Hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan musculokeletal disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emsa di kecematan cilograng kabupaten lebak Banten tahun 2010
DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK
TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh :
ENDANG BUKHORI
105101003274
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2010
Endang Bukhori
(3)
ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN KELUHAN
MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010
xii + 81 halaman, 17 tabel, 6 gambar, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual, pekerja dituntut memiliki kemampuan fisik (khususnya otot dan tulang) agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa manusia memiliki keterbatasan fisik sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan berkaitan dengan otot dan tulang. Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah sekumpulan gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak yang dilakukan selama bulan Februari sampai April 2010 dengan menggunakan desain studi Crossectional.
Hasil penelitian menunjukan bahwa keluhan MSDs menyerang 38 pekerja (79,2%). Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel risiko pekerjaan (Pvalue 0.029) dan variabel karakteristik umur (Pvalue 0.031) dengan alpha 5% diyakini memiliki hubungan dengan terjadinya keluhan MSDs.
Dengan demikian, sebaiknya pengusaha agar secepatnya menyusun teknik-teknik pencegahan melalui pemberlakukan sistem perorganisasian kerja, termasuk diantaranya mengatur waktu kerja dan waktu istirahat serta memberikan pelatihan khusus terkait prosedur pengangkutan yang baik dan benar kepada setiap pekerja agar risiko yang ditimbulkan bisa terus diminimalisir.
Daftar Bacaan : 30 (1985 – 2009)
(4)
ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274
RELATION OF WORK RISK FACTORS WITH MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) COMPLAINT ON TRANSPORT WORKERS GOLD MINERS IN SUBDISTRICT CILOGRANG - BANTEN ON 2010
xii + 81 pages, 17 tables, 6 drawings, 2 charts, 4 attachments
ABSTRACT
At work in manual activities, workers are required to have the physical ability (especially muscle and bone) to be produced in accordance with the desired role. But keep in mind, that humans have physical limitations that have a tendency to experience problems associated with muscle and bone. Musculoskeletal Disorders (MSDs) are a set of symptoms / disorders associated with muscle tissue, tendons, ligaments, cartilage, nervous system, bone structure, and blood vessels.
This study aims to determine the relationship between occupational risk factors with the occurrence of MSDs complaints on movers load of gold miners in District Cilograng - Banten conducted during February until April 2010 using a design Cross sectional study.
The result showed that the MSDS complaint attacked 38 workers (79.2%). The results of statistical tests showed that the occupational risk variables (pvalue 0029) and variable characteristics of age (pvalue 0031) with an alpha of 5% is believed to have a relationship with the occurrence of MSDs complaints.
Thus, employers should immediately arrange for the techniques of prevention through the implementation of the work perorganisasian system, including the set working time and rest periods and to provide specialized training related to procedures for the transportation of good and true to every worker for the risks that could continue to be minimized.
List of Reference: 30 (1985 - 2009)
(5)
Skripsi Dengan Judul
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN TERJADINYA KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG
KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 10 Juni 2010
Mengetahui,
Yuli Amran, SKM, MKM
Pembimbing Skripsi I
Raihana N. Alkaff, MMA
Pembimbing Skripsi II
(6)
Jakarta, 10 Juni 2010
Penguji I
Yuli Amran, SKM, MKM
Penguji II
Raihana N. Alkaff, MMA
Penguji III
Hendra, MKKK
(7)
Nama : Endang Bukhori
TTL : Sukabumi, 31 Januari 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
No Telepon : 085697831631 / 087720829088 / (021) 95772652 Alamat : Jalan Raya Bayah - Pelabuhan Ratu KM 25,
Cikamunding Rt/Rw 01/02 Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak – Banten 42398
E-mail / Fb / Fs : endank_88@yahoo.com
PENDIDIKAN FORMAL
1993 – 1999 : SDN 01 Cikamunding - Banten 1999 – 2002 : Mts Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar 2002 – 2005 : MA Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar 2005 – 2010 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
(8)
(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya,
” Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas
bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud
kepadaku.”
(Q.S YUSUF : 4)
- - -
Mulai hari ini,
akan kutunjukan senyum terindahku pada dunia
Agar semua yakin, bahwa aku memang sanggup
hadapi rintangan hidup
(9)
TIADA sanjungan yang patut dipersembahkan selain kepada Rabbul Izzati, zat yang maha pencipta dari segala bentuk penciptaan. Zat yang maha agung dari segala bentuk keagungan. Dialah pemilik taqdir kehidupan manusia, mahkamah Qadha dan Qadhar yang tidak pernah tidur dan selalu dekat dengan hamba-Nya. Syukur senantiasa terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan Faktor risiko Pekerjaan dengan Terjadinya Keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di
Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Tahun 2010”.
Teriring shalawat dan salam keharibaan manusia yang termulia dari yang paling mulia, manusia yang tak pernah terjamah kenistaan, manusia kekasih sang Khalik, Muhammad SAW.
Alhamdulillah, akhirnya penulis bisa merampungkan skripsi ini sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyusunan skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis saja, melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat. Untuk itu penulis merasa sangat pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Keluarga tercinta, khususnya mamah dan bapak yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil terutama do’a yang sangat luar biasa. Kakak serta adik-adik tersayang trimakasih telah menjadi motivasi terbaik yang bisa membuat penulis semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas dan Bapak dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen penanggung jawab peminatan K3 dan dosen yang paling sabar juga pengertian namun selalu super sibuk yang senantiasa
(10)
4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku pembimbing ke-I yang telah memberikan perhatian, pengertian, penjelasan serta waktu untuk penulis. Terimakasih juga telah mengerahkan seluruh ilmunya kepada penulis, mudah-mudahan dan insyaallah akan sangat bermanfaat.
5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing ke-2 terimakasih telah menjadi pembimbing yang baik dan sangat sangat sangat pengertian dan perhatian.
6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, trimakasih atas amalan ilmunya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
7. Teman-teman prodi kesmas K3 dan Gizi khususnya angkatan 2005. Special for gEnK “d_ReeM” yang pada belum selesai, cepet nyusul dan tetep semangat…
8. Rekan-rekan pekerja tukang di Cikamunding serta teman-teman PONIT yang sejak awal masuk kuliyah selalu memberikan dukungan.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, trimakasih trimakasih dan trimakasih yang sebanyak-banyaknya.
Selanjutnya tiada yang lebih diharapkan oleh penulis selain kemanfaatan dan kemaslahatan terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), khususnya mengenai risiko ergonomi di tempat kerja.
Terakhir, dengan sedikit menghela nafas, penulis dengan lantang mengucapkan Terimakasih ya allah.
