Apabila tidak ada sistem informasi gizi maka dapat dipastikan data yang dilaporkan dari posyandu, puskesmas maupun tingkat Dinas Kesehatan
akan memakan waktu yang cukup lama mengingat kondisi geografis Indonesia yang berstruktur kepulauan dan sangat luas.
Dalam pelaksanaannya, pelaporan melalui SIGIZI dirasa belum cukup optimal. Hal tersebut ditujukan dari masih adanya data yang tidak tersedia.
Saat ini, data semesteran bulan Agusutus 2012 mengenai cakupan pemberian Vitamin A, cakupan pemberian ASI eksklusif serta cakupan penggunaan
garam beriodium belum tersedia. Hal tersebut menandakan masih adanya masalah di berbagai bidang sehingga menghambat pelaporan kinerja
pembinaan gizi melalui SIGIZI.
6.3 Input Sistem Informasi Gizi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Gambaran input dalam penelitian ini melingkupi beberapa unsur seperti sumber daya manusia, peralatan, sarana, kebijakan dan metode yang dibutuhkan
dalam pengelolaan sistem informasi gizi. Kebijakan mengenai pelaksanaan sistem informasi gizi di tingkat Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan belum
tersedia. Hingga saat ini, pelaksanaan pelaporan melalui sistem informasi gizi diatur
dan berpedoman pada surveilans gizi yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan. Dalam pedoman itu diatur ruang lingkup kegiatan surveilans gizi, sumber data,
instrumen pengumpulan data, pengumpul data, waktu pengumpulan data, pengolahan data, mekanisme pelaporan, indikator yang diukur, penyajian
informasi, diseminasi informasi, pemanfaatan informasi hasil surveilans gizi Kementerian Kesehatan, 2012.
Dengan adanya pedoman tersebut, pelaksanaan pelaporan kegiatan pembinaan gizi melalui sistem informasi belum dilakukan secara optimal. Hal
tersebut dikarenakan masih ada aspek lain yang belum diatur dalam pedoman tersebut. Aspek yang belum diatur dalam pedoman tersebut dapat menimbulkan
masalah pada pelaksanaan pelaporan kinerja pembinaan gizi melalui sistem informasi gizi.
Masalah yang timbul dalam pelaporan kinerja pembinaan gizi melalui SIGIZI diantaranya adalah tidak adanya unit fungsional yang berfungsi mengelola,
menganalisis masalah sistem informasi gizi; tidak adanya pelatihan mengenai pelaporan kinerja pembinaan gizi melalui SIGIZI; tidak adanya pembagian
anggaran yang khusus dalam pengelolaan SIGIZI; tidak adanya pembiayaan maupun tenaga untuk perawatan peralatan yang menunjang pelaksanaan
pelaporan melalui SIGIZI; kinerja pelaporan yang menurun; waktu pelaporan yang belum diatur secara spesifik; penggunaan informasi yang diatur hingga
seluruh tingkat pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, disamping pedoman yang sudah ada, pemerintah perlu
berkomitmen untuk membuat sebuah kebijakan yang melengkapi pedoman surveilans yang sudah ada sehingga pelaporan kegiatan pembinaan gizi dapat
dilakukan secara optimal. Perlunya komitmen dari pemerintah daerah baik DPRD, Walikota maupun Dinas Kesehatan untuk bisa turut serta melaporkan
setiap kegiatannya melalui sistem informasi gizi. Tidak adanya kebijakan yang secara spesifik mengatur sistem informasi dapat
menyebabkan ketidakpastian dalam ketersediaan data, pertukaran data, kualitas dan penyebaran informasi. Hal tersebut seperti yang disebutkan oleh WHO.
WHO dalam bukunya yang berjudul Framework and Standards For Country
Health Information Systems menyatakan bahwa kebijakan dan legalitas pada sistem informasi sangat penting untuk memungkinkan adanya mekanisme
pengukuran ketersediaan data, pertukaran, kualitas dan penyebaran informasi WHO, 2008.
Selain adanya kebijakan yang komperhensif, diperlukan juga adanya komitmen dari pemerintah daerah baik Dinas Kesehatan maupun DPRD
setempat khususnya dalam melaporkan data kegiatan pembinaan gizi kepada Pemerintah Pusat. Hal tersebut berkaitan dengan adanya konsep desentralisasi
kekuasaan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dalam pasal 13 ayat satu disebutkan bahwa penanganan bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi. Adanya kebijakan otonomi daerah masih menjadi simpang siur khususnya
dalam bidang kesehatan. Bila ditinjau secara usia, kebijakan desentralisasi di Indonesia masih tergolong muda sehingga masih perlu penyempurnaan dalam
hal regulasi dan pemahaman yang komperhensif pada pemerintah daerah maupun pusat. Keberhasilan sebuah program pemerintah pusat maupun daerah
sangat tergantung pada dukungan kepala Dinas Kesehatan di sebuah daerah. Faktor leadership menjadi penentu dalam keberhasilan program kesehatan.
