Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa Gangguan Habitat

5.1.4. Hubungan Penggunaan Antara Tipe Habitat Dengan Jumlah Satwa

Hasil pengamatan terhadap jumlah individu harimau sumatera pada tipe habitat hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan dengan penggunaan habitat lebih banyak individu harimau sumatera yang ditemukan ditipe habitat sub- pegunungan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji chi kuadrat chi-square menyatakan bahwa χ² hit = 0,2 sedangkan χ² tab = 5,991, maka dinyatakan χ² hit χ² tab sehingga terima H pada taraf nyata 95. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah harimau sumatera. Hasil uji chi kuadrat chi-square untuk satwa mangsa harimau sumatera pada tipe habitat hutan pegunungan dan hutan sub-pegunungan menunjukkan bahwa nilai χ² hit = 10,30 sedangkan χ² tab = 7,815 atau χ² hit χ² tab maka tolak H pada taraf nyata 95. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan jumlah satwa mangsa yang ada di hutan Blangraweu.

5.1.5. Gangguan Habitat

Bentuk gangguan yang ada di lokasi penelitian adalah ditemukan bekas aktivitas perambahan liar baik yang sudah lama maupun yang masih baru yang dilakukan dengan cara tradisional menggunakan kerbau sebagai alat angkut kayu, dan dengan cara modern. Masyarakat Aceh yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani kopi dan cokelat berupaya untuk memperluas kebunnya dengan merambah hutan. Sehingga masyarakat yang memiliki lahan sempit mengkonversi hutan sebagai kebun baru. Kegiatan berburu merupakan aktivitas rutin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Dalam satu bulan biasa masyarakat akan masuk hutan selama lebih kurang 15 hari sekitar 5 – 10 orang per kelompok. Perburuan besar-besaran terjadi apabila memasuki hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Alat yang digunakan untuk berburu berupa jerat tradisional, yaitu tali tambang, anyaman rotan, dan kayu sebagai pelontar. Selain itu, aktivitas yang dilakukan masyarakat masuk ke dalam hutan adalah untuk mencari ikan, rotan, jeureunang, gaharu, dan cendana. Adanya eksplorasi tambang emas yang dilakukan oleh perusahaan tertentu yang dibantu oleh masyarakat lokal dapat berdampak merusak sistem ekologi yang ada di dalam kawasan hutan Blangraweu. Pembakaran padang rumput dan peracunan ikan yang dilakukan oleh oknum tertentu di padang rumput dan di sungai akan berakibat pada perubahan ekosistem di daerah tersebut. Gambar 17. Potogan kayu sisa Illegal Logging Bentuk aktivitas perambahan liar yang dilakukan masyarakat lokal lainnya yaitu dengan cara modern. Cara ini lebih praktis dan efisien karena menggunakan mesin potong kayu chainsaw. Di dalam hutan yang berbatasan dengan kebun masyarakat terutama di areal bekas tebangan masih ditemukan sisa kayu log yang terpotong rapih namun belum sempat terangkut. Kayu-kayu tersebut dibiarkan menumpuk sehingga ditumbuhi semak belukar. Di lokasi ini temukan gubuk atau pondokan yang sudah tidak terpakai, namun pada waktu tertentu pondokan tersebut berguna bagi masyarakat yang akan masuk ke dalam hutan untuk bermalam. Di jalur bekas transmigrasi masyarakat memanfaatkan jalut itu untuk mengangkut hasil hutan baik kayu maupun non kayu serta satwa hasil buru. a b Gambar 18. a Perambahan di perbatasan antara kebun dengan hutan dan b Jerat yang terpasang di jalur satwa Bentuk ganguan habitat yang ada di kawasan hutan Blangraweu dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 15. Bentuk gangguan habitat di kawasan hutan Blangraweu No Jenis gangguan Tipe hutan Hutan pegunungan savana Hutan sub-pegunungan 1 Penebangan liar -  2 Perburuan   3 Eksplorasi tambang emas -  4 Perambahan hutan -  5 Illegal logging -  6 Kebakaran   7 Pencari gaharu dan cendana   Keterangan :  = ada gangguan - = tidak ada gangguan 5.2. Pembahasan 5.2.1. Potensi Populasi Harimau Sumatera

5.2.1.1. Kepadatan

Harimau sumatera yang berhasil diidentifikasi dengan metode capture selama enam bulan adalah 5 individu. Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu adalah 5 – 9 ekor dengan total efektif sampling area kawasan tersebut seluas 211,25 km 2 . Model yang digunakan dalam program capture adalah Mh dengan asumsi bahwa kemungkinan rekam antar individu adalah tetap atau konstan diantara individu harimau sumatera, namun bervariasi diantara ulangan dari individu yang sama Karanth Nichols, 2003. Hal ini dapat diketahui bahwa kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu dengan selang kepercayaan 95 antara X  SE 2 – 4 ekor 2,36 – 4,07  2,43 individu harimau100 km 2 . Berdasarkan analisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu tergolong normal. Karena per 100 km 2 terdapat 2 hingga 4 individu harimau. Umumnya 1 individu tiap 50 km 2 , pada habitat relatif yang tidak terganggu dengan mangsa yang cukup seperti babi dan rusa Whitten et al., 1992. Menurut Yosry 2002 idealnya 4 – 5 ekor harimau dewasa memerlukan kawasan seluas 100 km 2 di kawasan tanah rendah dengan jumlah hewan buruan optimal tidak dirambah oleh manusia. Hal ini berbeda dengan tingkat kepadatan harimau di kawasan hutan Batang Hari dengan luasan efektif sampling area yang lebih besar yaitu 1 – 3 ekor individu harimau100 km 2 Budiana, 2009. Harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1 – 3 ekorkm 2 memiliki jelajah yang luas sekitar 180 km 2 untuk harimau jantan dewasa Linkie, 2006b. Kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Blangraweu sebesar 2,36 individu100 km 2 dapat dikatakan normal. Hal ini diketahui dengan mempertimbangkan dua faktor penentu, yaitu faktor luasan area dan faktor topografi. Topografi di kawasan hutan Blangraweu yang sebagian besar berupa hamparan bukit yang cukup terjal namun tidak menghambat pergerakan harimau dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Tipe hutan berupa hutan pegunungan, yaitu padang rumput dan hutan sub-pegunungan. Tingkat kepadatan