Alhamdulillahirobbil’alamin
Jakarta, Mei 2010
Penulis
(11)
LEMBAR PERNYATAAN……… i
ABSTRAK………...………. ii
ABSTRACT………..………... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN……… iv
PANITIA SIDANG…………. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……..……… vi
LEMBAR PERSEMBAHAN…………..……… vii
KATA PENGANTAR ……… viii
DAFTAR ISI……… x
DAFTAR TABEL……… xiii
DAFTAR GAMBAR……… xiv
DAFTAR BAGAN………... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1
B. Rumusan Masalah……….. 7
C. Pertanyaan Penelitian………. 7
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum………...……….. 8
2. Tujuan Khusus……… 8
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengusaha/Pekerja……….…….... 9
2. Bagi Peneliti……… 9
3. Bagi Akademik……….…... 9
F. Ruang Lingkup………. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musculoskeletal Disorders (MSDs)……….. 10
1. Pengertian MSDs………. 10
2. Tahapan MSDs……… 11
(12)
1. Faktor Pekerjaan……….. 15
2. Faktor Individu……… 24
3. Faktor Lingkungan……… 28
C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi……… 30
1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA)……….. 30
2. Job Strain Index (JSI)……… 31
3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY)……….... 32
4. Baselinde Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF)………..……… 33
5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)……….... 34
D. Kerangka Teori………..……… 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep………..……… 48
B. Definisi Operasional………..………... 50
C. Hipotesis……… 52
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian……… 53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 53
C. Populasi dan Sampel Penelitian……… 53
D. Pengumpulan Data……… 54
E. Instrumen Penelitian………. 54
F. Pengolahan Data……….. 55
G. Analisis Data………. 56
(13)
A. Analisis Univariat……….. 57
1. Gambaran Keluhan MSDs……….. 57
2. Gambaran Faktor Risiko Pekerjaan………. 60 3. Gambaran Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok
dan Masa kerja) ………..…… 61
B. Analisis Bivariat……… 63
1. Hubungan Faktor Risiko Pekerjaan
Dengan Keluhan MSDs……….. 63
2. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan
Merokok dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs……… 64
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasana Penelitian……….. 67
B. Keluhan MSDs……… 68
C. Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs………. 71 D. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok
dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs……… 74
BABVII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan………. 81
B. Saran……….... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
(14)
No. Tabel Hal
2.1 Penilaian Skor Tabel A 39
2.2 Penilaian Skor Beban 40
2.3 Penilaian Skor Tabel B 42
2.4 Penilaian Skor Coupling 42
2.5 Penilaian Skor Tabel C 43
2.6 Penilaian Skor Aktivitas 44
2.7 Level Aksi Skor REBA 44
3.1 Definisi Operasional 50
5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan MSDs
Tahun 2010 57
5.2 Distribusi Frekuensi Keluhan Berdasarkan Bagian Tubuh, Tingkat Keparahan Dan Tingkat Keseringan Tahun 2010
58
5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Risiko Pekerjaan Tahun 2010 60
5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Karakteristik Umur Tahun 2010 61
5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kebiasaan Merokok Tahun 2010 61
5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja Tahun 2010
62
5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Pekerjaan dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 63
5.8 Distribusi Responden Berdasarkan karakteristik umur dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 64
5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok dengan
Keluhan MSDs Tahun 2010 65
(15)
No.Gambar Hal
2.1 Penilaian Grup A Posisi Leher 38
2.2 Penilaian Grup A Posisi Punggung 38
2.3 Penilaian Grup A posisi Kaki 39
2.4 Penilaian Grup B Posisi Lengan Atas 40
2.5 Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah 41
2.6 Penilaian Grup B Posisi Pergelangan tangan 41
(16)
xv
No.Bagan Hal
2.1 Kerangka Teori 46
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan makin pesatnya kemajuan teknologi yang terus meningkat, peran tenaga manusia sampai saat ini masih menjadi hal utama dan paling penting dalam menghasilkan produksi, tidak sedikit proses produksi perusahaan yang masih menggunakan alat-alat manual yang melibatkan manusia dalam pekerjaannya. Sehingga pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual handling atau pekerjaan yang membutuhkan penanganan secara manual, manusia dituntut untuk mempunyai kemampuan lebih agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan, khususnya pada otot dan tulang karena otot dan tulang merupakan dua alat yang sangat penting dalam bekerja. Namun demikian, menurut Sahab (1997) manusia mempunyai kemampuan dan keterbatasan baik dari segi fisik, fisiologik maupun psikologik. Oleh karena itu pada pekerjaan manual, sering ditemukan kasus-kasus yang berkaitan dengan keluhan/gangguan pada sistem otot dan tulang (Muskuloskeletal).
Menurut Grandjean yang dikutip oleh Tarwaka et al. (2004) keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal.
(18)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (Humantech, 1995) yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstrimitas sehingga dapat mengakibatkan efisiensi kerja berkurang dan produktivitas kerja menurun.
Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin menekan saraf-saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi dan pelayanan yang tidak memuaskan. Selain itu, biaya yang timbul akibat absensi pekerja akan menyebabkan penurunan
(19)
keuntungan, biaya pelatihan karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi dan biaya lainnya (Pheasant, 1991).
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja statis yang berpotensi mempercepat timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat, jika berlangsung tiap hari dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot, sendi, tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain. Pada pekerjaan mengangkat dan mengangkut, efisiensi kerja dan pencegahan kerusakan tulang belakang harus mendapat perhatian yang cukup (Suma’mur, 1989) karena aktifitasnya melibatkan otot skeletal yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Namun demikian timbulnya keluhan yang dialami pekerja biasanya dianggap bukan sebagai masalah karena penyakit yang ditimbulkan biasanya bersifat kronik (muncul dalam jangka waktu panjang), padahal kerugian yang ditimbulkan selain rasa sakit bisa berwujud hilangnya jam kerja, terhambatnya produksi dan lainnya (Budiono, 2003).
Dengan demikian masalah MSDs pada pekerja khususnya pada pekerja fisik sudah sewajarnya mendapat perhatian khusus karena MSDs merupakan penyebab terbesar hilangnya jam kerja akibat cidera/sakit di hampir setiap jenis industri (National Safety Council, 1995 dalam Jannah, 2008). Selain itu, kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja masih terus bermunculan.
Tarwaka, et al. (2004) menjelaskan, studi tentang MSDs pada berbagai industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Menurut WHO (2007) dalam
(20)
Ariani (2008) Penyakit MSDs adalah penyakit akibat kerja terbesar di Eropa dan diderita oleh jutaan pekerja. Departemen tenaga kerja U.S mencatat kasus MSDs menyumbang 34% dari semua kasus sakit akibat kerja. Besarnya biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH menunjukan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dolar setiap tahun. Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk keluhan/sakit akibat kerja lainnya (NIOSH, 1996 dalam Tarwaka, et al.2004).
Sementara menurut Chenoweth (1998), penelitian tentang kasus MSDs yang telah dilakukan pada pekerja di U.S dari tahun 1983 smpai dengan tahun 2001 menunjukan peningkatan dan diprediksi akan terus meningkat sesuai dengan berjalannya waktu sehingga melebihi setengah dari semua penyakit di tempat kerja. Sedangkan di Australia, satu dari tiga injuri pada pekerja disebabkan oleh pemindahan material secara manual yang mengakibatkan kehilangan kerja dan diperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 60 juta dolar Australia. Sedangkan berdasarkan data yang disajikan dalam Sciene Daily (2003) work-related musculoskeletal disorders merupakan sumbangan terbesar (65%) bagi PAK dan menyedot biaya industri sampai 10 milyar dolar per tahun.
