Aplikasi SIG untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan satwa mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh

(1)

HARIMAU SUMATERA (

Panthera tigris sumatrae,

Pocock 1929)

DAN SATWA MANGSANYA DI HUTAN BLANG RAWEU,

KAWASAN EKOSISTEM ULU MASEN, ACEH

IQRARUL FATA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

HARIMAU SUMATERA (

Panthera tigris sumatrae,

Pocock 1929) DAN

SATWA MANGSANYA DI HUTAN BLANG RAWEU, KAWASAN

EKOSISTEM ULU MASEN, ACEH

IQRARUL FATA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyeleseikan studi kesarjanaan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Satwa Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh

Nama : Iqrarul Fata NRP : E34050403

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc Dr. Ir. Jarwadi B. Hernowo, M.Sc.F NIP. 19620316 198803 1 002 NIP. 19581111 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003


(4)

IQRARUL FATA. E34050403. Aplikasi SIG untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh. Dibimbing oleh : LILIK B. PRASETYO dan JARWADI B. HERNOWO

Keberadaan harimau sumatera dan mangsanya di Kawasan Ekosistem Ulu Masen belum sepenuhnya diketahui. Kawasan Ulu Masen merupakan satu dari 18 lokasi penelaahan populasi harimau sumatera yang ditetapkan Departemen Kehutanan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017. Kawasan Ulu Masen baru memiliki data informasi keberadaan harimau sumatera tapi belum diketahui estimasi populasinya. Untuk mendukung program pemerintah melakukan penelaahan populasi harimau sumatera maka penelitian ini perlu dilakukan.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Mei 2010 di Hutan Blang Raweu dan sekitarnya dalam Kawasan Ekosistem Ulu Masen Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, Propinsi Aceh. Berdasarkan tutupan lahannya, kawasan hutan Blang Raweu memiliki tipe hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya kawasan ini memiliki tipe hutan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan dan hutan tropis pegunungan tinggi. Pengambilan data dilakukan dengan metode perangkap kamera yang dipasang secara acak berdasarkan peta kerja yang ditetapkan sebelum melakukan penelitian. Populasi harimau dianalisis dengan menggunakan metode capture-recapture sedangkan populasi mangsa dianalisis berdasarkan kecepatan berjalannya. Distribusi harimau dianalisis berdasarkan overlay titik perjumpaan dan peta tipe tutupan lahan, tipe hutan berdasarkan ketinggiannya, kemiringan lahan, letak padang rumput, letak sungai serta letak pemukiman dan aktivitas manusia dalam kawasan

Berdasarkan analisis terhadap ditribusi harimau dan mangsanya menggunakan GIS diketahui bahwa distribusi harimau cenderung mengikuti distribusi mangsanya. Kecendrungan distribusi harimau mengikuti distribusi mangsanya dapat dilihat dari pola aktivitas harian dan keberadaan harimau terhadap mangsanya berdasarkan peta distribusi harimau dan mangsanya. Faktor yang paling berpengaruh dalam distribusi mangsanya adalah keberadaan pakan, salt lick dan air sehingga secara tidak langsung memepengaruhi distribusi harimau. Faktor lainnya seperti tutupan lahan, kemiringan, ketinggian aktivitas manusia dan letak pemukiman memiliki tingkat pengaruh yang berbeda pada setiap jenis satwanya.

Perkiraan populasi harimau menggunakan program CAPTURE (X±SE) pada kawasan ini dengan model mh adalah 6±2.45 individu. Estimasi kepadatan harimau adalah 2-8 individu/100 km2 dengan tingkat kepercayaan 95%. Satwa mangsa pada kawasan Blang Raweu yang menjadi mangsa utama harimau adalah rusa sambar, kijang dan babi jenggot. Jenis satwa yang dapat dihitung populasinya adalah rusa dan kijang. Populasi rusa pada kawasan ini adalah 59 individu/100 km2 dengan sex rasio 1:5 sedangkan populasi kijang adalah 75 individu/100 km2 dengan sex rasio 1:1.


