118 kader yang dipecat dengan istilah “pengkhianat”. Jadi kader-kader yang masih berada
diinternal terpacu untuk solid, kompak dan serius untuk memenangkan pasangan yang diusung oleh partai, yaitu pasangan ZIKIR. Kesolidan kader ini modal paling utama dalam
rangka untuk menjalankan strategi-stretagi yang telah disusun seperti strategi membangun citra ketokohan. Setelah selesai dengan perbedaan pandangan yang terjadi dari faksi-faksi
internal Partai Aceh sendiri yaitu Faksi ZIKIR dan Faksi Pengkhianat Irwandi.
Gambar 6
Faksi-Faksi Dalam Internal Partai Aceh
Faksi inilah yang membuat perpecahan pada tingkat daerah yang menyebabkan roda partai aceh tidaklah berjalan. Focus Partai Aceh memenangkan
pilkada gubernur bulan april sedangkan Aceh Tamiang bulan juni, jarak berdekatan inilah yang menyebabkan Partai Aceh kehilangan Fokus juga. Selain daripada itu
kemenangan Zikir dari Partai Aceh menyepelekan Pilkada yang berda di Aceh Tamiang.
b. Faktor Budaya Jawa di Aceh
27
Kategori budaya berangkat dari masyarakat yang terikat akan budaya tradisional adat istiadatagama, akan selalu terkait dengan proses perubahan
27
http:himasos-unimal.blogspot.com201310analisiskonflik-etnis-aceh-dan-jawa.html
FAKSI INTERNAL PARTAI ACEH
FAKSI ZIKIR
FAKSI IRWANDI
119
ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan politik dan sosial
tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan berkembang di masyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat terhadap
masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat tersebut. Etnisitis merupakan salah satu unsur yang menjadi objek utama kajian ilmu-
ilmu sosial. Dalam sejarah relasai antar etnik di berbagai belahan bumi, selalu diwarnai oleh konflik etnik itu sendiri. Konflik anatar etnik selalu saja mencari
akarnya pada persoalan sosial ekonomi dan budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang dliakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang
terjadi di Aceh merupakan persoalan ketidakadilan sosial ekonomi dalam proses pemabangunan serta serangkaian tuntutan janji atas hak-hak istimewa yang tidak
teralisasi. Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang paling logis dibalik
catatan perjalanan konflik di Aceh, Namun disamping hal itu pula, terdapat salah satu bagaian terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta pergolakan
yang terjadi dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa Aceh terhadap suatu etnik tertentu, yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang dikaitkan sebagai
faktor pemicu munculnya konflik Aceh, dan orang cenderung mengabaikan fakta ini. akan tetapi sejarah telah membuktikannya.
Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku Jawa pertama kali terjadi pada masa kerajaan Aceh dulu. ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh kerjaan
Majapahit yang notabene merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar tahun 750- 796 H yang dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul Abidin Malik Al
Zhahir memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan oleh rakyat Aceh
120
terhadap kerjaan Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan awal antara Aceh dengan Jawa yang ditandai dengan konflik.
Meskipun pada periode tahun-tahun berikutnya kedua etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang dan mulai membangun hubungan melalui
bidang penyebaran agama dan perdagangan. Ketika Belanda melakukan penjajahan di Nusantara, kurang lebih 350 tahun
lamanya, Aceh juga berjuang melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda. Bahkan Aceh memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di
Kemudian Hari. Aceh pula lah yang banyak membantu Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari datangnya kembali gangguan Belanda yang ingin
menjajah Indonesia. Pada Tahun 1945 setelah Proklamasi Kemeerdekaan Indoensia dikumandangkan Soekarno dan Hatta di Jakarta, tak lama setelah itu pada 15 Oktober
1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh menyatakan diri dengan patuh berdiri dibawah payaung NKRI. Meskipun sebenarnya Aceh dapat berdiri sebagai sebuah
negara merdeka dan berdaulat, tetapi, karena rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh semangat Nasionalisme yang tinggi maka Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari
Indonesia. Kemudian pemerintah Darurat Indonesia langsung mengeluarkan ketetapan mengenai posisi Aceh didalam Republik. Ketetapan itu diberlakukan pad 17
Desember No. 8 Des W.K.P.H yang menetapkan Aceh sebagai sebuah propinsi. Daerah istimewa yang dijanjikan dulu tidak pernah ditepati dan bahakan
dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada tahun 1971 di Lhokseumawe.
Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya. Sehingga kemudian disusul
oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar seperti PT. PIM, PT AAF, PT
121
KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL zona industri Lhoseumawe namun keuntungan tidak pernah dirasakan
oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga
kerja asing terjadi. Sebagian besar birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan didominasi oleh orang Jawa maka semakin
menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh terhadap orang jawa. Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh orang Aceh akibat
pengkhianatan dan kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta Jawa-red membuat orang Aceh menyimpan dendam teramat dalam terhadap orang-orang jawa. Puncaknya
adalah, lahirnya kembali sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama ASLNF Aceh Sumatera Liberation Front atau yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka GAM
yanh diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976. sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang oleh orang Aceh menyebutnya
pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk atas inisiatif Hasan Tiro yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik Di Tiro. Secara diam-diam ia
mencoba kembali membuka ruang perlawanan terhadap pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari etnis jawa. Doktrin perlawanan yang disuarakan
adalah tentang ketidakadilan, pengkhianatan, kekecewaan yang diselimuti dengan kebangkitan Nasionalisme orang Aceh.
Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek politik, Agama dan ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil Alam yang timpang
sehingga membuat orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas penerapan syariat
Islam di Aceh yang urung terealisasi. namun disamping itu pula, perjuangan ini
122
didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa. Bagi orang Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru etnis jawa mendominasi struktur
pemerintahan. GAM membangun rasa benci dengan memanfaatkan sentimen entis tersebut. Orang jawa merupakan musuh Historis bagi rakyat Aceh. Dalam hal ini,
Hasan Tiro membangkitkan kembali sejarah penajajahan Majapahit terhadap Kerajaan Samudera Pasai sehingga permusuhan dengan pihak jawa merupakan garis merah atas
apa yang terjadi pada masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan waktu, intensitas perang semakin meningkat.
Namun disisi lain, pemerintah penguasa Orde baru sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta penyebaran Transmigrasi terutama yang
berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau jawa membangun pemukiman-pemukiman baru
di Aceh. Hal ini semakin menambah kemarahan orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para Transmigran menjadi sasaran amarah
masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa
pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan
dari mereka memilih keluar dari Aceh. Ketika itu orang Aceh sanagat membenci orang Jawa. Bagi orang Aceh, jawa
adalah bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut dibenci adalah oknum pemerintah Indonesia, yang dominan di tempati oleh orang-orang yang ber etnis Jawa,
namun para transmigran pula tak luput dari teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang Aceh beranggapan, semua orang jawa adalah penipu, sehingga orang-
123
orang Aceh terutama GAM, telah mempersepsikan atau memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.
Pada Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan
nota kesepahaman bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai pun, sikap sentimen terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang
Aceh. Bukti nyatanya adalah, masih terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu meskipun bukan
dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap orang Jawa yang menjadi sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun drastis, namun tak
menuntut kemungkinan, apabila Jakarta Jawa kembali mengkhianati orang Aceh, akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih. Dalam
kajian sosiologi Coser, konflik di Aceh merupakan penggabungan antara konflik realistis dan non realistis. Artinya ada unsur perebutan sumber ekonomi yang
berhubungan dengan konteks tipe realsitis serta etnisitas yang ditandai dengan mempertegas identitas kelompok, yang merupakan tipe konflik non realisitis. Coser
memperlihatkan fugsi konflik terhadap kohesi kelompok. Melalui The Function of Social Conflict 1957, Coser memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan
internal. Konflik eksternal mampu menciptkan dan memperkuat indentitas kelompok. contoh tersebut adalah bentuk kekecewaan masyarakat Aceh yang merasa identitas
yang mereka miliki di jajah oleh orang lain, dalam hal ini tentu saja pemerintah Republik Indonesia. Maka dari itulah mereka pun bergejolak dan timbullah konflik
yang berkepanjangan antara RI dan GAM Gerakan Aceh Merdeka yang banyak memakan korban tersebut.
124
Hal inilah masyarakat jawa di aceh jarang memilih calon dari Partai Aceh karena factor dendam yang sering diliputi intimidasi yang di dapat masyarakat jawa di
aceh.
c. Ketidak Mampuan Partai Aceh dalam Membentuk Koalisi dengan