2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Gula
Gula  merupakan  salah  satu  sumber  energi  yang  dibutuhkan  manusia dalam  kehidupan  sehari-hari,  dan  input  penting  dalam  industri  makanan  dan
minuman yang berperan sebagai bahan pemanis maupun bahan pengawet untuk sebagian pangan  olahan.  Klasifikasi  pemanis menurut  bentuk dan sumber bahan
dapat di lihat pada Gambar 5 berikut ini :
Gambar 5 Klasifikasi Pemanis Berdasarkan Bentuk dan Sumbernya Sumaryanto 2003 dalam Sabil 2005
Secara  fisik  terdapat  tiga  jenis  gula  yaitu  :  1  gula  kristal,  2  gula  bukan  kristal, dan  3  gula  cair.  Menurut  SK  No.  527MPPKep92004  tentang  Tata  Niaga
Impor  Gula  antara  lain  mengkategorikan  gula  kristal  sebagai  gula  kristal mentahgula  kasar  raw  sugar,  gula  kristal  rafinasi  refined  sugar,  dan  gula
kristal putih plantation white sugar. Gula  yang  dikenal  dalam  masyarakat  luas  adalah  sakarosa  atau  sukrosa
yang  merupakan    disakarida  yang  pada  hidrolisa  menghasilkan  glukosa  dan fruktosa.  Produk  gula  dalam  negeri  termasuk  dalam  kualifikasi  yang  dikenal
dengan nama SHS Superieure Hoofd Suiker.
Pemanis Gula
Non  Gula Gula Kristal
Gula Cair Dari bahan
tanaman
Dari bahan kimia Gula bukan
kristal
Gula kristal terdiri dari gula pasir yang dihasilkan dari tebu dan gula yang dihasilkan  dari  bit.  Namun,  menurut  Prihandana  2005  biaya  produksi  gula
berbahan baku tebu lebih murah 70 dibandingkan dengan biaya produksi gula berbahan  baku  bit.  Oleh  karena  itu,  bahan  baku  industri  gula  yang  banyak
digunakan  adalah  tebu  Saccharum  officinarum  yang  merupakan  tanaman perkebunan.
Di  dalam  batang  tebu  terkandung  20  cairan  gula.  Effendi  2009 menyebutkan  bahwa  cairan  dalam  tebu  terdiri  dari  tiga  macam  yaitu  :  1  Nira
Tebu,  2  Air  tanah  atau  air  tebu  bebas  brix,  dan  3  Protoplasma.  Nira  tebu tersimpan  dalam  sel-sel  parenchim.  Air  tebu  bebas  brix  merupakan  air  yang
secara chemis  bersatu  dengan  serat dan tidak  dapat  dipisahkan  secara mekanis. Protoplasma berbentuk semi cairan tetapi tidak mengandung gula.
Sisa  pengolahan  batang  tebu  adalah  1  tetes  tebu  molases  yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula antara
50  sampai  dengan  60,  asam  amino  dan  mineral.  Pemanfaatan  tetes  tebu sampai  saat  ini  adalah  sebagai  bahan  baku  bumbu  masak  MSG,  gula  cair,  dan
arak;  2  Pucuk  daun  tebu,  yang  dapat  digunakan  sebagai  pakan  ternak  dalam bentuk  silase,  pellet  ,  dan  wafer  diperoleh  pada  tahap  penebangan  tebu;  3
ampas  tebu  yang  merupakan  hasil  samping  dari  proses  ekstraksi  cairan  tebu, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas,  particle board
dan  media  untuk  budidaya  jamur,  atau  dikomposkan  untuk  pupuk;  4  Blotong yang  merupakan  hasil  samping  proses  penjernihan  dapat  dimanfaatkan  sebagai
pupuk tanaman tebu.  Adapun pohon industri untuk industri berbasis tebu  dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut  Badan  Penelitian  dan  Pengembangan  Pertanian  2005,  tipe pengusahaan tanaman tebu terbagi dalam dua  tipe yaitu : 1 kebun tebu dikelola
dengan  menggunakan  manajemen  perusahaan  perkebunan  dimana  pabrik  gula PG  sekaligus memiliki lahan HGU untuk pertanaman tebunya, dan 2 tanaman
tebu  dikelola  oleh  rakyat.  Pada  umumnya,  petani  merupakan  pemasok  bahan baku  tebu  sedangkan  PG  lebih  berkonsentrasi  pada  pengolahan.  Sistem  bagi
hasil  yang  diterapkan  adalah  sekitar  66  dari  produksi  gula  untuk  petani  dan 34 untuk PG.