Dibutuhkan komitmen serta inisiatif tinggi dari kepala Dinas Kesehatan KabupatenKota sehingga dapat mendukung dan mensukseskan Program
Pemerintah Pusat Trisnantoro, 2009 Dalam kegiatan pemantauan rutin, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
telah memiliki Standar Operasional Prosedur Pembinaan Wilayah. Tugas pokok
pembinaan wilayah adalah untuk melaksanakan penyeliaan, pemantauan dan evaluasi kesehatan di wilayah kerjanya terhadap aspek klinik dan manajemen
program puskesmas. Dalam bina wilayah, bidang-bidang dalam Dinas Kesehatan seperti kesekretariatan, P2PL, kesehatan keluarga, pelayanan
kesehatan dan sumber daya kesehatan membina berbagai puskesmas di Kota Tangerang Selatan. Pemantauan dilakukan secara periodik yaitu dua bulanan
dengan menggunakan daftar tilik monitoring dan evaluasi terlampir. Dinkes Tangerang Selatan, 2010. Menurut Endah, dalam penelitiannya, adanya
supervisi dari kepala puskesmas berhubungan secara langsung terhadap kinerja petugas gizi puskesmas di Kabupaten Karawang Endah, 2008. Berdasarkan
penelitian tersebut, adanya pengawasan menjadi kegiatan yang positif dan konstruktif dalam meningkatkan kinerja dari petugas gizi puskesmas di Kota
Tangerang Selatan. Aspek lain dari kebijakan dan koordinasi adalah adanya kebijakan resmi
untuk melakukan pertemuan. Berdasarkan hasil wawancara, pertemuan rutin yang dilakukan menyebabkan tidak adanya kebijakan secara resmi dalam
pertemuan antara Dinas Kesehatan dengan Puskesmas maupun Puskesmas dengan kader posyandu. Hal lain yang melatarbelakangi tidak adanya kebijakan
pertemuan rutin adalah volume kerja yang tinggi para petugas kesehatan baik di tingkat Dinas Kesehatan maupun tingkat puskesmas sehingga lebih optimal
untuk dilakukan pertemuan saat bekerja. Pengelolaan sistem informasi gizi dilakukan oleh staf gizi Dinas Kesehatan
Kota Tangerang Selatan dan bukan dilakukan oleh unit khusus yang bertugas khusus untuk administrasi, manajemen, analisis, diseminasi dan penggunaan
informasi. Menurut WHO, dalam bukunya dikatakan bahwa unit yang dibentuk
secara khusus untuk sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi hambatan yang melemahkan kebijakan atau menghambat pelaksanaan pengembangan sistem
informasi. Unit juga dapat berfungsi untuk menemukan kendala dalam hirarki pelaporan atau hubungan antara unit yang berbeda WHO, 2008
Hasil penelitian menunjukan bahwa belum pernah diadakannya pelatihan secara khusus mengenai pengelolaan sistem informasi gizi. Pengetahuan
mengenai pengelolaan sistem informasi gizi diperoleh melalui belajar secara mandiri atau otodidak atau diajarkan oleh petugas sebelumnya. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan pada petugas gizi puskesmas di Kabupaten Karawang menunjukan bahwa adanya hubungan secara positif antara pelatihan
dan kinerja Purwanti, 2008. WHO juga menyatakan bahwa peningkatan sistem informasi kesehatan juga membutuhkan perhatian pada pemberian pelatihan,
penyebaran, remunerasi dan pengembangan karir pada semua tingkat pelayanan kesehatan WHO, 2008. Oleh karena itu, pelaksanaan pelatihan mengenai
pengelolaan sistem informasi gizi sangat penting untuk dilakukan. Unsur lain dalam input adalah sarana. Sarana yang dibutuhkan dalam
pengelolaan sistem informasi gizi adalah formulir, kertas, ATK, komputer, jaringan serta pemeliharaannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa
ketersediaan sarana dalam pengelolaan sistem informasi gizi di wilayah administrasi Kota Tangerang Selatan sudah cukup memadai sehingga dapat
meningkatkan kinerja dari pada pengelolaan sistem informasi gizi. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudikno yang
menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja TPG puskesmas di Kabupaten Kebumen dalam penanggulangan balita gizi buruk adalah sarana
yang tersedia di tingkat puskesmas maupun posyandu Sudikno, 2007. Menurut
WHO, sarana teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh pada ketersediaan, kualitas, penyebaran dan penggunan data kesehatan WHO, 2008.
Namun dalam hal perawatan sarana dalam pengelolaan sistem informasi gizi di tingkat puskesmas maupun Dinas Kesehatan, belum tersedia dana maupun
tenaga untuk melakukan perawatan sarana. Sutabri dalam bukunya mengatakan bahwa salah satu fungsi utama sumber daya manusia dalam pengelolaan sistem
informasi adalah untuk melakukan pemliharaan, perubahan dan perbaikan atas program yang ada. Dari segi biaya, di tingkat puskesmas, perawatan masih
menggunakan biaya operasional. Menurut Sutabri, biaya dalam pengelolaan sistem informasi dapat terbagi menjadi biaya perangkat keras, biaya analisis,
perancanganan dan pelaksanaan sistem, biaya untuk tempat dan faktor lingkungan, biaya perubahan dan biaya operasi Sutabri, 2005
6.4 Proses Sistem Informasi Gizi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan