1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan siswa dalam belajar prestasi belajar siswa biasanya tampak dari hasil evaluasi belajar yang dilaksanakan oleh seorang guru.
Evaluasi belajar umumnya dijalankan secara periodik oleh guru untuk mengetahui apakah siswa mampu mencapai target yang telah ditetapkan dalam
suatu program pendidikan Muhibbin Syah, 2001:85. Dengan demikian evaluasi belajar bermanfaat untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan
siswa dalam belajar. Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan
seorang siswa tidak semata- mata diukur dari prestasi saja, tetapi juga dipengaruhi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada
diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Goleman, 1999:512. Dengan demikian ada dugaan kuat bahwa semakin tinggi kecerdasan
emosional siswa maka akan semakin tinggi prestasi belajarnya. Kuat atau lemahnya derajat hubungan kecerdasan emosional dan
prestasi belajar siswa diduga dipengaruhi oleh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah. Locus of control adalah suatu konsep yang
memberi gambaran akan keyakinan diri seseorang mengenai sumber penentu perilakunya Jung, 1978:107. Dimensi locus of control mencakup recognition
status penghargaan status,
dominance dominasi,
independence ketergantungan, protection dependensi perlindungan ketergantungan, love
and affection cinta dan kasih sayang, dan physical commfot kenyamanan
fisik. Ada dugaan bahwa siswa yang memiliki locus of control internal derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hal ini disebabkan pada siswa yang memiliki locus of control internal
bercirikan bahwa individu akan merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sebaliknya pada
siswa dengan locus of control eksternal akan bercirikan bahwa individu akan merasa apa yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari
campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu kesempatan.
Sebagian besar waktu siswa ada dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Masing- masing lingkungan tersebut memiliki kebiasaan-
kebiasaan atau kultur yang akan membedakan siswa satu dengan yang lainnya. Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu
masyarakatkeluarga yang merupakan hasil kajianpengalaman yang berlangsung turun temurun. Kondisi demikian menyebabkan derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Dimensi kultur keluarga meliputi: power
distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity dan
uncertainty avoidance . Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance
kecil derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance
besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance
kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan
orang tua, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka
kecerdasan emosionalnya akan rendah. Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan
kecerdasan emosional sis wa diduga lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan
siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok, mampu
mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka
kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism maka kecerdasan
emosionalnya rendah. Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan
kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan
siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran orang tua,
peran wanita lebih rendah dari orang tua, dan belajar bersama menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang
berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga
lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal
dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat
untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang
bercirikan uncertainty avoidance kuat maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.
Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.
Dimensi kultur sekolah meliputi : power distance,. collectivism vs individualism
, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan
kecerdasan emosional siswa diduga akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini
disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya,
bebas berpendapat, ada komunikasi dua arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah
maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan
emosionalnya lebih rendah. Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan
kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan
siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat
penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya
lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.
Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa diduga lebih rendah dibandingkan siswa yang
berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari
adanya kompetensi di dalam kelas, siswa berorientasi pada prestasi, dan kompetensi guru maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya
pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah derajat hubungan kecerdasan emosiona l dengan prestasi belajar siswa diduga
lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal
dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru,
siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang
berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance, kuat maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengidentifikasi apakah ada pengaruh locus of control, kultur keluarga dan kultur sekolah pada hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Penelitian ini selanjutnya
dituangkan dalam judul “Pengaruh Locus of control, Kultur Sekolah, dan Kultur Keluarga terhadap Hubungan antara Kecerdasan Emosional
dengan Prestasi Belajar“. Penelitian ini merupakan survei pada siswa kelas 3
SMP Negeri dan Swasta di Kota Madya Yogyakarta.
B. Batasan Masalah