Terdapat  dua  sistem  penebangan  tebu  yaitu  1  tebu  bakar,  sebelum dilakukan  penebangan  tebu  dibakar  terlebih  dahulu;  dan  2  tebu  hijau,  tebu
langsung  ditebang  jika  batang  sudah  masak.  Tebu  bakar  akan  mempercepat turunnya  kadar  sukrosa  dan  kerusakannya  lebih  cepat  karena  mudah
terkontaminasi oleh mikroba Leouconostoc mesenteroides. Berdasarkan  peralatan  yang  digunakan  pada  saat  penebangan  dan
pengangkutan  sistem  pemasokan  dapat  dibedakan  tiga  jenis,  yaitu  1 penebangan  dilakukan  oleh  tenaga  tebang  manual  kemudian  batang  tebu  diikat
dan  diangkut  menggunakan  truk  atau  trailer  system  bundled  cane;  2 penebangan  dilakukan  oleh  tenaga  tebang  manual  tetapi  pada  saat  pemuatan
menggunakan  bantuan  alat  mekanis  karena  tebu  tidak  diikat  system  loosed cane; 3 penebangan  dan  pemuatan   dilakukan  oleh alat mekanis  yang  disebut
harvester, dimana tebu dipotong secara otomatis dan langsung ditampung dalam bak truk system chopped cane.
Tebu  yang  telah  dipanen  dari  areal  budidaya  tebu  diangkut  dan ditempatkan  dalam  areal  penampungan  cane  yard.  Untuk  menghindari
menurunnya rendemen, maka tenggang waktu yang ditolerir antara waktu tebang dan  giling  adalah  24  jam  Moerdokusumo  1993;  Effendi  2009.  Makin  lama
tenggang  waktu  antara  tebang  dan  giling  akan  menyebabkan  semakin  rendah kandungan  sukrosa  yang  mudah  larut  dalam  air  dan  dapat  terhidrolisis  oleh
adanya  ion  hidrogen  atau  akibat  aktifitas  mikroba  tertentu.  Gula  atau  sukrosa dapat  terdekomposisi  oleh  bakteri,  khamir  dan  jamur  yang  aktifitasnya
tergantung pada kadar sukrosa, suhu dan aktivitas air. Sebelum  proses  produksi  gula  dilakukan,  diperlukan  pra-pengolahan.
Pada  tahap  ini,  tebu  masuk  ke  dalam  cane  preparation  menggunakan  sistem elevator  yang  berjalan  melewati  cane  cutter  1  yaitu  suatu  alat  yang  akan
memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Setelah itu tebu akan melewati cane cutter 2  yang berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian yang lebih
kecil lagi karena pisau yang digunakan mempunyai jarak yang lebih rapat. Tebu yang  telah  dipotong-potong  tersebut  akan  dihancurkan  oleh  alat  yang  disebut
shredder sehingga tebu menjadi serpihan halus berbentuk ampas yang kemudian akan dikirim pada mill station untuk diperah.
Proses  produksi  gula  dari  tebu  terdiri  dari  lima  tahap,  yaitu  :  1  proses pemerahan  atau  penggilingan  yang  bertujuan  untuk  menghasilkan  nira,  pada
proses  ini  ditambahkan  air  imbibisi  yang  digunakan  untuk  melarutkan kandungan  sukrosa  dan  membunuh  mikroba  Leuconostoc  mesenteroides;  2
proses  pemurnian  yang  bertujuan  untuk  memisahkan  kotoran  atau  zat-zat  non- gula;  3  proses  penguapan  yang  bertujuan  untuk  menguapkan  air  sebanyak-
banyaknya  sehingga  dihasilkan  nira  kental;  4  proses  kristalisasi    metoda spontan,  pancingan,  penambahan  slurry  atau  seed  yang  bertujuan  untuk
memisahkan  gula  dari  nira  kental;  dan  5  proses  pemutaran  sentrifuse  yang bertujuan  untuk  memisahkan  sukrosa  dan  molases.  Adapun  skema  proses
pembuatan gula kristal putih diperlihatkan pada  Gambar 6.