Di Indonesia, dari hasil studi Departemen Kesehatan dalam profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukan bahwa sekitar 40.5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya. Gangguan yang dialami pekerja menurut penelitian yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12 kabupaten/kota di
(21)
Indonesia umumnya berupa penyakit Musculoskeletal Disorders (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (5%), gangguan pernafasan (3%), dan gangguan THT (1.5%) (Sumiati, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2009) pada tukang angkut barang (porter) di stasiun kereta Jatinegara diperoleh hasil bahwa seluruh responden (106 orang) merasakan keluhan pada beberapa bagian tubuh, dan yang paling banyak dikeluhkan adalah bagian kaki (31%) dan pinggang (23%), sedangkan sisanya mengeluhkan pada bagian anggota tubuh lainnya.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada 10 orang tukang angkut beban dengan menggunakan Formulir Nordic Body Map (NBM), diperoleh hasil bahwa sembilan orang mengalami keluhan pada beberapa bagian anggota tubuh seperti pada bagian leher, punggung, kaki, serta beberapa bagian anggota tubuh lainnya.
Musculosceletal Disorders (MSDs) terjadi sebagai akibat dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan kapasitas fisik pekerja sehingga pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada tubuh pekerja khususnya kerusakan pada sistem otot dan tulang (OSHA, 2000). Demikian halnya pada pekerjaan mengangkat dan mengangkut yang aktivitasnya melibatkan kemampuan fisik, berpotensi menimbulkan kerusakan pada sistem otot skeletal (Suma’mur, 1989) sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan khusus dan perhatian yang cukup serius.
Bernard (1997) Mengemukakan bahwa postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan pada leher, punggung dan bahu. Hal
(22)
ini diperkuat oleh pernyataan Chenowath (1998) bahwa MSDs terjadi sebagai akibat dari suatu pekerjaan dengan postur janggal yang dilakukan secara berulang.
Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa faktor pekerjaan seperti sikap kerja tidak alamiah, aktivitas berulang dan peregangan otot yang berlebihan merupakan penyebab utama terjadinya MSDs. Sementara itu, faktor lain seperti tekanan, getaran dan mikroklimat dikategorikan sebagai penyebab sekunder dan jika terjadi dalam waktu yang bersamaan atau membentuk kombinasi, akan meningkatkan risiko terjadinya MSDs. Selain beberapa faktor di atas, karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan antropometri diyakini pula oleh para ahli dapat mempengaruhi risiko terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).
Beberapa penelitian menemukan bahwa MSDs terjadi akibat dari kombinasi berbagai faktor. Sehingga Kuntodi (2008) menyimpulkan bahwa faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap terjadinya gangguan MSDs dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor pekerjaan adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri termasuk postur kerja, gerakan repetitif, penggunaan tenaga, dan karakteristik objek. Faktor individu berupa umur, jenis kelamin, lama bekerja, dan antropometri (ukuran tubuh). Sedangkan faktor lingkungan kerja terdiri dari vibrasi dan mikroklimat.
(23)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan uraian latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang berkaitan dengan otot skeletal pada pekerja fisik perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menjadi masalah yang cukup serius. Demikian halnya pada kegiatan pengangkutan, dimana aktivitasnya bersifat manual dan sepenuhnya memerlukan kemampuan fisik, yang tentunya berpotensi menimbulkan gangguan otot skeletal. Kondisi tersebut akan semakin diperparah dengan adanya kombinasi dari faktor risiko lain yang timbul baik dari pekerja itu sendiri maupun dari lingkungannya. Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
C. Pertanyaan Penelitian
a) Bagaimana gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010? b) Bagaimana gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada tukang
angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010? c) Bagaimana gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok, dan
masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
d) Bagaimana hubungan antara risiko pekerjaan dengan keluhanMSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
(24)
e) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas
di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a) Diketahuinya gambaran keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
b) Diketahuinya gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
c) Diketahuinya gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok, dan masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
d) Diketahuinya hubungan risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 e) Diketahuinya hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs
pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
(25)
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi/Pekerja
Memberi gambaran tentang risiko pekerjaan manual dan kaitannya dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) serta membantu memberi masukan dan motivasi untuk pekerja dalam melakukan pekerjaan ke arah yang lebih baik.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan serta wawasan penelitian tentang faktor risiko ergonomi di tempat kerja serta diharapkan dapat dijadikan sebagia acuan untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
3. Bagi Akademis
Sebagai referensi tambahan untuk pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan risiko MSDs pada pekerjaan yang bersifat manual.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak karena dicurigai memiliki kombinasi risiko MSDs yang cukup tinggi. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Februari – April 2010, oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta dengan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari tempat penelitian dengan desain studi cross sectional.
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Musculoskeletal Disorders (MSDs) 1. Pengertian
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (OSHA, 2000).
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah kelainan yang disebabkan
penumpukan cidera atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit (Humantech, 1995).
MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk persepsi rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
(27)
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004).
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka, et al. 2004) yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan, dan
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
2. Tahapan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Gejala yang menunjukkan tingkat keparahan MSDs (Oborne,1995) dapat dilihat dari tingkatan sebagai berikut:
1. Tahap pertama
Timbulnya rasa nyeri dan kelelahan saat bekerja tetapi setelah beristirahat akan pulih kembali dan tidak mengganggu kapasitas kerja.
2. Tahap kedua
Rasa nyeri tetap ada setelah semalaman dan mengganggu waktu istirahat 3. Tahap ketiga
Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat yang cukup, nyeri ketika melakukan pekerjaan yang berulang, tidur menjadi terganggu, kesulitan menjalankan pekerjaan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya inkapasitas.
(28)
3. Dampak Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin menekan saraf-saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
Sedangkan pada aspek ekonomi perusahaan, dampak yang diakibatkan oleh MSDs yaitu (Pheasant, 1991) :
1. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material, produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dll.
2. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi.
3. Biaya pergantian karyawan (turn over) untuk recruitment dan pelatihan. 4. Biaya lainnya (opportunity cost).
(29)
4. Pencegahan Keluhan Musculosceletal Disorders (MSDs)
Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dalam Tarwaka, et al (2004), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi kerja).
1. Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
b. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan.
c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan
pekerja.
d. Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit. 2. Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut:
a. Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif
(30)
dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja.
b. Pengaturah waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.
c. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.
Selain pencegahan-pencegahan di atas, tempat kerja yang ergonomi perlu juga diperhatikan. Ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya. Ergonomi yang bersasaran akhir efisiensi dan keserasian kerja memiliki arti penting bagi tenaga kerja, baik secara subyek maupun obyek. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik pada sektor modern maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada sektor tradisional, pekerjaan pada umumnya dilakukan dengan tangan dan memakai peralatan serta dalam sikap-sikap badan dan cara-cara kerja yang secara ergonomis dapat diperbaiki (Suma’mur, 1989).
(31)
B. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya MSDs sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya dan dalam banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi; postur kerja (postur janggal dan postur statis), penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek. Fakor karakteristik individu terdiri dari; umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan Indeks Masa Tubuh (IMT). Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari; vibrasi/getaran dan mikroklimat (Bridger, 1995; Bernard & Cohen et al, 1997; OSHA & Peter Vi, 2000; Kumar 2001).
1. Faktor Pekerjaan a. Postur Janggal
Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas kerja secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau cedera pada sistem otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung, akan tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan kecil maupun besar secara
(32)
terus-menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama (Cohen, et al, 1997).
Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam postur yang optimal. Postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard, 1997).
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjen, 1993; Anis & McCnville,1996; Waters & Aderson, 1996; & Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, et al, 2004).
Postur janggal pada leher (Cohen, et al, 1997):
1) Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o.
