HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN STRES KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN STRES KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT

INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Skripsi

Untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Oleh: Nita Rizky G 0104057

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal dengan judul : Hubungan antara Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Nama Penulis : Nita Rizky

NIM : G 0104057

Tahun : 2004

Telah disetujui untuk dipresentasikan dihadapan Dewan Penguji Proposal Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 17 Februari 2010

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Bagus Wicaksono, Drs., M.Si Arista Adi Nugroho, S. Psi., MM NIP 19620901 198903 1 003 19800702 200501 1 001

Koordinator Skripsi

Rin Widya Agustin, M. Psi NIP 197608172005012002


(3)

commit to user

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Hubungan antara Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi

Surakarta

Nita Rizky, G 0104057, Tahun 2010

Telah diuji dan disahkan oleh pembimbing dan penguji skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari :

Tanggal :

1. Pembimbing I

Drs. Bagus Wicaksono, M. Si ( __________________ ) 2. Pembimbing II

Arista Adi Nugroho, S. Psi., MM ( __________________ ) 3. Penguji I

Dra. Tuti Hardjajani, M. Si ( __________________ ) 4. Penguji II

Aditya Nanda. P., S. Psi., M. Si ( __________________ )

Surakarta, __________________________

Koordinator Skripsi, Ketua Program Studi Psikologi,

Rin Widya Agustin, M. Psi. Drs.

Hardjono, M. Si


(4)

commit to user

iv

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Agustus 2010


(5)

commit to user

v


(6)

commit to user

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

!

"# $ %

& &

#

'# %

#

(# ) * )


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini telah melibatkan banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus dan ikhlas kepada:

1. Prof. Dr. AA. Subijanto, dr, M.S. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Drs. Hardjono, M.Si selaku Ketua Program Studi Psikologi yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Prodi Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.

3. Drs. Bagus Wicaksono, M.Si selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberi bimbingan, dan motivasi kepada penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. 4. Arista Adi Nugroho, S. Psi., MM selaku dosen pembimbing II, yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberi bimbingan dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.

5. Dra. Tuti Hardjajani, M. Si selaku dosen penguji I yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.


(8)

commit to user

viii

6. Aditya Nanda. P., S. Psi., M. Si selaku dosen penguji II yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.

7. Bambang Sugeng Wijonarko selaku Kepala Bagian Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

8. Seluruh perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah bersedia menjadi subjek penelitian penulis.

9. Seluruh Staf Prodi Psikologi FK UNS untuk segala bantuan dan kemudahan dalam pelayanannya yang telah diberikan.

10. Ibu dan Bapak serta kakak tercinta terima kasih atas do’a, kasih sayang, dan motivasinya selama ini tanpa mengenal lelah yang terus membimbingku menjadi orang yang dewasa, mandiri, dan berguna.

11. Diah Tri Novita, Maharani Christie, Rizki Indrastuti Kusumasari, dan Lia Ayu Diyanti yang menjadi sahabat terbaik, yang selalu menemaniku dalam suka dan duka.

12. Seluruh rekan mahasiswa Program Studi Psikologi FK UNS angkatan 2004 dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Surakarta, Agustus 2010 Penulis


(9)

commit to user

ix ABSTRAK

Hubungan antara Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap

RSUD Dr. Moewardi Surakarta Nita Rizky

Universitas Sebelas Maret

Di dalam industri rumah sakit, perawat merupakan salah satu tenaga medis yang memegang peranan utama karena perawat selama dua puluh empat jam berada disisi pasien. Bagi rumah sakit pergantian tenaga perawat merugikan dan menghabiskan waktu, dan penyebab utama pindah kerja perawat disebabkan oleh rendahnya kepuasan kerja. Berbagai permasalahan yang dialami oleh perawat dengan dokter, pasien, maupun rekan kerja akan berakibat kepada kepuasan kerja, sedangkan kepuasan kerja menentukan sikap dan perilaku perawat. Oleh sebab itu kepuasan kerja perawat menjadi salah satu hal yang sangat penting karena sikap dan perilaku perawat berhubungan dengan kualitas dari pelayanan. Kepuasan kerja menggambarkan sikap suka atau tidak sukanya perawat terhadap pekerjaannya yang berhubungan dengan adanya keberhasilan komunikasi interpersonal dan stres kerja yang rendah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja, dan mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja, serta mengetahui hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja.

Subjek penelitian ini adalah seluruh perawat di ruang rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yaitu sebanyak 124 orang. Mengingat populasi yang tidak begitu banyak, maka penelitian ini menggunakan studi populasi dimana seluruh anggota populasi menjadi subjek penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi dan korelasi berganda dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 16.

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.600 pada taraf signifikansi (p) 0.000. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel komunikasi interpersonal dan stres kerja dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi kepuasan kerja. Hasil analisis masing-masing variabel bebas dengan variabel tergantung juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan. Korelasi antara variabel komunikasi interpersonal dan variabel kepuasan kerja sebesar 0.363 pada taraf signifikansi (p) 0.000, sedangkan korelasi antara variabel stres kerja dengan variabel kepuasan kerja sebesar -0.600 pada taraf signifikansi (p) 0.000.


(10)

commit to user

x ABSTRACT

The Relations between Interpersonal Communication and Job Stress and The Job Satisfaction of Nurse in The Installation Care of RSUD Dr.

Moewardi Surakarta Nita Rizky

University of Sebelas Maret

:In Hospital Industry, nurses are one of the medical staff who take the main role, because almost 24 hours nurses are always beside the patient. For the Hospital turn over of nurses wastes the time and of course it makes the Hospital gets a financial lost too. It happenes because the nurses have low satisfaction level of doing their job. Various problems that are experienced by the nurses with the doctors, the patients, and the colleagues, will result in the nurses’ job satisfaction. In fact, job satisfaction determines the attitude and behaviour of the nurses. Therefore the job satisfaction is important, because the attitude and behaviour of the nurses will represent their service quality to the patients. The job satisfaction describes the like or dislike attitude to the job which is related to the successfulnes of the interpersonal communication and low level job stress.

The aim of this research were to know the relationship between interpersonal communication and job stress with the job satisfaction, and to know the relations of interpersonal communication with the job satifaction, also to know the relations of job stres with the job satisfaction.

The subject of this research was all the nurses in the installation care of RSUD Dr. Moewardi Surakarta which was contained of 124 nurses. Considering the minimum population of the subject so this research used the population study which was all of the member of the population became the subject. The data analysis technique used the regression analysis and multiplied correlation with SPSS for Ms. Windows version 16.

Based on the data analysis the result of relationship between interpersonal communication and the job stress with the job satisfaction was sinignificant with the correlation value (r) of 0,600 in the significance level of (p) 0,000. This result showed that the variable of interpersonal communication and job stress had a role as a predictor to predict the job satisfaction. The correlation between the interpersonal communication variable and the job satisfaction were 0,363 in the significance level of (p) 0,000, whereas the correlation between the job stress variable and the job satisfaction were -0,600 in the significance level of (p) 0,000. Keyword: Interpersonal Communication, Job Stress, Job Satisfaction.


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Kepuasan Kerja ... 13

1. Pengertian Kepuasan Kerja ... 13


(12)

commit to user

xii

3. Faktor-faktor Kepuasan Kerja ... 17

4. Aspek-aspek Kepuasan Kerja ... 21

B. Komunikasi Interpersonal ... 23

1. Pengertian Komunikasi ... 23

2. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 24

3. Unsur-unsur Komunikasi Interpersonal ... 25

4. Faktor-faktor Komunikasi Interpersonal ... 26

5. Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal ... 29

C. Stres Kerja ... 32

1. Pengertian Stres ... 32

2. Pengertian Stres Kerja ... 33

3. Sumber-sumber Stres Kerja... 34

4. Faktor-faktor Stres Kerja ... 36

5. Aspek-aspek Stres Kerja ... 37

D. Hubungan Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat... 41

E. Kerangka Berpikir Konseptual ... 44

F. Hipotesis ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 46

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 46

C. Populasi ... 48


(13)

commit to user

xiii

E. Validitas dan Realiabilitas ... 58

F. Teknik Analisis Data... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Persiapan Penelitian ... 63

1. Orientasi Tempat Penelitian ... 63

2. Persiapan Alat Pengumpul Data ... 65

B. Pelaksanaan Penelitian ... 72

1. Penentuan Responden Penelitian ... 72

2. Pengumpulan Data Uji Coba Alat Ukur ... 72

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 72

4. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 80

5. Pengumpulan Data Penelitian ... 80

C. Analisis Data ... 81

1. Uji Asumsi ... 81

2. Uji Hipotesis ... 86

3. Analisis Deskriptif ... 89

D. Pembahasan ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Pernyataan Favorable dan Unfavorable ... 51

2. Blue Print Skala Kepuasan Kerja ... 53

3. Blue Print Skala Komunikasi Interpersonal ... 55

4. Blue Print Skala Stres Kerja ... 57

5. Distribusi Skala Kepuasan Kerja Sebelum Uji Coba ... 67

6. Distribusi Skala Komunikasi Interpersonal Sebelum Uji Coba ... 69

7. Distribusi Skala Stres Kerja Sebelum Uji Coba ... 71

8. Distribusi Skala Kepuasan Kerja Sesudah Uji Coba ... 74

9. Distribusi Skala Komunikasi Interpersonal Sesudah Uji Coba ... 76

10. Distribusi Skala Stres Kerja Sesudah Uji Coba ... 78

11. Hasil Analisis Reliabilitas Aitem Skala Kepuasan Kerja ... 79

12. Hasil Analisis Reliabilitas Aitem Skala Komunikasi Interpersonal ... 79

13. Hasil Analisis Reliabilitas Aitem Stres Kerja ... 80


(15)