Gambar 6  Proses Pembuatan Gula Kristal Putih Effendi 2009
Industri  gula  merupakan  salah  satu  industri  pengolahan  yang berkembang  pertama  kali  di  Indonesia.  Ditinjau  dari  potensi  yang  dimiliki
iklim  yang  sangat  sesuai  untuk  tumbuhnya  tebu  dan  sebagai  negara  terkaya sumber daya genetik tebu serta kapasitas produksi industri gula nasional  yang
Nira Kotor Batang tebu
Ekstraksi Nira
Penjernihan Penyaringan
Blotong Muddy juice
Nira jernih Evaporasi
Air Bagasse
GULA Kristalisasi
Sentrifuse
masih  terpakai  72,  maka  para  ahli  gula  dunia  berpendapat  bahwa  Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula Khudori 2004.
Pada  awal  abad  ke-16    industri  gula  telah  diusahakan  oleh  penduduk Cina  perantauan  di  sekitar  Jakarta,  dan  selanjutnya  dikembangkan  secara
besar-besaran  oleh  VOC  pengusaha  Belanda  di  seluruh  Jawa  pada  abad  ke- 19. Jawa menjadi sentra industri gula yang memberikan kontribusi utama bagi
pemerintah  kolonial  Belanda  pada  abad-20.  Pada  tahun  1930,  Jawa  menjadi eksportir terbesar ke dua di dunia setelah Kuba. Pada jaman kolonial, integrasi
sistem  agribisnis  gula  dijamin  melalui  organisasi  dari  pemerintah  yang mempunyai kekuatan untuk memaksa. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
menanam  tebu  sesuai  dengan  luasan,  teknologi,  jadwal  tanam,  dan  jadwal panen  yang  ditetapkan  oleh  pabrik.  Dengan  demikian,  pabrik  gula  dapat
memperoleh  pasokan  bahan  baku  yang  cukup  sepanjang  musim  giling, sehingga industri gula di Jawa sangat efisien.
Industri  gula  ditinjau  dari  aktivitas  ekonomi  merupakan  industri  yang memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan
output,  pendapatan,  nilai  tambah  dan  tenaga  kerja  mengingat  gula  merupakan suatu  komoditi  pangan  yang  penggunaannya  sangat  luas.  Selain  dikonsumsi
secara langsung konsumsi akhir, gula juga merupakan bahan baku bagi banyak industri  input  antara.  Struktur  Industri  gula  Ismail  2005  berdasarkan  analisis
keterkaitan  antara  industri  melalui  analisis  input-output  menunjukkan  bahwa secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor
dibelakangnya  sebanyak  53  sektor  dari 172  sektor  dan  keterkaitan  langsung  ke depan dengan 30 sektor. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula selain untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi akhir saat ini , juga diperlukan untuk mendorong peningkatan  produksi  industri-industri  yang  menggunakan  gula  sebagai  bahan
bakunya. Permasalahan  yang  dihadapi  industri  gula  nasional  ditandai  dengan
ketidakmampuan  industri  gula  nasional  mencukupi  kebutuhan  gula  setiap  tahun untuk  konsumsi  dan  input  bagi    industri  di  dalam  negeri.  Kondisi  industri  gula
nasional  dalam  lima  tahun  terakhir  menunjukkan  bahwa  peningkatan  produksi gula  nasional  tidak  dapat  memenuhi  kebutuhan  gula  yang  semakin  meningkat.
Mengingat  gula  merupakan  salah  satu  bahan  kebutuhan  pokok  masyarakat Indonesia  sehari-hari,  pemerintah  mengemban  tanggungjawab  untuk  senantiasa
menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak  sesuai  dengan  kondisi  perekonomian  masyarakat.  Untuk  memenuhi
kebutuhan  gula  dari  tahun  ke  tahun,  pemerintah  Indonesia  mengambil  kebijakan untuk melakukan impor gula.
