Pengukuran Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Wall’s Magnum Terhadap Mahasiswa Program Diploma IPB Menggunakan Model Persamaan Struktural

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Semakin ketatnya persaingan dalam dunia usaha, pemikiran yang berorientasi pasar merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan lagi di era globalisasi ini. Dimana era ini diyakini pula sebagai era ketidakpastian tinggi dengan munculnya fase pertumbuhan yang makin tidak menentu (Zuraida dan Uswatun, 2001). Salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat persaingan di dunia bisnis baik lokal maupun global. Fenomena tersebut secara nyata dapat disaksikan setiap hari yaitu semakin gencarnya perusahaan-perusahaan memasarkan produknya melalui iklan di berbagai media massa. Menurut data Nielsen Company (Nielsen), dapat dilihat dari perkembangan biaya belanja iklan yang semakin meningkat setiap tahunnya mulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Untuk lebih jelasnya perkembangan tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 1.

23% 16% 17% 19%

30,025 35,088 41,708 48,585 59,827

Y2006 Y2007 Y2008 Y2009 Y2010 Periode: Januari - Desember 2006 – 2010.Semua media yang dimonitor, berdasarkan gross rate card (tanpa memperhitungkan diskon, promo, dll), dalam Rp Miliar

Sumber: www.agbnielsen.com

Gambar 1.Perkembangan Biaya Belanja Iklan

Biaya iklan telah tumbuh dan meningkat sangat tajam, terutama iklan yang ditayangkan melalui media televisi yang meningkat sebesar 26 persen. Sementara itu, belanja iklan surat kabar naik 19 persen, serta majalah dan tabloid sebesar 10 persen (www.agbnielsen.com). Pantauan Nielsen juga menunjukkan, televisi masih mendominasi pangsa iklan dengan meraup 62 persen dari total belanja iklan disusul surat kabar yang mencapai 35 persen,


(2)

serta majalah dan tabloid sebesar 3 persen (http://bataviase.co.id). Implikasi atas hal ini adalah secara umum dapat dikatakan bahwa perhatian produsen dan konsumen tumbuh sangat cepat terhadap suatu iklan. Ini berarti iklan telah berfungsi sebagai ujung tombak perusahaan dalam menembus pasar yang semakin ketat. Meskipun tidak secara langsung berdampak pada pembelian, iklan menjadi sarana untuk membantu pemasaran yang efektif dalam menjalin komunikasi antara perusahaan dan konsumen, dan sebagai upaya perusahaan dalam menghadapi pesaing.

Bagi sebagian besar perusahaan, iklan di televisi menjadi suatu pilihan yang menarik, sebagai sumber informasi atau mengingatkan konsumen kepada perusahaan atau suatu merek yang diiklankan beserta berbagai fitur atau kelengkapan yang dimiliki dan juga keuntungan, manfaat, penggunaan, serta memperkuat citra produk bersangkutan sehingga konsumen akan cenderung membeli produk yang diiklankan itu. Disamping itu, iklan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, iklan harus dirancang sedemikian rupa dengan pertimbangan yang matang agar tujuan yang hendak dicapai melalui pesan iklan dapat tersampaikan secara efektif kepada konsumen. Agar suatu pesan iklan menjadi efektif proses pengiriman harus berhubungan dengan proses penerimaan si penerima, untuk itu komunikator harus merancang pesan agar menarik perhatian sasarannya. Salah satu iklan yang sering muncul di televisi dan banyak menarik perhatian pemirsa televisi yaitu iklan es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment. Merupakan salah satu merek ice cream Unilever yang membawa kelezatan cokelat yang sesungguhnya untuk pasar es krim dewasa, kini hadir dengan varian baru menawarkan dengan pengalaman intens luar biasa dan memanjakan layaknya seorang Putri. Wall’s Magnum dengan tiga varian, yaitu Wall’s Magnum Classic, Wall’s Magnum Almond dan Wall’s Magnum Chocolate Truffle.

Dengan hadirnya varian Wall’s Magnum, konsumen dapat merasakan kenikmatan es krim premium dengan lapisan Belgian chocolate yang tebal dan renyah. Iklan Magnum diperagakan oleh si model dengan memakan es krim magnum, dalam hitungan detik di gigitan pertama secara tiba-tiba


(3)

disekelilingnya berubah menjadi zaman-zaman kerajaan Belgia, lalu si model menujukkan kalau es krim yang sedang dia makan itu enaknya luar biasa. Dari tayangan iklan tersebut, hampir semua kalangan masyarakat terbius dan ingin mencicipi es krim eksklusif ini, walaupun uang yang harus dikeluarkan juga cukup eksklusif untuk sebuah es krim “mini”, yaitu Rp 10.000.

Bagi konsumen yang selalu bergelut dengan waktu dan kesibukan kehidupan modern, moment untuk merasakan pleasure indulgence seperti ini sulit untuk direalisasikan. Kebutuhan memanjakan diri seperti liburan keluar kota, santai di spa, dan sebagainya merupakan kebutuhan pelengkap dan menjadi bagian dari hak pribadi setiap orang. Melihat kebutuhan tersebut, “Wall’s Magnum berperan untuk membantu para konsumen melepaskan diri dari kehidupan modern yang sangat sibuk untuk bisa merasakan kenikmatan luar biasa, intens, dan sensorial. Diluncurkannya iklan Magnum berhubungan dengan peremajaan produk dengan menciptakan image baru dari produk tersebut yang tujuannya untuk merubah sikap dan perilaku konsumen dalam pembelian. PT Unilever memberikan anggaran yang cukup besar dalam beriklan. Hal ini dapat dilihat pada tingginya frekuensi jam tayang iklan es krim Wall’s Magnum, pada saat penayangan program televisi. Dalam komunikasi pemasaran, Unilever terlihat sangat agresif dibanding pemain lainnya. Berdasarkan pantauan Nielsen Media Research, total belanja iklan

Wall’s jauh dalam tiga tahun di atas pemain lainnya dapat dilihat pada Tabel

1.

Tabel 1. Total Belanja Iklan Walls dan Campina (2005-2007) Tahun Total BelanjaWalls

(dalam Milyar Rupiah)

Total Belanja Campina (dalam Milyar Rupiah)

2005 106 8,5

2006 120 12,6

2007 172 17,4

Sumber: Nielsen Media Research, 2008 (pada semua media)

Produk keluaran PT Unilever Indonesia ini menguasai sekitar 45% pangsa pasar, sementara Campina 20%, diikuti Indomeiji 12%-14%. Dilihat dari segi product brand, Wall’s masih menjadi pemimpin pasar diikuti

Campina. Kedua pemain ini praktis yang menguasai industri ini (SWA Majalah).

Iklan di televisi sekarang sudah memasyarakat, bahkan cenderung


(4)

membius. Sejauhmana iklan dapat mempengaruhi perilaku konsumen terhadap pembelian nyata terhadap merek yang diiklankan. Pengaruh iklan pada perilaku konsumen ini sangat variatif, mulai dari mendorong konsumen untuk mencari produk yang dimaksud sampai dengan mendorong orang yang sebelumnya tidak loyal menjadi loyal.

Berkaitan dengan pengaruh iklan terhadap perilaku konsumen, SurveyOne telah melakukan survei mengenai pengaruh iklan/promo terhadap keputusan konsumen dalam membeli merek/produk. Survei yang melibatkan 1.800 responden ini menunjukkan adanya pengaruh iklan terhadap keputusan konsumen dalam membeli merek/produk. Sebanyak 37,6% responden menyatakan, pengaruh iklan dalam perilaku pembelian adalah besar dan sangat besar. Sekitar separuh responden merasa biasa saja, sedangkan 7% responden lainnya mengatakan kecil pengaruhnya (http://surveyone.co.id/). Ini tentunya merupakan tantangan bagi para advertiser untuk membuat iklan yang efektif sehingga dapat mempengaruhi perilaku konsumen.

Berdasarkan uraian di atas dan mengingat besarnya biaya iklan yang dikeluarkan oleh PT Unilever Indonesia Tbk, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif iklan televisi es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dalam mengkomunikasikan pesannya kepada konsumen.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, peneliti membahas bagaimana efektivitas iklan televisi es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dalam mengkomunikasikan pesannya kepada konsumen menggunakan model persamaan struktural terhadap variabel efektivitas iklan. Dengan menggunakan model CDM dengan enam variabel yang saling berhubungan, yaitu Pesan Iklan (F, Information), Pengenalan Merek (B, Brand Recognition), Kepercayaan Konsumen (C, Confidence), Sikap Konsumen (A, Attitude), Niat Beli (I, Intention), dan Pembelian Nyata (P, Purchase).

1.3. Tujuan Penelitian


(5)

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini yakni untuk mengetahui efektivitas iklan televisi es krim Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dalam mengkomunikasikan pesannya kepada konsumen menggunakan model persamaan struktural terhadap variabel efektivitas iklan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pihak perusahaan, untuk memberikan masukan bagi pihak PT Unilever Indonesia, Tbk tentang seberapa efektif penayangan iklan televisi es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment yang telah dilakukan, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai evaluasi strategi pemasaran pada umumnya dan periklanan pada khususnya.

2. Kalangan akademis, untuk menambah perbendaharaan kepustakaan bagi Jurusan Manajemen yang mana akan menjadi masukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang mengadakan penelitian terhadap masalah yang sama dimasa yang akan datang.

3. Masyarakat yang ingin menambah pengetahuan serta wawasan mengenai efektivitas iklan terhadap keputusan konsumen dalam membeli produk.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ialah mencakup batasan yang akan dilakukan peneliti baik dari lokasi penelitian, pemilihan responden, pemakaian alat serta cakupan yang akan dibahas oleh peneliti agar dapat terkendali dan tidak melebihi apa yang akan dibahas. Ruang lingkup penelitian ini hanya akan menganalisis “Pengukuran Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Wall’s Magnum Terhadap Mahasiswa Program Diploma IPB Menggunakan Model Persamaan Struktural” dengan enam variabel efektivitas iklan yang saling berhubungan yaitu Pesan Iklan (F, Information), Pengenalan Merek (B, Brand Recognition), Kepercayaan Konsumen (C, Confidence), Sikap Konsumen (A, Attitude), Niat Beli (I, Intention), dan Pembelian Nyata (P, Purchase).


