Politik Hamdan Sati ANALISIS KEKALAHAN PARTAI ACEH KABUPATEN ACEH

99

a. Politik Hamdan Sati

Beberapa langkah strategi politik Hamdan Sati sebelum Pemilihan Putaran kedua yaitu isu pengunduran diri pada putaran kedua merupakan suatu permainan yang dilakukan untuk membuat masyarakat yang mendukungnya menyatu dan juga menguatkan massa pendukungnya. Kejadian ini dimuat oleh koran lokal setempat, hal tersebut sempat membuat nuansa memanas kala Hamdan ingin mengundurkan diri, karena secara otomatis Agussalimlah yang mutlak dinyatakan menang, sementara masyarakat masih menimbang-nimbang akankah daerah ini nantinya akan dipimpin oleh calon yang berasal dari Partai Aceh? Hal ini diresahkan oleh pemimpin komunitas jawa bapak Suripto yang mengatakan : Bagaimanalah nasib masyarakat jawa di Aceh tamiang ini jika bapak Hamdan mengundurkan diri sementara kami dahulu sudah pernah diusir GAM yang sekarang berganti nama menjadi Partai Aceh? 23 Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh seorang tokoh masyarakat Aceh Tamiang Bapak Ahmad Effendi menjelaskan bahwa saat ini PA Partai Aceh seperti berada di atas angin saat Irwandi Yusuf menduduki jabatannya sebagai Gubernur Aceh periode 2007-2012, ketika Irwandi memutuskan untuk keluar dari PA dan memilih jalur independen pada pilkada Aceh 2012 seolah tak membuat PA gentar sehingga mereka kembali mengusung calon dari petinggi GAM yakni Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, ditambah lagi kemenangan yang diraih mereka pada pemilu tersebut semakin mengukuhkan bahwa PA adalah partai lokal yang kuat. Karena itulah mereka ingin membangun massa yang lebih banyak lagi diseluruh Aceh agar di setiap daerah diharapkan dapat dipimpin oleh calon yang mereka usung, tak terkecuali 23 Wawancara langsung dengan Bapak Suripto yang dulu menjabat ketua Pujakesuma 100 pada pilkada Aceh Tamiang, melihat hal itu masyarakat justru semakin khawatir akan keberadaan PA yang saat ini semakin berkembang dengan pesat. Seakan mengingatkan kembali kenangan pahit akan konflik di masa lalu, jika daerah ini juga dipimpin oleh calon dari PA maka kemungkinan hal tersebut bisa saja kembali terjadi, karena seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa belum setahun Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menjabat sebagai gubernur, rakyat Aceh sudah diresahkan oleh pembentukan bendera Aceh yang mengandung pro dan kontra dikarenakan logo dalam bendera tersebut yang mirip dengan lambang GAM, belum lagi ketika pilkada disejumlah daerah di Aceh mulai digelar. Masyarakat selalu diresahkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal, ditambah lagi kasus penembakan pekerja asal Jawa di Banda Aceh tahun lalu. Sudah pasti hal tersebut menyebabkan masyarakat yang bersuku Jawa semakin khawatir jika daerah ini akan dikuasai PA, sementara hampir sebagian besar jumlah penduduk di Aceh Tamiang adalah masyarakat bersuku bangsa jawa. Lebih lanjut ia menilai bahwa jika melihat pertarungan dari kedua calon tentu bapak Ahmad memiliki prediksi bahwa kekuatan Hamdan jauh lebih besar dibanding Agussalim-Abdussamad, dari segi figur pasangan Hamdan-Iskandar lebih berkompeten dalam hal perpolitikan dikarenakan pasangan ini sudah pernah berpartisipasi juga pada pilkada 2006, namun gagal. Nama mereka juga tak begitu asing ditengah masyarakat mengingat Hamdan Sati adalah putra dari pengusaha terkenal yakni Tuan Sati, tentu semakin menguatkan posisinya diputaran kedua tersebut, sementara pasangan Agussalim-Abdussamad hanya terbantu oleh keberadaan partai yang mendukungnya tanpa memprioritaskan figur dari diri mereka masing-masing. 101 Terlepas dari hal itu tentu keresahan masyarakat mendapatkan relevansinya. Mantan ketua KIP menyatakan bahwa tidak semudah itu calon yang telah ditetapkan untuk maju ke putaran kedua lalu mengundurkan diri dikarenakan alasan politik yang tidak begitu jelas, bisa jadi itu adalah isu yang dikembangkan sebagai bentuk strategi pemenangannya untuk menguji publik apakah masyarakat akan merelakan dia mengundurkan diri begitu saja atau malah sebaliknya. Sementara setelah hasil putaran kedua diumumkan yang menunjukkan bahwa Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain diputuskan sebagai pemenangnya, terjadilah demonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang oleh pendukung PA dan masyarakat lainnya terkait ketidakpuasan mereka atas terpilihnya pasangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain sebagai bupatiwakil bupati Aceh Tamiang, dikarenakan dugaan atas keterlibatan aparat keamanan TNIPolri dalam proses pilkada, yang dilakukan oleh Hamdan Sati dengan mem-blockade sejumlah daerah terpencil dan melakukan intimidasi oleh masyarakat setempat, Hamdan Sati juga diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Dalam hal ini, ditinjau berdasarkan fakta yang ada isu terkait hal tersebut dapat dikatakan tidaklah benar. Keterlibatan aparat keamanan baik itu TNI maupun Polri adalah semata-mata hanya untuk mengamankan proses pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang, dengan kata lain aparat keamanan dikerahkan untuk mengekang pergerakan GAM yang sewaktu- waktu bisa saja berulah. Selain itu, terkait praktik money politic yang dilakukan oleh Hamdan adalah dugaan yang tidak beralasan, PA tidak dapat menjelaskan secara pasti rincian mengenai praktik money politic yang dilakukan rivalnya itu sehingga gugatan yang dilayangkannya ke Mahkamah Konstitusi perlahan dicabut. Dalam hal ini sudah jelaslah bahwa pihak PA berusaha berlaku curang ingin menjatuhkan calon terpilih yang sudah ditetapkan oleh KIP sebagai pemenangnya. 