Campur Kode Eksternal Bentuk Campur Kode

4. Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode

Dalam tuturan bahasa penyiar dan pendengar radio di Cirebon ini, ditemukan adanya empat faktor penyebab terjadinya campur kode, baik campur kode internal maupun campur kode eksternal. Faktor-faktor yang ditemukan adalah 1 mitra tutur, 2 keterbatasan kode, 3 tujuan tertentu, dan 4 bergengsi.

a. Mitra Tutur

Data 30 P2: Alhamdulillah, jadi orang pertama. Sebentar, sebentar. P1: Kenapa, pih? Kenapa sih ya, papih Andi kuh ya, ruwed ya. Pih, lebih khawatir kehabisan batre atau kehabisan pulsa, pih? Data 30 merupakan interaksi antara pendengar dengan penyiar radio Sindang Kasih pada saat acara Darling Oke yang menunjukkan terjadinya peristiwa campur kode internal bahasa Jawa dialek Cirebon dalam bahasa Indonesia pada tataran kata yang disebabkan oleh mitra tutur. Pada saat berinteraksi, pendengar berulang kali mengatakan kata ‘sebentar’, sehingga membuat penyiar mencampurkan kode bahasa Jawa dialek Cirebon dalam bahasa Indonesia yang berupa penyisipan kata, yaitu kata “ruwed” yang berarti ‘rumit’. Hal tersebut dilakukan penyiar untuk menyesuaikan keadaan yang dialami oleh mitra tuturnya, yakni pendengar. Dua percakapan di bawah ini juga menunjukkan adanya peristiwa campur kode yang disebabkan oleh faktor mitra tutur. Data 31 P1: Iya. Lagian ngurusin kaya gituan, kaya ngga ada urusan aja. Eh, Sumiyati, urip, Sum. Hahaha Sumiyati si ratu galau. P2: Kalo Sumiyati, urip, kalo kang Pret lagi di penjara. Hahaha. Data 32 P2: Salah. Di Plered, Kaliwulu. P1: Oh, iya bener, Kaliwulu, yang punya mebel. P2: Masa ngga hafal. P1: Iya, klalenan bae ya mas Kur, ya? Data 31 diawali oleh tuturan dari penyiar yang mengatakan “Iya. Lagian ngurusin kaya gituan, kaya ngga ada urusan aja. Eh, Sumiyati, urip, Sum. Hahaha Sumiyati si ratu galau.” Dalam tuturannya tersebut, penyiar menyisipkan kata “urip” dalam bahasa Jawa dialek Cirebon yang berarti ‘hidup’. Terlihat bahwa penyiar juga menyisipkan kata yang sama dengan apa yang dikatakan oleh pendengar, yakni kata “urip”. Hal tersebut dilakukan oleh pendengar untuk menyesuaikan diri dengan mitra tuturnya, yakni penyiar. Kemudian, pada tuturan berikutnya yakni pada data 32, terlihat bahwa penyiar menyisipkan unsur kata dalam bahasa Jawa dialek Cirebon. Hal tersebut dilakukan oleh penyiar untuk menyesuaikan diri dengan mitra tuturnya, yakni pendengar. Saat itu, penyiar sedang menanyakan di manakah tempat tinggal pendengar yang sedang menelepon itu tinggal. Kemudian, penyiar salah menjawab dikarenakan lupa, sehingga dalam tuturannya, penyiar menyisipkan kata “klalenan bae” dalam bahasa Jawa dialek Cirebon yang berarti ‘lupaan terus”. Penyisipan kode tersebut dilakukan oleh penyiar karena penyiar ingin menyesuaikan dengan mitra tuturnya yang mengatakan ‘tidak hafal’. Tuturan tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa penyiar lupa, sehingga penyiar mencampurkan kodenya dengan tuturan “klalenan bae” tersebut.

b. Tujuan Tertentu

Pada faktor tujuan tertentu yang menyebabkan terjadinya campur kode pada tuturan bahasa penyiar dan pendengar radio di Cirebon ini, ditemukan beberapa maksud dan tujuan yang diinginkan, baik oleh pendengar maupun oleh penyiar. Maksud dan tujuan tersebut yaitu, untuk memperjelas sesuatu, menanyakan kabar, menyebutkan judul lagu, menyampaikan salam, menciptakan humor, dan ingin mengakrabkan diri. Data 33 P1: Pembina upacaranya kan bapa kuwu, gitu ya. Kalo mas Oom pantes jeh jadi pemimpin upacara. Yang jadi dirijen, sing kongkon nyanyi kah, mimi Aminah. Kebayang ngga sih, mas Oom? Data 33 merupakan tuturan dari penyiar radio Sela pada saat acara Serenada yang menunjukkan terjadinya campur kode internal bahasa Jawa dialek Cirebon dalam bahasa Indonesia pada tataran klausa yang disebabkan oleh tujuan tertentu untuk memperjelas sesuatu. Penyiar melakukan penyisipan kode bahasa Jawa dialek Cirebon dalam bahasa Indonesia pada tataran klausa sebagai berikut “sing kongkon nyanyi kah”. Hal tersebut dilakukan penyiar untuk memperjelas sesuatu, yakni memperjelas arti dari kata ‘dirijen’ agar pendengar mengerti apa yang dimaksud oleh penyiar. Percakapan berikut ini juga hampir serupa dikarenakan adanya maksud untuk memperjelas sesuatu. Data 34 P1: Aduh mba Sofi, tuh. P2: Mba Sofi kuh wonge cilik bang ya? P1: Iya. Oke lagunya apa nih? Dalam data 34, penyiar menyebutkan nama seseorang yakni mba Sofi. Kemudian pendengar menanggapi tuturan dari penyiar tersebut dengan menyebutkan nama mba Sofi kembali disertai dengan penyisipan unsur frasa “wonge cilik”. Hal tersebut dilakukan oleh penyiar untuk semakin memperjelas ciri-ciri orang yang dimaksudkan oleh pendengar, apakah yang berbadan kecil ataukah bukan. Ternyata, mba Sofi yang dimaksud oleh penyiar memang seperti apa yang ada di dalam benak pendengar, yakni mba Sofi yang bertubuh kecil. Data 35 P1: Umrah dan haji plus? P2: Bersama Mustaqbal insyallah mabrur. P1: Iya, mamah Uci. P2: Gimana kabarna? Data 35 merupakan interaksi antara pendengar dengan penyiar radio Sela pada saat acara Serenada yang menunjukkan terjadinya peristiwa campur kode internal bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia pada tataran kata yang disebabkan oleh maksud dan tujuan untuk menanyakan sesuatu. Pendengar melakukan campur kode dengan menyisipkan bahasa Sunda pada tataran kata “kabarna” ke dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dilakukan pendengar dengan tujuan untuk menanyakan sesuatu, yakni menanyakan kabar. Data 36 P1: Iya, abah Jero mah wong jaman bengen. Jaman masih nginung ning gentong kah. Salamnya buat siapa lagi, bah? Data 36 merupakan tuturan yang dilakukan oleh penyiar radio Sela pada saat acara Serenada yang menunjukkan terjadinya campur kode internal bahasa Jawa dialek Cirebon dalam bahasa Indonesia pada tataran klausa. Pada tuturan tersebut, penyiar menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian di dalamnya disisipkan unsur bahasa Jawa dialek Cirebon yang berbunyi, “nginung ning gentong kah.” Sisipan unsur berwujud klausa tersebut dipengaruhi oleh faktor