(33)
3) Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vetikal dengan sumbu dari ruas tulang leher.
4) Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
Postur janggal pada punggung :
1) Membungkuk, postur punggung membungkukkan badan hingga membentuk sudut 20o terhadap vertikal dan berputar.
2) Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar baik ke arah kanan, kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
3) Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang median badan dari garis vertikal, tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke depan atau ke samping.
Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu kaki atau tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada bahu :
1) Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau vertikal tubuh. 2) Abduksi adalah posisi bahu mendekati garis tengah atau vertikal tubuh. 3) Fleksi adalah posisi bahu diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan
(34)
4) Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan berada di belakang badan.
Postur janggal pada lengan:
1) Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat pada sudut 90o.
2) Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan berada dibelakang badan. Ekstensi penuh pada siku adalah besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu lengan bawah >135o.
Postur janggal pada pergelangan tangan :
1) Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari. 2) Deviasi ulnar adalah postur tangan yang mering ke arah kelingking. 3) Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk ke arah
punggung tangan di ukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar > 45o.
4) Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah telapak, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar >45o.
Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah melakukan perputaran keluar (supinasi) daripada perputaran ke dalam (pronasi).
(35)
b. Postur Statis
Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal tersebut tidak hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen, tetapi juga membatasi pembuangan metabolisme. Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan untuk dihindari (Nurmianto, 1998)
Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot terhalang. Gerakan yang dipertahankan > 10 detik dinyatakan sebagai postur statis (Cohen at al, 1997).
Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Berdiri misalnya, adalah postur tubuh alami, dan dengan sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan tertentu. Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat menyebabkan sakit kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung (OSHA, 2002).
c. Penggunaan Tenaga
Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan beban yang tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi. Pekerjaan yang menggunakan tenaga besar dapat membebani otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi
(36)
karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan cideranya otot skeletal (tarwaka et al, 2004).
Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika sebanyak-banyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan tenaga yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi gerakan-gerakan tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989):
1) Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supsinasi penuh)
2) Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi penuh)
3) Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai pada posisi fleksi penuh
4) Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90° (efek pengungkit) 5) Pada pekerjaan mendorong dengan tangan sambil duduk, kekuatan terbesar
didapat pada keadaan siku bersudut 150-160° dan dengan pegangan tangan pada jarak kira-kira 66 cm dari daratan sandaran pinggang
6) Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada menarik, apabila sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai. Kekuatan menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi dan pegangan tangan diantara 18-23 cm di atas dataran duduk
(37)
7) Secara ungkitan, tenaga terbesar dalam posisi duduk diperoleh jika pegangan tangan berada pada ketinggian diantara bahu dan siku, sedangkan pada posisi berdiri pegangan harus setinggi bahu.
8) Pada posisi berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke belakang daripada mendorong ke depan. Gerakan-gerakan ke depan lebih kuat pada kegiatan mendorong daripada kegiatan menarik.
9) Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut 160° dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan fleksi lutut 105-135°.
Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan tubuh yang membutuhkan pengerahan tenaga ditambah dengan berat beban objek yang harus diangkat. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 Kg. Mengangkat beban yang terlalu berat akan mengakibatkan tekanan diskus pada tulang belakang. Selain itu, berat beban juga dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan tekanan pada diskus intervertebralis (Bridger, 1995).
Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang dijepit pada tangan tidak boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari 10 detik. Durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% per hari (Humantech, 1995).
(38)
d. Pergerakan repetitif
Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat memperburuk akibat dari postur kerja janggal dan gangguan tenaga. Tendon dan otot dapat memperbaiki efek peregangan atau penggunaan tenaga jika waktu yang dibagikan cukup dalam penggunaannya. Bagaimanapun jika pergerakan meliputi otot yang sama sering diulang, tanpa istirahat, kelelahan, dan ketegangan, dapat terakumulasi menghasilkan kerusakan jaringan.
Pekerjaan repetitif dapat menyebabkan nyeri akibat akumulasi sampah metabolisme dalam otot. Otot akan melemah dan spasme, yang biasanya terjadi pada tangan/lengan bawah ketika melakukan pekerjaan repetitif. Dengan demikian pekerjaan yang mengharuskan melakukan kegiatan berulang, gerakan yang kasar dan kuat termasuk pekerjaan yang berisiko tinggi (Kroemer,1989 dalam Bridger, 1995).
Aktivitas berulang (tarwaka at al, 2004) adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi
Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot berisiko apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu menit. Oleh karena itu, perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).
(39)
e. Karakteristik Objek
Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal antara lain: 1) Besar dan bentuk objek
Ukuran dan bentuk objek ikut mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot bahu lebih dari 300-400 mm, pajang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 2001).
2) Genggaman tangan
Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori utama (kumar, 2001) yaitu:
a. Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda dengan fleksibel dan
mengapit dalam telapak tangan.
b. Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari dan satu atau lebih jari lain, seperti saat menggunakan ujung jari, mencubit, menggenggam kunci, pena dan lain-lain.
(40)
2. Faktor Individu a. Umur
Guo et al, 1995; Chaffin, 1979 menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Pada umur 35 tahun sebagian besar pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit punggung, dan tingkat kelelahan akan terus bertambah sesuai dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh betti’e, et al (1989) tentang kekuatan statik otot pada pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadinya otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al.2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2001) pada pekerja panen kelapa sawit di PT X Sumatra Selatan menunjukan adanya hubungan antara umur pekerja dengan keluhan MSDs. Demikian halnya penelitian yang dilakukan
(41)
Soleha (2009) pada operator plant PT. X menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan terjadinya keluhan MSDs.
b. Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) menunjukan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al, (1993), Bernard et al, (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka, et al.2004).
c. Kebiasaan Merokok
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka, et al, 2004). Pengaruh kebiasaan merokok ini masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menunjukan bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari
(42)
pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991).
Hubungan merokok dengan keluhan MSDs disebabkan karena batuk yang meningkatkan tekanan pada perut dan menimbulkan ketegangan pada tulang belakang atau punggung (Deyo and Bass 1989; Frymoyer at al. 1980; Troup at al. 1987 dalam Bernard, 1997).
Penelitian yang dilakukan Ariani (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs.
d. Kekuatan Fisik
Kekuatan/kemampuan kerja fisik (Tarwaka, et al, 2004) adalah suatu kemampuan fungsional seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu yang memerlukan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. Lamanya waktu aktivitas dapat bervariasi antara beberapa detik (untuk pekerjaan yang memerlukan kekuatan) sampai beberapa jam (untuk waktu yang memerlukan ketahanan).
Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik denga keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya
(43)
rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu Betti’e, et al(1990) menentukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
e. Masa Kerja
Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko Musculoskeletal
Disorders (MSDs), terutama untuk pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja
yang tinggi.
Cohen, et al (1997) menjelaskan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko MSDs. Penelitian yang dilakukan oleh Hendra; Rahardjo (2009) Pada 117 Pekerja Panen Kelapa Sawit di PT “X” Sumatra Selatan menunjukan ada hubungan antara masa kerja (>4 tahun dan <4 tahun) dengan keluhan MSDs (OR: 2,755; CI: 1,184-6,412). Demikian juga, penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara masa kerja dengan keluhan MSDs.
f. Indeks Masa Tubuh (IMT)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan dan massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko 2x lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Wrner, et al (1994) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh lebih
(44)
dari 29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (massa tubuh kurang dari 20) khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita keluhansakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher , bahu pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan otot sekletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekanan dan rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).