commit to user

xv

15. Hasil Uji Linieritas Komunikasi Interpersonal

dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja ... 83

16. Hasil Uji Multikolinieritas ... 84

17. Hasil Uji Hetrokedastisitas ... 85

18. Hasil Uji Autokorelasi ... 86

19. Hasil Analisis Regresi Linier ... 87

20. Hasil Korelasi Berganda ... 88

21. Statistik Deskriptif ... 89


(16)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelayanan kesehatan yang baik perlu mendapatkan perhatian kita semua. Sebagaimana diketahui, pelayanan kesehatan melibatkan banyak pihak, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun pelaku pelayanan itu sendiri. Pelaku pelayanan dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa lepas dari berbagai masalah yang sering terjadi di dunia kerja.

Keperawatan sebagai suatu profesi dan berdasarkan pengakuan masyarakat adalah ilmu kesehatan tentang asuhan atau pelayanan keperawatan atau the health science of caring. Caring adalah memberikan bantuan kepada individu atau sebagai advokasi pada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (Linberg dalam Nursalam, 2008). Tujuan asuhan keperawatan adalah untuk memandirikan pasien sehingga dapat berfungsi secara optimal (Rusdi, 2008).

Perawat sebagai seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turun serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, baik yang dilaksanakan sendiri maupun di bawah pengawasan dokter atau suster kepala, maka kadar keterlibatan kerja akan menentukan bagaimana kualitas kerja perawat tersebut dalam merawat pasien dengan menerapkan pendekatan komprehensif dan merencanakan perawatan yang bersifat individual berdasarkan kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual dari pasien, pada tingkat tumbuh kembang yang berbeda. Pelayanan perawat memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pelayanan


(17)

commit to user

kesehatan secara keseluruhan, karena tenaga perawat selama dua puluh empat jam harus berada di sisi pasien (Darmawan, 2002).

Hal yang sering menjadi permasalahan bagi perawat salah satunya adalah masalah yang terkait dengan kepuasan kerja. Menurut As’ad (1992) kepuasan kerja menjadi masalah yang menarik dan penting karena terbukti manfaatnya baik bagi kepentingan individu, industri dan masyarakat. Bagi individu, penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan hidup mereka. Bagi industri, penelitian tentang kepuasan kerja dilakukan dalam usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya masyarakat tentu akan mengetahui hasil kapasitas maksimal dari industri serta naiknya nilai manusia di dalam konteks pekerjaan.

Menurut Howell dan Dipboye (dalam Munandar, 2001) kepuasan kerja didefinisikan sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Gibson, Ivancevich, dan Donelly (dalam Sutanto, 2002) menyatakan kepuasan kerja merupakan ekspresi seseorang terhadap penghargaan (well-being) yang diterimanya terkait dengan pekerjaan yang dilakukannya. Pendapatan yang diterima dapat berbentuk intrinsik maupun ekstrinsik. Penghargaan intrinsik dapat berupa adanya perasaan tanggung jawab, tantangan, dan pengakuan dari orang lain. Penghargaan ekstrinsik dapat berupa gaji, kondisi kerja, tingkat pengawasan, lingkungan kerja, dan supervisi.


(18)

commit to user

Spector (dalam Arofani dan Seniati, 2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu bentuk sikap yang paling sering diteliti oleh para ahli dalam penelitian mengenai perilaku keorganisasian. Hasil penelitian Andrew Oswald dan Jonathan Gardner dari Warwick University menyatakan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 terjadi penurunan 85% kepuasan kerja para pegawai sektor layanan publik seperti dokter, perawat, guru, dosen, dan pegawai negeri sipil di Britania Raya (Satria, 2007). Menurut Munandar (2001) kepuasan kerja karyawan dirasakan penting karena memiliki dampak terhadap absenteeism dan pindah kerja (turnover). Karyawan yang memiliki kepuasan kerja rendah cenderung untuk tidak hadir dan keluar dari pekerjaannya.

Menurut Kettle, perawat memegang peranan utama dalam hal perawatan kesehatan. Oleh karena itu penggantian dari tenaga perawat sangat merugikan dan menghabiskan waktu. Sedangkan Weisman berpendapat bahwa penyebab utama dari pindah kerja tenaga perawat disebabkan oleh rendahnya kepuasan kerja. Selanjutnya menurut Lee, kesuksesan dalam industri rumah sakit tergantung dari bagaimana mengatur dan mempertahankan perawat sehingga tidak terjadi pindah kerja (dalam Stefanie, 2004).

Lawler mengemukakan teorinya yang disebut teori “Model Aspek Kepuasan” (Satisfaction Facet Model) yang menyatakan bahwa individu dipuaskan dengan suatu aspek khusus dari pekerjaan mereka seperti: rekan kerja, atasan, upah, dan lain-lain, jika jumlah aspek yang mereka alami tersebut adalah yang seharusnya mereka peroleh karena telah melaksanakan pekerjaannya sama dengan jumlah yang benar-benar mereka peroleh.


(19)

commit to user

Herzberg memperkuat pendapat tersebut dengan melakukan penelitian terhadap 200 orang insinyur dan akuntan. Hasil penelitian Herzberg tersebut melahirkan dua simpulan. Pertama, ada serangkaian kondisi atau faktor ekstrinsik keadaan pekerjaan (job context) yang menyebabkan rasa tidak puas di kalangan karyawan bila kondisi tersebut tidak ada. Faktor-faktor tersebut meliputi: kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, supervisi, kondisi kerja, hubungan antar-pribadi, gaji, status, dan keamanan. Kedua, serangkaian kondisi intrinsik isi pekerjaan (job content) yang meliputi: prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan kemungkinan berkembang. Gilmer juga mengemukakan sepuluh aspek yang dinilai memiliki kontribusi terhadap kepuasan kerja yaitu keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan dan manajemen, upah atau gaji, aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, kondisi-kondisi kerja, dan benefit (dalam Temaluru, 2001).

Salah satu faktor yang menunjang kepuasan kerja menurut Munandar (2001) adalah rekan-rekan sejawat. Di dalam kelompok kerja dimana para pekerjanya harus bekerja dalam satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi. Kepuasan kerja yang ada pada diri pekerja timbul karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara (kebutuhan sosialnya dipenuhi), misalnya tenaga kerja yang dalam menjalankan tugas pekerjaannya memperoleh masukan dari tenaga kerja lain. Fenomena yang terjadi berkaitan dengan


(20)

commit to user

komunikasi dan kepuasan kerja yaitu hasil penelitian yang dilakukan di Washington bahwa 80 % dokter dan 50 % perawat mengaku melihat rekan kerja mereka melakukan kekeliruan, namun hanya 10 % dari tenaga medis tersebut yang bersedia mengkomunikasikan kekeliruan tersebut, dan mereka merasa puas dan lega dengan lingkungan kerjanya. Kekeliruan tersebut adalah kesalahan pemberian obat atau dosis, kesalahan operasi, dan penyebaran bakteri. Kekeliruan tersebut mengakibatkan kematian puluhan dari ribuan orang di Amerika Serikat (Iyan, 2005).

Komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan profesional antar perawat dan tim kesehatan lainnya, dan untuk pemberian informasi dan kejelasan dari masing-masing individu sesuai dengan kedudukannya. Menurut Tappen komunikasi sebagai suatu pertukaran pikiran, perasaan dan pendapat, memberikan nasehat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang saling bekerjasama (dalam Nursalam, 2002).

Supratiknya mengatakan bahwa komunikasi dikatakan efektif apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan. Komunikasi interpersonal sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Selanjutnya Johnson menyatakan bahwa komunikasi interpersonal akan memudahkan terjadinya saling pemahaman diantara orang-orang yang terlibat dalam komunikasi dan selanjutnya mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi kedua belah pihak serta kerja sama yang efektif (dalam Supratiknya, 1999).


(21)

commit to user

Menurut Lee (dalam Stefanie, 2004) kepuasan kerja pada perawat menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam industri rumah sakit karena sikap dan perilaku karyawan berhubungan dengan kualitas dari pelayanan. Kepuasan pelanggan dan persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan rumah sakit dipengaruhi oleh sikap dan perilaku dari pelayanan yang diberikan oleh karyawan, khususnya perawat.