Dibukanya  impor  gula  secara  bebas  sejak  awal  tahun  1998,  telah mengubah  situasi  pasar  gula  di  dalam  negeri  menjadi  sangat  dipengaruhi  oleh
pasar  gula  dunia.  Perubahan  terhadap  kebijakan  gula  nasional  secara  mendasar pada  industri  gula  yang  sebelumnya  dikenal  sebagai  the  most  regulated
commodity  untuk  melindungi  produsen  diubah  menjadi  komoditas  yang diperlakukan  dengan    free  trade  policy  berupa  bebas  impor  dengan  tarif  bea
masuk yang rendah. Kebijakan free trade tersebut telah menyebabkan gula impor dengan  volume  yang  kurang  terkontrol  oleh  pemerintah,  hal  ini  menyebabkan
excess supply yang berlebihan dipasar gula nasional. Hal tersebut berakibat pada harga  gula  dalam  negeri  hingga  mencapai  tingkat  yang  dapat  menyebabkan
kebangkrutan total industri gula nasional. Pada umumnya, kebijakan free trade dengan tarif bea masuk yang rendah
tidak  dilakukan  oleh  negara  produsen  gula  yang  termasuk  dalam  kategori  paling efisien, apalagi di negara produsen yang masih tergantung pada gula impor seperti
Indonesia. Jika industri gula nasional tidak mampu meningkatkan produksi, maka impor gula akan semakin besar.
Husodo  2000  menyebutkan  bahwa  secara  umum  kondisi  pergulaan nasional memiliki tiga persoalan utama. Pertama, rendahnya harga gula dipasaran
dunia.  Kedua,  produktivitas  pabrik  gula  rendah  dan  banyak  yang  tidak  efisien. Ketiga, perkembangan industri gula nasional terus merosot. Selanjutnya,  Husodo
2000  juga  menyatakan  bahwa  persoalan  makro  pergulaan  nasional  adalah  1 dalam  jangka  pendek  :  bagaimana  mengatur  stok  gula  hingga  mencapai  harga
yang  wajar  bagi  produsen  tanpa  memberatkan  konsumen,  dan  2  dalam  jangka panjang : bagaimana meningkatkan efisiensi dan produktivitas pergulaan nasional,
dan mengarah pada swasembada dan ekspor.
Permasalahan  industri  gula  nasional,  pada  dasarnya  dapat  didiagnosa dengan  mengkaji  permasalahan  yang  terdapat  pada  faktor-faktor  yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan industri gula nasional.  Salah satu dari faktor- faktor yang berpengaruh  adalah pabrik gula.   Pada umumnya, pabrik gula PG
di  Indonesia  didirikan  sejak  jaman  Belanda.  Pada  tahun  1930  tercatat  ada  179 PG,  dan  pada  tahun-tahun  berikutnya  terjadi  fluktuasi  dalam  hal  jumlah  PG.
Effendi  2009  menyebutkan  bahwa  pada  tahun  2000  jumlah  PG  di  Indonesia mencapai  71  unit.    Namun  pada  tahun  2008  hanya  58  unit  yang  beroperasi  di
tambah empat unit PG rafinasi. Lokasi  PG  menurut  Badan  Penelitian  dan  Pengembangan  Pertanian
2005 tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur 31  PG,  sedangkan  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Barat  masing-masing  memiliki
delapan  dan  lima  PG.  Di  luar  Jawa,  Lampung  menempati  peringkat  pertama dengan  lima PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan 3 PG, Sumatera Utara 2 PG,
Sumatera Selatan 1 PG, dan Gorontalo 1. Adapun daftar  pabrik gula beserta kapasitas gilingnya dapat di lihat pada Lampiran 2.
Kinerja  industri  gula    yang  mencerminkan  daya  saing  industri  gula,
merupakan  hasil dari interaksi antar sub sistem dalam agribisnis gula, yang terdiri dari  empat  sub  sistem,  yaitu  :  1  sub  sistem  penyediaan  input,  2  sub  sistem
usahatani  tebu,  3  sub  sistem  pengolahan  gula  pabrik,  dan  4  sub  sistem pemasaran.  Selain  itu,  Disbun  Jatim  2010  juga  menyebutkan  bahwa  selain
dipengaruhi oleh interaksi dari empat sub sistem dalam agribisnis, kinerja industri gula juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pergulaan, perubahan
keunggulan  komparatif  dalam  penggunaan  input,  perubahan  manajemen  dan kelembagaan,  serta  kemajuan  penemuan,  inovasi  dan  adopsi  teknologi  pada
industri  gula  dan  industri  lain  yang  berkompetisi,  bersubstitusi  dan berkomplemen.