(5)

IQRARUL FATA. E34050403. GIS Aplication for Sumtran Tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) and Prey Distribution Population Analisis in Blang Raweu Forest, Ulu Masen Ecosistem Area, Aceh. Suppervised by : LILIK B. PRASETYO and JARWADI B. HERNOWO

Very little information is known of the distribution of Sumatran tiger and their prey species in Ulu Masen Ecosistem . Ulu Masen area is one of 18 Sumatran tiger’s population determining area which was appointed by Forestry Ministry in Sumatra for the implementation of Tiger Strategy and Action Plan at 2007. It was acknowledeged that Sumatran tiger existed at Ulu Masen, however, there was no any information on their population. This research was doing to support the government programs to determine the sumateran tiger population.

This research was done from December 2009 until Mei 2010 in Blang Raweu Forest and its surrounding area in Ulu Masen ecosystem in Pidie and Pidie Jaya province Aceh. Based on the land cover, Blang Raweu Forest consisted 3 types, lowland tropical forest, mountain tropical forest and high mountain tropical forest. It ranging from lowland forest, hills forest, and mountain forest. The Data was taken by Random Camera Trap Methode and the prey population was analyzed based on the speed moving of the species. The tiger distribution was analyzed by overlaying the meeting point and the map of land cover type, forest type by the height, slope, grassland, river, settlement, and human activities in the area.

Based on the tiger and prey distributionanalisys by using GIS, The tiger distribution was followed the prey. It was saw from the daily activity types and they prey bassed on the tiger and pery distribution maps. The primary factor in prey distribution wass feed, salt lick, and water, so it directly influence the tiger distribution. The other factors such as land cover, slope, altitude, human activity and the settlement which have different influence to the every animal.

Estimated population based on CAPTURE (X±SE) program with the model mh was 6±2.45 individu. Meanwhile the tiger density is around 2-8 individu/100 km2 with the accuracy of about 95%. The primary prey in this area was Sambar deer, deer, and beard pig. Number of Sambar deer and deer could be estimated. There were 75 individu/100 km2 of sambar deer with 1:1 sex ratio.


(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Aplikasi SIG untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” adalah hasil karya saya pribadi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi dan lembaga manapun. Sumber informasi yang diterbitkan maupun tidak diterbikan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Iqrarul Fata E34050403


(7)

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 28 Oktober 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mahzar Is dan Ibu Salinar. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD Negeri 29 Tabek Patah, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 1998 melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Sungai Tarab Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2002 penulis memulai pendidikan menengah di SMA Negeri 1 IV Angkat Kabupaten Agam dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di komunitas olah raga dan seni Fraternidade Esportifo de Capoeira Alegria (FEdCA) IPB, serta menjadi pembina sejak tahun 2010 sampai sekarang. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Baturraden-Cilacap tahun 2008. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi pada tahun 2009.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Aplikasi SIG untuk Analisi Distribusi Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F.


(8)

Puji Syukur Kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan pada penulis sehingga penulis dapat menyeleseikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Mahzar IS, BA dan Ibu Salinar A.Ma selaku orang tua serta Mesi Pebrina dan Khairul Fajri Selaku adik atas do’a, kasih sayang serta dukungan moril dan materil yang diberikan hingga skripsi ini selesai. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc. dan Bapak Dr. Ir. Jarwadi

Budi Hernowo, M.Sc.F yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam pelaksannaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Ir. Dolli Priatna selaku pimpinan penelitian lapangan yang penulis ikuti atas bantuan moril dan materil yang diberikan.

4. CLP (Concervation Leadership Programe) atas bantuan dana penelitian yang diberikan.

5. ZSL (Zoological Socity of London) atas bantuan dana dan peralatan lapangan yang dipinjamkan selama penelitian berlangsung.

6. FFI (Flora Fauna International) Aceh Program dan segenap jajarannya atas bantuan yang diberikan selama penelitian lapangan dilakukan baik moral maupun materil.

7. Blang Raweu Ranger (Nurman, Norman, Maimun, Adi, Syaifudin, Rusdi, Antomi, Budiman, Nasir dan Burhan) atas bantuan guide, ilmu dan pendampingan selama penelitian lapangan.

8. Bang Susilo dan Bang Dedi atas bantuan dan pertukaran ilmu selama penelitian lapangan berlangsung.

9. Erry Kurniawan (Wedhuz) dan Andriana (Kenchot) atas kerjasama selama pelaksanaan penelitian lapangan.

10. Bang Geusti atas pelatihan singkat dan berbagi ilmu survey pemantauan harimau sumatera menggunkan perangkap kamera.

11. Taufan Mustafa atas bantuan lapangan dan tempat tinggal selama berada di kota Banda Aceh.


(9)

selama penelitian.

13. CRU Gumue (Cek Lah, Bang Popon dan para Mahot) atas bantuan akomodasi dan kebersamaannya selama peneltian.

14. Masyarakat Geumpang dan Mane atas kemudahan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian.

15. Bang Agung Nugroho atas bantuan literatur, bimbingan dan pertukaran ilmu dalam penulisan skripsi.

16. Rika Budi Santoso S.Hut dan Muis Fajar S.Hut atas bantuan analisis data. 17. Teman-teman Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial

atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan yang diberikan.

18. Keluarga Besar KSHE 42 atas persahabatan kebersamaan dan do,a yang telah diberikan.

19. Keluarga besar Kemawita atas kegembiraan dan kebersamaan yang terus diberikan.

20. Keluarga Besar J-Camp atas kebersamaan dan semangat yang selalu tercurahkan dalam duka maupun suka.

21. Keluarga Besar FEdCA (Fraternidade Esportivo de Capoeira Alegria) IPB atas kebersamaan dan semangat yang diberikan.

22. Bapak Supriatna dan Ibu Eem serta masyarakat Balebak yang telah memberikan suasana kekeluargaan selam penulis tinggal dilingkungan kampus IPB.


(10)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Aplikasi SIG untuk Analisi Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumtrae Pocock, 1929) dan Mangsanya di hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ulu Masen, Aceh” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai bulan Mei 2010 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M. Sc.F selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyususnan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada CLP, ZSL dan FFI-Aceh Program atas segala bantuan yang telah diberikan baik moril maupun materil. Hasil ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang populasi harimau sumatera dan mangsanya di kawasan hutan Blang Raweu dan sekitarnya yang berguna bagi upaya konservasi harimau sumatera pada kawasan tersebut.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dan sempurna dan tidak tertutup kemungkinan terdapat ketidak sesuaian dalam penyajian isi materi maupun tata bahasa sebgai akibat belum optimalnya usaha. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang mebutuhkan

Bogor, Januari 2011

Iqrarul Fata E34050403


(11)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL.... ... iv

DAFTAR GAMBAR.... ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang .... ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera ... 3

2.1.1. Taksonomi ... 3

2.1.2. Morfologi ... 4

2.1.3. Perilaku ... 5

2.1.4. Populasi dan Penyebaran ... 7

2.1.5. Habitat ... 7

2.1.6. Wilayah Jelajah dan Teritori ... 8

2.1.7. Satwa Mangsa ... 9

2.1.8. Hubungan Harimau dengan Satwa Mangsa ... 9

2.2. Perangkap Kamera (Camera Trap)... 11

2.3.Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 12

2.2.1. Definisi SIG ... 12

2.2.2. Komponen SIG ... 13

2.2.3. Aplikasi SIG ... 14

2.3. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ... 15

2.3.1. Definisi ... 15

2.3.2. Citra Landsat ... 16

2.3.3. Pengunaan Citra Landsat TM pada SIG ... 16

2.4. Global Positioning System (GPS) ... 17

III. KONDISI UMUM LOKASI ... 18

3.1. Sejarah dan Status Kawasan .... ... 18

3.2. Letak dan Luas.... ... 19

3.3. Kondisi Fisik Kawasan .... ... 19

3.3.1. Topografi ... 19

3.3.2. Tanah... 19

3.3.3. Iklim ... 20

3.4. Kondisi Biologis .. ... 21

3.4.1. Flora… ... 21

3.4.2. Fauna... 22

ii 


(12)

4.1. Waktu dan Tempat ... 23

4.2. Peralatan yang Digunakan ... 24

4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 25

4.4.1. Metode Perangkap Kamera ... 25

4.4.2. Survey Lapangan Menggunakan Metode Jalur ... 26

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26

4.5.1. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera ... 26

4.5.2. Pendugaan Populasi Mangsa ... 28

4.5.2. Distribusi Harimau dan Mangsanya ... 28

4.5.3. Hubungan Harimau dan Satwa Mangsa ... 32

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1. Hasil... 35

5.1.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Perangkap Kamera... 35

5.1.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Survey Lapangan ... 44

5.1.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya... 48

5.1.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya... 54

5.1.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya ... 59

5.1.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya ... 68

5.1.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan... 70

5.2 pembahasan ... 72

5.2.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Perangkap Kamera ... 72

5.2.2. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya berdasarkan Survey Lapangan... 74