Kepuasan kerja berhubungan positif dengan kepuasan pelanggan. Menurut Robbins karyawan yang merasa puas mampu bertindak lebih ramah dan responsif sehingga membentuk kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Pekerjaan menuntut adanya interaksi dengan sesama rekan kerja dan atasan, mengikuti kebijakan dan peraturan organisasi, memperlihatkan standar kinerja, dan bekerja dalam lingkungan yang terkadang kurang ideal. Dari hasil analisis data utama penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan adanya hubungan positif antara kepuasan kerja dan kesejahteraan psikologis. Spector juga menjelaskan bahwa salah satu faktor dari kepuasan kerja adalah stres kerja (dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008).

Menurut Oentoro, Zamralita, dan Lianawati (2006) stres kerja adalah suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis, dan kondisi ini akibat dari tanggung jawab dan beban kerja yang berat serta keterbatasan individu dalam menghadapi lingkungan kerja yang penuh tekanan. Keadaan ini menyebabkan individu merasa tidak nyaman dan pada akhirnya akan berpengaruh pada pekerjaannya. Menurut Anoraga (2001) pekerjaan atau lingkungan kerja sosial pekerjaan biasanya dapat mengakibatkan ketegangan pada manusia, baik karena


(22)

commit to user

sebab-sebab yang rumit ataupun sederhana. Jika terdapat kondisi yang demikian, stres akan muncul dan pada giliranya perasaan tidak puas akan sedikit banyak mempengaruhi produktivitas dan prestasi kerja.

Dalam penelitian yang dilakukan Utomo (2009) menyatakan beberapa fenomena yang terjadi berkaitan dengan stres kerja di RSUD Pandan Arang Boyolali adalah sebagai berikut:

a. Tingginya jumlah pasien masuk IGD RSUD Pandan Arang Boyolali dengan BOR (Bed Occupational Rate) tahun 2007 yang berjumlah 85%.

b. Perawat dituntut untuk bekerja secara maksimal dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

c. Beban kerja perawat IGD dalam kategori besar.

d. Tuntutan yang tinggi dari pasien dan keluarga terhadap perawat, misalnya: keluarga pasien menuntut kesembuhan atas keadaan atau penyakit yang dideritanya.

e. Perawat IGD dituntut siap dengan keadaan gawat darurat, dan cepat tanggap dengan perubahan kondisi pasien.

Menurut Hariyatun (dalam Utomo, 2009), perawat yang bekerja di IGD menghadapi berbagai aspek dalam lingkungan kerja antara lain lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik berupa terdapatnya berbagai jenis penyakit, area kerja yang luas, kebisingan dari pasien serta penunggu pasien karena jam besuk yang relatif tidak dibatasi atau pengunjung tidak memperhatikan


(23)

commit to user

peraturan yang berlaku menjadikan beban kerja meningkat, tuntutan yang tinggi dari pasien, pembuatan keputusan yang cepat dan tepat untuk menolong. Ketidakmampuan dalam menjawab tuntutan lingkungan akan menimbulkan stres dalam lingkungan kerja. Stres yang berat akan mempengaruhi kualitas dari pelayanan yang diberikan.

Niven (2000) menyatakan salah satu sumber stres kerja perawat adalah kesulitan dalam berhubungan dengan staf lain. Menurut Stamper dan Johlke (dalam Chen Chen, Silverthorne, dan Hung, 2006) komunikasi organisasional dapat menurunkan stres. Argumentasi dan konflik dengan sejawat ditemukan menjadi kejadian yang menimbulkan stres. Brauer (dalam Wijono, 2006) mengemukakan bahwa dimensi hubungan (iklim organisasi) yang berkaitan dengan pemberian instruksi yang kurang jelas, tidak adanya pengakuan dan ganjaran dari atasan, kurang adanya kesempatan kepada individu untuk berpartisipasi dalam melaksanakan tugas, dan hubungan interaksi antara individu dengan orang-orang yang ada di dalam dan di luar perusahaan yang kurang berjalan baik dapat menimbulkan stres kerja.

Du Brin (dalam Hartanti dan Rahaju, 2003) menyatakan bahwa stres kerja disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu yang apabila berlarut-larut akan menimbulkan burnout. Menurut Schuler and Jackson (2005) kelelahan kerja (job burnout) adalah sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya, seperti: perawat kesehatan. Menurut Caplan (dalam Antoniou, Davidson, dan Cooper, 2003) hal tersebut dikarenakan mereka yang bekerja sebagai pekerja sosial memiliki


(24)

commit to user

tanggung jawab langsung kepada manusia dan aksi-aksi mereka berimbas pada kehidupan manusia.

Jexx (dalam Nuzulia, 2005) menyatakan bahwa individu yang memiliki strategi problem focused of coping (mekanisme coping yang berfokus pada masalah yang dihadapi), maka individu tersebut akan efektif dalam menghadapi stressor kerja. Hasil dari penelitian yang dilakukan Dawal, Taha, dan Ghazilla (2006) menunjukkan bahwa ciri-ciri kerja, lingkungan, organisasi kerja, dan faktor-faktor sosial terkait secara bermakna dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian Ernst, dkk (2004) stres kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan usia, lama bekerja, dan usia organisasi.

Menurut hasil penelitian Chandraiah, dkk (2003) usia memiliki korelasi negatif dengan stres kerja dan berkorelasi positif dengan kepuasan kerja. Cox (dalam Gibson, Ivancevich, dan Donelly, 1995) menyebutkan salah satu kategori stres yang potensial adalah organisasi, dengan ciri-ciri sebagai berikut: angka absensi, omset, produktivitas rendah, terasing dari mitra kerja, ketidakpuasan kerja, komitmen organisasi, dan loyalitas. Hasil yang senada diungkapkan Jamal dan Baba (2000) ada hubungan yang siginifikan antara stres kerja perawat dengan kesehatan psikosomatik dan komitmen organisasi.

Hasil analisis yang dilakukan Sameon dan Omar (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara nilai kerja dan kepuasan kerja, dan kepuasan kerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Menurut Iswanto (2001) tingginya level stres kerja dipersepsikan berhubungan secara negatif dengan kepuasan kerja. Penelitian tersebut senada dengan hasil penelitian


(25)

commit to user

Ahsan, dkk (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan secara negatif antara stres kerja dan kepuasan kerja.

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (RSUD Dr. Moewardi Surakarta) merupakan rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Misi dari RSUD Dr. Moewardi Surakarta salah satunya adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu prima dan memuaskan. Perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta dituntut untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan kepada pasien secara optimal dan bermutu prima untuk menjaga citra baik serta mempertahankan mutu layanan kesehatan sehingga tercipta kepuasan pelanggan.

Berdasarkan observasi, penulis menjumpai beberapa masalah yang dialami perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta, antara lain: seringkali perawat merasa kesal jika dokter atau kepala perawat menyalahkan perawat sepenuhnya atas layanan perawatan yang lambat dan tidak tepat sedangkan beberapa pasien harus di tangani perawat secara bersamaan, pasien yang tidak menuruti instruksi dokter, keluarga pasien yang tidak mengindahkan peraturan jam besuk, perawat lain yang tidak saling membantu, pasien yang tidak kunjung membaik bahkan setiap saat perawat harus menghadapi kematian pasien karena kegagalan dari intervensi perawatan.

Masalah tersebut merupakan stressor kerja bagi perawat yang apabila tidak diimbangi dengan adanya komunikasi interpersonal yang lancar dan kemampuan dalam mengatasi stres kerja, maka akan mengakibatkan ketidakpuasan kerja. Kepuasan kerja menggambarkan sikap suka atau tidak suka perawat terhadap


(26)

commit to user

pekerjaannya yang ditunjukkan dengan adanya keberhasilan komunikasi interpersonal dan stres kerja yang rendah. Berdasarkan hal di atas maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya kepuasan kerja perawat RSUD Dr. Moewardi Surakarta berhubungan dengan komunikasi interpersonal dan stres kerja.

Oleh karena itu, penulis perlu melakukan pengujian secara empiris dengan melakukan penelitian yang berjudul: “Hubungan antara Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini : “Apakah terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

2. Mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta.


(27)

commit to user

3. Mengetahui hubungan antara stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:

1. Manfaat teoritis:

a. Dapat menambah khasanah pengetahuan ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi.

b. Menambah pengetahuan tentang psikologi khususnya tentang hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja perawat.

2. Manfaat praktis:

a. Bagi ilmuwan psikologi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan didalam penerapan peningkatan kepuasan kerja karyawan.

b. Bagi perawat, dengan adanya komunikasi interpersonal yang baik dan stres kerja yang rendah diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja.


(28)

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Handoko (1997) kepuasan kerja adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya dan merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang bermacam-macam. Rasimin (1986) menyatakan kepuasan kerja sebagai suatu kondisi yang subjektif dari keadaan diri seseorang sebagai akibat dari dorongan atau kebutuhan yang ada pada dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan.

Robbins (2001) menerangkan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum individu terhadap pekerjaannya sedangkan pekerjaan tersebut menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan dengan mengikuti aturan dan kebijakan organisasi. Kepuasan kerja sangat penting untuk aktualisasi diri karyawan karena apabila karyawan tidak memperoleh kepuasan kerja maka tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis yang pada gilirannya menimbulkan frustasi dan stres. Hal ini berarti bahwa konsepsi kepuasan kerja sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan dan sikap karyawan terhadap pekerjaan yang meliputi situasi dan kondisi kerja, interaksi sosial, dan peran


(29)

commit to user

karyawan dalam lingkungan kerja yang berkaitan dengan kebutuhan yang akan dicapai disesuaikan dengan kenyataan yang ada.