(6)

Penelitian ini menggunakan penelitian sebelumnya yaitu penelitian dari Rosi Arca yang berjudul “Analisis Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Magnum dan Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Es Krim Berdasarkan Karakteristik Pengeluaran (Studi Kasus Mahasiswa Program Diploma IPB)“. Responden yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Mahasiswa/Mahasiswi Diploma Institut Pertanian Bogor yang pernah menonton iklan televisi es krim Wall’s Magnum. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian adalah Kampus Cilibende, Kampus Gunung Gede, dan Kampus Baranang Siang Diploma Institut Pertanian Bogor. Hal tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya serta kemudahan dalam pengambilan sampel.


(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasaran

2.1.1 Pengertian Pemasaran

Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat, yang bertujuan untuk mencapai kepuasaan konsumen. Menurut Assauri (2004), pemasaran sebagai kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.

Hal ini sejalan dengan definisi pemasaran menurut Kotler (1993), adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai.

2.1.2 Strategi Pemasaran

Menurut Tull dan Kahle dalam Tjiptono (2008), mendefinisikan strategi pemasaran sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut. Strategi pemasaran terdiri atas tiga langkah yaitu segmentasi (Segmentation), penentuan pasar sasaran (Targeting), dan penentuan posisi pasar (Positioning).

Menurut Assauri (2004), dalam menetapkan strategi pemasaran yang akan dijalankan, suatu perusahaan harus melihat situasi dan kondisi pasar serta menilai kedudukan atau posisi perusahaan di pasar. Strategi pemasaran merupakan serangkaian tujuan dan sasaran, serta kebijakan dan aturan yang dapat memberikan arah pada usaha pemasaran, dalam menghadapi lingkungan dan keadaan persaingan yang ada.

Dalam ekonomi yang hiperkompetitif, dengan semakin banyak pembeli rasional yang berhadapan dengan banyak sekali pilihan,


(8)

sebuah perusahaan dapat menang dengan hanya menyetel dengan baik proses penyerahan nilai serta memilih, menyediakan, dan mengkomunikasikan nilai superior. Gambar 2 mengilustrasikan proses penciptaan nilai dan pengurutan penyerahan.

Proses tersebut terdiri dari tiga bagian. Pertama, adalah memilih nilai, sebelum adanya suatu produk, perusahaan harus membuat segmentasi pasar (segmentasi), menyeleksi sasaran pasar yang tepat (targeting), dan mengembangkan penentuan posisi nilai dari tawaran (positioning). Kedua, menyediakan nilai perusahaan harus menentukan ciri produk yang spesifik, harga (price) dan distribusi (place) dari produk (product) yang ditawarkan. Ketiga, mengkomunikasikan nilai dengan memanfaatkan kekuatan penjualan, promosi penjualan, iklan, dan alat-alat komunikasi lain untuk mengumumkan dan mempromosikan produk (promotion). Setiap fase ini memiliki implikasi terhadap biaya.

Pemasaran strategis Pemasaran taktis

Gambar 2. Urutan Penciptaan dan Penyampaian Nilai (Lanninng dan Michaels,

“A Business is a Value Delivery System” dalam Kotler dan Keller, 2007)

Memilih nilai

 Segmentasi pelangggan

 Seleksi/fokus pasar

 Pemposisian pasar

Mengkomunikasikan nilai

 Tenaga penjual

 Promosi penjualan

 periklanan Menyediakan nilai

 Pengembangan produk

 Pengembangan jasa

 Penetapan harga

 Penyediaan pasokan

 Pelaksanaan distribusi


(9)

1. Segmentation

Tjiptono (2008), menyatakan bahwa segmentasi pasar adalah proses membagi pasar secara keseluruhan suatu produk atau jasa yang bersifat heterogen ke dalam beberapa segmen, dimana masing-masing segmennya cenderung bersifat homogen dalam segala aspek. Perusahaan memandang suatu pasar tertentu terdiri dari banyak bagian kecil, yang memiliki karakteristik tertentu, kemudian perusahaan mengembangkan program-program pemasaran yang terpisah untuk memenuhi kebutuhan masing-masing segmen. Menurut Assauri (2004), segmentasi pasar adalah strategi yang dengan sengaja membagi pasar dalam bagian-bagian dan dengan sadar membina bagian-bagian tertentu untuk dijadikan pasar sasaran. Terdapat empat variabel segmentasi utama bagi pasar konsumen menurut Tjiptono (2008), antara lain:

a) Segementasi demografis yaitu pasar dibagi menjadi kelompok-kelompok yang didasarkan pada variabel-variabel demografis, misalnya usia, ukuran keluarga, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, agama, suku, dan sebagainya.

b) Segmentasi geografis yaitu membagi pasar menjadi unit geografis yang berbeda, seperti wilayah, ukuran kota atau kota besar, kepadatan, dan iklim.

c) Segmentasi perilaku yaitu segmentasi berdasarkan peristiwa, manfaat, status pemakai, tingkat pemakaian, loyalitas merek, sikap terhadap produk, dan tahap kesiapan membeli.

d) Segmentasi psikografis yaitu segmentasi berdasarkan kelas sosial, gaya hidup atau karakteristik kepribadian.

Tjiptono (2008) juga membagi lima kriteria utama segmen agar segmentasi dapat efektif, yaitu:

a) Dapat diukur

Ukuran, daya beli, dan profil segmen harus dapat diukur. b) Besar

Segmen harus cukup besar dan menguntungkan untuk dilayani. Suatu segmen harus merupakan nilai kelompok homogen terbesar yang


(10)

memungkinkan, dicari oleh program pemasaran yang dibuat khusus untuk mereka.

c) Dapat dijangkau

Segmen dapat dijangkau dan dilayani secara efektif. d) Dapat dibedakan

Segmen-segmen dapat dipisah-pisahkan secara konseptual dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap unsur-unsur dan program-program bauran pemasaran yang berlainan.

e) Dapat diambil tindakan

Program-program yang efektif dapat dirumuskan untuk menarik dan melayani segmen-segmen yang bersangkutan.

Assauri (2004) menambahkan, dengan melakukan segmentasi pasar, perusahaan akan dapat menentukan dan membandingkan kesempatan pasar yang ada, serta akan dapat melakukan penyesuaian pada produk ataupun program usaha pemasaran dan penentuan anggaran usaha pemasaran sesuai dengan sifat segmen pasar tersebut. 2. Targetting

Setelah perusahaan mengidentifikasi peluang-peluang segmen pasar, kemudian perusahaan melakukan target pasar dengan proses mengevaluasi dan memilih satu atau beberapa segmen pasar yang dianggap paling potensial dan menguntungkan untuk mengembangkan produk dan program pemasaran yang dirancang khusus untuk segmen-segmen yang dipilih. Dengan kata lain, targeting adalah persoalan bagaimana memilih, menyeleksi, dan menjangkau konsumen.

Menurut Abell dalam Kotler dan Keller (2007), setelah mengevaluasi segmen-segmen yang berbeda, perusahaan dapat mempertimbangkan lima pola pemilihan pasar sasaran seperti:

1) Konsentrasi segmen tunggal

Melalui pemasaran yang terkonsentrasi, perusahaan mendapatkan pengetahuan yang kuat tentang kebutuhan segmen dan meraih posisi pasar yang kuat dalam segmen tersebut.


(11)

2) Spesialisasi efektif

Perusahaan memilih sejumlah segmen secara objektif, masing- masing segmen menarik dan memadai.

3) Spesialisasi produk

Perusahaan menghasilkan produk tertentu yang dijualnya ke beberapa segmen.

4) Spesialisasi pasar

Perusahaan berkonsentrasi untuk melayani berbagai kebutuhan kelompok pelanggan tertentu.

5) Cakupan ke seluruh pasar

Perusahaan berusaha melayani seluruh kelompok pelanggan dengan menyediakan semua produk yang mungkin mereka butuhkan. 3. Positioning

Setelah menentukan segmen pasar dan pasar sasaran yang akan dimasuki, perusahaan harus menentukan posisi mana yang akan ditempatinya dalam segmen tersebut. Penentuan posisi dimulai dengan produk, yaitu barang, jasa, perusahaan, lembaga, atau bahkan orang. Namun, penetapan posisi bukanlah kegiatan yang dilakukan terhadap suatu produk.

Penetapan posisi adalah kegiatan yang dilakukan terhadap pikiran calon pelanggan (Al Ries dan Jack Trout dalam Kotler dan Keller, 2007). Menambahkan dari definisi sebelumnya Kotler dan Keller (2007) menyatakan penetapan posisi (positioning) adalah tindakan merancang tawaran dan citra perusahaan sehingga menempati posisi yang khas (dibandingkan para pesaing) didalam benak pelanggan sasarannya. Hasil akhir penetapan posisi adalah keberhasilan penciptaan proposisi nilai yang berfokus pada pelanggan.

2.2. Komunikasi Pemasaran Terpadu

Morissan (2010), Komunikasi pemasaran terpadu merupakan upaya untuk menjadikan seluruh kegitan pemasaran dan promosi perusahaan dapat menghasilkan citra atau image yang bersifat satu dan konsisten bagi konsumen. Sedangkan menurut Kotler dan Amstrong


(12)

(2004), komunikasi pemasaran terpadu adalah konsep menjadi dasar bagi perusahaan secara seksama memadukan dan mengkoordinasikan semua saluran komunikasinya untuk menyampaikan pesan yang jelas, konsisten, dan berpengaruh kuat tentang organisasi dan produk-produknya.

Dapat dikatakan bahwa komunikasi pemasaran terpadu membentuk identitas merek yang kuat di pasar dengan mengikat bersama dan memperkuat semua citra dan pesan. Selain itu komunikasi pemasaran terpadu bahwa semua pesan, positioning, citra, dan identitas perusahaan, dikoordinasikan melalui semua bentuk komunikasi pemasaran. Menurut Kennedy dan Soemanagara (2006), komunikasi pemasaran adalah kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan pesan pada konsumen dengan menggunakan berbagai media, dengan harapan agar komunikasi dapat menghasilkan sejumlah perubahan, yaitu perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku, dan perubahan masyarakat.

Komunikasi pemasaran sebagai upaya untuk memperkuat loyalitas pelanggan terhadap produk yang dimiliki perusahaan. Adapun jenis media yang dapat digunakan dalam komunikasi pemasaran adalah folder, poster, banner, flyer, televisi, radio, majalah, surat kabar, dan media-media lainnya. Tjiptono (2008), komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/ membujuk, dan atau, mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan.

2.2.1 Bauran Komunikasi Pemasaran

Menurut Kotler dan Amstrong (2004), ada 5 perangkat bauran komunikasi pemasaran adalah sebagai berikut:

1. Pemasangan iklan: setiap bentuk presentasi dan promosi nonpersonal yang memerlukan biaya tentang gagasan, barang, atau jasa oleh sponsor yang jelas.