5.2.3. Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera dan Mangsanya... 76

5.2.4. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya... 78

5.2.5. Distribusi Harimau Sumatera dan Mangsanya ... 80

5.2.6. Populasi Harimau Sumatera dan Mangsanya ... 87

5.2.7. Potensi Gangguan Terhadap Kawasan... 89

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 94

7.1. Kesimpulan... 94

7.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 97

iii 


(13)

No. Halaman 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi

Pulau Sumatera ... 7

2. Karakteristik spectral landsat thematic mapper ... 16

3. Luasan Ekosistem Ulu Masen per-kabupaten kota ... 19

4. Keadaan perangkap kamera terpasang ... 35

5. Foto-foto hasil perangkap kamera di lokasi penelitian ... 36

6. Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan perangkap kamera ... 37

7. Jenis dan jumlah tanda-tanda keberadaan harimau sumatera... 45

8. Hasil uji regresi logistik tingkat perjumpaan harimau sumaetra dan satwa mangsa ... 53

9. Distribusi keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan ... 59

10. Distribusi keberadaan harimau dan mangsa berdasarkan tipe hutan menurut ketinggian ... 60

11. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan kemiringan... 62

12. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak padang rumput ... 63

13. Distribusi keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan letak sungai... 65

14. Keberadaan harimau dan mangsanya berdasarkan jarak dari pemukiman dan terhadap gangguan ... 66

15. Individu harimau sumatera tertangkap kamera ... 68

16. Populasi harimau sumatera berdasarkan Analisis CAPTURE ... 69

17. Kepadatan rusa sambar dan kijang ... 70

18. Potensi gangguan pada kawasan penelitian... 71

iv 


(14)

No. Halaman

1. Subsistem-subsistem SIG ... 13

2. Peta keadaan geologi Aceh ... 20

3. Peta Lokasi Penelitian ... 23

4. Peralatan lapangan... 24

5. Posisi pemasangan perangkap kamera ... 26

6. Proses pembuatan peta tutupan lahan... 29

7. Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan lahan ... 30

8. Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput... 31

9. Proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai... 32

10 Proses pembuatan peta overlay ER harimau dan mangsanya ... 34

11. Suku Felidae tertangkap perangkap kamera... 38

12. Beruang madu ... 39

13. Suku Cervidae ... 39

14. Babi jenggot dan anaknya ... 40

15. Pelanduk ... 40

16. Gerombolan gajah sumatera. ... 41

17. Beruk yang tertangkap perangkap kamera ... 42

18. Landak yang berhasil tertangkap perangkap kamera ... 42

19. Suku viveridae yang tertangkap perangkap kamera ... 43

20. Suku phasianidae ... 44

21. Tanda keberadaan harimau... 45

22. Satwa yang dijumpai langsung... 47

23. Salt lick dan kubangan... 48

24. Peta interpolasi tingkat perjumpaan harimau sumatera... 49

25. Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa berdasarkan jenis satwanya ... 50

26. Peta interpolasi tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera... 51

27. Grafik overlay tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa ... 52

28. Peta overlay interpolasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa ... 53

29. Grafik pola waktu aktivitas harian harimau sumatera ... 55

30. Pola aktivitas cicardian mangsa harimau sumtera ... 56

31. Grafik pola aktifitas harian satwa mangsa... 57

32. Grafik hubungan pola ativitas harimau sumatera dan mangsa ... 58

32. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe tutupan lahan ... 60

34. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan tipe hutan menurut ketinggiannya ... 61

35. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan kelas kemiringan... 63

36. Peta distribusi harimau berdasarkan letak padang rumput ... 64

37. Peta distribusi harimau dan mangsanya berdasarkan letak dari sungai... 66


(15)

aktivitas manusia dan letak terhadap pemukiman ... 67 39. Harimau tertangkap kamera ... 69

vi 


(16)

No. Halaman

1. Rekapitulasi pemasangan perangkap kamera ... 99

2. Keberadaan harimau dan mangsa pada setiap kamera... 101

3. Rekapitulasi tingkat perjumpaan harimau dan mangsa ... 102

4. Rekapitulasi kecepatan berjalan rusa sambar ... 103

5. Rekapitulasi kecepatan berjalan kijang... 107

6. Hasil uji regresi logistik ER harimau dan mangsa... 110

7. Analisis program CAPTURE ... 113

vii 


(17)

1.1. Latar Belakang

Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tersebar di 26 kawasan konservasi dan kawasan hutan lainnya yang terpisah secara geografis dengan jumlah populasi sekitar 500 ekor (PHPA 1994). Sejak tahun 1996, harimau sumatera masuk dalam kategori sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) atau Badan Dunia untuk Konservasi Alam dan Sumberdaya Alam. CITES (Convetion on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau Konvensi Internasional Tentang Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Terancam Punah mengelompokan harimau sumatera dalam kategori Appendix I. Harimau sumatera dalam upaya konservasinya membutuhkan habitat yang memadai.

Salah satu kawasan yang memiliki perhatian lebih terhadap harimau sumatera adalah Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan salah satu kawasan penelaahan populasi harimau sumatera dari 18 kawasan yang ada di pulau sumatera (Departemen Kehutanan 2007). Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan kombinasi antara hutan daratan rendah sampai pegunungan seluas 738.857 Ha pada lima Kabupaten di utara Propinsi Aceh yaitu: Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya.

Keberadaan harimau sumatera di propinsi Aceh belum sepenuhnya diketahui dengan akurat karena penelitian lapangan relatif sedikit dilakukan terutama di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Berdasarkan data WCS-IP (Wildlife Concervation Society Indonesia Programe) yang dipublikasikan Departemen Kehutanan tahun 2007 ditemukan bukti keberadaan harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Ulu Masen namun estimasi populasinya belum diketahui. Untuk melengkapi bukti keberadaan harimau sumatera tersebut perlu dilakukan penelitian guna memperoleh data keberadaan, populasi dan penyebaran (distribusi) harimau sumatera dan mangsanya pada kawasan tersebut.


(18)

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menentukan keberadaan harimau dan mangsanya adalah dengan analisis sistem informasi geografis (SIG) (Smith et al. 1998). Dalam ilmu satwaliar SIG dapat dimanfaatkan untuk analisis habitat, tutupan lahan, penentuan wilayah jelajah dan teritori, pemodelan spasial habitat satwaliar, pemetaan sebaran satwaliar dan acuan pengambilan keputusan dalam pengelolaan satwaliar salah satunya adalah harimau sumatera.

1.2. Tujuan

Penelitian tentang Aplikasi GIS untuk Analisis Distribusi Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) dan Mangsanya di Hutan Blang Raweu, Ekosistem Ulu Masen, Aceh ini bertujuan:

a). Menentukan hubungan distribusi harimau sumatera terhadap distribusi mangsanya

b). Mengidentifikasi populasi harimau sumatera dan satwa mangsanya,

c). Memanfaatkan GIS untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi distribusi populasi harimau dan satwa mangsanya di kawasan hutan Blang Raweu. Hasil studi pemanfaatan GIS untuk analisis distribusi populasi dan satwa mangsa harimau sumatera hendaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan pengelola kawasan Ekosistem Ulu Masen dan pihak berwenang dalam perumusan kebijakan dan keputusan dalam usaha-usaha pelestarian harimau sumatera.


(19)

2.1. Bio-Ekologi Harimau Sumatera

2.1.1. Taksonomi

Harimau dalam ilmu taksonomi oleh Carl Linne (Linneaeus) diklasifikasikan sebagai Felis tigris. Felis melipuiti semua jenis kucing. Para ilmuwan menempatkan harimau pada genus yang berbeda dengan kucing yang lebih kecil yang diberi nama Panthera. Terdapat 8 subspesies harimau di dunia, dimana tiga diantaranya telah dinyatakan punah (Grzimek 1975), sub-spesies tersebut yaitu:

a). Panthera tigris altaica (Temminck 1984); harimau siberia atau harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.

b). Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer 1905); harimau cina, terdapat di Cina. c). Panthera tigris corbetti (Mazak 1968); harimau indocina, terdapat di

Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.

d). Panthera tigris tigris (Linneaeus 1758); harimau bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.

e). Panther tigris sumatrae, Pocock 1929; harimau sumatera, terdapat di Pulau Sumatera.

f). Panthera tigris sondaica (Temminck 1844); harimau jawa, terdapat di Pulau Jawa dan dinyatakan punah pada sekitar tahun 1980.

g). Panthera tigris balica (Schwarz 1912); harimau bali, terdapat di Pulau Bali, dan dinyatakan punah pada tahun 1937.

h). Panthera tigris virgata (Illiger 1815); harimau kaspia, terdapat di Iran, Afghanistan, Turki dan Rusia, sudah punah sekitar tahun 1950.

Sistematika taksonomi harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae, Pocock 1929) oleh Grzimek (1975) digolongkan dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Mamalia, Sub Kelas Theria Ordo Karnivora, Sub Ordo Fissipedia, Famili Felidae, Sub Famili Pantherina, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Sub Spesies Panthera tigris sumatrae.


(20)

2.1.2. Morfologi

Secara umum bentuk warna dan corak tubuh delapan spesies harimau hampir sama yaitu loreng dengan warna dasar oranye dan corak berwarna hitam. Dari segi ukuran tubuh harimau sumatera merupakan sub-spesies harimau yang memiliki ukuran tubuh paling kecil dari ukuran tujuh sub-spesies lainnya. Tipe loreng antar individu harimau berbeda dengan individu lainya begitu juga dengan corak kiri berbeda dengan corak kanan pada tubuh satu individu (asimetris). Jumlah corak atau loreng pada setiap individu harimau bervariasi dan cenderung terpisah-pisah (Sriyanto 2003). Pada bagian tertentu tubuh harimau berwarna putih dengan loreng berwarna hitam seperti pada bagian bawah tenggorokan dan bawah tubuh serta pada bagian dalam kaki (Boerer 1971). Iris mata harimau berwarna kuning dengan pupil mata berbentuk bulat, telinga bagian belakang berwarna hitam dan memiliki noda putih mencolok yang berfungsi sebagai tanda visual untuk membantu anaknya pada malam hari (Tilson et al. 1997).

Harimau jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada harimau betina (Jackson 1990). Harimau sumatera jantan memiliki massa tubuh antara 100-140 kg, dengan panjang total 220-255 cm, sedangkan harimau betina memiliki massa tubuh antara 75-110 kg, dengan panjang tubuh 215-230 cm (Subagyo 1996). Ukuran kaki depan harimau lebih panjang dari kaki belakangnya yang membantu memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh (Jackson 1990). Setiap kaki harimau dilengkapi dengan cakar berupa kuku yang tajam dan bantalan pada telapak kakinya. Cakar kaki depan harimau lebih panjang daripada cakar kaki belakangnya. Cakar kaki depan harimau berupa kuku runcing dan tajam dengan panjang 80-100 mm yang dapat ditarik dan diulur serta sangat efektif untuk menangkap dan menggenggam mangsa (Jackson 1990). Bantalan pada telapak kaki harimau berfungsi mengurangi suara saat melangkah terutama saat harimau mengejar mangsanya. Telapak kaki harimau berbeda antara telapak kaki depan dan belakang. Telapak kaki depan harimau dewasa antara 10-20 cm dan kaki belakang lebih kecil 1-1,5 cm (Singh 1999).


(21)

2.1.3. Perilaku

Harimau sumatera merupakan spesies kucing besar yang hidup soliter yaitu satwa yang sebagian besar waktu hidupnya dengan menyendiri, kecuali saat musim kawin dan selama memelihara anak. Harimau dapat bergerak mengunjungi setiap bagian teritorialnya setiap 10 hari sambil mengikuti hewan mangsanya yang secara terus-menerus bergerak aktif ketika harimau aktif bergerak mengejar mangsanya tersebut (Jackson 1990).