102 Hal tersebut mungkin saja terjadi mengingat apa yang dilakukan calon yang diusung PA adalah sebagian dari bentuk strategi politik agar dapat memenangkan pilkada, hanya saja strategi yang dimaksud tidaklah sejalan dengan prinsip demokrasi, karena sudah tentu hal tersebut termasuk melanggar hukum. Karena pada dasarnya pilkada harus terbuka dimana calon-calon yang bersaing tidak dibenarkan untuk saling menjatuhkan. Kebebasan sipil dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil civil society yang mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikut serta dalam membangun Negara. Dengan kata lain kebebasan sipil sifatnya lebih mengarah pada makna keterbukaan, yang mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Hak-hak tersebut dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal, yang menyangkut hak hidup, hak hidup tanpa adanya perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak untuk bebas dan hak untuk memilih sesuatu. Kriteria ini lebih diarahkan pada makna analisis terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakat.Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya.Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian 103 serius. Salah satu kekhawatiran itu ditandai dengan adanya porsi atas kebebasan warga untuk memilih berbagai alternatif politik, sehingga tidak mengurangi kapabilitas terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sudah menjadi rahasia umum jika pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan intimidasi, pemaksaan terhadap masyarakat agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi memberi ancaman akan keselamatan keluarganya jika mereka tidak memilih calon yang dimaksud, atau bahkan kekerasan fisik sering ditemui disejumlah daerah di Aceh kala pilkada menjelang, begitu pula halnya yang terjadi di Aceh Tamiang. Keluhan masyarakat akan tindakan intimidasi memang sering terjadi baik dari pihak Hamdan Sati Koalisi Partai maupun dari pihak Agussalim Partai Aceh, tidak diketahui secara jelas kubu mana yang memang benar-benar salah soal mengintimidasi masyarakat namun penelusuran di lapangan yang dilakukan oleh penulis dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk intimidasi dari pendukung PA benar adanya namun tidak begitu berat sehingga mengakibatkan hal tersebut tidak perlu diproses secara hukum. Di sisi lain, masyarakat sempat dibuat bingung oleh fenomena kecurangan yang dilakukan bupati terpilih Hamdan Sati saat ia dinyatakan menang oleh KIP Aceh Tamiang, berita tersebut semakin berkembang kala pendukung dari PA semakin menggencarkan isu politik tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi, mereka menganggap bahwa proses pilkada putaran kedua berlangsung dengan sangat tidak demokratis dikarenakan adanya tekanan dan tindakan depresik aparat keamanan di lapangan. Namun isu tersebut seolah hilang begitu saja saat bupati terpilih menduduki masa jabatannya, masyarakat seolah dilupakan oleh fenomena yang menggencarkan 104 warga kala mereka berdemonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang, ternyata dalam hal kelanjutan gugatan yang dilayangkan mereka ke Mahkamah tidak dapat dipertanggungjawabkan, secara perlahan mereka mencabut gugatan tersebut karena tidak dapat menjelaskan bukti-bukti nyata akan kecurangan yang dilakukan oleh rivalnya tersebut. Melihat hal ini, tentu masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas calon pemimpin daerah yang akan mereka pilih, sebuah ancaman tidak menjadi persoalan karena pada faktanya masyarakat sudah jelas menentukan pilihan pada calon terpilih 2012 lalu. Jika benar pihak Hamdan Sati melakukan kecurangan tentu masyarakat tidak akan mau memilihnya. Secara tidak langsung pendewasaan akan kehidupan berdemokrasi di Aceh Tamiang sudah mulai terlihat, ditandai oleh keberanian masyarakat untuk menentang bentuk penindasan atau ancaman tersebut, mereka tidak takut akan ancaman yang menghampiri karena pada dasarnya mereka menyadari bahwa mereka adalah masyarakat politik yang bebas dalam menentukan hak pilihnya, kepada siapa mereka akan memilih orang lain tidak berhak mengintervensinya, dengan kata lain pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Melihat fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa posisi Hamdan Sati saat itu terasa diuntungkan oleh kebijakan pusat atas