2. Penjualan personal: presentasi personal oleh tenaga penjualan sebuah perusahaan dengan tujuan menghasilkan transaksi penjualan dan membangun hubungan dengan pelanggan.


(13)

3. Promosi penjualan: insentif-insentif jangka pendek untuk mendorong pembelian atau penjualan sebuah produk atau jasa. 4. Hubungan masyrakat: membangun hubungan baik dengan

berbagai publik perusahaan dengan sejumlah cara supaya memperoleh publisitas yang menguntungkan, membangun citra perusahaan yang bagus, dan menangani atau meluruskan rumor, cerita, serta event yang tidak menguntungkan.

5. Pemasaran langsung: hubungan-hubungan langsung dengan masing-masing pelanggan yang dibidik secara seksama dengan tujuan baik untuk memperoleh tanggapan segera maupun untuk membina hubungan dengan pelanggan yang langgeng. Penggunaan dengan telepon, surat, fax, email, internet, dan perangkat-perangkat lain untuk berkomunikasi secara langsung dengan konsumen tertentu.

2.3. Periklanan

2.3.1 Pengertian iklan

Iklan berasal dari bahasa Yunani, artinya menggiring orang pada gagasan. Menurut Durianto (2003), Iklan adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu. Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling banyak digunakan perusahaan dalam mempromosikan produknya. Melengkapi dari definisi sebelumnya, Tjiptono (2008) menyatakan bahwa iklan adalah bentuk komunikasi tidak langsung, yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian.

Menurut Peter dan Olson (2000), iklan adalah penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dilakukan dengan bayaran tertentu. Iklan ditujukan untuk mempengaruhi afeksi dan kognisi konsumen evaluasi, perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap, dan citra yang berkaitan


(14)

dengan produk dan merek, tujuan akhirnya bagaimana mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Menurut Jefkins dalam Kasali (2007), iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Untuk membedakan dengan pengumuman biasa, iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.

2.3.2 Tujuan Iklan

Tujuan periklanan adalah melakukan komunikasi tertentu yang harus dilakukan terhadap khalayak sasaran tertentu selama periode waktu tertentu (Kotler dan Amstrong, 2004). Menurut Kotler dan Amstrong (2008) tujuan periklanan adalah tugas komunikasi tertentu yang dicapai dengan pemirsa sasaran tertentu selama periode waktu tertentu. Tujuan periklanan bisa digolongkan berdasarkan tujuan utama apakah tujuannya menginformasikan, membujuk, atau mengingatkan.

Iklan informatif digunakan khsusnya ketika memperkenalkan kategori produk baru. Tujuannya untuk menciptakan permintaan primer. Selain itu iklan persuasif telah menjadi iklan komparatif, dimana perusahaan secara langsung atau tidak langsung membandingkan mereknya dengan satu atau lebih merek lain. Pemasangan iklan untuk mengingatkan penting bagi produk yang sudah dewasa, iklan dibuat untuk konsumen agar terus-menerus memikirkan produk tersebut. Menurut Kotler dalam Durianto (2003), tujuan periklanan yang berkaitan dengan sasarannya dapat digolongkan dapat dilihat pada Tabel 2.


(15)

Tabel 2. Tujuan Periklanan

2.3.3 Fungsi Iklan

Menurut Shimp (2003), periklanan dikenal sebagai pelaksana beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya. Fungsi-fungsi iklan terdiri dari:

a) Informing ( Memberi Informasi)

Periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang positif. Periklanan menampilkan peran informasi bernilai lainnya baik untuk merek yang diiklankan maupun konsumennya dengan mengajarkan manfaat-manfaat baru dari merek-merek yang telah ada.

b) Persuading (Membujuk)

Iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. c) Reminding (Mengingatkan)

Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Periklanan yang efektif juga meningkatkan minat

Untuk Menginformasikan

1. Memberitahukan pasar tentang suatu produk baru

2. Mengusulkan kegunaan baru suatu produk

3. Memberitahukan pasar tentang perubahan harga

4. Menjelaskan cara kerja suatu produk

5. Menjelaskan pelayanan yang tersedia

6. Mengoreksi kesan yang salah 7. Mengurangi kecemasan pembeli 8. Membangun citra perusahaan

Untuk Membujuk

1. Membentuk preferensi merek 2. Mendorong alih merek 3. Mengubah persepsi pembeli

tentang atribut produk

4. Membujuk pembeli untuk membeli sekarang 5. Membujuk pembeli untuk

menerima kunjungan penjualan

Untuk Mengingatkan

1. Mengingatkan pembeli bahwa produk tersebut mungkin akan dibutuhkan di kemudian hari 2. Mengingatkan pembeli di mana

dapat membelinya

3. Membuat pembeli tetap ingat produk itu walau tidak sedang musimnya

4. Mempertahankan kesadaran puncak


(16)

konsumen terhadap merek yang sudah ada. d) Adding value (Memberikan nilai tambah)

Terdapat tiga cara mendasar dimana perusahaan bisa memberi nilai tambah bagi penawaran-penawaran mereka, yaitu dengan cara inovasi, penyempurnaan kualitas, atau mengubah persepsi konsumen. Iklan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Periklanan yang efektif menyebabkan merek dipandang lebih elegan, lebih bergaya, lebih bergengsi, dan bisa lebih unggul dari tawaran pesaing.

e) Assisting (Mendampingi)

Periklanan berperan sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Periklanan digunakan sebagai alat komunikasi untuk meluncurkan promosi-promosi penjualan seperti kupon-kupon dan undian serta upaya penarikan perhatian berbagai perangkat promosi penjualan tersebut.

2.3.4 Pengertian Efektivitas

Efektivitas merupakan kunci keberhasilam suatu organisasi, sebelum melakukan kegiatan secara efisiensi, perusahaan harus menemukan hal yang tepat dilakukan. Menurut Drucker dalam Stoner, et al (1996) efisiensi yakni melakukan sesuatu dengan tepat dan efektivitas berarti melakukan sesuatu yang tepat. Melengkapi definisi sebelumnya, Stoner, et al (1996) menyatakan efisiensi sebagai kemampuan untuk meminimalkan penggunaan sumber daya dalam mencapai tujuan organisasi atau melakukan dengan tepat. Sedangkan efektivitas adalah kemampuan untuk menetukan tujuan yang memadai atau melakukan hal yang tepat.

2.3.5 Iklan yang Efektif

Menurut Shimp (2003), iklan disebut efektif bila iklan mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pengiklan. Menurut Schultz dan Tannenbaum dalam Shimp (2003), iklan yang efektif adalah iklan yang diciptakan untuk pelanggan yang spesifik, memikirkan dan memahami


(17)

kebutuhan pelanggan, mengkomunikasikan keuntungan yang spesifik, menekankan pada tindakan spesifik yang harus diambil oleh konsumen, dan memahami bahwa orang-orang tidak membeli produk melainkan mereka membeli keuntungan dari produk tersebut. Lebih dari itu, iklan yang efektif mendapat perhatian dan diingat, serta membuat orang-orang bertindak untuk melakukan pembelian.

Iklan yang efektif biasanya kreatif dan berbeda dengan iklan-iklan lainnya. Iklan yang sama dengan sebagian besar iklan-iklan lainnya tidak akan mampu menerobos kerumunan iklan kompetitif dan tidak akan menarik perhatian konsumen. Iklan yang efektif, kreatif, harus menghasilkan dampak terhadap konsumen. Dimana iklan dapat mengaktifkan perhatian serta memberi sesuatu kepada para konsumen agar mengingat tentang produk yang diiklankan.

Menurut Durianto dalam Kotler (2003), agar menghasilkan iklan yang efektif, program periklanan disusun dengan memperhatikan lima M, yaitu:

1. Mission (misi), apakah tujuan periklanan?

2. Money (uang), berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk belanja iklan?

3. Message (pesan), pesan apa yang harus disampaikan? 4. Media (media), media apa yang paling efektif dan efisien? 5. Measurement (pengukuran), bagaimana mengevaluasi efektivitas iklan?

2.3.6 Ukuran Efektivitas Periklanan

Menurut Durianto (2003), efektivitas periklanan diukur dari dampaknya terhadap penjualan, dan dampaknya terhadap komunikasi. Efektivitas periklanan yang berkaitan dengan penjualan dapat diketahui melalui riset tentang dampak penjualan. Sedangkan efektivitas periklanan yang berkaitan dengan pengingatan dan persuasi dapat diketahui melalui riset tentang dampak komunikasi. Ada tiga kriteria yang digunakan untuk mengukur efektivitas periklanan, yaitu:

1. Penjualan


(18)

Efektivitas periklanan yang berkaitan dengan penjualan dapat diketahui melalui riset tentang dampak pbenjualan. Mengkaitkan iklan dengan penjualan cukup sulit dilakukan karena banyaknya faktor-faktor di luar iklan yang berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen. Namun demikian, dengan alat analisis yang tepat dimungkinkan untuk melihat peran parsial iklan terhadap penjualan suatu produk.

2. Pengingatan

Ukuran keefektivitasan iklan umumnya dipakai adalah kemampuan mengingat konsumen terhadap iklan atau bagian dari iklan. Misalnya, dalam suatu telaah daya ingat konsumen pada satu hari setelah iklan ditayangkan, maka penelitian dapat menggali informasi dari konsumen dengan mengajukan pertanyaan kepada pemirsa, apakah mereka menonton program televisi tertentu. Kemudian konsumen ditanyai, apakah mereka mengingat adanya iklan yang ditayangkan dan hal apa saja yang mereka ingat sehubungan dengan iklan yang ditayangkan.

3. Persuasi

Kriteria ini berkaitan dengan mengukur dampak pemahaman konsumen terhadap suatu iklan, terhadap perubahan kepercayaan konsumen pada ciri atau konsekuensi produk, sikap terhadap merek, membeli merek atau keinginan membeli.

2.4. Televisi Sebagai Media Periklanan

Morissan (2010), menyatakan media televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya yang mencakup daya jangkau luas, selektivitas dan fleksibilitas, fokus perhatian, kreativitas dan efek, prestise, serta waktu tertentu. Walaupun televisi diakui sebagai media yang efisien dalam menjangkau audiens dalam jumlah besar namun televisi juga memiliki kelemahan yaitu biaya yang mahal, informasi terbatas, selektivitas terbatas, penghindaran, dan tempat terbatas. Sedangkan menurut Sumarwan (2003), televisi telah menjadi medium yang sangat banyak menciptakan budaya populer. Televisi merupakan medium iklan yang


(19)

banyak digunakan oleh para produsen, karena jangkauannya yang luas dan kemampuan audio dan visualnya dalam menyampaikan iklan. Televisi sebagai medium untuk menyampaikan banyak hal kepada masyarakat: sosial, politik, hiburan, olahraga, beragam berita, dan iklan komersial.