Harimau merupakan satwa pemangsa yang menggunakan teknik berburu individual, bersembunyi, mengejar, menyerang secara tiba-tiba untuk kemudian membunuh mangsanya (Seidensticker et al. 1999). Dalam menjalankan perburuannya harimau mengawalinya dengan mengikuti setiap pergerakan mangsanya, berada sedekat mungkin dari mangsanya tersebut sehingga sering ditemukan jejak harimau berada tidak jauh dari jejak mangsanya. Harimau umumnya akan memulai perburuannya pada sore hari dan sangat aktif saat malam hari karena harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan matahari (Lekagul & McNeely 1977). Akan tetapi jika cuaca siang hari dingin dan mendung atau matahari tidak bersinar terik dan suhu udara relatif rendah harimau juga akan berburu mangsanya.

Harimau sangat tergantung pada penglihatan dan pendengarannya saat berburu mangsa jika dibandingkan dengan indera lainnya. Indera ini sangat membantu harimau saat berburu terutama saat berburu di malam hari (Hoogerwerf 1970).

Harimau berburu mangsa dan membunuhnya dengan cara mengigit pada bagian leher. Gigitan pada leher mangsa terarah pada saluran tenggorokan dari arah samping atau dari arah bawah. Setelah mangsa mati digigit, harimau akan cenderung membawa mangsanya mendekati sumber air dan memakannya di sana karena saat makan harimau berhenti beberapa saat untuk minum dan kembali melanjutkan makannya (Grzimek 1975).

Untuk pemenuhan kebutuhannya akan energi yang berasal dari daging mangsanya, harimau berburu setiap 3-6 hari sekali dan sangat ditentukan oleh ukuran dan massa tubuh mangsa yang dimakannya. Seekor harimau biasanya membutuhkan energi dari 3-6 kg daging setiap harinya sehingga harimau biasanya


(22)

tidak menghabiskan mangsanya, hanya sekitar 70% mangsa yang dimakan (Seidensticker et al. 1999). Untuk satwa yang berukuran besar seperti rusa sambar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan biasanya disimpan dengan cara menutupinya dengan dedaunan dan ranting untuk dimakan kembali serta agar mangsanya tidak tercium dan dimakan oleh satwa pemangsa lainnya (Hutabarat 2005).

Harimau betina memiliki satu periode bernama estrous yaitu periode dimana harimau betina akan membuka diri menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Aroma khas harimau betina saat mengalami masa estrous akan tercium oleh harimau jantan melalui urine harimau betina. Selama masa birahi harimau betina akan memperlihatkan perilaku yang lebih agresif dari biasanya, lebih banyak mengeluarkan suara dan lebih sedikit beristirahat. Harimau betina yang mengalami masa birahi akan mengeluarkan suara yang berasal dari udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan atau disebut dengan istilah “prusten” (McDougal 1979).

Pada daerah tropis seperti Indonesia yang memiliki fluktuasi iklim yang sangat kecil, harimau memiliki masa kawin sepanjang tahun. Lama kehamilan harimau sekitar 103 hari dengan rata-rata kelahiran 2 ekor anak setiap kelahiran (Sherpa dan Makey, 1998). Anak yang dilahirkan akan terus berada dalam sarang sampai kira-kira berumur 6 bulan, setelah itu akan mulai dibawa induknya untuk berburu mangsa. Saat berumur 18-28 bulan anak harimau akan disapih oleh induknya, namun beberapa temuan menyebutkan terdapat harimau yang masih di bawah pengasuhan induknya sampai menemukan pasangan hidupnya (Sherpa dan Makey, 1998).

Harimau betina akan mencapai masa dewasa kelamin saat berumur 3 tahun sedangkan harimau jantan baru akan mencapainya saat berumur 4 tahun (Sherpa & Maskey 1998). Setelah mencapai masa dewasa kelamin harimau betina dapat melahirkan anak setiap dua tahun sekali sampai harimau tersebut berumur 9-10 tahun. Selama hidupnya harimau betina memiliki rata-rata masa berkembang biak 6,1 tahun dengan umur rata-rata harimau antara 10-15 tahun (Sherpa dan Makey, 1998).


