Tingkat kelarutan tepung dalam media cair merupakan salah satu sifat yang penting dan berguna dalam berbagai aplikasi industri baik pangan maupun non
pangan. Pada industri penggunanya, nilai kelarutan tepung sangat bermanfaat dalam menentukan jumlah optimal dari tepung yang akan digunakan untuk proses
produksi atau konversi, sehingga akan dihasilkan produk dengan karakteristik yang diinginkan serta dapat menghindari penggunaan tepung yang berlebih.
Pengujian nilai kelarutan dan swelling power dilakukan pada suhu 90 C.
Suhu merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya nilai kelarutan, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin meningkat. Dari hasil
analisa pada Tabel 11 dan 12 dapat dilihat bahwa pada tepung dari dry milling mempunyai nilai swelling power berkisar antara 6,43–40,32 sedangkan pada
alkali cooked milling berkisar antara 3,41–81,19. Nilai kelarutan untuk tepung jagung dengan teknik dry milling adalah 71,93–89,51 dan untuk alkali cooked
milling adalah 53,93–75,30 Nilai swelling power dan kelarutan pada dry milling secara umum lebih
tinggi bila dibandingkan dengan alkali cooked milling. Hal ini disebabkan kandungan amilosa pada alkali cooked milling lebih tinggi dari pada dry milling
yaitu 33,00–38,33 pada dry milling sedangkan untuk tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling adalah sekitar 33,42–37,87. Semakin tinggi
kandungan amilosa menyebabkan rendahnya tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linier sehingga
memperkuat jaringan internalnya Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965.
c. Freeze-thaw Stability
Uji yang juga dilakukan pada tepung jagung adalah pengukuran stabilitas granula pada suhu beku yang dikenal dengan uji Freeze-thaw stability. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui stabilitas tepung atas pengaruh suhu rendah, dimana pada uji ini suhu yang digunakan dalam freezer -15
o
C selama 18 jam dan suhu ruang selama 6 jam. Setelah itu sampel disentrifugasi untuk melihat jumlah air
yang terpisah akibat penyimpanan beku. Semakin banyak air yang terpisah menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki freeze-thaw stability yang rendah.
Selama penyimpanan suhu beku, pasta pati mengalami retrogradasi. Retrogradasi merupakan kecenderungan amilosa–amilosa pada pasta pati untuk
berikatan kembali satu sama lain melalui ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya. Salah satu efek dari pada retrogradasi adalah terjadinya sineresis
yaitu keluarnya air dari pasta tepung Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965. Pada penyimpanan suhu beku ini, air dalam larutan pasta akan berubah
bentuk menjadi kristal–kristal es. Fenomena ini tentu akan merubah kelarutan air dalam struktur pasta. Nilai
freeze- thaw stability yang dinyatakan dalam Sineresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah
larutan pasta diberi perlakuan penyimpanan pada satu siklus freeze-thaw pada suhu -15
o
C. Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa tepung tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku.
Dari tabel 11 dan 12 dapat dilihat bahwa nilai freeze-thaw stability pada dry milling adalah 97,33–98,47 dan pada alkali cooked milling adalah 95,20–
97,33 dengan kestabilan tertinggi adalah pada varietas Srikandi Putih pada teknik pembuatan secara dry milling dan Srikandi Kuning pada teknik alkali
cooked milling. Dari hasil ini secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pasta tepung belum stabil pada suhu beku karena Sineresis pada pasta tepung masih cukup
tinggi. Hal ini dapat disebabkan tingkat retrogradasi pada pasta tepung masih cukup tinggi sehingga kecenderungan air untuk keluar dari pasta masih cukup
tinggi.
d. Kejernihan Pasta 1