2.5. Definisi Konsumen

Menurut Sumarwan (2003), konsumen diartikan sebagai dua jenis konsumen yaitu; konsumen individu dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk digunakan sendiri, anggota keluarga lain, dan untuk hadiah teman, saudara atau orang lain. Dalam konteks barang dan jasa yang dibeli kemudian digunakan langsung oleh individu dan sering

disebut sebagai “pemakai akhir” atau “konsumen akhir”. Jenis kedua adalah

konsumen organisasi, yang meliputi organisasi bisnis, yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintah, dan lembaga lainnya (sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit). Semua jenis organisasi ini harus membeli produk peralatan dan jasa-jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasinya. Konsumen individu dan konsumen organisasi adalah sama pentingnya. 2.6. Perilaku Konsumen

Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003), menjelaskan perilaku konsumen sebagai berikut.

“The term consumer behavior refers to the behavior that consumers display

in searching for, purchasing, using, evaluating, and disposing, of products and services that they expect will satisfy their needs”

”Istilah perilaku konsumen diartikan sebagai perilaku yang diperhatikan

konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka”

Sedangkan Engel dan Miniard dalam Sumarwan (2003), perilaku konsumen merupakan suatu tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini.

2.7. Tahap Proses Pembelian


(20)

Menurut Kotler (1997), proses keputusan pembelian konsumen melewati lima tahap, yang diperlihatkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Proses Keputusan Pembelian (Kotler, 1997)

1. Pengenalan Masalah

Pembeli menyadari suatu masalah atau kebutuhan. Kebutuhan dipicu oleh rangsangan internal ketika salah satu kebutuhan normal seseorang timbul pada tingkat yang cukup tinggi sehingga menjadi dorongan. Selain itu, kebutuhan juga didorong oleh rangsangan eksternal.

2. Pencarian Informasi

Konsumen yang tertarik mungkin mencari lebih banyak informasi atau mungkin tidak. Konsumen dapat mencari informasi dari berbagai sumber, seperti sumber pribadi (keluarga, teman, tetangga), sumber komersial (iklan, wiraniaga, situs web, dll), sumber publik (media massa, pencarian internet), dan sumber pengalaman (penanganan, pemeriksaan, pemakaian produk).

3. Evaluasi Alternatif

Tahap ini terjadi bagaimana konsumen memproses informasi merek yang kompetitif dan sampai pada pilihan merek evaluasi alternatif tergantung pada konsumen pribadi dan situasi pembelian tertentu.

4. Keputusan Pembelian

Pada umumnya, keputusan pembelian konsumen adalah membeli merek yang paling disukai, namun dua faktor bisa berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian. Faktor pertama yaitu pendirian orang lain dan faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak diantisipasi. 5. Perilaku Pascapembelian

Setelah membeli produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas dan terlibat dalam perilaku pascapembelian yang harus diperhatikan oleh pemasar. Tingkat kepuasan terletak pada hubungan antara ekspektasi Pengenalan

masalah

Pencarian informasi

Evaluasi alternatif

Keputusan pembelian

Perilaku pascapembelian


(21)

konsumen dan kinerja anggapan produk. Semakin besar kesenjangan ekspektasi dan kinerja, maka semakin besar ketidakpuasan konsumen. 2.8. Consumer Desicion Model

Menurut Howard dalam Durianto (2003) Consumer Decision Model

(CDM) merupakan suatu model digunakan untuk mengukur efektifitas iklan dengan enam variabel yang saling berhubungan, yaitu: pesan iklan (F,

finding information), pengenalan merek (B, brand recognition), kepercayaan konsumen (C, confidence), sikap konsumen (A, attitude), niat beli (I,

intention) dan pembelian nyata (P, purchase). Consumer Decision Model

(CDM) merupakan proses pembedaan dan pengelompokkan bentuk-bentuk pikiran konsumen, sebagaimana terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Consumer Decision Model (Durianto, 2003)

Dalam Gambar 4 dijelaskan bagaimana konsumen mencari dan mempertimbangkan suatu keputusan untuk membeli produk. Masing-masing variabel berinteraksi dan saling mendukung dan berakhir dengan pembelian. Alur model tersebut diawali dari konsumen yang menerima Pesan Iklan (F). Informasi tersebut dapat menyebabkan tiga kemungkinan pengaruh yang dimulai dari pengenalan merek oleh konsumen (B) atau dari informasi yang dapat langsung menambah perbendaharaan pikiran konsumen sebagai tingkat kepercayaan (C). Atau dari informasi itu yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen menunjukkan kesesuaian yang akan membentuk sikap (A). Kemudian, dari pengenalan merek (B) dievaluasi apakah pengenalan tersebut sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen dimana kesesuaian tersebut akan membentuk sikap (A), dan dapat menciptakan serta menambahkan sebagai tingkat kepercayaan (C). Pengenalan merek mempunyai sumbangan berupa penguatan terhadap sikap dan keyakinan konsumen terhadap merek yang ditawarkan, sehingga

F B

A C

I P


(22)

diharapkan mampu menimbulkan niat beli (I) dari konsumen. Hal ini tentu saja akan mampu mempengaruhi konsumen untuk melakukan suatu pembelian (P, Purchase) yang nyata.

Menurut Howard dalam Durianto (2003) ada enam variabel yang dijelaskan dalam Consumer Decision Model.

1. Pesan Iklan (information)

Pesan dalam iklan seharusnya menyatakan sesuatu yang dibutuhkan dan penting dalam suatu produk, menginformasikan sesuatu yang dibutuhkan dan penting dalam suatu produk, menginformasikan sesuatu yang eksklusif yang tidak ada pada produk lain sejenis, dapat dipercaya dan dapat dibuktikan. Pesan iklan dalam Consumer Decision Model (CDM) merupakan variabel penentu dari keenam variabel. Pesan iklan dapat disampaikan dalam bentuk angka, huruf, ataupun kalimat yang dapat menjalankan suatu sistem. Consumer Decision Model (CDM) menunjukkan bahwa pesan iklan dapat menyebabkan calon pembeli mengenal suatu merek, mengevaluasi merek-merek yang dibutuhkan calon pembeli, menentukan sikap dan mengukur seberapa besar kepuasan konsumen terhadap suatu merek serta atribut-atribut lainnya dari suatu produk.

2. Pengenalan Merek (Brand Recognition)

Pengenalan merek (B) merupakan ukuran brand awareness

responden. Pengenalan merek sangat penting untuk mengetahui sampai tingkat mana pembeli mengetahui ciri-ciri suatu merek. Pengenalan ini memungkinkan terbentuknya sikap terhadap merek atau meningkatkan keyakinan konsumen pada suatu merek.

Menegaskan bahwa pengenalan merek terkait dengan tingkat pengenalan pembeli akan ciri atau keistimewaan produk dibandingkan produk-produk sejenis lainnya. Dalam hal ini, pengenalan merek merupakan atribut merek secara fisik, seperti warna, ukuran, dan bentuk sehingga kemasan dan desain produk sangat penting.

Kesan merek secara keseluruhan terbentuk dari tiga elemen, yaitu: Pengenalan Merek (Brand Recognition), Sikap Konsumen (Attitude)


(23)

dan Kepercayaan Konsumen terhadap produk (Confidence). Pengenalan merek merupakan landasan untuk terciptanya sikap dan keyakinan konsumen. Jika pengenalan merek lebih memperhatikan bentuk suatu produk, maka Sikap Konsumen (A) lebih pada merek, hingga pada akhirnya terdapat kesesuaian fungsi yang diinginkan konsumen.

Atribut fisik dalam pengenalan merek merupakan alasan bagi pemasar suatu produk barang atau jasa yang mempunyai masalah yang berlainan satu sama lain. Meningkatkan atribut fisik, harus menjadi penekanan dalam praktek.

3. Sikap Konsumen (Attitude)

Morissan (2010), sikap adalah salah satu konsep yang paling sering menjadi fokus perhatian dalam penelitian mengenai perilaku konsumen. Sikap merupakan hal penting bagi pemasar karena sikap menyimpulkan evaluasi konsumen terhadap suatu objek (merek, perusahaan, dan lain- lain) dan menunjukkan perasaan positif dan negatif serta kecenderungan perilaku. Ketertarikan pemasar pada sikap didasarkan atas asumsi bahwa sikap memiliki hubungan dengan perilaku pembelian konsumen. Peter dan Olson dalam Durianto (2003) menyatakan bahwa sikap dapat didefinisikan sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang dilakukan oleh seseorang. Dapat dikatakan bahwa sikap merupakan suatu respon evaluatif. Respon hanya akan dapat timbul jika individu dihadapkan pada suatu rangsangan yang menghendaki adanya reaksi individu.

Suwarman (2003) menjelaskan sikap konsumen adalah faktor penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen. Menurut Engel dan Miniard dalam Suwarman (2003) mengemukakan bahwa sikap menunjukkan apa yang konsumen sukai dan tidak disukai. Sikap konsumen terhadap suatu produk, baik itu positif, negatif, maupun netral akan mempengaruhi perilaku atau tindakan konsumen terhadap produk tersebut. Apabila konsumen memiliki sikap yang positif terhadap suatu merek, maka kemungkinan ia untuk memiliki niat beli semakin besar. Namun, apabila sikap konsumen terhadap suatu merek adalah negatif, maka akan terdapat kemungkinan konsumen tidak akan


(24)

memilih merek tersebut untuk ia beli. Konsumen yang memiliki sikap netral merupakan sasaran bagi para produsen untuk mempengaruhi konsumen tersebut agar berubah sikap.

Engel dalam Durianto (2003) menyatakan bahwa kemampuan iklan untuk menciptakan sikap yang mendukung produk sering tergantung kepada sikap konsumen. Iklan yang diminati dan dievaluasi lebih positif terhadap produk. Iklan yang tidak diminati dapat mengurangi minat pembelian produk oleh konsumen.

4. Kepercayaan Konsumen (Confidence)

Menurut Durianto (2003), kepercayaan konsumen adalah bagaimana pembeli dapat yakin akan keputusan mereka terhadap suatu merek, apakah produk tersebut dapat memuaskan kebutuhan konsumen atau tidak. Kepercayaan konsumen dapat meningkat jika calon pembeli sudah mendapatkan keterangan yang jelas yang didapat konsumen dari pesan iklan (informasi) yang ditayangkan televisi secara berulang-ulang, brosur, pemasaran langsung, dan lainnya.

