebabkan oleh
karena adanya “kebiasaan” gebruik yang berlaku dilingkungan masyarakat bisnis atau dalam lalu lintas perdagangan. Pandangan Hondius ini tampaknya
sejalan dengan ketentuan Pasal 1339 Jo Pasal 1347 KUHPerdata.
51
Ibid
Iman Pasu Purba : Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
demikian masalah keseimbangan hak dan kewajiban antara franchisor dan franchisee perlu diperhitungkan demi meminimalisasikan resiko baik dari segi
hukum maupun dari segi bisnis. Kalau kita kembali kepada falsafah Pancasila, maka keserasian, keseimbangan dan keselarasan hubungan bisnis antara
franchisor dan franchisee yang seharusnya menjadi tujuan dalam hubungan perjanjian tersebut.
B. UPAYA UNTUK MENEKAN KEDUDUKAN BERAT SEBELAH DALAM PERJANJIAN WARALABA DENGAN MODEL PERJANJIAN