2. Dinamika Kepuasan Kerja

Menurut Munandar (2001) teori-teori kepuasan kerja antara lain: a. Teori pertentangan (discrepancy theory).

Teori pertentangan dari Locke (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai:

a.1. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang ia terima.

a.2. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu.

b. Model dari kepuasan bidang atau bagian (facet satisfaction).

Menurut model Lawler (dalam Munandar, 2001) orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan, dan gaji) jika jumlah dari bidang itu mereka persepsikan sebagai yang harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaannya, masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding bagi mereka.


(30)

commit to user

c. Teori proses-bertentangan (opponent-process theory).

Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium) dan bahwa kondisi emosional yang ekstrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan atau ketidakpuasan memacu mekanisme fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat aktif emosi yang bertentangan. Teori ini menyatakan bahwa jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan, mereka merasa senang sekaligus ada rasa tidak senang. Setelah beberapa saat rasa senang menurun sedemikian rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Ini demikian karena emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama. Herzberg (dalam Gibson, Ivancevich, dan Donelly, 1996) yang dikenal sebagai pencetus teori dua faktor membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfier dan dissatisfier.

a. Kelompok satisfiers adalah kelompok yang akan membuat orang puas pada pekerjaannya. Kelompok satisfier disebut juga motivator faktor atau faktor intrinsik. Kelompok ini merupakan faktor-faktor sebagai sumber kepuasan kerja, tanggung jawab, kemajuan dalam kerja, kemungkinan berkembang, dan pekerjaan itu sendiri.

b. Kelompok dissatifiers adalah kelompok yang tidak akan membuat orang puas dengan pekerjannya. Kelompok ini disebut juga hygiene faktor atau faktor ekstrinsik yang diartikan sebagai faktor-faktor yang


(31)

commit to user

menjadi sumber ketidakpuasan kerja, misalnya upah, peraturan-peraturan perusahaan, kondisi kerja, keamanan kerja, dan mutu pengawasan kerja.

Dari pendapat Herzberg ini jelas bahwa kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan kerja disebabkan faktor-faktor intrinsik dari dalam diri karyawan sedangkan penyebab ketidakpuasan karyawan adalah dari faktor luar diri karyawan yang dapat diartikan sebagai faktor kondisi kerja.

Smith (dalam As’ad, 1995) yang terkenal dengan “Equity Theory” menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat dilihat dari sejauh mana karyawan merasakan keadilan dalam bekerja. Dalam teori ini terdapat tiga elemen keadilan, yaitu:

a. Elemen pertama. Masukan merupakan sesuatu yang berharga dan sudah diberikan oleh karyawan kepada pekerjaan, misalnya keterampilan yang dimiliki, pengalaman kerja atau usaha-usaha yang sudah dilakukan oleh karyawan.

b. Elemen kedua. Keluaran merupakan segala sesuatu yang dirasakan karyawan sebagai hasil dari pekerjaan, misalnya upah yang diterima. c. Elemen ketiga. Orang pembanding, yaitu individu tempat karyawan

membandingkan antara apa yang telah dikeluarkan dengan apa yang telah diterima, misalnya teman sekerja.

Keadaan tersebut diatas diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang setingkat. Bila perbandingannya dirasa kurang seimbang ada


(32)

commit to user

kemungkinan karyawan merasa puas bila menguntungkan (over compensation equity), dan ada kemungkinan juga merasa tidak puas bila dianggap merugikan (under compensation equity).

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang mengupas tentang kepuasan kerja secara umum dibagi atas: teori pertentangan (discrepancy theory), model dari kepuasan bidang atau bagian (facet satisfaction), teori proses-bertentangan (opponent-process theory), teori kepuasan (satisfiers) dan ketidakpuasan (dissatisfier), dan teori keadilan (equity theory)

3. Faktor-faktor Kepuasan Kerja

Suatu perusahaan akan lebih mudah mengelola sumber daya manusia menjadi lebih efektif jika karyawannya sudah memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Untuk mencapai kepuasan kerja yang tinggi tidak dapat lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut. As’ad (1992) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja :

a. Faktor kondisi kerja, yaitu berhubungan dengan faktor fisik dan psikis kerja, hubungan sosial diantara karyawan, sugesti dari teman sekerja, emosi, dan situasi kerja seperti tantangan kerja, lingkup pekerjaan, umpan balik, dan tekanan kerja.

b. Faktor individu, yaitu berhubungan dengan sikap individu terhadap pekerjaannya termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk berpikir positif terhadap diri dan pekerjaannya.

c. Faktor luar, yaitu dukungan yang berasal dari luar diri individu, misalnya keluarga.


(33)

commit to user

Menurut Harold (1984) faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja yaitu:

a. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain: a.1. Hubungan antara manager dengan karyawan. a.2. Faktor fisik dan kondisi kerja.

a.3. Hubungan sosial diantara karyawan. a.4. Sugesti dari teman kerja.

a.5. Emosi dan situasi kerja.

b. Faktor individual yaitu yang berhubungan dengan: b.1. Sikap orang terhadap pekerjaannya.

b.2. Usia orang sewaktu bekerja. b.3. Jenis kelamin.

c. Faktor-faktor luar (eksternal) yang berhubungan dengan: c.1. Keadaan keluarga individu.

c.2. Rekreasi.

c.3. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya).

Menurut Arofani dan Seniati (2007) penyebab dari kepuasan kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori umum, antara lain:

a. Faktor lingkungan kerja itu sendiri dan faktor-faktor yang diasosiasikan dengan kepuasan kerja, antara lain: karakteristik pekerjaan, gaji, atasan, kesempatan untuk berkembang, keamanan kerja, kontrol, dan peran.


(34)

commit to user

b. Faktor individual yang dibawa oleh orang tersebut dalam pekerjannya, yaitu: kepribadian, jenis kelamin, usia, status pernikahan, dan pendidikan.

c. Faktor kesesuaian antara individu dengan pekerjaan.

Mangkunegara (1993) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan erat dengan beberapa faktor, yaitu:

a. Usia

Ada kecenderungan karyawan yang lebih tua lebih merasa puas dibandingkan dengan karyawan yang berumur relatif lebih muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua telah berpengalaman, sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.

b. Tingkat pekerjaan

Karyawan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih rendah. Hal tersebut dapat terlihat pada karyawan yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.


(35)

commit to user

c. Ukuran organisasi perusahaan

Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecilnya suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi karyawan.

Korman (dalam Munandar, 1988) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukkan terbentuknya kepuasan kerja, yaitu:

a. Lingkungan kerja

Faktor lingkungan ini meliputi tingkat pekerjaan, isi pekerjaan, pimpinan yang penuh perhatian, kesempatan promosi, interaksi sosial dan bekerja dalam kelompok.

b. Faktor pribadi

Faktor ini terdiri dari jenis kelamin, lamanya bekerja, dan tingkat pendidikan.

c. Kondisi kerja

Kondisi kerja merupakan kenyamanan ruang kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi aktivitas kerja, meliputi luas sempitnya ruangan, pergantian udara, terbuka dan tertutupnya ruangan, dan suasana ketenangan kerja.


(36)

commit to user

d. Waktu istirahat

Waktu istirahat maksutnya adalah istirahat yang resmi diberikan perusahaan, yang tidak resmi yang dibutuhkan oleh pekerja.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kepuasan kerja, antara lain: faktor hubungan antar karyawan, faktor individual (termasuk didalamnya kemampuan berpikir positif), kondisi kerja (termasuk di dalamnya tekanan kerja), jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, lingkungan kerja, waktu istirahat, dukungan sosial, ukuran atau besar kecilnya perusahaan, lingkungan pribadi.

4. Aspek-aspek Kepuasan Kerja

Anoraga (1995) mengemukakan bahwa aspek-aspek kepuasan kerja ada lima aspek, yaitu:

a. Rasa aman, yaitu adanya kepastian kenyamanan untuk memperoleh pekerjaan tetap, memangku jabatan di perusahaan selama mungkin.

b. Kesempatan untuk maju dan berkembang, yaitu kemungkinan bagi karyawan untuk maju, naik pangkat kedudukannya dan keahlian atau pengalaman.

c. Gaji atau imbalan, yaitu perusahaan memberikan imbalan berupa gaji atau uang yang didapat dari hasil kerja.


(37)

commit to user

d. Nama baik tempat kerja yaitu perusahaan memberikan kebanggaan pada karyawan apabila mereka bekerja di perusahaan yang bersangkutan.

e. Kesempatan berprestasi dan pengakuan diri, yaitu perusahaan memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga dapat mencapai tingkat kerja yang maksimal.