Menurut Mowen dan Miror dalam Suwarman (2003), kepercayaan konsumen adalah pengetahuan konsumen mengenai suatu objek, atributnya dan manfaatnya. Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut, dan manfaat produk menggambarkan persepsi konsumen.

5. Niat Beli (Intention)

Menurut Durianto (2003), Niat untuk membeli merupakan s esuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Niat beli merupakan pernyataan mental konsumen yang merefleksikan rencana pembeliaan sejumlah produk dengan merek tertentu. Niat membeli terbentuk dari sikap konsumen terhadap produk dan keyakinan konsumen terhadap kualitas produk. Semakin rendah keyakinan konsumen terhadap suatu produk akan menyebabkan menurunnya niat beli konsumen.


(25)

6. Pembelian Nyata (Purchase)

Menurut Durianto (2003), pembelian nyata muncul karena konsumen sudah mempunyai niat untuk membeli suatu produk. Pembelian nyata merupakan sasaran akhir Consumer Decision Model

(CDM), baik untuk konsumen yang baru pertama kali membeli ataupun untuk konsumen yang melakukan pembelian ulang.

2.9. Model Persamaan Struktural

Menurut Bagozzi dan Fornell dalam Ghozali (2005), model persamaan struktural (Structural Equation Modelling) merupakan teknik analisis multivariate yang memungkinkan untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model. Selain itu SEM memberikan informasi tentang hubungan kausal simultan diantara variabel-variabelnya. SEM menyajikan konsep tidak teramati melalui penggunaan variabel-variabel laten. Sebuah variabel laten adalah sebuah konsep yang dihipotesiskan atau yang tidak teramati, dan hanya dapat didekati melalui variabel-variabel teramati. Dalam SEM membedakan kedua jenis variabel ini berdasarkan atas keikutsertaan mereka sebagai variabel terikat pada persamaan-persamaan dalam model. Variabel eksogen selalu muncul sebagai variabel bebas pada semua persamaan yang ada dalam model. Sedangkan variabel endogen merupakan variabel terikat pada paling sedikit satu persamaan dalam model.

Sementara itu, variabel teramati atau variabel terukur (manifest, measured variabe) adalah variabel yang dapat diamati atau diukur secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Variabel teramati nilai variabelnya diperoleh dari responden melalui berbagai metode pengumpulan data (survei, tes, observasi, dan lain-lain). Menurut Bollen dalam Ghozali (2005), model-model dalam SEM dapat menguji secara bersama-sama:

1. Model struktural : menggambarkan hubungan-hubungan antara variabel-variabel laten.


(26)

2. Model (measurement) pengukuran : hubungan antara variabel teramati (indikator) dengan konstruk (variabel laten).

Didalam SEM ada penilaian model fit. Suatu model dikatakan fit apabila kovarians matriks suatu model adalah sama dengan kovarians matriks data. Untuk melakukan penilaian model fit, peniliti tidak boleh hanya tergantung pada satu indeks saja atau beberapa indeks fit. Tetapi sebaiknya mempertimbangkan seluruh indeks fit. Karena didalam SEM suatu indeks menunjukkan model adalah fit, tidak memberikan jaminan bahwa model benar-benar fit. Sebaliknya, suatu indeks fit yang menyatakan bahwa model sangat buruk, tidak memberikan jaminan bahwa model tersebut benar-benar tidak fit.

Langkah selanjutnya adalah mengevauasi model pengukuran, berfokus pada hubungan-hubungan antara variabel laten dan indikatornya (variabel manifest). Setelah itu melakukan analisis model struktural, berfokus terhadap koefisien-koefisien atau paramater-parameter yang menunjukkan hubungan kausal atau pengaruh satu variabel laten dengan variabel laten lainnya. Biasanya, hubungan-hubungan kausal inilah yang dihipotesiskan dalam penelitian yang didukung oleh data empiris yang diperoleh melalui survey.

2.10. Penelitian Terdahulu

Sari (2010) yang mengambil judul penelitian tentang Analisis Efektivitas Iklan Televisi Deodoran Pria Axe dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Niat Beli Deodoran Khusus Pria pada Konsumen (Studi Kasus Pengunjung Pria Supermal Karawaci) mengungkap bahwa berdasarkan hasil analisis Consumer Decision Model (CDM) diketahui bahwa iklan televisi deodorant spray Axe yang telah ditayangkan mampu mengkomunikasikan pesan yang ingin disampaikan oleh produsen Axe dengan efektif kepada konsumen. Pesan iklan yang ingin disampaikan oleh

produsen deodorant spray axe melalui iklan televisi versi “Call Me

berpengaruh terhadap variabel-variabel yang diukur pada CDM sampai dengan variabel niat beli. Variabel tersebut yaitu variabel Niat Beli (I) dan terdapat tiga variabel antara yang dapat diperoleh dari analisis tersebut, yaitu


(27)

variabel Pengenalan Merek (B), Kepercayaan Konsumen (C), dan Sikap Konsumen (A).

Kusuma (2010) melakukan Analisis Efektivitas Iklan Berseri

(Pond’s Flawess White) Dalam Mempengaruhi Keputusan Pembelian Studi

Kasus Mahasiswi Program Strata-1 FEM IPB. Hasil analisis Pond’s Flawess White telah menjadi top of mind pada benak konsumen, selanjutnya untuk

brand recall, Olay menjadi yang kedua setelah Pond’s. Hal ini membuktikan

bahwa Pond’s memiliki citra di benak konsumen. Pada brand recognition,

seluruh konsumen mengetahui tayangan iklan Pond’s Flawess White dan

mengetahui produk Pond’s tersebut. Pengukuran efektivitas iklan dengan

EPIC, dilakukan untuk mendapatkan nilai tingkat dimensi empathy,

persuasion, impact dan communication, dan didapatkan hasil efektif untuk semua pengukuran dimensi. Secara keseluruhan menghasilkan EPIC rate

dengan rata-rata yang termasuk dalam kategori efektif. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Direct Rating Method (DRM), iklan berseri

Pond’s Flawess White termasuk ke dalam rentang skala direct rating, maka

iklan tersebut termasuk ke dalam kategori iklan baik dan menunjukan bahwa iklan tersebut cukup berhasil dalam menarik perhatian (attention), pemahaman (read througness), kognitif (cognitive), afektif (affection), dan perilaku (behavior) konsumen untuk membeli Pond’s Flawess white.

Atribut yang paling menentukan dalam pemilihan dan keputusan pembelian produk Pond’s oleh konsumen yaitu mengenai manfaat dan kegunaan dari produk tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Arca (2011) adalah mengenai Analisis Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Magnum Dan Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Es Krim Berdasarkan Karakteristik Pengeluaran (Studi Kasus Mahasiswa Program DIPLOMA IPB). Pesan iklan yang ingin disampaikan oleh produsen es krim Wall’s Magnum melalui iklan televisi berpengaruh efektif secara langsung terhadap variabel-variabel yang diukur pada Consumer Decision Model

dari variabel pesan iklan (F) sampai dengan variabel pembelian nyata (P) pada kedua kelompok konsumen. Faktor yang paling berpengaruh terhadap


(28)

pembelian nyata konsumen untuk membeli es krim Wall’s Magnum pada kelompok konsumen dengan pengeluaran sebesar Rp 0 hingga Rp.599.999 adalah faktor ukuran kemasan, manfaat mengkonsumsi, pengetahuan atribut, kepribadian dan gaya hidup, sedangkan pada kelompok konsumen dengan pengeluaran sebesar Rp.600.000 hingga Rp. 2.500.000, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor ukuran kemasan, harga, pengetahuan atribut, dan gaya hidup.


(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Salah satu merek es krim PT Unilever, Magnum kini hadir dengan varian baru. Magnum bukanlah merek produk es krim yang baru bagi masyarakat. Diluncurkannya varian terbaru Magnum ini berhubungan dengan peremajaan produk dengan menciptakan image baru dari produk tersebut yang tujuannya untuk merubah sikap dan perilaku konsumen terhadap merek. Peremajaan produk tersebut dilakukan guna memperkenalkan kembali bagi konsumen yang belum mengetahui Magnum dan mengingatkan kembali bagi konsumen yang sebelumnya telah mengenal Magnum. Persaingan antar produk es krim membuat produsen Wall’s Magnum perlu melakukan berbagai cara untuk mempromosikan produknya. Salah satunya adalah dengan menggunakan bentuk komunikasi pemasaran yaitu berupa iklan di media televisi.

Bagi sebagian besar perusahaan, iklan di televisi menjadi suatu pilihan yang menarik, sebagai sumber informasi atau mengingatkan konsumen kepada perusahaan atau merek yang diiklankan beserta berbagai fitur atau kelengkapan yang dimiliki dan juga keuntungan, manfaat, penggunaan, serta memperkuat citra produk bersangkutan sehingga konsumen akan cenderung membeli produk yang diiklankan itu. Oleh karena itu iklan harus dirancang sedemikian rupa dengan pertimbangan yang matang agar tujuan yang hendak dicapai melalui pesan iklan dapat tersampaikan secara efektif kepada konsumen serta pada akhirnya bagaimana iklan dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen.

Maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektivitas iklan televisi es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dalam mengkomunikasikan pesannya kepadaa konsumen. Penelitian ini dianalisis menggunakan

Consumer Decision Model dan Model Persamaan Struktural. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.


(30)

Gambar 5. Kerangka pemikiran operasional

Peremajaan Produk Es Krim Wall’s Magnum

Komunikasi Pemasaran

Consumer Decision Model (CDM)

F = Pesan iklan

B = Pengenalan merek C = Kepercayaan konsumen A = Sikap konsumen

I = Niat beli

P = Pembeliaan nyata

F B

A C

I P

Rekomendasi Kebijakan Model Persamaan Struktural

Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Wall’s Magnum


(31)

3.2. Metode Penelitian

3.2.1 Lokasi dan Waktu

Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara purposive

(sengaja), yang bertempat di Diploma Institut Pertanian Bogor yang berlokasi di Kampus Cilibende, Kampus Gunung Gede, dan Kampus Baranang Siang, Bogor. Dasar pertimbangan pemilihan lokasi adalah karena kampus ini terletak dipusat kota Bogor, sehingga akses untuk menuju kampus tersebut mudah dan strategis. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yang dimulai pada bulan Februari hingga Maret 2011.