Upaya yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing, menjaga eksistensi dan  sustainability    industri  gula  serta  efisiensi  yang  mengarah  pada  penurunan
biaya  produksi  yaitu  revitalisasi  industri  gula.  Revitalisasi  industri  gula  pada dasarnya  mencakup  usaha-usaha  peningkatan  produktivitas  dan  efisiensi  pada
sektor  on  farm  usaha  tani  dan  off  farm  pabrik  gula,  yang  didukung  oleh
kebijakan yang kondusif  bagi terciptanya kondisi ke arah perbaikan kedua sektor tersebut.  Selain  itu,  revitalisasi  industri  gula  juga  berkaitan  erat  dengan
restrukturisasi industri  gula  terutama  dalam  aspek  kelembagaan  dan  kepemilikan perusahaan gula, serta pemberdayaan lembaga usaha tani koperasi dan lembaga
penelitian Disbun Jatim 2010. Kinerja  PG  dapat  di  kategorikan  ke  dalam  dua  aspek,  yaitu  :  kinerja
ekonomis dan kinerja teknis. Kinerja teknis pabrik gula merupakan gabungan dari 1  kinerja  unit  penggilingan  yang  ditunjukkan  oleh  persen  HPB  hasil  bagi
perahan  briks  dan  persen  pol  dalam  ampas;  2  kinerja    unit  pengolahan  yang ditunjukkan  oleh  persen  HK  Harkat  Kemurnian  dan  pol  nira  mentah;  dan  3
Ketel boiler sebagai komponen utama dalam proses produksi yang ditunjukkan oleh  persen  efisiensi  ketel  dan  pemakaian  uap  kwton  tebu.  Standar  yang
digunakan  sebagai  pembanding  Moerdokusumo  1993  dan  LPPM  IPB  2002 yaitu 1  90 untuk persen HPB; 2  2 untuk persen pol dalam ampas; 3
96  untuk  Harkat  Kemurnian;  4  90  pol  nira  mentah  dan  5    78  untuk efisiensi ketel; serta 6 60 kwton tebu untuk pemakaian uap.
Woerjanto  2000  menyebutkan  beberapa  upaya  yang  dapat  dilakukan untuk  meningkatkan  kinerja  PG  agar  lebih  efisien  yaitu  :  1  pemeliharaan  mesin
dan  peralatan  pabrik  yang  lebih  baik  untuk  menekan  terjadinya  jam  henti  giling pada  saat  musim  giling,  2  penggantian  mesin,  peralatan,  dan  suku  cadang
dilakukan dengan benar, dalam arti mutu sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan dan  harga  yang  wajar  serta  tepat  waktu,  3  perlakuan  preventive  maintenance
program  dalam  masa  giling,  yaitu  pemeliharaan  mesin  dan  perawatan  semua mesin serta peralatan di saat sedang operasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan
atau  gangguan  yang  tidak  diinginkan,  4  Pengoperasian  semua  mesin  dan peralatan  sesuai  standart  operating  procedure  SOP  untuk  mencegah  terjadinya
kesalahan  operasi,  5  Proses  pabrikasi  dilakukan  secara  benar  dengan  sasaran mencegah  terjadinya  kehilangan  gula  dalam  proses,  sehingga  dapat  dicapai
efisiensi  pengolahan  yang  baik  dengan  kualitas  produk  yang  prima,  dan  6 penghematan  pemakaian  bahan  pembantu  pengolahan.  Selain  itu,  untuk  lebih
meningkatkan  efisiensi  pabrik  gula,  perlu  dilakukan  rehabilitasi  mesin  dan peralatan yang sudah tidak efisien.
Pulau  Jawa  memegang  peranan  penting  dalam  menunjang  industri  gula nasional.  Di lihat dari jumlah PG secara nasional, sekitar 80 PG berada di Pulau
Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60 dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula sekitar 80 dihasilkan oleh petani
tebu.  Petani  tebu  sebagian  mengusahakan  tanaman  tebu  di  lahan  sawah  dan sebagian di lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak
mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi. PG  yang ada di Pulau Jawa, pada umumnya telah tua sebagian didirikan
pada tahun 1800-an. Namun, sebagian besar PG di Jawa sudah direhabilitasi dan ditingkatkan  kapasitasnya.  Kapasitas  giling  ditingkatkan  dengan  sasaran
peningkatan  efisiensi  ,  bahkan  di  beberapa  pabrik  mencapai  3 – 4 kali kapasitas
semula. Otomatisasi dan komputerisasi beberapa peralatan pabrik telah dilakukan sebagai  upaya  untuk  memperkecil  terjadinya  kesalahan  operasional.  Upaya
tersebut menjadikan proses pengolahan gula lebih efisien. Namun masih ada yang menggunakan  mesin  dan  peralatan lama yang  tingkat  efisiensinya  relatif  rendah.