Menurut As’ad (1995) aspek-aspek kepuasan kerja adalah sebagai berikut: a. Finansial dan jaminan sosial yang terdiri dari: gaji, pemberian jasa,

macam-macam tunjangan dan jaminan sosial.

b. Kondisi lingkungan kerja, meliputi: jenis pekerjaan, waktu kerja dan sistem kerja, keadaan alat dan mesin.

c. Kesempatan untuk maju dan berkembang, meliputi: kesempatan yang diberikan pada karyawan untuk maju dan berkembang.

d. Psikologis, meliputi: cita-cita dan pandangan hidup, minat dan kemauan, sikap, bakat dan kehidupan sesuai dengan kemampuannya. Wexley dan Yukl (1998) aspek-aspek kepuasan kerja, antara lain:

a. Psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan, meliputi: bakat dan keterampilan, minat, ketentraman kerja, dan sikap terhadap kerja.


(38)

commit to user

c. Fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja, meliputi: jenis pekerjaan, penerangan, dan keadaan ruangan.

d. Finansial, berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan. Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan kerja karyawan antara lain: aspek psikologis, sosial, fisik, finansial, rasa aman, gaji atau uang, kesempatan untuk maju, nama baik tempat kerja, dan kesempatan berprestasi.

B. Komunikasi Interpersonal 1. Pengertian Komunikasi

Kamus Psikologi (dalam Rakhmat, 1994) menyatakan komunikasi sebagai penyampaian atau penerimaan signal atau pesan oleh organisme. Menurut Effendi (1993) istilah komunikasi berasal dari perkataan latin communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Istilah tersebut berdasar dari kata communis yang berarti sama. Yang dimaksudkan sama adalah sama makna diantara orang-orang yang terlibat komunikasi.

Menurut Raymon S. Ross (dalam Rakhmat, 1994) yang menyatakan bahwa komunikasi yaitu proses transaksional yang meliputi pemisahan dan pemilihan bersama lambang secara kognitif begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama yang dimaksud sumber. Nursalam (2002) menyatakan bahwa komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang optimal.


(39)

commit to user

Purba (2003) jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk memberikan respon secara langsung. Menurut Nursalam (2002) tujuan komunikasi verbal adalah assertiveness. Perilaku asertif adalah suatu cara komunikasi yang memberikan kesempatan kepada individu untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung, jujur dan cara yang sesuai tanpa menyinggung perasaan lawan komunikasinya.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh di atas maka penulis menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi yang meliputi penyampaian atau penerimaan pesan sehingga tercapai kesamaan makna diantara orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut.

2. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal menurut Muhammad (2004) adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang dapat langsung diketahui umpan baliknya. Masyuri (1991) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal juga disebut komunikasi antar pribadi yaitu bentuk komunikasi antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak yang berkomunikasi terlibat langsung dalam penyampaian pesan secara aktif.

Potter dan Perry (dalam Nurjanah, 2001) menjabarkan komunikasi interpersonal dalam kesehatan merupakan suatu kemampuan bertukar informasi


(40)

commit to user

yang meliputi interaksi antara dua orang atau kelompok kecil dan merupakan inti dari praktek keperawatan karena dapat terjadi antara perawat dengan klien serta keluarga, perawat dengan perawat, perawat dengan pimpinan rumah sakit, dan perawat dengan tim kesehatan lainnya.

Berdasarkan uraian yang dijabarkan di atas maka komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran informasi yang dilakukan antara dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam penyampaian dan penerimaan pesan secara aktif dapat langsung diketahui umpan baliknya.

3. Unsur-unsur Komunikasi Interpersonal

Purwanto (1993) menyebutkan unsur-unsur komunikasi interpersonal sebagai berikut:

a. Komunikator. Komunikator adalah orang yang memprakarsai adanya komunikasi.

b. Pesan yang akan disampaikan yang berupa ide, pendapat, pikiran, dan saran.

c. Saluran komunikasi. Saluran komunikasi adalah segala sarana yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan pada pihak lain.

d. Metode komunikasi. Metode komunikasi adalah segala cara yang dipergunakan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain.

e. Komunikan. Komunikan adalah orang yang menjadi objek dalam komunikasi.


(41)

commit to user

f. Lingkungan komunikasi. Lingkungan komunikasi adalah suasana dimana proses komunikasi berlangsung.

g. Umpan balik dari komunikan dan komunikator.

Radfield (dalam Wursanto, 1989) menyebutkan unsur-unsur yang terkandung dalam komunikasi interpersonal antara lain:

a. Communicator adalah pihak yang menyampaikan berita. b. Message adalah pesan atau berita yang disampaikan. c. Transmits adalah pengirim berita.

d. Communicate adalah penerima berita atau komunikan. e. Respons adalah reaksi atau tanggapan dari pihak komunikan.

Berdasarkan uraian diatas unsur-unsur komunikasi interpersonal dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Komunikator sebagai pengirim pesan.

b. Pesan atau berita yang akan dikirim ataupun diterima. c. Saluran komunikasi.

d. Komunikan sebagai penerima pesan. e. Respon.

f. Lingkungan komunikasi. g. Umpan balik

4. Faktor-faktor Komunikasi Interpersonal

Faktor komunikasi interpersonal (Luhandi, 1987) adalah:

a. Faktor psikologis yaitu segala sesuatu yang ada di benak komunikator dan komunikan termasuk sikap dan situasi kejiwaan komunikator. Hal


(42)

commit to user

ini akan menggiring komunikasi yang terjadi menjadi formal, tidak formal, tegang atau bersahabat.

b. Faktor fisik yaitu lingkungan fisik saat terjadi komunikasi. Lingkungan fisik akan mempengaruhi jenis komunikasi yang terjadi.

c. Faktor sosial meliputi hubungan manusia satu sama lain.

d. Faktor budaya meliputi tradisi kebiasaan dan adat yang memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi karakter seseorang. Seluruh isi komunikasi akan mengikuti kebiasaan normal suatu budaya.

e. Faktor waktu yaitu kapan sebuah komunikasi terjadi.

Menurut Suardiman (1985) komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Sumber komunikator yang meliputi minat, kesediaan untuk berkomunikasi interpersonal, mengenal permasalahan yang dihadapi oleh komunikan, menemukan pesan yang tepat, memelihara hubungan komunikasi secara baik, dan menyampaikan pesan yang tepat.

b. Komunikasi meliputi kesediaan menerima pesan, kebutuhan menyelesaikan masalah yang dihadapi, tidak mempertahankan diri, dan menyadari keadaan diri termasuk mengenal kelemahan dan keunggulan.

Mundakir (2006) menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal dalam pelayanan keperawatan adalah sebagai berikut:

a. Persepsi yaitu cara seseorang mengecap tentang sesuatu yang terjadi di sekelilingnya (pandangan pribadi seseorang terhadap sesuatu).


(43)

commit to user

Persepsi akan mempengaruhi jalannya komunikasi karena proses komunikasi harus ada pengertian yang sama tentang pesan yang disampaikan dan diterima oleh kedua belah pihak.

b. Nilai yaitu keyakinan yang dianut seseorang. Komunikasi antara perawat dengan klien dipengaruhi oleh nilai-nilai dari kedua belah pihak. Nilai yang dianut perawat dalam kontak komunikasi kesehatannya tentunya berbeda dengan nilai yang dimiliki oleh klien. Perawat perlu memegang nilai-nilai profesional dalam berkomunikasi, misalnya perawat atau petugas kesehatan yang lain tidak harus marah-marah ketika ada pasien yang tidak kooperatif terhadap rencana tindakan yang akan dilakukan.

c. Emosi yaitu subjektivitas seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi di sekelilingnya. Perawat harus dapat membedakan suasana emosi personal dengan emosi profesional. Komunikasi akan berjalan lancar dan efektif apabila tenaga kesehatan termasuk perawat dapat mengelola emosinya.

d. Latar belakang sosial budaya. Antara seseorang dengan orang lainnya berbeda dalam menanggapi segala sesuatu. Faktor ini harus dijadikan pegangan bagi perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam bertutur kata, bersikap, dan melangkah dalam berkomunikasi dengan klien. e. Pengetahuan. Komunikasi akan sulit berlangsung apabila terjadi

perbedaan tingkat pengetahuan dari perilaku komunikasi. Pengetahuan merupakan produk atau hasil dari perkembangan pendidikan. Perawat


(44)

commit to user

diharapkan dapat berkomunikasi dengan berbagai tingkat pengetahuan yang dimiliki klien. Perawat juga diharapkan mempunyai pengetahuan tentang konsep dan teori cara berkomuikasi yang baik. Perawat dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup tentang pertumbuhan dan perkembangan klien karena hal tersebut sangat terkait dengan pengetahuan yang dimiliki klien.

f. Kondisi lingkungan. Komunikasi berkaitan dengan lingkungan sosial tempat komunikasi berlangsung dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang merupakan identitas sosial dari mereka yang terlibat dalam komunikasi.

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor komunikasi interpersonal yang diungkapkan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat menyebutkan faktor-faktor komunikasi antara lain:

a. Suasana hati masing-masing individu yang terlibat dalam proses komunikasi.

b. Latar belakang sosial budaya.

c. Keterdekatan antar individu yang terlibat komunikasi atau hubungan sosial.

d. Pengetahuan atau latar belakang pendidikan.

e. Lingkungan tempat berlangsungnya proses komunikasi. f. Waktu terjadinya komunikasi.


(45)

commit to user

5. Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal

Aspek-aspek komunikasi interpersonal menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1999) sebagai berikut:

a. Kemampuan saling memahami. Kemampuan saling memahami tersebut terdiri dari sikap percaya, pembukaan diri, keinsyafan diri, dan penerimaan diri.

b. Kemampuan mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan jelas. Komunikasi dapat dimulai, dikembangkan, dan dipelihara jika antar pribadi saling mengungkapkan pikiran dan perasaan dan saling mendengarkan.

c. Kemampuan saling menerima dan saling memberikan dukungan atau saling menolong untuk menemukan pemecahan-pemecahan yang konstruktif terhadap masalah.

d. Kemampuan memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antar pribadi lain yang mungkin muncul dalam komunikasi dengan orang lain melalui cara-cara konstruktif.

Aspek-aspek komunikasi interpersonal menurut De Vito (dalam Darmawan, 2002) adalah:

a. Keterbukaan yang terdiri dari dua aspek, yaitu: aspek keinginan untuk terbuka bagi setiap orang yang berinteraksi dengan orang lain dan aspek keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimuli yang datang.


(46)

commit to user

b. Empati yaitu merasakan seperti apa yang dirasakan orang lain. Suatu perasaan bersama orang lain dan mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan perasaan orang lain.

c. Dukungan. Terdiri dari dukungan yang terucapkan maupun dukungan yang tidak terucapkan, seperti senyuman ataupun anggukan kepala. d. Kepositifan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: komunikasi

interpersonal akan berhasil apabila terdapat perhatian yang positif terhadap diri seseorang, komunikasi interpersonal akan terpelihara baik apabila suatu perasaan positif terhadap orang lain itu dikomunikasikan, dan perasaan positif dalam situasi komunikasi interpersonal sangatlah bermanfaat untuk mengefektifkan kerja sama. e. Kesamaan. Kesamaan kepribadian bertujuan agar masing-masing

pihak yang berkomunikasi merasa dihargai dan dihormati sebagai manusia yang mempunyai suatu yang penting untuk dikontribusikan kepada orang lain.

Menurut Rakhmat (1994) aspek-aspek komunikasi dinyatakan sebagai berikut:

a. Percaya. Rasa percaya membuat orang lain terbuka dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

b. Sikap supportif (dukungan) yang terlihat dari:

b.1 Deskripsi, yang artinya penyampaian perasaan dan persepsi tanpa menilai.


(47)

commit to user

keinginan untuk bekerjasama.

b.3 Spontanitas, yaitu sikap jujur dan tidak ada motif yang terpendam. b.4 Persamaan, yaitu sikap yang menganggap sama derajat, tidak menggurui tetapi menghargai, dan menghormati perbedaan

pandangan dan keyakinan yang ada.

b.5 Provisi analisis, yaitu kesediaan untuk menjalin kembali pendapat dan bersedia mengakui kesalahan.

c. Empati. Empati adalah kemampuan menghargai perasaan orang lain, memberikan respon emosional, mengendalikan emosi dan tulus dalam menjalin hubungan.

d. Pengungkapan perasaan, yaitu komunikasi yang berupa percakapan dua orang yang terlibat dalam dialog secara mendalam guna mengungkap pikiran dan perasaan yang bersifat terbuka, jujur, dan hangat serta keduanya mempunyai hubungan yang sangat akrab. Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek komunikasi interpersonal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal terdiri dari berbagai aspek, antara lain:

a. Keterampilan atau kemampuan berkomunikasi. b. Empati.

c. Sikap supportif (dukungan).

d. Sikap pengertian, keterbukaan, kesamaan, kepositifan, dan kesepakatan dalam memecahkan masalah.


(48)

commit to user

C. Stres Kerja 1. Pengertian Stres

Kamus lengkap psikologi (dalam Chaplin, 1995) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Menurut Anoraga (2001) secara sederhana stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang baik secara fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Menurut Hardjana (dalam Oentoro, Zamralita dan Lianawati, 2006) stres adalah suatu keadaan atau situasi yang menekan seseorang dengan kapasitas melebihi atau di luar kemampuan orang tersebut untuk mengatasinya. Stres menurut Slamet (2003) adalah suatu keadaan di mana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban tersebut. Handoko (2000) menguraikan stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, stres dapat dikatakan sebagai suatu kondisi ketegangan yang dialami seseorang dikarenakan beban yang dirasakannya tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi masalah yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis dan mengganggu kesehatan mental seseorang.

2. Pengertian Stres Kerja

Stres kerja menurut Rivai (2005) adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. NIOSH research (dalam


(49)

commit to user

Widhiastuti, 2002) mendefinisikan stres kerja yaitu respon fisik dan emosi yang muncul ketika persyaratan-persyaratan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan dari pekerja.

Menurut Oentoro, Zamralita dan Lianawati (2006) stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang terjadi karena adanya tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan yang melebihi ambang kewajaran dan disertai kurangnya dukungan dari berbagai pihak. Keenan dan Newton (1987) mengemukakan bahwa terdapat empat cakupan kesulitan dalam pekerjaan, yaitu kesulitan individu, kesulitan informasi, kesulitan teknik, dan kesulitan dalam melaporkan hasil kerja. Schuler dan Jackson (1979) berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu keadaan dimana faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi dan mengubah keadaan fisik dan psikis karyawan.

Dengan demikian stres kerja dinyatakan sebagai suatu akibat dari ketegangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan fisik dan psikis dalam memenuhi persyaratan-persyaratan kerja dan mengatasi kesulitan-kesulitan pekerjaan yang melebihi batas ambang kewajaran.

3. Sumber-sumber Stres Kerja

Niven (2000) menyatakan lima sumber stres kerja perawat, yaitu:

a. Kelebihan beban kerja. Masalah kekurangan staf dan menghadapi terlalu banyak pasien adalah pengalaman yang paling menimbulkan stres bersamaan dengan waktu untuk mencoba mempertahankan standar tinggi.


(50)

commit to user

b. Kesulitan dalam berhubungan dengan staf lain. Argumentasi dan konflik dengan sejawat ditemukan menjadi kejadian yang menimbulkan stres.

c. Masalah dengan perawatan pasien sakit kritis. Beberapa kesulitan yang dilaporkan adalah keharusan berespon terhadap tuntutan untuk tindakan segera, mengoperasikan alat yang tidak dikenal, dan bekerja dengan prosedur atau tindakan baru.

d. Ansietas, masalah dengan pengobatan pasien, dan dokter yang tidak memahami kebutuhan pasien.

e. Kondisi pasien. Pasien yang gagal untuk membaik, seperti pasien dengan nyeri kronis dan sakit terminal.

Handoko (2000) menguraikan sumber-sumber stres kerja sebagai berikut: a. Beban kerja yang berlebihan.

b. Tekanan atau desakan waktu. c. Kualitas atau supervisi yang buruk. d. Iklim politis yang tidak aman.

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai.

f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab.

g. Kemenduaan peranan (role ambiguity). h. Frustasi.

i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok.


(51)

commit to user

k. Berbagai bentuk perubahan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja bersumber dari beban kerja kerja yang dirasa berlebihan oleh karyawan, tekanan-tekanan di dalam pekerjaan termasuk waktu penyelesaian tugas, lingkungan yang tidak menyenangkan, dan adanya perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan.

4. Faktor-faktor Stres Kerja

Menurut Wilson dan Corlett (dalam Wulanyani dan Sudiajeng, 2006) secara umum ada tiga situasi yang dapat memicu timbulnya stres kerja yaitu pekerja dihadapkan pada tuntutan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, pekerja yang mempunyai keterbatasan dalam mengatasi masalahnya, dan dukungan yang kurang dari kolega, penyelia, teman atau keluarga. Dooley, Rook dan Catalano (1987) menyatakan dukungan sosial bersangkutan dengan kesehatan psikis pekerja.

Sigit (2003) menyatakan stressor dalam organisasi tempat orang bekerja dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:

a. Stressor individu, antara lain: persepsi, nilai-nilai yang diyakini dan kepribadian, locus of control.

b. Stressor kelompok, antara lain: kurangnya kohesivitas (tidak tertarik), tidak cocok dengan pimpinan, konflik peran dan status dalam kelompoknya yang tidak seimbang.


(52)

commit to user

c. Stressor organisasi, antara lain: iklim organisasi yang tidak menyenangkan, kondisi pekerjaan dan tempat kerja, beban kerja yang berlebihan, gaji yang tidak memuaskan, teknologi yang tidak sesuai dan sulit diimplementasikan, gaya kepemimpinan yang otoriter dan sewenang-wenang, dan desain organisasi yang kacau.

d. Stressor dari luar pekerjaan, antara lain: masalah keluarga, masalah ekonomi, masalah politik, dan gaya hidup.