3.2.2 Pengumpulan Data

Jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari peneliti sebelumnya yakni Rosi Arca. Menurut Ruslan (2003), data sekunder adalah data dalam bentuk yang sudah jadi (tersedia) melalui publikasi dan informasi yang dikeluarkan di berbagai organsasi atau perusahaan, termasuk majalah, jurnal, khusus pasar modal, perbankan, dan keuangan. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian perorangan, kelompok, dan organisasi. Data primer meliputi pengisian kuesioner yang dilakukan oleh mahasiswa Program Diploma IPB sebagai konsumen yang pernah mengkonsumsi es krim Wall’s Magnum dan pernah melihat es krim Wall’s Magnum di televisi.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian melalui studi kasus (case study), yaitu unsur salah satu perusahaan yang terkait dengan populasi tertentu. Kesimpulan studi kasus tersebut yang diambil tidak berlaku secara umum, tetapi hanya terbatas pada suatu kasus-kasus tertentu yang sedang diteliti pada objek tertentu di perusahaan bersangkutan. Metode pengukuran menggunakan skala likert. Skala likert secara umum menggunakan peringkat lama angka penilaian, yaitu: (a) sangat setuju, (b) setuju, (c) tidak pasti, (d) tidak setuju, (e) sangat tidak setuju.


(32)

3.2.3 Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik

non- probability sampling, dimana tidak semua elemen populasi memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Pertimbangan atau kriteria responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah responden yang berasal dari mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di Diploma Institut Pertanian Bogor dan mengetahui atau pernah melihat iklan TV es krim Wall’s Magnum.

Teknik non-probability sampling yang digunakan adalah metode convenience sampling, yaitu sampel berdasarkan kemudahan dan metode ini dapat memilih dari elemen populasi (orang atau peristiwa) yang datanya berlimpah dan mudah diperoleh oleh peneliti. Artinya, elemen populasi yang dipilih sebagai subjek sampel tersebut tidak terbatas sehingga peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat, mudah dan murah. Kelebihan teknik ini, pada umumnya waktu pelaksanaannya relatif cepat dengan biaya yang rendah. Kelemahannya sampel mempunyai tingkat generalisasinya rendah karena sampel diperoleh cuma “seketemunya” saja sehingga hasilnya tidak dapat diterapkan kemana-mana kecuali ke sampel itu sendiri atau tidak dapat di generalisasikan dan pengambilan sampel yang canggih tidak begitu diperlukan.

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pendekatan jumlah mahasiswa dan mahasiswi Diploma Institut Pertanian Bogor yaitu sebesar 5700 orang. Hasil perhitungan menggunakan Rumus Slovin dengan nilai kesalahan sampel yang dapat ditolerir sebesar 10 persen menghasilkan ukuran sampel sebanyak 100 orang. Adapun perhitungannya adalah sebagai berikut: n =

…………..……….(1)

n =

n = 98,28 ≈ 100


(33)

Keterangan : n = jumlah sampel N = jumlah populasi

e = persen toleransi ketidaktelitian karena kealahan pengambilan sample populasi yang dapat ditolerir atau diinginkan sebesar 10%

Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara wawancara. Apabila responden merasa kurang mengerti dengan pertanyaan yang diajukan, responden dapat langsung bertanya kepada peneliti. Dalam kuesioner ini dilakukan satu screening responden, yaitu screening terhadap konsumen yang pernah melihat iklan TV es krim Wall’s Magnum. Jika responden menjawab butir a, maka responen dipersilahkan untuk melanjutkan pengisian kuesioner. Apabila responden menjawab butir b maka responden dipersilahkan untuk menghentikan pengisian kuesioner. Hal ini disebabkan karena responden yang menjawab butir a menyatakan bahwa responden tersebut sudah pernah melihat iklan es krim Wall’s Magnum di televisi.

3.2.4 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dari penelitian terdahulu, selanjutnya diolah agar data tersebut memiliki makna yang berguna untuk memecahkan masalah yang diteliti. Dalam pelaksanaan pengolahan data diusahakan agar kesalahan yang terjadi dalam penelitian sekecil mungkin. 3.2.4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas menunujukkan sejauhmana suatu alat ukur cukup akurat, stabil atau konsisten dalam mengukur apa yang ingin diukur (Nazir, 2005). Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16 for windows. Umar (2005), untuk menghitung korelasi antar data pada masing-masing pernyataan dengan skor total, menggunakan rumus korelasi product moment, yang rumusnya seperti berikut:

... (2)


(34)

Dimana:

r = angka korelasi n = jumlah responden x = skor pertanyaan

y = skor total responden dalam menjawab seluruh pertanyaan

berdasarkan metode korelasi product moment, jika diperoleh nilai rhitung

> rtabel, maka instrument tersebut dinyatakan valid (Nugroho, 2005).

Reliabilitas menunjukkan bahwa suatu instrument yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh informasi yang diinginkan dapat dipercaya (terandal) sebagai alat pengumpul data serta mampu mengungkap informasi yang sebenarnya di lapang (Sugiharto dan Sitinjak, 2006). Instrument yang reliabel adalah instrument yang dicobakan secara berulang-ulang kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama dengan asumsi tidak terdapat perubahan psikologis pada responden (Sugiharto dan Sitinjak, 2006). Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Cronbach’s Alpha, sedangkan pengolahan datanya menggunakan program SPSS versi 16.0

for windows. Menurut Nugroho (2005), reliabilitas suatu konstruk dapat dikatakan baik, jika nilai Cronbach’s Alpha > 0.60.

Rumus Cronbach’s Alpha:

..

……….…. (3)

Dimana:

r 1 1 = Reliabilitas instrument

k = Banyak butir pertanyaan

= Jumlah ragam butir = Ragam total

3.2.4.2 Model Indikator Reflektif

Model refleksif mengasumsikan bahwa konstruk atau variabel laten mempengaruhi indikator (arah hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator atau manifest). Menurut Fornell dan Bookstein dalam Ghozali (2008), bahwa konstruk seperti “personalitas” atau “sikap” umumnya dipandang sebagai faktor yang menimbulkan sesuatu yang


(35)

diamati sehingga indikatornya bersifat reflektif. Model indikator refleksif harus memiliki konsistensi karena antar ukuran indikator diharapkan saling berkorelasi.

3.2.4.3 Analisis Efektivitas Iklan Televisi Proses Pengambilan Keputusan Pembelian

Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

Consumer Decision Model (CDM) dan model persamaan struktural. 1. Consumer Decision Model (CDM)

Consumer Decision Model (CDM) adalah suatu model dengan 6 variabel yang saling berhubungan, yaitu: Pesan Iklan (F,

finding information), Pengenalan Merek (B, brand recognition), Kepercayaan Konsumen (C, confidence), sikap Konsumen (A,

attitude), Niat Beli (I, intention) dan Pembelian nyata (P,

purchase). Untuk mengetahui efektivitas iklan menggunakan CDM yang digunakan untuk menganalisis bentuk hubungan dan analisis keeretan hubungan. Pengaruh langsung suatu variable independent

terhadap variable dependent ditelusuri dengan analisis regresi. Analisis regrasi yang digunakan memperhatikan prinsip parsimony, yaitu semakin sederhana suatu model semakin bagus model tersebut dan dengan pertimbangan efisiensi dan kemudahan pemahaman model tersebut dari sisi pengguna. Dengan pertimbangan tersebut maka digunakan analisis regresi linier sederhana. Model populasi yang digunakan adalah:

………...(4) dalam hal ini:

= variabel dependen = variabel independent = model intersep = parameter regresi = error term

Pada persamaan tersebut akan dianalisis persamaan regresi sederhana antara variabel pesan iklan (F) dengan pengenalan merek


(36)

(B), pesan iklan (F) dengan kepercayaan konsumen (C), pesan iklan (F) dengan sikap konsumen (A), dengan variabel pesan (F) menjadi variabel independen dan variabel B, C, A menjadi variabel dependen. Persamaan berikutnya, persamaan regresi antara variabel pengenalan merek (B) dengan kepercayaan konsumen (C), pengenalan merek (B) dengan sikap konsumen (A). Pada kedua persamaan tersebut, variabel B sebagai variabel independen dan variabel C dan A sebagai variabel dependen. Persamaan regresi berikutnya akan dianalisis persamaan regresi sederhana antara variabel niat beli (I) dengan kepercayaan konsumen (C), dan niat beli (I) dengan sikap konsumen (A), dengan variabel I menjadi variabel dependen dan variabel C dan A menjadi variabel independen. Terakhir, persamaan regresi sederhana antara variabel niat beli (I) dengan variabel pembelian nyata (P). Pada persamaan tersebut, variabel I sebagai variabel independen dan variabel P sebagai variabel dependen.

Pada alat analisis CDM dengan menggunakan analisis regresi hanya melihat pengaruh antar variabel secara parsial (tidak keseluruhan). Oleh karena itu, untuk melihat pengaruh langsung antar variabel secara holistik (keseluruhan) maka digunakan alat model persamaan struktural. Dengan menggunakan model persamaan struktural dapat mengetahui pengaruh langsung yang dapat mempengaruhi pembelian nyata (P).

2. Model Persamaan Struktural

Menurut Bagozzi dan Fornell dalam Ghozali (2005), model persamaan struktural (Structural Equation Modelling) merupakan teknik analisis multivariate yang memungkinkan untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai keseluruhan model. Selain itu SEM memberikan informasi tentang hubungan kausal simultan diantara variabel-variabelnya. SEM menyajikan konsep tidak teramati melalui penggunaan variabel-variabel laten. Sebuah


(37)

variabel laten adalah sebuah konsep yang dihipotesiskan atau yang tidak teramati, dan hanya dapat didekati melalui variabel-variabel teramati. Dalam SEM membedakan kedua jenis variabel-variabel ini berdasarkan atas keikutsertaan mereka sebagai variabel terikat pada persamaan-persamaan dalam model. Variabel eksogen selalu muncul sebagai variabel bebas pada semua persamaan yang ada dalam model. Sedangkan variabel endogen merupakan variabel terikat pada paling sedikit satu persamaan dalam model.

Sementara itu, variabel teramati atau variabel terukur (manifest, measured variabe) adalah variabel yang dapat diamati atau diukur secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Variabel teramati nilai variabelnya diperoleh dari responden melalui berbagai metode pengumpulan data (survei, tes, observasi, dan lain-lain). Menurut Bollen dalam Ghozali (2005), model-model dalam SEM dapat menguji secara bersama-sama: 3. Model struktural : menggambarkan hubungan-hubungan antara

variabel-variabel laten.