pengerahan aparat keamanan dalam hal ini TNIPolri dalam proses pemilihan umum, dikarenakan penulis melihat pertarungan pilkada putaran kedua tersebut tidak lagi kompetisi antar calon maupun antar partai nasional dan partai lokal, melainkan sudah mengarah pada pertarungan antar NKRI dan GAM, karena dalam hal ini posisi Hamdan seperti terlindungi oleh keberadaan aparat keamanan sementara Agussalim yang dibawah naungan Partai Aceh seperti terlindungi oleh keberadaan GAM, dalam kasus ini seolah mengingatkan 105 kembali kenangan pahit akan konflik yang berkepanjangan di bumi Serambi Mekkah ini. Karena dugaan akan keberadaan aparat keamanan yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati meskipun pada faktanya mereka berfungsi untuk mengamankan jalannya pilkada dari pergerakan GAM yang bisa saja berulah. Sudah pasti imbasnya pada masyarakat itu sendiri, karena dibingungkan oleh opini-opini publik yang tak beralasan, namun menyikapi kasus tersebut ternyata masyarakat mulai menyadari bahwa sudah saatnya mereka bangkit dari keterpurukan sejak konflik berkepanjangan melanda daerah ini, dengan bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat untuk bebas dari segala bentuk penindasan adalah solusinya. Agar mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah sebagai wujud nyata pendemokratisasian di era reformasi yang sejalan pada UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana tujuan dari penetapan UU tersebut adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab. Selain itu merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah.Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung yang bebas dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Dengan demikian, pada kasus ini sifat keterbukaan pada pilkada Aceh 106 Tamiang dikatakan relatif baik, artinya masyarakat tamiang telah mengokohkan komitmen untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian guna menciptakan sistem yang demokratis pasca reformasi diterapkan di negeri ini. Mereka mulai menyadari bahwa kebebesan sipil sangat diprioritaskan dalam hal memilih, masyarakat tidak perlu takut akan adanya bentuk intimidasi dan tekanan dari PA karena pada dasarnya masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Sementara jika ditinjau dari pengawasan keamanan, pilkada Aceh Tamiang 2012 lalu dapat dikatakan efektif dikarenakan panitia pengawas pemilu panwaslu telah mengoptimalkan kinerjanya dalam mensukseskan pilkada pada saat itu, ditandai oleh tidak adanya pelaporan khusus mengenai tindakan kekerasan fisik yang biasanya sering terjadi di pilkada Aceh lainnya. Hal tersebut karena diuntungkan pula olehkeberadaan aparat keamanan TNIPolri yang pada saat pilkada digelar selalu siaga mengendalikan keadaan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian selama proses pilkada berlangsung. Meskipun pada awalnya TNIPolri dianggap tidak netral karena pengamanan yang dilakukan TNIPolri dikampung-kampung diindikasi melahirkan intimidasi terhadap anggota Partai Aceh. Pengamanan TNIPolri dianggap tidak netral karena keberadaaan mereka di daerah pelosok membuat suasana pilkada menjadi seperti daerah darurat militer, terbuktinya dengan adanya palang portal dijalan masuk desa-desa terpencil Kecamatan Bandar Pusaka, Kecamatan Sekerak, Kecamatan Bendahara, dan Kecamatan Banda Mulia yang dijaga sedikitnya 20 aparat TNIPolri disetiap kampung. Pengawasan keamanan yang bisa dikatakan ketat ini dianggap terlalu berlebihan namun demikian hal ini dilakukan guna menciptakan suatu pemilihan 107 umum kepala daerah yang lebih kondusif dengan mengedepankan suasana yang aman dan tentram. Dalam hal ini, posisi aparat keamanan disini juga diharapkan dapat mengekang pergerakan GAM yang seolah-olah bisa saja berulah seperti halnya yang terjadi disejumlah daerah lainnya di Provinsi Aceh, seperti kasus penembakan di Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur, sehingga untuk mencegah hal itu terjadi maka pengawasan keamanan oleh aparat keamanan di daerah ini haruslah diperketat. Pengawasan keamanan pada pilkada Aceh Tamiang sejatinya memang telah berjalan secara efektif meski ancaman dan intimidasi kerap terjadi oleh salah satu kandidat dalam hal ini panwaslu dan aparat keamanan saling bahu membahu mengatasi serta mengantisipasi agar kerusuhan dan konflik yang kerap terjadi pada pilkada sebelumnya tidak terjadi lagi pada pilkada 2012. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektifan pemilukada bisa ditandai dengan adanya pengawasan keamanan yang baik oleh tim pelaksanaan pemilu, ditandai oleh sarana dan prasarana yang memadai tentu akan menciptakan interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi yang baik pula, dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan partisipasi politik warga untuk berpartisipasi dalam pemilukada, dan jika tujuan daripada berdemokrasi telah terwujud maka dengan sendirinya kebebasan sipil masyarakat akan terealisasikan.

b. Prosedur Pemilihan