Hasil penelitian Fawzi (2001) menyatakan variabel usia, persepsi terhadap kondisi kerja fisik, dan persepsi terhadap pekerjaan sebagai programmer memberikan sumbangan terbesar terhadap tinggi rendahnya tingkat stres kerja. Wijono (2006) menyatakan bahwa kepribadian dan iklim organiasi secara bersamaan berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja. Iklim organisasi berkaitan dengan pemberian instruksi yang kurang jelas, tidak ada ganjaran dari atasan, dan hubungan interpersonal yang buruk.

DuBrin (dalam Hartanti dan Rahaju, 2003) menyatakan stres kerja disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu yang apabila berlarut-larut akan menimbulkan burnout. Menurut Schuler dan Jackson (2005) kelelahan kerja (job burnout) adalah sejenis stres yang banyak dialami oleh orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainya seperti perawat kesehatan. Hasil dari penelitian yang dilakukan Tang, dkk (2001) menunjukkan hasil bahwa stres bersumber dari self-efficacy dan sikap proaktif yang berhubungan negatif dengan burnout yang mana pada gilirannya langsung berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental.


(53)

commit to user

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai faktor-faktor stres kerja di atas dapat dsimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja terdiri dari faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu.

5. Aspek-aspek Stres Kerja

Menurut Widhiastuti (2002) menyebutkan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi stres kerja, yaitu:

a. Individu, meliputi: usia, kondisi fisik, faktor kepribadian.

b. Lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja, cita-cita atau ambisi.

Salina dan Doelhadi (1995) menyebutkan indikator stres kerja sebagai berikut:

a. Dampak subjektif yang berupa perasaan cemas dan gelisah bila berhadapan dengan banyak orang, mudah lelah, cepat bosan, lekas marah, mudah gugup, dan merasa tersisih dalam situasi kerja.

b. Dampak terhadap perilaku yang berupa merokok berlebihan, perilaku impulsif atau mudah bersitegang, dan emosinya meledak-ledak dalam menghadapi situasi kerja.

c. Dampak terhadap kognitif yang berupa tidak mampu mengambil keputusan cepat, kurang berkonsentrasi, peka terhadap kritik, dan kurang perhatian terhadap tugasnya.

d. Dampak terhadap fisiologik yang berupa mudah terganggu kesehatan badannya, mudah terganggu pencernaannya, mudah berkeringat


(54)

commit to user

dingin dalam menghadapi situasi kerja, mudah berdebar-debar dalam menghadapi pekerjaannya.

Brecht (2000) membagi aspek-aspek stres kerja sebagai berikut:

a. Perilaku atau tindakan yang meliputi menurunnya kegairahan kerja, meningkatnya konsumsi rokok atau kopi, pemakaian alkohol yang berlebihan, gangguan pada kebiasaan makan, gangguan tidur, kecenderungan menyendiri, dan absen di tempat kerja.

b. Proses sikap atau pikiran yang meliputi kebiasaan menunda atau kelemahan dalam mengambil keputusan, kecenderungan lupa atau lemahnya daya ingat, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, perasaan tidak berdaya atau putus asa, bingung atau pikiran yang kacau.

c. Emosi atau perasaan yang meliputi cepat marah dan murung. d. Cemas atau takut atau putus asa, bingung atau pikiran yang kacau. e. Fisik atau fisiologis yang meliputi sakit kepala dan rasa sakit lainnya

(kepala, leher, dada, punggung, dan lain-lain), jantung berdebar, diare atau gangguan buang air, sering buang air kecil, perubahan pola makan, dan badan berkeringat.

Hartanti dan Rahaju (2003) menjabarkan indikator stres kerja sebagai berikut:

a. Gejala fisik yang berupa munculnya keluhan sakit kepala, gangguan tidur, kelelahan atau energi terkuras, sembelit, diare, peningkatan tekanan darah, ketegangan otot, penurunan nafsu makan.


(55)

commit to user

b. Gejala emosional yang berupa kecemasan, depresi, perubahan suasana hati, mudah marah, gugup, self-esteem yang rendah, ledakan kemarahan, agresi, apatis, frustasi.

c. Gejala intelektual yang berupa kurang atau sulit berkonsentrasi, mudah lupa, bingung, mental block, kurang perhatian, keterpakuan pada satu ide, melamun yang berlebihan, produktivitas menurun, tidak mampu mengambil keputusan.

d. Gejala interpersonal yang berupa pengasingan diri dari rekan sekerja, mendiamkan orang lain, kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, sikap defensif yang berlebihan.

Cox (dalam Gibson, Ivancevich, dan Donelly, 1995) lima kategori dari stres kerja yang potensial:

a. Subjektif adalah kekhawatiran atau ketakutan, agresi, apatis, rasa bosan, depresi, frustasi, keletihan, kehilangan kendali emosi, penghargaan diri yang rendah, gugup, kesepian.

b. Perilaku adalah mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok secara berlebihan, perilaku impulsif, tertawa gugup.

c. Kognitif adalah ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitif terhadap kritik, hambatan mental.


(56)

commit to user

d. Fisiologis, adalah kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, panas dan dingin.

e. Organisasi adalah angka absensi, omset, produktivitas rendah, terasing dari mitra kerja, ketidakpuasasn kerja, komitmen organisasi dan loyalitas.

Dari pernyataan-pernyataan mengenai stres kerja tersebut maka dapat dinyatakan aspek-aspek stres kerja antara lain:

a. Aspek kognitif yang berupa kesulitan konsentrasi, kesulitan mengambil keputusan dengan cepat, sensitif dengan kritikan.

b. Aspek fisiologis dan perilaku yang berupa merokok berlebihan, denyut jantung meningkat, berkeringat, mulut kering, emosional. c. Aspek organisasi yang berpengaruh terhadap absensi, produktivitas

menurun, dan ketidakpuasan kerja.

D. Hubungan Komunikasi Interpersonal dan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat

Pelayanan keperawatan sebagai bagian terpenting dari pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka kadar keterlibatan kerja akan menentukan bagaimana kualitas kerja perawat dalam merawat pasien. Kepuasan kerja perawat merupakan sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia, karena secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan mutu pelayanan asuhan keperawatan terhadap pasien.


(57)

commit to user

Menurut Gilmer (dalam Temaluru, 2001) Salah satu aspek yang dinilai memiliki kontribusi terhadap kepuasan kerja yaitu komunikasi. Johnson (dalam Supratiknya, 1999) Komunikasi antar pribadi akan memudahkan terjadinya saling pemahaman dalam komunikasi dan selanjutnya sangat menolong mengembangkan suatu relasi yang memuaskan bagi kedua belah pihak serta kerjasama yang efektif.

Perawat di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan tidak bekerja sendiri dalam menangani pasien melainkan bekerja dalam satu tim kesehatan dengan satu tujuan, yaitu kesehatan masyarakat. Perawat merupakan tenaga medis yang selama dua puluh empat jam berada di dekat pasien. Oleh karena itu, perawat dituntut memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi interpersonal (antar-pribadi) dengan baik sehingga mendapat kejelasan informasi yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dengan dokter, suster kepala, rekan sesama perawat dalam menangani pasien di rumah sakit.

Komunikasi interpersonal memungkinkan perawat saling bertukar pikiran atau pengalaman dan bersama-sama dengan perawat lainnya mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi dalam pekerjaan. Sering kali ketika dokter tidak sedang bertugas, perawat harus memutuskan sendiri tindakan secara cepat dan tepat yang akan diberikan kepada pasien yang kesehatannya memburuk atau mengalami kritis. Dengan adanya hubungan yang baik maka perawat lebih mudah untuk meminta bantuan dan berkoordinasi dengan perawat lainnya.

Komunikasi interpersonal yang lancar akan menciptakan hubungan kerjasama yang nyaman dan menyenangkan di rumah sakit yang akan


(58)

commit to user

menyebabkan perasaan suka dengan lingkungan pekerjaan yang pada gilirannya menimbulkan kepuasan kerja. Sebaliknya, jika kelancaran komunikasi interpersonal terhambat perawat tidak dapat saling bertukar pikiran dan tidak mendapat masukan atau bantuan atas masalah dalam pekerjaan yang akan menyebabkan perasaan tidak suka dengan lingkungan pekerjaan yang pada gilirannya menimbulkan ketidakpuasan kerja.

Kesalahan dalam berkomunikasi dapat berakibat terjadinya kesalahan dalam melaksakan tugas keperawatan, sehingga hasil pekerjaan tidak sesuai yang diharapkan, baik oleh atasan maupun perawat itu sendiri. Hal ini menyebabkan adanya hubungan tidak baik antar perawat maupun dengan atasan, yang pada akhirnya menyebabkan adanya ketidakpuasan kerja.

Menurut Gibson, dkk (dalam Salina dan Doelhadi, 1995) dampak negatif dari stres kerja salah satunya adalah dampak terhadap organisasi yang berupa pengasingan diri dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, kurangnya tanggung jawab terhadap pekerjaan atau perusahaan dan kurangnya loyalitas, absenteeism, turn-over, serta produktivitas yang rendah.

