1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya setiap manusia pasti memilki berbagai kebutuhan untuk tetap dapat menjalankan kehidupannya. Kebutuhan manusia tersebut dapat
dipenuhi melalui berbagai barang dan jasa. Dalam era modern sekarang ini setiap manusia tidak perlu memproduksi atau menghasilkan sendiri semua
barangjasa yang dibutuhkan, melainkan dapat dilakukan dengan pertukaran, perdagangan, jual-beli, dan penyewaan.
1
Disisi lain dalam aktivitas bisnis terdapat persaingan di antara pelaku usaha yang akan berusaha menciptakan
serta memasarkan produk baik berupa barang dan atau jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen.
Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara harus membuka pasar dalam negerinya agar produk barang dan atau jasa dari luar negeri dapat
masuk dan bersaing dengan barang dan atau jasa dalam negeri.
2
Oleh karena itu, harus didukung oleh kesiapan pelaku usaha dalam negeri untuk bersaing.
maka keadaan ini dapat saja mengancam kesinambungan kegiatan usaha dari para pelaku usaha domestik bahkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
nasional. Lemahnya daya saing dalam negeri itu antara lain, disebabkan
1
Irma Nilasari dan Sri Wiludjeng, Pengantar Bisnis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, h.1.
2
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta:Kencana, 2009, h. 145.
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha.
Charles E. Mueller mengemukakan tiga pendekatan yang bisa diambil oleh negara-negara di dalam menangani bidang industrinya. Pertama, negara-
negara bisa memakai pendekatan “lasses-faire” memiliki arti “biarkan s
endiri” yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam industri. Kedua Negara-
negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision
” ditandai dengan penguasaan negara atas industri-industri penting. Terakhir dapat juga digunakan pendekatan
“antitrust”, yakni kebijakan yang mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya persaingan sehat
di antara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang campur tangan di dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output produksi.
3
Masalah persaingan usaha sesungguhnya adalah merupakan urusan para pelaku dunia usaha, dimana negara tidak ikut campur. Namun demikian,
dalam dunia usaha perlu diciptakan “level playing field” yang sama antara pelaku usaha maka pada akhirnya negara sangat diperlukan untuk ikut campur.
Keterlibatan negara dibidang hukum termasuk masalah yang bersifat perdata, untuk melindungi pihak yang lemah agar terhindar dari dari tindakan
eksploitasi oleh pihak yang kuat.
4
Guna mendukung kondisi persaingan usaha yang sehat, terbuka dan dicita-citakan oleh banyak pelaku usaha, maka
3
Aris Siswanto, Hukum Persaingan Usaha,cetakan pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia,2002, h.10.
4
Dhaniswara K. Harjono, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta:Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia,2009, h.165.
diperlukan kebijakan persaingan usaha. kebijakan persaingan usaha bertujuan untuk meminimalkan inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku
pelaku usaha yang cenderung bersifat anti persaingan dan berkeinginan melakukan praktek monopoli seenaknya.
5
Untuk itu, pada tanggal 5 Maret 1999 dibuatlah Undang-Undang yang mengatur persoalan antimonopoli, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 LN 1999-33 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6
Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999, diharapkan Undang-undang tersebut menjadi sebuah instrumen hukum yang
bertujuan agar dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, kompetitif, serta mendorong terciptanya efisiensi yang menunjang
pertumbuhan ekonomi. Pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk
pengejawantahan sikap bangsa Indonesia dalam rangka mencapai dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Cita-cita itu merupakan arahan dan
sebagai penentu arah dari tujuan nasional Indonesia. Terwujud atau tidaknya cita-cita bangsa Indonesia, tergantung pada
upaya seluruh komponen bangsa Indonesia yang bahu membahu antara pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pembangunan secara
menyeluruh di semua sektor. Pembangunan nasional tersebut antara lain mencakup aspek-aspek ekonomi, budaya, politik, demografi, psikologi,
5
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Jakarta:Erlangga, 2002, h. 326.
6
Munir Fuady, Hukum Antimonopoli, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2009,h.3.
hukum, intelektual maupun teknologi, dan industri.