3. Faktor Lingkungan a. Vibrasi
Vibrasi/getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982). Paparan vibrasi pada seluruh tubuh merupakan faktor risiko yang dapat berkontribusi untuk menyebabkan cidera, khususnya di tulang belakang dan leher serta punggung bagian bawah. Paparan jangka panjang akan menyebabkan MSDs, diketahui gejala yang semakin progresif dimulai mati rasa
(45)
atau perubahan warna pada ujung beberapa jari tangan. Kemudian akan terjadi penurunan rasa dan ketangkasan tangan (Budiono, 2004)
Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan kendaraan atau mesin yang besar (Cohen, et al, 1997).
b. Mikroklimat
Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat bertindak sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak dikendalikan dengan baik. Mikroklimat di tempat kerja terdiri dari unsur suhu udara, kelembaban, panas radiasi dan kecepatangerakan udara (Suma’mur, 1948 dan Bernard, 1996 dalam Tarwaka, et al, 2004). Bagi orang Indonesia, suhu yang dirasa nyaman adalah berada antara 24˚C - 26˚C serta toleransi 2 – 3 ˚C di atas atau di bawah suhu nyaman. Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai
(46)
akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun. Proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.
Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja (Tarwaka, et al, 2004).
C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi
Terdapat beberapa metode yang telah diperkenalkan para ahli dalam mengevalusi ergonomi untuk menilai tingkat risiko MSDs di tempat kerja yaitu dengan menggunakan metode pengukuran resiko ergonomi (Risk Assesment
Ergonomic). Berikut ini merupakan beberapa jenis dari metode pengukuran
ergonomi (Corlett E.N, 1998):
1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA)
RULA adalah suatu cara yang digunakan untuk melihat postur, besarnya gaya, dan pergerakkan yang menguhubungkan dengan jenis pekerjaan. Seperti bekerja dengan computer, manufaktur, atau pekerjaan lainya dimana pekerja bekerja selama posisi duduk atau berdiri tanpa berpindah tempat. RULA memberikan sebuah kemudahan dalam menghitungkan rating dari beban kerja otot dalam bekerja dimana orang mempunyai risiko pada bagian leher dan beban kerja pada anggota tubuh bagian atas.
(47)
Alat ini memasukan skor sebagai gambaran dari sebuah pekerjaan dari rating postur, besar gaya, dan pergerakkan yang dihasilkan. Risiko adalah hasil perhitungan suatu nilai/skor 1 (tinggi). Skor tersebut adalah dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan dengan memberikan sebuah indikasi kerangka waktu yang layak untuk mengekspektasi pengendalian risiko yang diajukan.
Terdapat empat pokok utama penerapan RULA yaitu untuk :
a. Mengukur risiko MSDs, biasanya sebagai bagian dari investigasi ergonomi secara luas.
b. Membandingkan beban otot dari desain saat ini dan modifikasi desain tempat kerja.
c. Evaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian peralatan.
d. Pendidikan bagi pekerja tentang risiko MSDs yang ditimbulkan oleh perbedaan postur dalam bekerja.
RULA menilai postur sebuah pekerjaan dan menghubungkan tingkat risiko dalam kerangka waktu pendek dan tidak membutuhkan peralatan yang rumit. RULA tidak didesain untuk menyediakan informasi secara detail, seperti posisi jari yang mungkin relevan untuk melihat semua risiko kepada pekerja.
2. Job Strain Index (JSI)
JSI membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang diukur atau menilai 6 variabel-variabel berikut yaitu intensitas penggunaan, durasi waktu penggunan per siklus, jumlah dari kegiatan per menit, postur pergelangan tangan, kecepatan
(48)
pengunaan, dan durasi tugas per hari. JSI digunakan hanya untuk gerakan-gerakan berulang pada tubuh bagian atas yaitu siku, lengan bawah, tangan, dan pergelangan tangan.
3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY)
Adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai besarnya tingkat risiko ergonomi terhadap kegiatan kerja. Metode ini terdiri dari 3 jenis survey yang masing-masing memiliki skor berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu; BRIEF (4 skor), Employe survei (1 skor) dan Medical survei (2 skor).
Hasil akhir dari EASY Method berupa rating yang diperoleh dari penjumlahan skor yang didapatkan dari ketiga survey tersebut maksimal (7 skor). Rating tersebut akan menunjukkan prioritas pengendalian yang perlu dilakukan. Semakin besar skornya, maka pengendaliannya pun semakin besar.
a. Employee Survey
Bertujuan untuk mengetahui keluhan nyeri pada pekerja yang dialami pada saat melakukan kegiatan. Dalam survey ini dapat diketahui pada tahapan kegiatan dimana yang paling berat (berisiko) untuk dikerjakan terkait dengan keluhan yang selama ini muncul pada pekerja. Survey ini dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara dengan pekerja.
Hasil dari Employee Survey dapat memperkuat risiko yang didapat pada BRIEF survey, namun belum dapat dijadikan justifikasi bahwa proses kerja yang diamati memang merupakan gejala dapat skor 1 apabila pekerja mempunyai keluhan dan mendapat skor 0 apabila tidak punya keluhan (Humantech, 1995).
(49)
b. Medical Survey
Medical Survey didapatkan dari hasil Medical Record kartu sakit, dan data kunjungan pada poliklinik perusahaan atau pelayanan kesehatan (yankes) lain. Hasil dari Medical Survey berupa data yang berisi hasil foto rontgen, riwayat kesehatan tenaga kerja, dan hasil medical record tahunan.
Jika hasil survey ini didapat bahwa pekerja telah mengalami gangguan atau kelainan pada sistem muskulo skeletal akibat pajanan pada pekerjaannya yang menyebabkan pekerja harus beristirahat maka diberi skor 2. jika terjadi gangguan kesehatan secara medis namun tidak sampai kehilangan hari kerja, maka mendapat skor 1, dan jika tidak terjadi gangguan kesehatan secara medis skornya adalah 0.
4. Baseline Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF) survey
Adalah suatu alat yang digunakan untuk skrinning awal dengan menggunakan sistem rating untuk mengidentifikasi bahaya ergonomi yang diterima oleh pekerja dalam kegiatan sehari-hari. Dalam BRIEF survey terdapat 4 faktor risiko ergonomi yang perlu diketahui yaitu:
a. Postur; sikap anggota tubuh janggal waktu menjalankan pekerjaan
b. Gaya; beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh saat melakukan postur janggal dan melampaui batas kemampuan tubuh
c. Lama; lama waktu yang digunakan untuk melakukan gerakan pekerjaan dengan postur janggal
(50)
Dalam survey ini setiap faktor yang melanggar kriteria standar maka dapat skor 1 (Humantech, 1995). Semakin banyak skor yang didapat dalam suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut semakin berisiko dan memerlukan penanggulangan segera. Skor maksimal yang bisa didapat dalam survey ini yaitu sebesar 4 skor.
5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)
Hignett and McAtmeney (2000), telah mengembangkan untuk menilai jenis postur pekerjaan yang tidak bisa diprediksi. Data yang dikumpulkan mengenai postur tubuh, besarnya gaya yang digunakan, tipe pergerakan atau aksi gerakan berulang dan rangkaian. Hasil dari skor REBA adalah untuk memperlihatkan sebuah indikasi dari tingkat risiko dan kondisi penting untuk tindakan yang diambil.
Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi penilaian ergonomi di tempat kerja yang membutuhkan analisis postural lebih lanjut adalah diwajibkan untuk:
a. Keseluruhan tubuh pekerja digunakan
b. Postur statis, dinamis, perubahan cepat atau stabil
c. Barang bernyawa atau tidak bernyawa yang sedang ditangani satunya sering dilakukan atau tidak sering dilakukan
d. Dapat digunakan untuk menilai risiko pada modifikasi tempat kerja, peralatan, atau risiko perilaku dari pekerjaan.
Penggunaan metode REBA adalah sebagai analisis postur yang cukup sensitif untuk postur kerja yang sulit diprediksi dalam bidang kesehatan dan industri lainnya.
(51)
REBA melakukan Assesment pergerakan repetitif dan gerakan yang paling sering dilakukan dari kepala sampai kaki. REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs, dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau aktifitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh yang dimaksudkan untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan yang dilakukan.
Kelebihan dari metode REBA adalah :
a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang).
c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil.
d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan.
e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan.
Sedangkan kelemahan menggunakan REBA adalah (Staton, et al, 2005) : a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
b. Tidak mempertimbangkan lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperatur, dan jarak pandang.
(52)
5.1Prosedur Penilaian REBA
Dalam prosedur penilaian dengan mengunakan metode REBA terdapat 6 tahap, yaitu (Staton, et al, 2005):
a. Mengamati Tugas (observasi pekerjaan)
Mengamati tugas untuk merumuskan sebuah penilaian tempat kerja ergonomi yang umum, termasuk akibat dari tata letak dan lingkungan pekerjaan, pengunaan peralatan-peralatan dan perilaku pekerja dengan menghitungkan risiko. Jika memungkinkan, rekam data mengunakan kamera atau video.
b. Memilih Postur Untuk Penilaian
Menentukan postur mana yang akan digunakan untuk menganalisis pengamatan pada langkah 1. Kriteria berikut ini dapat digunakan :
1) Postur yang paling sering diulang, 2) Postur yang lama dipertahankan,
3) Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga paling besar, 4) Postur yang menyebabkan ketidaknyamanan,
5) Postur ekstrim, tidak stabil, terutama ketika tenaga dikerahkan,
6) Postur ditingkatkan melalui intervensi, pengukuran kendali atau perubahan lainnya.
Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih dari kriteria diatas. Kriteria untuk memutuskan postur yang dianalisis harus dilaporkan dengan mencantumkan hasil atau rekomendasi.
(53)
c. Memberi Nilai Pada Postur
Gunakan lembar penilaian dan nilai bagian tubuh untuk menilai postur. Nilai awal adalah untuk Kelompok A yaitu punggung, leher, dan kaki. Kelompok B yaitu lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan.
Untuk postur kelompok B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Catat poin tambahan yang dapat ditambahkan atau dikurangi, tergantung pada posisi. Sebagai contoh, dikelompok B lengan atas dapat ditunjang pada posisinya, sehingga nilainya dikurangi 1 dari nilai lengan atas tersebut.
d. Memproses Nilai
Tabel A digunakan untuk mendapatkan nilai tunggal dari punggung, leher, dan kaki. Nilai ini dicatat di tabel lembar penilaian dan ditambah dengan nilai beban untuk mendapatkan nilai A. untuk tabel B merupakan penilaian dari lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Bagian-bagian dari tabel B yang diukur yaitu bagian kanan dan kiri. Nilai kemudian ditambah dengan nilai genggaman tanggan untuk menghasilkan nilai B. nilai A dan B dimasukkan ke dalam tabel C, kemudian didapatkan sebuah nilai tunggal, yaitu nilai C. kemudian diperolehlah nilai REBA sesuai tabel level hasil REBA.
e. Menetapkan nilai REBA
Jenis aktivitas yang dilakukan diwakili oleh nilai aktivitas yang ditambahkan dengan nilai C untuk memberi nilai REBA (akhir).
(54)
f. Menentukan action level
Nilai level risiko REBA kemudian dibandingkan dengan nilai level perubahan, yaitu kumpulan nilai yang paling sering berhubungan untuk mengetahui tingkat pentingnya membuat suatu perubahan.
g. Penilaian Ulang
Jika tugas berubah menjadi pengukuran pengendalian prosesnya dapat diulang. Nilai REBA yang baru dapat dibandingkan dengan yang sebelumnya untuk memonitor efektifitas perubahan.
(55)
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori, sehingga keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) ditetapkan sebagai variabel terkait (dependen), sedangkan faktor pekerjaan ditetapkan sebagai variabel bebas (independen) dengan karakteristik individu dan faktor lingkungan sebagai variabel confounding nya.
Faktor pekerjaan yang terdiri dari postur kerja, penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek pengukurannya menggunakan metode REBA (pengukuran risiko ergonomi berdasarkan postur, berat, coupling dan nilai aktifitas).
Pada karakteristik individu seperti jenis kelamin tidak diukur karena seluruh pekerja tukang angkut adalah laki-laki. Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kekuatan fisik pengukurannya harus menghitung penggunaan otot serta biomekanika tubuh dan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki peneliti, kekuatan fisik tidak diambil dengan alasan dikhawatirkan akan terjadi bias.
Sedangkan faktor lingkungan yang terdiri dari vibrasi/getaran dan mikroklimat tidak dimasukan ke dalam analisis karena seluruh pekerja bekerja di ruangan terbuka. Sehingga secara lebih jelas kerangka konsep dengan mempertimbangkan alasan, kekurangan dan keterbatasan peneliti dapat dilihat seperti pada bagan berikut:
(56)
Variabel Independen Variabel Dependen
Keluhan MSDs
Karakteristik Individu
a. Umur b. Kebiasaan
merokok c. Masa kerja
Risiko Pekerjaan
(Metode REBA)
Variabel Confounding
Bagan 3.1
(57)
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil ukur Skala
1 Keluhan
Musculoskelet al Disorders
(MSDs)
Rasa nyeri, pegal-pegal dan
ketidaknyamanan pada sistem otot dan tulang yang dirasakan oleh pekerja/tukang angkut.
(Tarwaka,et al. 2004)
Kuesioner Menyebarkan kuesioner kepada responden
1.Mengeluh, jika ada bagian tubuh yang dikeluhkan ≥ 1 2.Tidak mengeluh, jika tidak
ada bagian tubuh yang dikeluhkan
Ordinal
2. Risiko Pekerjaan (REBA)
Skor akhir dari hasil mengidentifikasi pekerjaan dengan menggunakan metode REBA 1. Busur 2. Kamera 3. Stopwatch 4. Timbangan Observasi, meliputi: 1.Pengambilan gambar
kegiatan pekerja dengan kamera dan menghitung gerakan dengan stopwatch. 2.Menimbang beban
objek yang diangkut dengan timbangan 3.Mengidentifikasi
postur pekerja dengan
menggunakan
metode REBA dan mengukur sudut menggunakan busur.