Perawat memiliki tanggung jawab pekerjaan yang besar di dalam menjalankan tugas keperawatannya. Tugas dan tanggung jawab tersebut meliputi kemampuan menjalankan instruksi dokter untuk pemberian obat atau dosis obat, kemampuan menjalankan instruksi kepala perawat, kemampuan mengatasi segala keluhan-keluhan pasien maupun keluarga pasien tentang layanan keperawatan, kemampuan menangani pasien yang datang dalam keadaan kritis secara cepat dan tepat, kemampuan mengoperasionalkan alat-alat kesehatan yang ada maupun


(59)

commit to user

bekerja dengan alat-alat kesehatan yang baru, dan kemampuan berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya.

Adanya berbagai tuntutan tugas dan tanggung jawab tersebut memerlukan konsentrasi yang tinggi, sehingga apabila perawat tidak mampu mengatasinya dengan baik, maka akan muncul stres kerja yang pada gilirannya menimbulkan perasaan tidak suka dengan pekerjaannya atau ketidakpuasan kerja.

Sebaliknya jika perawat mampu mengatasi tuntutan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh rumah sakit, maka perawat akan terhindar dari stres kerja dan hal ini menimbulkan lingkungan yang menyenangkan di rumah sakit dan pada gilirannya perawat akan mencapai kepuasan kerja.

Komunikasi interpersonal dan stres kerja memiliki hubungan dengan kepuasan kerja perawat di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Komunikasi interpersonal yang baik dan kemampuan mengatasi stressor kerja yang menjadi penyebab munculnya stres kerja berhubungan dengan tingginya kepuasan kerja perawat. Sebaliknya komunikasi interpersonal yang buruk dan ketidakmampuan mengatasi stressor kerja yang menjadi penyebab munculnya stres kerja yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpuasan kerja.


(60)

commit to user

E. Kerangka Berpikir Konseptual

Komunikasi Interpersonal

Kepuasan Kerja

Stres kerja

Bagan 1

Kerangka Berpikir Konseptual

F. Hipotesis

Berdasarkan paparan teori di atas, hipotesis yang diajukan sebelum dilakukannya penelitian ini adalah:

a. Hipotesis mayor :

“Terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

b. Hipotesis minor :

1. “Terdapat hubungan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.


(61)

commit to user

2. “Terdapat hubungan antara stres kerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.


(1)

commit to user

signifikansi (p) 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel komunikasi

interpersonal dan stres kerja dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi

kepuasan kerja.

Hasil analisis antara masing-masing variabel bebas dengan variabel

tergantung juga menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan. Korelasi

antara variabel komunikasi interpersonal dan variabel kepuasan kerja sebesar

0,363 pada taraf signifikansi (p) 0,000, sedangkan korelasi antara variabel stres

kerja dengan variabel kepuasan kerja sebesar -0,600 pada taraf signifikansi (p)

0,000.

Nursalam (2002) menyatakan bahwa komunikasi dalam praktik

keperawatan profesional merupakan unsur utama bagi perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang optimal. Purba

(2003) jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan

keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama

pembicaraan dengan tatap muka.

Melihat hasil penelitian yang menunjukkan adanya korelasi yang sangat

signifikan antara komunikasi interpersonal dengan kepuasan kerja, maka jelaslah

bahwa komunikasi interpersonal memegang peranan penting bagi perawat dalam

menjalankan tugas asuhan keperawatan. Adanya komunikasi interpersonal yang

baik tidak saja akan menyebabkan perawat tahu sampai sejauhmana mereka

berhasil menjalankan tugas, akan tetapi juga akan tahu bahwa dalam bekerja dapat

diterima dengan baik oleh pasien.


(2)

commit to user

Kritikan-kritikan, pendapat-pendapat, dorongan-dorongan dari rekan

sekerja membuat perawat menyadari apakah selama bekerja telah menjalankan

tugas dengan benar. Umpan balik dari rekan sekerja akan sangat berarti untuk

masukan bagi para perawat. Hal ini tidak akan terjadi bila tidak ada komunikasi

interpersonal yang baik.

Demikian pula umpan balik dari pasien sangat dibutuhkan bagi perawat.

Adanya komunikasi interpersonal yang baik akan menjadikan perawat mengetahui

bahwa apakah selama menjalankan tugas dapat diterima dengan baik oleh pasien.

Pendapat, dorongan, serta sikap penerimaan yang baik dari pasien menjadi

umpan balik yang sangat berarti bagi perawat, sehingga akan meningkatkan

kepuasan kerja para perawat.

Menurut Oentoro, Zamralita dan Lianawati (2006) stres kerja merupakan

suatu kondisi ketegangan yang terjadi karena adanya tekanan-tekanan dan

kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan yang melebihi ambang kewajaran dan disertai

kurangnya dukungan dari berbagai pihak. Schuler dan Jackson (1979)

berpendapat bahwa stres kerja merupakan suatu keadaan dimana faktor-faktor

yang berhubungan dengan pekerjaan saling mempengaruhi dan mengubah

keadaan fisik dan psikis karyawan.

Seperti diketahui, menghadapi pasien (orang sakit) pasti akan

menyebabkan perawat dalam tekanan yang besar. Menghadapi pasien dibutuhkan

kesabaran yang luar biasa. Bagaimanapun juga pasien pasti ingin mendapatkan

pelayanan dan perhatian yang lebih. Belum lagi perawat harus menghadapi para

dokter yang pastinya menuntut tidak adanya kesalahan dalam menjalankan tugas.


(3)

commit to user

Hal ini juga akan mengakibatkan adanya tekanan dalam diri perawat, yang pada

akhirnya dapat menyebabkan stres kerja.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan

antara stres kerja dengan kepuasan kerja, dimana korelasinya bernilai negatif.

Artinya, semakin rendah stres kerja akan menyebabkan semakin tinggi kepuasan

kerja.

Merujuk hasil penelitian tersebut, maka adanya stres kerja yang tinggi

akan menyebabkan kepuasan kerja yang rendah. Menurut Wilson dan Corlett

(dalam Wulanyani dan Sudiajeng, 2006) secara umum ada tiga situasi yang dapat

memicu timbulnya stres kerja, yaitu pekerja dihadapkan pada tuntutan yang tidak

sesuai dengan kemampuannya, pekerja yang mempunyai keterbatasan dalam

mengatasi masalahnya, dan dukungan yang kurang dari kolega, penyelia, teman

atau keluarga.

Adanya keterbatasan dalam hal kemampuan menyelesaikan tugas serta

kemampuan mengatasi masalah, serta kurangnya dukungan dari rekan sekerja

maupun keluarga akan menimbulkan stres kerja. Oleh karena itu perlu kiranya

kondisi ini dikurangi atau bahkan dihilangkan agar stres kerja dapat dikurangi,

yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan kerja.


(4)

commit to user

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan :

1.

Ada hubungan antara komunikasi interpersonal dan stres kerja dengan

kepuasan kerja, dengan angka korelasi sebesar 0,600 pada taraf

signifikansi (p) ) 0,000. Ini menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal

dan stres kerja merupakan prediktor bagi kepuasan kerja.

2.

Ada hubungan antara komunikasi interpersonal dan kepuasan kerja,

dengan angka korelasi sebesar 0,363 pada taraf signifikansi (p) 0,000.

Hasil ini menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan dengan

angka korelasi positif, artinya semakin baik komunikasi interpersonal akan

semakin tinggi kepuasan kerjanya.

3.

Ada hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja, dengan angka

korelasi sebesar -0,600 pada taraf signifikansi (p) 0,000. Hasil ini

menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan, dimana angka

korelasinya negatif, artinya semakin rendah stres kerja akan semakin

tinggi kepuasan kerjanya.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikemukakan beberapa saran

sebagai berikut :


(5)

commit to user

1.

Bagi Ilmu Psikologi

Bagi ilmu psikologi perlu melakukan pemerkayaan penelitian, terutama

masalah kepuasan kerja, karena merupakan salah satu variabel yang sangat

penting bagi karyawan agar berhasil dalam menjalankan tugas

pekerjaannya. Melalui penggalian prediktor apa saja yang mempengaruhi

kepuasan kerja, maka akan didapatkan suatu model guna meningkatkan

kepuasan kerja karyawan

2.

Bagi Para Perawat

Bagi para perawat, perlu melakukan peningkatan cara-cara berkomunikasi

interpersonal yang baik, sehingga akan memperlancar pelaksanaan tugas

sehari-hari yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan kerja karena

dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Demikian juga perlu mengurangi kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan

stres kerja, misalnya dengan menjaga gejolak emosional serta membina

hubungan interpersonal yang baik dengan rekan sekerja. Hal ini akan

mengurangi ketegangan-ketegangan di lingkungan kerja sehingga akan

memudahkan dalam penyelesaian tugas, yang pada akhirnya akan

memberikan rasa puas dalam diri sendiri.

3.

Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam

tentang variabel-variabel apa saja yang ikut mempengaruhi kepuasan kerja.

Penelitian ini tidak melakukan pengendalian terhadap usia, jenis kelamin,

masa kerja dan sebagainya. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan


(6)

commit to user

diperoleh hasil yang lebih memuaskan, sehingga hasil penelitian tentang

kepuasan kerja akan lebih sempurna.