7
Pembangunan nasional secara menyeluruh tersebut merupakan pembangunan yang produktif,
mengutamakan perbaikan taraf hidup rakyatnya, mendistribusikan ke seluruh wilayah tanpa terkecuali, menciptakan masyarakat adil dan makmur meliputi
segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila didasarkan pada sifat atau jenis perjanjian maka perjanjian
Pengadaan BarangJasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga
termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya
dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen
dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan BarangJasa inipun sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses
pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapanformalitas yang sudah ditentukan.
8
Berbicara mengenai sejarah pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah dimulai dari adanya transaksi pembelian atau penjualan barang di pasar secara
langsung tunai. Kemudian berkembang kearah pembelian berjangka waktu pembayaran, dengan membuat dokumen pertanggungjawaban antara pembeli
dan penjual, dan pada akhirnya melalui pengadaan dengan cara proses
7
Dhaniswara K.Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo,2007 ,h.3.
8
Hans Kelsen, General Theory Of law and State, Penerjemah Somardi, Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81.
pelelangan yang pemenangnya ditentukan oleh perwakilan Pemerintah Panitia Tender. Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa melibatkan
beberapa pihak terkait sehingga perlu ada etika, norma dan prinsip pengadaan barang dan jasa untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar penetapan
kebijakan pengadaan barang dan jasa.
9
Pengadaan barangjasa pemerintah merupakan kegiatan pemerintah yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian suatu daerah bahkan
perekonomian nasional. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah APBNAPBD dipercaya merupakan salah satu mesin pendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan semakin terasa dalam negara yang mengalami krisis perekonomian sebagai dampak dari krisis global yang
mempengaruhi seluruh komponen-komponen perekonomian seperti halnya negara Indonesia. Karena itu APBNAPBD memiliki peran yang sangat
signifikan dalam mendorong tercapainya target dan sasaran makro ekonomi nasional maupun daerah. maka APBNAPBD seyogyanya diarahkan untuk
mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok, sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Undang-Undang Anti Monopoli telah mengatur bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur danatau
menentukan pemenang tender, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat antara lain pembatasan akses
pasar dan kolusi. Selanjutnya, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
9
Andrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Jakarta: Sinar Grafika,2009,h.1
pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat,
10
dan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi danatau
pemasaran barang danatau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang danatau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Persekongkolan tender dapat saja terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah maupun swasta, dan tidak jaang pula
persekongkolan dalam tender melibatkan pihak Panitia Pengadaan Barang dan Jasa itu sendiri.
11
Hal demikian dapat terindikasi dari lemahnya penyaringan atau pemeriksaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
tersebut terhadap dokumen para peserta tender, yang mana seharusnya indikasi-indikasi persekongkolan tersebut dapat ditelaah secara dini sebelum
dikeluarkan penetapan pemenang tender. Namun faktanya, indikasi-indikasi persekongkolan tender seringkali lolos dari pantauan dan penilaian Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa. Terkesan seolah-olah ada unsur kesengajaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk mengesampingkan fakta dan
indikasi yang menjurus pada persekongkolan tender.
10
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2004,h.80.
11
Santy, ” Tinjauan Hukum Persekongkolan Tender Pengadaan Barang dan Jasa dalam Pembangunan Rumah Dinas Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi
Sumatera Utara Pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan usaha KPPU Nomor 12KPPU- L2008” Tesis S2 Program Pasca Sarjana, Universitas Islam Riau, 2011, h.15.
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU berkewajiban untuk
memastkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah
dijalankan selama beberapa tahun dan sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang lebih 4000 laporan dari masyarkat mengenai dugaan
persekongkolan tender. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang
dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, seperti melakukan pembatasanpasar, praktik persekongkolan, serta melakukan kolusi
dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang. Namun terkadang keinginan untuk menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar tidak
diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan, atau memperluas penjualan dan pemasaran
menggunakan alat yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan ekonomi.
12
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi
dengan judul: PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR 06KPPU- L2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN
TERMINAL ANGKUTAN
JALAN SEI
AMBAWANG KOTA
12
Maulana Ichsan Setiadi, ”Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor 16KPPU-L2009 Tentang Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan Cleaning Service di Bandara Soekarno Hatta
” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014, h.4.
PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 KPdt.Sus-KPPU2014
B. Identifikasi Masalah