Dari  sisi  kapasitas  terpasang  yang  dimiliki  PG  di  Pulau  Jawa,  menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan 2004 53  PG memiliki kapasitas giling
kecil  3.000 TTH, 44  berkapasitas giling menengah antara 3.000 – 6.000
TTH, dan hanya 3 yang berkapasitas giling besar   6.000 TTH. Industri  gula  di  Pulau  Jawa  menurut  Woerjanto  2000  menghadapi  tiga
permasalahan  struktural  yaitu  1  rendahnya  efisiensi  dan  produktivitas  pabrik gula,  2  rendahnya  daya  saing  tanaman  tebu  dibandingkan  komoditas  agribisnis
lainnya,  dan  3  industri  gula  termasuk  dalam  klasifikasi  padat  karya.  Padatnya jumlah  penduduk  di  Pulau  Jawa  dan  konversi  lahan  sawah    menyebabkan  luas
areal lahan  tebu, baik pada lahan sawah maupun lahan kering menurun dari tahun ke tahun. Dengan banyaknya  jumlah pabrik gula yang sampai saat ini beroperasi,
luas  lahan  yang  tersedia  menjadi  tidak  memadai  untuk  mendukung  kelancaran produksi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan pabrik gula yang
sangat tergantung pada kecukupan, kontinuitas, serta mutu bahan baku tebu yang diperolehnya.
Industri  gula  di  Pulau  Jawa  dengan  segala  permasalahan  yang  dihadapi, merupakan  kegiatan  ekonomi  yang  secara  langsung  terkait  dalam  pemanfaatan
potensi keunggulan kompetitif sumber daya lokal.  Oleh karena itu, industri gula di Pulau Jawa akan tetap menjadi existing assets yang memiliki prospek di masa
mendatang. Jawa  Timur  selama  ini  merupakan  propinsi  penghasil  gula  terbesar  di
Indonesia,  yang  dihasilkan  dari  30  PG  milik  BUMN  PTPN  X,  PTPN  XI,  dan RNI  serta  satu  pabrik  gula  swasta  PG  Kebon  Agung.  Produktivitas  gula  yang
masih rendah di Jawa Timur, terutama disebabkan oleh kualitas bahan baku tebu dan kinerja pengolahan Disbun Jatim 2010.
Di  sisi  on-farm,  Jawa  Timur  menghadapi  dua    permasalahan  penting Disbun Jatim 2010  yaitu : Pertama,  pergeseran budidaya tebu ke lahan tegalan
akibat persaingan yang ketat dengan padi dan alih fungsi sawah menjadi area non- pertanian  seperti  pemukiman  dan  industri.  Perubahan  budidaya  tebu  ke  lahan
tegalan harus diikuti dengan perubahan paradigma budidaya tebu, mengingat pola reynoso  yang  memerlukan  tenaga  kerja  sangat  intensif  dan  biasa  dilakukan  di
lahan  sawah  tidak  dapat  dilakukan  lagi  pada  lahan  tegalan.  Inovasi  teknologi varietas  tebu  yang  sesuai,  pengolahan  tanah  yang  tepat,  dan  pemupukan  yang
efektif  yang menunjang optimalisasi budidaya tebu di lahan tegalan perlu terus dikembangkan.  Kedua,  proporsi  tebu  keprasan  yang  relatif  tinggi  dibanding
tanaman tebu pertama Plant Cane. Produktivitas gula menjadi sulit ditingkatkan pada  kondisi  tanaman  ratoon  yang  dikepras  lebih  dari  empat  kali.  Dampak  dari
tanaman  ratoon  yang  dikepras  secara  berulang-ulang  tidak  terkendali  akan mengakibatkan kualitas tanaman tebu menurun tajam akibat terjadinya  penurunan
degradasi  inheren  genetik  dari  varietas  tebu,  peka  terhadap  serangan  penyakit tertentu seperti penyakit Ratoon Stunsting Disease RSD dan menimbulkan ekses
