5 Kurikulum sekolah Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu
kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu
kurikulum yang disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum
dapat mempengaruhi: tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan, kegiatan belajar mengajar, evaluasi yang dapat berubah.
Perubahan kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua
siswa.
F. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Dari penelitian sebelumnya “Hubungan antara Pola Asuh Autoritatif Orang Tua dan Prestasi Belajar“. Studi kasus pada siswa SD Godean I
Sleman Lisa Retno Handayani, 2000 bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara pola asuh autoritatif dengan prestasi belajar siswa di SD.
Penelitian menyimpulkan semakin tinggi pola asuh autoritatif maka semakin tinggi pula prestasi belajar pada anak. Menggunakan alat analisis korelasi
parsial Sedangkan penelitian lain mengenai kecerdasaan emosional
“Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar“. Studi kasus pada SMUN I Mlati Sleman Diah Wulan Arum, 1999. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
peningkatan kecerdasan emosional mendorong tingginya prestasi belajar. Penurunan prestasi belajar berarti kecerdasan emosional turun.
Menggunakan alat analisis korelasi product moment. Penelitian lain “Hubungan antara Presepsi Terhadap Dukungan
Keluarga dan Locus of Control Pada Remaja”. Studi kasus pada SMU SANTO MIKAEL, Warak Rukmi Cahyaningsih, 2001. Penelitian ini
bertujuan mengungkapkan hubungan antara persepsi terhadap dukungan keluarga dengan locus of control pada remaja. Penelitian ini menyimpulkan
ada hubungan positif antara persepsi keluarga dan locus of control. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan pada remaja maka semakin tinggi
locus of control yang dimiliki. Menggunakan alat analisis korelasi product
moment .
G. Kerangka Berpikir
1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar.
Locus of control merupakan sua tu keyakinan atau kepercayaan
dari individu atas penentu hidupnya. Dimensi locus of control meliputi locus of control
internal dan locus of control eksternal. Locus of control internal adalah individu yang merasakan adanya hubungan antara usaha
yang dilakukannya dengan akibat-akibat yang diterimanya. Sedangkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
locus of contro l eksternal adalah individu yang merasa bahwa akibat
yang terjadi pada dirinya merupakan akibat yang berasal dari campur tangan orang lain, nasib, keberuntungan dan juga karena suatu
kesempatan. Seorang individu dengan demikian dapat diklasifikasikan ke dalam locus of control internal atau locus of control eksternal.
Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada
locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa
memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh dirinya sendiri sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan
belajar giat untuk mencapai prestasi belajar. Sebaliknya siswa dengan locus of control
eksternal cenderung lebih pasrah dan menerima nasibnya.
2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar
Kultur keluarga adalah suatu nilai- nilai yang dimiliki suatu masyarakatkeluarga yang merupakan hasil kajianpengalaman yang
berlangsung turun temurun. Kultur keluarga dapat diklasifikasikan ke dalam empat dimensi, meliputi: 1. power distance; 2. collectivism vs
individualism ; 3. femininity vs masculinity; 4. uncertainty avoidance.
Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda. Pada
kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang
berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power
distance kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga,
menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance
besar, maka kecerdasan emosionalnya rendah. Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat
hubungan kecerdasan emosional siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini
disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism
yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok, mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa
bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka kecerdasan emosionalnya lebih
tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.
Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa
yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity
yang tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan
belajar bersama menjadi rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga
yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa
yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti,
keluarga menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang
berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. .
3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
Kultur sekolah adalah sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas
kehidupan sekolah. Kultur sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
empat dimensi, meliputi: 1. power distance; 2. collectivism vs individualism
; 3. femininity vs masculinity; 4. uncertainty avoidance. Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat
hubungan kecerdasan emosional siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance
besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance
kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi dua
arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya
lebih tinggi. Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance
besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat
hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini
disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism
yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang
lain, bersikap positif dalam mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada
siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah.
Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa lebih rendah dibandingkan siswa
yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity
yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa berorientasi pada prestasi, dan kompetensi guru, maka kecerdasan
emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan
emosionalnya lebih tinggi. Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance
lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah
yang bercirikan uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah
yang tampak dari adanya kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan
siswa dengan kekurangan guru maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang
bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.
H. Rumusan Hipotesis