Skor akhir REBA :
1.Sangat tinggi (Skor 11-15) 2.Tinggi (Skor 8-10)
3.Sedang (Skor 4-7) 4.Rendah (Skor 2-3) 5.Sangat Rendah (Skor 1)
(58)
3. Umur Lamanya responden hidup dihitung sejak tahun kelahiran sampai penelitian berlangsung Kuesioner Menyebarkan kuesioner kepada responden
1. ≥35 tahun 2. < 35 tahun
(Tarwaka, et al. 2004)
Ordinal
4. Kebiasaan merokok
Banyaknya jumlah batang rokok yang dikonsumsi
responden per hari
Kuesioner Menyebarkan
kuesioner kepada responden
1. ≥ 10 batang rokok/hari 2. < 10 batang rokok/hari (Pheasant, 1991)
Ordinal
6 Masa kerja Lama bekerja sebagai pekerja tukang angkut beban (berdasarkan bulan) di tempat penelitian
Kuesioner Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
1. Tinggi, jika masa kerjanya ≥ nilai median 2. Rendah, jika masa
kerjanya < nilai median
(59)
terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
2. Ada hubungan antara faktor risiko individu (umur, kebiasaan merokok, dan masa kerja) dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
(60)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
sectional (potong lintang), karena pada penelitian ini variabel independen dan
dependen akan diamati pada waktu (periode) yang bersamaan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi pertambangan emas Desa Cikamunding Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Provinsi Benten selama bulan Februari - April 2010.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja tukang angkut beban di lokasi pertambangan Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 sebanyak 48 orang. Karena jumlah populasi tidak terlalu banyak, maka jumlah sampel diambil sesuai dengan jumlah populasi atau teknik pengambilan sampel diambil secara sampel jenuh.
(61)
D. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Adapun data yang dikumpulkan berupa karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja), frekuensi keluhan MSDs, gambaran pekerjaan, postur kerja, beban objek, coupling dan nilai aktifitas. Karakteristik individu dan frekuensi keluhan MSDs diperoleh melalui pengisian kuesioner. Sedangkan gambaran pekerjaan, postur kerja, beban objek, coupling dan nilai aktifitas diperoleh dengan cara observasi langsung dan wawancara tak terstruktur di tempat penelitian.
E. Instrumen Penelitian
Jenis instrumen penelitian yang digunakan, meliputi:
1. Kuesioner, digunakan untuk memperoleh data karakteristik individu dan gambaran keluhan MSDs pada responden. Kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner Nordic Body Map (NBM).
2. Kamera, digunakan untuk pengambilan gambar responden yang dibutukan dalam pengukuran postur kerja.
3. Busur, untuk mengukur sudut postur kerja dalam gambar pada saat melakukan pekerjaan.
4. Stop watch, untuk menghitung lamanya waktu dalam setiap kegiatan. 5. Timbangan, untuk mengukur berat objek yang diangkut oleh responden.
(62)
F. Pengolahan Data
Setelah kegiatan pengumpulan data, kemudian dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan, diantaranya:
1. Editing, yaitu kegiatan untuk memeriksa kelengkapan, kejelasan,
kesinambungan, dan keseragaman data.
2. Coding (memberikan kode data), yaitu merupakan kegiatan mengubah data
berbentuk kalimat menjadi kode angka untuk mempermudah pemasukan dan pengolahan data.
a. Untuk variabel Keluhan Musculoskeletl Disorders (MSDs) diberi kode 1 jika responden mengeluh (jumlah skor yang dikeluhkan ≥ 1) dan kode 2 jika responden tidak mengalami keluhan.
b. Pada variabel risiko pekerjaan, pemberian kode dikategorikan berdasarkan skor akhir REBA yaitu, skor 11-15 = sangat tinggi (kode 1), skor 8-10 = tinggi (kode 2), skor 4-7 = sedang (kode 3), skor 2-3 = rendah (kode 4), dan skor 1 = sangat rendah (kode 5).
c. Variabel umur diberi kode 1 jika umur ≥35 tahun dan kode 2 jika < 35 tahun. d. Variabel kebiasaan merokok diberi kode 1 jika merokok ≥ 10 batang rokok
per hari dan kode 2 jika < 10 batang rokok per hari.
e. Variabel masa kerja dikategorikan rendah (kode 1), jika masa kerjanya ≥ nilai median dan tinggi (kode 2) jika masa kerjanya < nilai median.
3. Processing, yaitu memproses data dengan cara meng-entry ke dalam komputer.
4. Cleaning, merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
(63)
G. Analisis Data
1. Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat/menjelaskan karakteristik serta distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang diteliti.
2. Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dengan melakukan uji Chi Square yang merupakan analisis hubungan variabel kategorik dengan batas kemaknaan α 0,05 estimasi
Confidential Interval (CI)95%. Persamaan Chi Square: (O - E)
X2 = E Keterangan :
X2 = Chi Square
O = Efek yang diamati E = Efek yang diharapkan
Metode (analisis) ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya. Jika Pvalue
> 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variable. Sebaliknya jika Pvalue < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima
(64)
HASIL
A. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang meliputi gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs), gambaran risiko pekerjaan, dan gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja).
1. Gambaran Keluhan Musculoskelatal Disorders (MSDs)
Setelah diperoleh data yang dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, didapatkan hasil yang menggambarkan tentang distribusi keluhan MSDs pada tukang angkut sebagai berikut:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Pada Tukang Angkut Beban di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2009
No. Keluhan MSDs Jumlah Persentase
1. Mengeluh 38 79.2%
2. Tidak mengeluh 10 20.8%
Total 48 100 %
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban yang mengeluh
sebanyak 38 orang (79.2%), dan tukang angkut yang tidak mengeluh sebanyak 10 orang (20.8%).
(65)
berdasarkan bagian tubuh serta tingkat keparahan dan tingkat keseringan keluhan yang dirasakan 38 pekerja seperti pada tabel berikut.
Diagram 5.2
Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Berdasarkan Bagian Anggota Tubuh, Tingkat Keparahan dan Tingkat Keseringan Pada Tukang Angkut Beban di
Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010
Tingkat Keparahan Tingkat Keseringan No Bagian Tubuh Jumlah
Penderita
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Leher 6 6 6
2 Bahu kiri 14 14 9 5
3 Bahu kanan 24 6 18 13 11
4 Lengan atas kiri 3 3 3
5 Punggung 21 9 12 2 2 17
6 Lengan atas kanan 5 5 5
7 Pinggang 20 14 6 20
8 Bokong 1 1 1
9 Lengan bawah knan 2 2 2
10 P. tangan kiri 2 2 2
11 P. tangan kanan 2 2 2
12 Jari tangan kiri 2 2 2
13 Jari tangan kanan 3 3 3
14 Paha kiri 5 5 4 1
15 Paha kanan 3 3 3
16 Lutut kiri 1 1 1
17 Lutut kanan 1 1 1
18 Betis kiri 11 11 8 3
19 Betis kanan 9 9 4 5
20 Jari kaki kiri 3 3 1 2
21 Jari kaki kanan 2 2 1 1
Jumlah 140 - 103 37 - 1 27 17 95
Ket :
Tingkat Keparahan 1. Ringan
2. Sedang 3. Parah 4. Sangat parah
Tingkat Keseringan 1. 1-2 kali/thn 2. 1-2 kali/bulan 3. 1-2 kali/minggu 4. setiap hari
(66)
dikeluhkan oleh pekerja tukang angkut beban yaitu bagian bahu kanan sebanyak 24 orang, kemudian pekerja yang mengeluhkan pada bagian punggung sebanyak 21 orang dan yang mengeluhkan bagian pinggang sebanyak 20 orang, sedangkan sisanya mengeluhkan pada bagian anggota tubuh lainnya.