4. Model (measurement) pengukuran : hubungan antara variabel teramati (indikator) dengan konstruk (variabel laten).

Didalam SEM ada penilaian model fit. Suatu model dikatakan fit apabila kovarians matriks suatu model adalah sama dengan kovarians matriks data. Untuk melakukan penilaian model fit, peniliti tidak boleh hanya tergantung pada satu indeks saja atau beberapa indeks fit. Tetapi sebaiknya mempertimbangkan seluruh indeks fit. Karena didalam SEM suatu indeks menunjukkan model adalah fit, tidak memberikan jaminan bahwa model benar-benar fit. Sebaliknya, suatu indeks fit yang menyatakan bahwa model sangat buruk, tidak memberikan jaminan bahwa model tersebut benar-benar tidak fit. Tabel yang menyajikan ringkasan uji kecocokan yang baik (good fit) dapat dilihat pada Tabel 3.

Langkah selanjutnya adalah mengevauasi model pengukuran, berfokus pada hubungan-hubungan antara variabel


(38)

laten dan indikatornya (variabel manifest). Setelah itu melakukan analisis model struktural, berfokus terhadap koefisien-koefisien atau paramater-parameter yang menunjukkan hubungan kausal atau pengaruh satu variabel laten dengan variabel laten lainnya. Biasanya, hubungan-hubungan kausal inilah yang dihipotesiskan dalam penelitian yang didukung oleh data empiris yang diperoleh melalui survey.

Untuk menganalisis hubungan antar variabel, dibutuhkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar pengaruh antar variabel dapat dinyatakan signifikan atau berhubungan positif maka harus memenuhi beberapa syarat. Jika nilai probability > 0.001 maka H0

diterima dan apabila probability < 0.001 makaH0 ditolak. Dimana

hipotesisnya, H0 diterima maka H0 tidak ada hubungan yang nyata

(signifikan). Sedangkan jika H0 ditolak maka H0 ada hubungan

yang nyata (signifikan). AMOS menggunakan kriteria 0.001 dan bukannya 0.05. Namun jika nilai P adalah 0.03, maka tetap dapat disimpulkan H0 ditolak, pada pengujian signifikansi 5% (0.05).

Dengan demikian, diterima tidaknya hipotesis pada pengujian nilai estimate dapat mengacu pada ketentuan AMOS (0.001) atau menggunakan standar 0.05 (Santoso, 2007).

Analisis terhadap model struktural mencakup pemeriksaan terhadap signifikansi koefisien-koefisien yang diestimasi. Dengan menspesifikasikan tingkat nilai signifikan (lazimnya  = 0.05) maka setiap koefisien yang mewakili hubungan kausal yang dihipotesiskan dapat diuji signifikannya secara statistik.

Pengolahan dan penganalisian data ini dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan Microsoft Excel dan AMOS 19. Program ini terdiri dari pengujian measurement model dan

structural model dengan berbagai alat uji model, yaitu absolute fit indices, incremental fit indices, dan parsimony fit indices.


(39)

Tabel 3. Ukuran-ukuran GOF (Wijanto, 2008)

Ukuran GOF Tingkat Kecocokan yang dapat diterima

Statistic Chi-Square (c2) Mengikuti uji statistik yang berkaitan dengan persyaratan signifikan. Semakin kecil nilainya semakin baik.

Root Mean Square Error Rata-rata perbedaan per degree of Approximation of freedom yang diharapkan terjadi (RMSEA) Populasi dan bukan sampel.

RMSEA  0.08

adalah good fit.

RMR (Root Mean Semakin kecil hasil RMR akan Residual) semakin baik, yang menandakan

semakin dekatnya angka pada

sampel dengan estimasinya.

Semakin besar RMR, model tidak fit.

Normed Fit Index (NFI) Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. NFI > 0.90 adalah good fit, sedang 0.80 < NFI < 0.90 adalah marginal fit.

Comparative Fit Index Nilai berkisar antara 0-1, (CFI) dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. CFI > 0.90 adalah good fit, sedang 0.80 < CFI < 0.90 adalah marginal fit.

GFI (Goodness of Fit Nilai berkisar antara 0-1,

Index) dan AGFI (Adjusted dengan nilai yang lebih tinggi adalah Goodness of Fit Index) lebih baik. GFI dan AGFI > 0.90 Adalah good fit, sedang 0.80 < GFI < 0.90 adalah marginal fit.

Relative Fit Index (RFI) Nilai berkisar antara 0-1,

dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. RFI > 0.90

Adalah good fit, sedang 0.80 < RFI < 0.90 adalah marginal fit.

Incremental Fit Index (IFI) Nilai berkisar antara 0-1,

dengan nilai yang lebih tinggi adalah lebih baik. IFI > 0.90

adalah good fit, sedang 0.80 < IFI < 0.90 adalah marginal fit.


(40)

Lanjutan Tabel 3.

Tucker-Lewis Index atau Nilai berkisar antara 0-1,

Non Normed Fit Index dengan nilai yang lebih tinggi adalah (TLI atau NNFI) lebih baik. TLI > 0.90

adalah good fit, sedang 0.80 <TLI < 0.90 adalah marginal fit.

AIC (Aikake Information Digunakan untuk perbandingan Criterion) antar model. Semakin kecil semakin baik. Pada dua atau lebih model, nilai AIC yang lebih kecil daripada nilai saturated dan independence model berarti memiliki model fit. Expected Cross Validation Digunakan untuk perbandingan Index (ECVI) antar model. Semakin kecil semakin baik. Pada model tunggal, nilai ECVI yang lebih kecil daripada

nilai saturated dan independence model berarti memiliki model fit.

3.3. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini menggunakan alat analisis SEM, dalam keterkaitan hubungan antar variabel dilihat secara holistik (keseluruhan) diantara setiap bagian-bagian variabel mulai dari variabel pesan iklan (F) sampai pembelian nyata (P). Dalam melihat pengaruh variabel terdapat 8 persamaan, yaitu pesan iklan (F) terhadap pengenalan merek (B), pesan iklan (F) terhadap kepercayaan konsumen (C), pesan iklan (F) terhadap sikap konsumen (A), pengenalan merek (B) terhadap kepercayaan konsumen (C), pengenalan merek (B) terhadap sikap konsumen (A), kepercayaan konsumen (C) terhadap niat pembelian (I), sikap konsumen (A) terhadap niat pembelian (I) dan niat pembelian (I) terhadap pembelian nyata (P).

Berdasarkan penelitian sebelumnya menggunakan analisis regresi sederhana dan berganda, hanya melihat keterkaitan hubungan variabel secara parsial. Terdapat 8 persamaan pada regresi sederhana dan 3 persamaan pada regresi sederhana,yaitu analisis regresi sederhana antara variabel pesan iklan (F) terhadap variabel pengenalan merek (B), variabel pesan iklan (F) terhadap variabel kepercayaan konsumen (C), variabel pesan iklan (F) terhadap variabel sikap konsumen (A), variabel pengenalan


(41)

merek (B) terhadap variabel kepercayaan konsumen (C), variabel pengenalan merek (B) terhadap variabel sikap konsumen (A), variabel kepercayaan konsumen (C) terhadap variabel niat beli (I), variabel sikap konsumen (A) terhadap variabel niat beli (I), dan variabel niat beli (I) terhadap variabel pembelian nyata (P). Untuk regresi berganda antara variabel pesan iklan (F) dan variabel pengenalan merek (B) terhadap variabel kepercayaan konsumen (C), variabel pesan iklan es krim Wall’s Magnum (F) dan variabel pengenalan merek (B) terhadap variabel sikap konsumen (A), serta variabel kepercayaan konsumen (C) dan variabel sikap konsumen (A) terhadap variabel niat beli (I).

Regresi biasanya, umumnya menspesifikasikan hubungan kausal antara variabel teramati yaitu variabel independen dan variabel dependen, sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan kausal terjadi di antara variabel-variabel tidak teramati atau variabel laten.


(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Produk

Magnum merupakan es krim dengan merek yang dimiliki oleh perusahaan unilever Inggris. Magnum merupakan salah satu merek produk

es krim unggulan Wall’s yang sudah ada sejak dulu. Magnum pertama

diluncurkan pada tahun 1987 dengan tema “Classic“ terdiri dari sebuah bar

tebal vanili es krim pada tongkat, ditutupi dengan putih atau gelap cokelat, dengan berat 86 gram (120 ml). Dimulai pada tahun 1992 perusahaan menambahkan Magnum Almond, Double Chocolate, dan rasa lainnya. Pada tahun 2002 Magnum melakukan peremajaan produk menjadi yoghurt beku dengan buah raspberry sebagai topping utamanya dibalut kedalaman susu cokelat. Setelah itu diperkenalkan pula es krim dengan karamel, ditambah coklat dan hazelnut, dengan konsep "mini", "renyah" (dengan almond). Akhir tahun 2002 diluncurkan Magnum Intens (sebuah coklat truffle diselimuti es krim dan ditutupi dengan coklat).

Memasuki pasar Indonesia pada tahun 1992, Wall secara konsisten menciptakan inovasi yang hebat sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan konsumen di semua segmen dengan menggabungkan produk yang baik. Wall selalu mencoba membawa cinta dan menyenangkan bagi semua orang. Dengan 13 merek dan lebih dari 40 varian, Wall kini telah menjadi pilihan es krim pertama untuk konsumen Indonesia. Seiring dengan trend untuk kenikmatan sensorik yang lebih besar, wall memutuskan untuk meluncurkan platform produk baru yang mengantarkan pengalaman

kompleks dan berkelas dengan konsep „blow me away’. Ini akan

memungkinkan konsumen yang tanggap untuk pindah ke kualitas yang lebih tinggi daripada Magnum standar. Sekarang ini konsumen Indonesia dimanjakan dengan hadirnya Wall’s Magnum dengan tiga varian yaitu

Wall’s Magnum Classic, Wall’s Magnum Almond dan Wall’s Magnum

Chocolate Truffle. Dengan hadirnya varian Wall’s Magnum, konsumen di Indonesia dapat merasakan kenikmatan es krim premium dengan lapisan Belgian chocolate yang tebal dan renyah.


(43)

Lahir dengan platform yang baru magnum memberikan pengalaman berkelas, yaitu pleasure indulgence atau kenikmatan cita rasa tinggi yang dapat terasa pada gigitan pertama lapisan Belgian chocolate, lalu menyatu dengan es krim vanilla yang lembut dan membuat varian baru

Wall’s Magnum ini terasa sangat berbeda. Dengan pilihan kualitas terbaik

dari Belgian chocolate, Unilever yakin Wall’s Magnum mampu memberikan kenikmatan premium.