campuran varietas apabila dilakukan tambal sulam bibit secara tidak terkendali. Di  sisi  Off-farm  Jawa  Timur  perlu  merevitalisasi  dua  aspek  penting
Disbun  Jatim  2010      yaitu  :  peningkatan  kapasitas  giling  dan  rehabilitasi  PG dalam  rangka  meningkatkan  efisiensi.  Meskipun  rerata  produktivitas  tebu  yang
dihasilkan  di  lahan  tegalan  lebih  rendah  dibanding  lahan  sawah,  upaya peningkatan  produksi  gula  di  masa  mendatang  salah  satunya  ditempuh  dengan
pengembangan  areal  tegalan.  Jawa  Timur  memiliki  potensi  areal  pengembangan tebu  yang  cukup  luas  yang  tersebar  di  beberapa  kabupaten atau  kota.  Mengingat
jumlah  tebu  yang  dihasilkan  akan    meningkat,  maka  kemampuan  PG  dalam menggiling tebu juga harus ditingkatkan. Oleh karena itu, kelebihan pasokan tebu
harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas giling PG. Selanjutnya,    Disbun  Jatim    2010  juga  menyatakan  cara  lain  untuk
mengimbangi lonjakan jumlah tebu giling di tahun-tahun yang akan datang, yaitu dengan  :  meningkatkan  kinerja  PG  serta  melakukan  audit  PG.  Kinerja  PG
diperbaiki  dengan  cara  mengurangi  idle  capacity  dan  meningkatkan  efisiensi melalui  rehabilitasi  mesin-mesin  atau  alat-alat  yang  tua  dan  berkinerja  rendah.
Kapasitas  giling  efektif  PG  diusahakan  bisa  mendekati  atau  sama  dengan kapasitas terpasangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan jam henti giling.
Peningkatan  pemanfaatan  kapasitas  giling  PG  dapat  dilakukan  dengan meningkatkan  efisiensi  gilingan,  pengolahan,  dan  penggunaan  energi.  Audit  PG
dimaksudkan  untuk  menilai  kinerja  PG  secara  keseluruhan  sehingga  bisa dihasilkan  rekomendasi  untuk  memperbaiki  kinerja  PG  tersebut.  Proses  audit
dilakukan  dengan  menelusuri  perjalanan tebu  menjadi  gula  didalam  PG.  Melalui proses  tersebut    maka  berbagai  hal    yang  menyebabkan  ketidak  efisienan  atau
kinerja  PG  menurun  bisa  ditelusuri,  sehingga  bisa  dibuat  rekomendasi  untuk perbaikan.  Selain  itu,  audit  PG  juga  digunakan  sebagai  kontrol  atas  pelaksanaan
best management practices di PG. Luthfie 2010 menyatakan bahwa sisi pengolahan pada industri pergulaan
di  Jawa  Timur  dinilai  sebagai  titik  lemah  yang  menjadi  pangkal  rendahnya produktivitas  pabrik  gula.  Selanjutnya,  Luthfie  2010  membandingkan  kinerja
pabrik gula di Jawa Timur dengan pabrik gula di Propinsi Lampung dengan hasil perbandingan  sebagai  berikut  :  1  kapasitas  produksi  :  di  propinsi  Lampung
mencapai  8,91  ton  per  hektare  sedangkan  provinsi  Jawa  Timur  hanya  mencapai 5,975  ton  per  hektare  ,  2  rendemen  :  enam  pabrik  gula  di  Lampung  memiliki
rerata  rendemen  sebesar  9  sedangkan  31  pabrik  gula  di  Jawa  Timur  hanya memiliki rerata rendemen sebesar 7,8, dan 3 penghasilan petani lahan tegalan :
rerata petani tebu di provinsi Lampung meraih penghasilan sebesar Rp. 13 juta –
Rp.  15  Juta  per  hektare  sedangkan  petani  di  Jawa  Timur  hanya  meraih penghasilan sebesar Rp. 9 juta
– Rp. 11 Juta per hektare.
Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa  instrumen  kebijakan  yang  diarahkan  untuk  mendorong  perkembangan
industri  gula  Indonesia,  seperti  yang  dapat  dilihat  pada  Tabel  1.  Berdasarkan Tabel    1      dapat  disimpulkan  bahwa  kebijakan  yang  dilakukan  mempunyai
dimensi  yang  cukup  luas,  yaitu  mencakup  input,  produksi,  distribusi,  dan  harga perdagangan.  Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan
jauh  lebih  intensif  dibandingkan  dengan  kebijakan  produksi  dan  input.    Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005 menyatakan bahwa secara garis
besar,  dinamika  kebijakan  distribusi  dan  perdagangan  dapat  dibagi  menjadi empat  tahapan  utama,  yaitu  1  Era  Isolasi  1980  -  1997,  2  Era  Perdagangan
Bebas  1997  -  1999,  3    Era  Transisi  1999  -  2002,  dan  4  Era  Proteksi  dan Promosi 2003 - sekarang.
Berbagai  kebijakan  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  merupakan  respon pemerintah  terhadap  permasalahan  yang  dihadapi  industri  gula  nasional,  yang
dikeluarkan secara reaktif dan cenderung bersifat ad-hoc. Kebijakan yang hanya menekankan pada hambatan perdagangan dan pembatasan impor saja tidak akan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional. Direktorat  Jenderal  Industri  Agro  dan  Kimia  Departemen  Perindustrian
2009  merumuskan  visi,  misi  dan  indikator  pencapaian  untuk  industri  gula nasional sebagai berikut :
VISI : Mewujudkan industri gula nasional yang mandiri, berdaya saing, dan
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor MISI  :
1.  Memperkuat struktur industri gula 2.  Meningkatkan produktivitas dan efisiensi
3.  Mendorong investasi PG-PG keluar P. Jawa 4.  Terpenuhinya  kebutuhan  gula  konsumsi  dan  industri  oleh  industri  gula
dalam negeri
Indikator Pencapaian : tercapainya swasembada gula nasional pada tahun 2014
Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005
Nomor SKKeppresKepmen Perihal
Tujuan
Keppres No. 431971, 14 Juli 1971
Pengadaan,  penyaluran,  dan pemasaran gula
Menjaga  kestabilan  pasokan  gula sebagai bahan pokok
Surat Mensekneg No. B.136abn sekneg374,
27 Maret 1974 Kepmen Perdagangan dan
Koperasi No. 122KpIII81, 12 Maret 1981
Kepmenkeu No. 342KMK.0111987
Intensifikasi  Tebu  Rak-yat TRI
Tataniaga  gula  pasir  dalam negeri
Penetapan  harga  gula  pasir produksi dalam negeri
Penjelasan  mengenai  Keppres  No. 431971 yang meliputi gula PNP
Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu
Menjamin stabilitas harga,
devisa,  serta  kesesuaian      pendapatan petani dan pabrik
UU No. 121992 Inpres No. 51997,
29 Desember 1997 Inpres No. 51998 ,
5 Januari  1998 Kepmenperindag No.
25MPPKep11998 Kepmenhutbun No.282Kpts-
IX1999, 7 Mei 1999
Kepmenperindag No. 363MPPKep81999,
5 Agustus 1999 Kepmenperindag No.
230MPPKep62000, 5 Juni 2000
Kepmenkeu No. 324KMK.012002
Kepmenperindag No. 643MPPKep92002,
23 September 2002 SK 522MPPKep92004
Budidaya tanaman Program Pemgembangan Tebu
Rakyat Penghentian pelaksanaan
Inpres No. 51997 Komoditas
yang diatur
tataniaga impornya Ppenetapan  harga  provenue
gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula
Mencabut Kepmenperindag No. 363MPPKep81999
Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula
Tentang ketentuan impor gula Memberikan  kebebasan  pada  petani
untuk  menanam  komoditas  sesuai dengan prospek pasar
Pemberian  peranan  kepada  pelaku bisnis  dalam  rangka  perdagangan
bebas Memberikan kebebasan pada petani
untuk menanam komoditas sesuai dengan UU No. 121992
Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang
Menghindari  kerugian  petani  dan mendorong peningkatan produksi
Pengurangan
beban anggaran
pemerintah  melalui  impor  gula  oleh produsen
Pembebasan  taris  impor  gula  untuk melindungi industri dalam negeri
Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku  impor gula untuk
meningkatkan pendapatan petani atau produsen
Revisi dan mempertegas esensi Kepmenperindag No.
643MPPKep92002
Adapun roadmap sasaran pengembangan industri gula adalah sebagai berikut :
Gambar 7  Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula 2010 – 2025 Dirjen
Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2009
2.2 Perbaikan Kinerja