Berdasarkan tingkat keparahan keluhan dapat diketahui bahwa sebanyak 103 dari 140 keluhan berada pada tingkat sedang (rasa nyeri akan hilang setelah dilakukan istirahat), sedangkan sisanya berada pada tingkat yang parah (rasa nyeri tetap ada meskipun pemebebanan dihentikan namun masih tetap bisa bekerja).
Berdasarkan tingkat keseringan keluhan, mayoritas pekerja mengaku merasakan keluhan tersebut setiap hari, namun demikian ada juga beberapa bagian tubuh yang dikeluhkan pekerja 1-2 kali/minggu atau 1-2 kali/bulan, bahkan ada pekerja yang mengeluhkan bagian tubuhnya dengan tingkat keseringan 1-2kali/tahun.
(1)
81
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Terdapat sebanyak 38 pekerja (79.2%) tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak yang mengalami keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs).
2. Berdasarkan perhitungan metode REBA, sebanyak 21 pekerja (43.8%) yang bekerja pada tingkat risiko pekerjaan sangat tinggi.
3. Berdasarkan karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja), ada sebanyak 20 pekerja (41.7%) yang berusia ≥35 tahun, 15 pekerja (31.3%) yang memiliki kebiasaan merokok ≥10 batang per hari dan ada sebanyak 29 pekerja (60.4%) yang bekerja lebih atau sama dengan 37 bulan.
4. Ada hubungan antara faktor risiko pekerjaan dan karakteristik umur pekerja dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs).
5. Tidak ada hubungan antara karakteristik individu (kebiasaan merokok dan masa kerja) dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs).
(2)
82
B. Saran
1. Bagi Pengusaha
a. Agar secepatnya memberlakukan sistem pengorganisasian kerja termasuk diantaranya mengatur waktu kerja dan waktu istirahat yang seimbang. Hal ini diperlukan sebagai upaya pencegahan paparan yang berlebihan dari risiko kegiatan pengangkutan
b. Sebaiknya berat beban yang harus diangkat agar diperkecil. Hal ini diperlukan sebagai upaya meminimalisir risiko yang harus dihadapi pekerja khususnya yang berumur lebih dari 35 tahun, dimana kekuatan ototnya akan terus mengalami penurunan.
c. Memberikan pelatihan khusus berkaitan dengan prosedur pengangkutan yang baik dan benar kepada seluruh pekerja
2. Bagi Penelitian selanjutnya
Diharapkan pada variabel yang berhubungan yang meliputi variabel pekerjaan dan variabel umur agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat). Selain itu, diharapkan untuk mengikutsertakan variabel lain yang diduga berhubungan dengan keluhan MSDs tapi tidak diteliti penulis pada penelitian ini.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Ariani (2008). Gambaran Risiko Msuculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang
Angkut barang (porter) di Stasiun Jatinegara jakarta Tahun 2008. Skripsi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Bernard, BP. (ed), et al. (1997). Musculoskeletal Disorders And Workplace Factors : A Chemichal Review of Epidemiologic Evidence For Work-Related MSDs of Neck,
Upper Extremity And Low Back. U.S Departement of Health and Human
Services, PH Service for Disease Control and Prevention, National Institute For Occupational Safety And Health.
Bridger, R.S. (1995). Introduction to Ergonomics. Singapore: mcGraww Hill, Inc.
Budiono, Sugeng et al. (2003). Bunga Rampai Hiperkes dan kecelakaan Kerja”.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.
Chenoweth. D.H (1998), Worksite Health Promotion. Human Kinetics; USA
Cohen, Alexander L. et al. (1997). Elements of Ergonomics Programs. A Primer Based
on Workplace Evaluations of Musculoskeletal Disorders. Amerika: U.S
Departement of Health and Human Services. NIOSH
Corlett, E.N. (1998). The Occupational Ergonomics Handbook. London:CRC Press. DiNardi, Salvatore R. (1997). The Occupational Environment-its Evaluation and Control.
Virginia: American Industrial Hygiene Assosiation. Hastono PH. (2001) Modul Analisis Data. Depok; UI
Hendra; Rahardjo (2009). Risiko Ergonomi dan Keluhan Musculoskeletal Disorders
(MSDs) pada Pekerja Panen Kelapa Sawit Tahun 2009. Prosiding Seminar
Nasional Ergonomi IX c TI-UNDIP. Available: http://staff.ui.ac.id/internal/13225581/publikasi/D11.Pdf kamis, 31 Desember 2009 pukul 11:13 WIB
Hignett, S and McAtamney (2001) Rapid Entire Body Assessment (REBA), Applied Ergonomics. D. L. Kimbler: Clemson University. Available http://www.clemson.edu/ces/departments/ie/documents/kimbler/cureba.pdf
Kamis, 31 Desember 2009 pukul 10:24 WIB
Humantech Inc. (1995). Applied Ergonomic Training Manual. Berkeley Vale Australia : Protector and Gamble Inc.
(4)
Jannah, Nur (2008). Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja
Divisi kasir, Groceri, dan Receiving Giant Hypermarket Cimanggis tahun 2008.
Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Kuntodi (2008), Cumulative Trauma Disorders (CTDs). Available
http://konsulhiperkes.wordpress.com/2008/12/31/cumulative-trauma-disorers-ctds/ Kamis, 31 Desember 2009 pkl 10:48
Kumar, Shrawan. (2001). Biomechanics in Ergonomics. Taylor&Francis, London. LaDao, Josep (1994). Occupational Helath and Safety. Illionis. National Safety Council. Levy, Barry et al (1983). Occupational Health Recognizing and Preventing Work Related
Disease. USA: Doubleday and Company Inc
Nur (2009), Rapid Entire Body Assessment. Available
http://nur-www.blogspot.com/2009/05/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Nurmianto, Eko. (2004). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi ke 2. Surabaya: Guna Widya.
Oborne, David (1995). Ergonomic at Work. Chicester, UK. Jhon willey & Sons, Ltd
OSHA. (2002). Ergonomic: The Study of work. US Departement of Labor Occupational
Safety and Health Administration. OSHA 3125.
Pheasant, Stephen. (1991). Ergonomics, Work, and Health. Aspen Publiser Inc, USA. Sahab, Syukri (1997). Teknik Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: PT
Bina Sumber Daya Manusia.
Silalahi, dkk (1985). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindo.
Smet, Bart (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasaran Indonesia Soleha, Siti (2009). Hubungan Faktor Risiko Ergonomi dengan Keluhan Musculoskeletal
(MSDs) pada Operator Cant Plant PT. X Plant Ciracas Jakarta TimurTahun
2009. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah
Suma’mur P.K. (1989). Ergonomic Untuk Meningkatkan Produktifitas Kerja. Jakarta:
(5)
Sumiati. (2007). Analisis Risiko Low Back Pain (LBP) pada Perawat Unit Darurat dan
Ruang Operasi di RS. Prikasih Jakarta Selatan. Skripsi; Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia.
Staton et al, (1997). Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. London:
CRC Press.
Tarwaka et al (2004), Ergonomi Untuk K3 dan Produktivitas. UNIBA Press; Surakarta.
(6)