4.2. Gambaran Umum Iklan Televisi Es Krim Magnum

Wall’s Magnum meluncurkan Iklan Televisi Es Krim Magnum

dengan menampilkan kelezatan cokelat yang sesungguhnya untuk pasar es krim dewasa. Hadir dengan varian baru menawarkan pengalaman intens luar biasa dan memanjakan layaknya seorang putri.

Seorang perempuan dengan rambutnya yang ikal. Mungkin usianya sekitar 40 tahunan. Sang perempuan memang tidak menampakkan kecantikan yang istimewa. Tetapi, tangannya memegang sesuatu yang istimewa, sebuah es krim berlapis coklat. Setiap kali sang perempuan menggigit es krim dengan sensasi bunyi yang sungguh menggugah selera, setiap kali itu pula serombongan prajurit kerajaan menghampirinya. Menyediakan kursi empuk, meniupkan alat musik, dan menjaga sang perempuan untuk terus menikmati keistimewaan es krim istimewa itu. Dari sang perempuan, kita seperti merasakan betapa lezatnya es krim tersebut.

Rangkaian cerita itu adalah sebagian adegan dari iklan magnum yang sering wara-wiri di layar kaca. Kampanye yang sukses mencitrakan dengan baik Belgian chocolate. Coklat yang begitu extraordinary. Begitu pesan yang hendak disampaikan dan berhasil tersampaikan dengan baik kepada para penontonnya. Dengan pilihan kualitas terbaik dari Belgian chocolate, Wall’s Magnum mampu memberikan kenikmatan premium dimana saja. Wall’s Magnum memberikan sensasi yang berbeda dimana para konsumen diberi kesempatan untuk memanjakan diri dengan kenikmatan cita rasa spesial secara visual, persepsi, dan indrawi melalui es

krim Wall’s Magnum terbaru. Bagi konsumen yang selalu bergelut dengan


(1)

Lampiran 4. T-Hitung

F1

10.94

F2

10.94

F3

10.94

F4

10.94

F5

10.94

F

B

C

A

I

P

B1 4.50

B2 4.67

B3 4.03

B4 7.61

B5 7.60

C1 5.00

C2 4.01

C3 4.26

C4 8.02

C5 7.32

A1 4.92

A2 2.62

A3 3.72

A4 6.11

A5 6.98

I1 6.07

I2 2.31

I3 3.68

I4 7.93

I5 8.26

P1 5.60

P2 3.25

P3 2.73

P4 6.11

P5 6.29

Chi-Square=273.75, df=234, P-value=0.03812, RMSEA=0.041

14.97 11.43 11.65 8.30 7.86

0.00 12.64 12.14 8.27 8.75 16.05 10.75 10.36

8.50 8.36

25.34 9.05 8.95 7.17 6.08

0.00 10.86

9.70 7.57 7.93 9.39

9.34

10.90

7.96

8.91

18.11

13.53

2.74 3.75

12.85

0.00

3.54


(2)

Lampiran 5. Estimates

F1

1.10

F2

1.10

F3

1.10

F4

1.10

F5

1.10

F

B

C

A

I

P

B1 0.57

B2 0.47

B3 0.43

B4 0.85

B5 0.86

C1 0.55

C2 0.43

C3 0.46

C4 0.88

C5 0.82

A1 0.63

A2 0.33

A3 0.41

A4 0.71

A5 0.78

I1 0.69

I2 0.29

I3 0.41

I4 0.81

I5 0.93

P1 0.65

P2 0.35

P3 0.36

P4 0.71

P5 0.72

Chi-Square=273.75, df=234, P-value=0.03812, RMSEA=0.041

0.73 0.79 0.82 0.50 0.49

0.74 0.82

0.80 0.46

0.53

0.69 0.88 0.83 0.62 0.57

0.64 0.90 0.83 0.54 0.41

0.67 0.86 0.86 0.62 0.61 0.94

0.94 1.10 0.80 0.90

1.00

0.81

0.31 0.54

1.00 0.00

0.36 0.13


(3)

Lampiran 6. Standardized Coefficient

F1

1.00

F2

1.00

F3

1.00

F4

1.00

F5

1.00

F

B

C

A

I

P

B1 0.51

B2 0.43

B3 0.39

B4 0.77

B5 0.78

C1 0.50

C2 0.39

C3 0.41

C4 0.80

C5 0.74

A1 0.57

A2 0.30

A3 0.38

A4 0.65

A5 0.71

I1 0.62

I2 0.26

I3 0.38

I4 0.74

I5 0.85

P1 0.59

P2 0.32

P3 0.33

P4 0.65

P5 0.66

Chi-Square=273.75, df=234, P-value=0.03812, RMSEA=0.041

0.70 0.75 0.78 0.48 0.47

0.71 0.78 0.77 0.44

0.51

0.66 0.84

0.79 0.59 0.54

0.61 0.86 0.79 0.51 0.39

0.64 0.82 0.82 0.59 0.58 0.90

0.90 1.04

0.76

0.85

1.00

0.81

0.31 0.54

1.00 0.00

0.36 0.13


(4)

Lampiran 7. Goodness of Fit Statistics

Degrees of Freedom = 234

Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 273.75 (P = 0.038) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 39.75

90 Percent Confidence Interval for NCP = (2.65 ; 85.10) Minimum Fit Function Value = 2.77

Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.40 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.027 ; 0.86)

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.041 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.011 ; 0.061) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.75 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 7.43 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (7.06 ; 7.89) ECVI for Saturated Model = 9.39

ECVI for Independence Model = 77.11

Chi-Square for Independence Model with 435 Degrees of Freedom = 7574.29 Independence AIC = 7634.29

Model AIC = 735.75 Saturated AIC = 930.00 Independence CAIC = 7742.45 Model CAIC = 1568.54 Saturated CAIC = 2606.40

Root Mean Square Residual (RMR) = 0.077 Standardized RMR = 0.070

Goodness of Fit Index (GFI) = 0.98

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.95 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.49 Normed Fit Index (NFI) = 0.96

Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.99 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.52 Comparative Fit Index (CFI) = 0.99 Incremental Fit Index (IFI) = 0.99 Relative Fit Index (RFI) = 0.93 Critical N (CN) = 104.88

The Problem used 536992 Bytes (= 0.8% of Available Workspace) Time used: 5.855 Seconds


(5)

Lampiran 8. Nilai Loading Factor dan t-value pada Indicators

From To Estimates Se

T-Value

B B1 0.73 0.049 14.97

B B2 0.79 0.069 11.43

B B3 0.82 0.07 11.65

B B4 0.5 0.061 8.3

B B5 0.49 0.063 7.86

C C1 0.74 0.11 5

C C2 0.82 0.065 12.64

C C3 0.8 0.066 12.14

C C4 0.46 0.056 8.27

C C5 0.53 0.061 8.75

A A1 0.69 0.043 16.05

A A2 0.88 0.082 10.75

A A3 0.83 0.08 10.36

A A4 0.62 0.073 8.5

A A5 0.57 0.068 8.36

I I1 0.64 0.025 25.34

I I2 0.9 0.1 9.05

I I3 0.83 0.093 8.95

I I4 0.54 0.075 7.17

I I5 0.41 0.067 6.08

P P1 0.67 0.12 5.6

P P2 0.86 0.08 10.86

P P3 0.86 0.089 9.7

P P4 0.62 0.082 7.57

P P5 0.61 0.077 7.93

F F1 0.94 0.1 9.39

F F2 0.94 0.1 9.34

F F3 1.1 0.1 10.9

F F4 0.8 0.1 7.96


(6)

DENDRY UMBIYAR. H24097023. Pengukuran Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Wall’s Magnum Terhadap Mahasiswa Program Diploma IPB Menggunakan Model Persamaan Struktural. Di bawah bimbingan MUHAMMAD SYAMSUN

Bagi sebagian besar perusahaan, iklan di televisi menjadi suatu pilihan yang menarik, sebagai sumber informasi atau mengingatkan konsumen kepada perusahaan atau suatu merek yang diiklankan beserta berbagai fitur atau kelengkapan yang dimiliki dan juga keuntungan, manfaat, penggunaan, serta memperkuat citra produk bersangkutan sehingga konsumen akan cenderung membeli produk yang diiklankan itu. Agar pesan iklan menjadi efektif, komunikator harus merancang pesan agar menarik perhatian sasarannya. Salah satu iklan yang sering muncul di televisi dan menarik perhatian pemirsa adalah iklan es krim Magnum. Diluncurkannya iklan Magnum ini berhubungan dengan peremajaan produk dengan menciptakan image baru dari produk tersebut yang tujuannya untuk merubah sikap, pengetahuan, kepercayaan, perasaan, dan citra yang berkaitan dengan produk dan merek di dalam benak konsumen. Tujuan yang paling akhir adalah bagaimana iklan dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas iklan es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dalam mengkomunikasikan pesannya kepada konsumen menggunakan model persamaan struktural terhadap variabel efektivitas iklan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berasal dari penelitian ssebelumnya yakni Rosi Arca, penelusuran pustaka dan publikasi elektronik (internet). Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Diploma Institut Pertanian Bogor yang pernah melihat iklan televisi es krim Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment dan pernah mengkonsumsi es krim Magnum. Penarikan sampel ditentukan dengan teknik convienience sampling dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Analisis data yang digunakan adalah Consumer Decision Model (CDM) dan analisis Model Persamaan Struktural dengan menggunakan Microsoft Excel dan AMOS 19.

Dapat dikatakan bahwa iklan televisi es krim Wall’s Magnum versi Magnum Classic: Magnum Temptation Royal Treatment yang telah ditayangkan tersebut mampu mengkomunikasikan pesan dengan efektif kepada konsumen mulai dari pesan iklan (F) sampai terjadinya pembelian nyata (P). Ada 2 alur model yang mempunyai pengaruh terhadap pembelian konsumen. Alur model pertama yaitu variabel pesan iklan (F), pengenalan merek (B), sikap konsumen (A), niat membeli (I) produk dan akhirnya pembelian nyata (P) suatu produk. Kedua mulai dari pesan iklan (F), pengenalan merek (B), kepercayaan konsumen (C), terbentuklah niat beli konsumen (I) yang didorong dengan pembelian nyata (P).

Dari hasil output regression weights, yang memiliki hubungan nyata (signifikan) dan Ho ditolak adalah hubungan antara variabel F dengan variabel B, variabel A terhadap variabel I, dan variabel I terhadap variabel P (pembelian nyata). Untuk variabel F terhadap variabel C, Variabel F terhadap variabel A, Variabel B terhadap Variabel C, Variabel B terhadap Variabel A dan Variabel C terhadap Variabel I tidak memiliki hubungan nyata dan Ho diterima.