(23)

2.1.4. Populasi dan Penyebaran

Harimau sumatera tersebar di seluruh Pulau Sumatera, terutama di kawasan hutan primer mulai dari Ekosistem Ulu Masen di utara Sumatera sampai Way Kambas di selatan. Sampai tahun 1994 diperkirakan terdapat 400-500 ekor harimau sumatera yang tersebar pada kawasan hutan di Pulau Sumatera (PHPA 1994). Distribusi harimau sumatera di kawasan konservasi di Pulau Sumatera tahun 1994 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan populasi harimau sumatera di kawasan konservasi pulau Sumatera

Kawasan Konservasi Luas (ha)

Habitat Harimau Tersedia (ha) Dugaan Populasi (ekor) Perkiraan Laju Hilangnya harimau (ekor/tahun)

TN Gunung Leuser 900.000 360.000 110 2-4

TN kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76 6

TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68 1

TN Berbak 163.000 114.000 50 2

TN Way Kambas 130.000 97.000 20 0

SM Kerumutan 120.000 78.000 30 2

SM Rimbang 136.000 122.000 42 2

Jumlah 3.306.000 1653.000 396 15-17

Sumber: PHPA (1994) 2.1.5. Habitat

Habitat satwaliar merupakan suatu kesatuan komponen biotik dan abiotik pada suatu kawasan yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak oleh satwaliar (Alikodra 2002). Harimau dapat hidup di berbagai habitat mulai dari hutan dataran rendah, hutan pegunungan, savana, hutan rawa, hutan pantai, hinggga hutan cemara di Semananjung Kamchatka, Rusia. Habitat yang optimum untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput karena memiliki kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa dan kijang (PHPA 1994, Siswomartono 1994). Selain ketersediaan satwa mangsa, harimau sumatera juga memilih habitat yang memungkinkannya untuk bertemu dengan pasangannya (McDougal 1979).

Harimau sumatera sangat menyukai habitat hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput (Santiapilai & Ramono 1985). Kesukaan harimau pada habitat hutan bersungai dan berawa tersebut karena harimau tidak menyukai cuaca panas dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Selain itu harimau


(24)

merupakan jenis kucing yang suka berenang (Lekagul & McNeely 1977). Di Indonesia, variasi habitat harimau sumatera yang menjadi pilihan (Suwelo & Soemantri 1978) adalah:

a). Hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder pada dataran rendah sampai pegunungan tinggi, savana, hutan terbuka dan hutan pantai,

b). Pantai berlumpur, mangrove, rawa payau dan pantai air tawar, c). Padang rumput terutama padang alang-alang,

d). Daerah datar sepanjang aliran sungai, e). Daerah perkebunan dan tanah pertanian.

Selain daerah tersebut harimau juga dapat hidup pada tipe habitat hutan gambut (Hasiholan 2005).

2.1.6. Wilayah Jelajah dan Teritori

Wilayah jelajah (home range) merupakan seluruh wilayah yang dijelajahi oleh harimau dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas dibanding dengan harimau betina, yakni harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh dibanding betina. Harimau jantan mampu menjelajah antara 33-65 km, sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina antara 10-33 km. Angka ini bersifat relatif karena daya jelajah harimau juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh hewan tersebut, tipe habitatnya dan ketersediaan kebutuhan hidupnya (Smith 1993).

Teritori merupakan wilayah yang dipertahankan dengan aktif seperti tempat tidur dan tempat bersarang (Delany 1982). Teritori harimau sangat bervariasi tergantung pada kualitas habitat yang ditempatinya. Harimau yang tinggal di habitat baik dan mendukung memiliki wilayah teritori yang lebih sempit dibanding dengan harimau yang tinggal di wilayah yang kurang mendukung (Sherpa & Maskey 1998).

Harimau melakukan penjagaan terhadap wilayah teritorinya dengan cara meninggalkan bau-bauan pada urine dan faeses serta penandaan berupa cakaran pada lokasi tertentu yang mereka anggap strategis dan mampu menghidarkan dari gangguan harimau lainnya, terutama pejantan. Penandaan wilayah teritori oleh harimau akan terus dilakukan berulang. Pengulangan akan meningkat


(25)

frekuensinya jika berada pada wilayah yang memiliki frekuensi kontak tinggi dengan harimau lain. Penandaan teritori juga dilakukan harimau dengan meninggalkan bekas cakaran pada pohon-pohon besar (Jackson 1990).

Harimau merupakan kucing besar yang memiliki teritori intraseksual, yakni harimau jantan memiliki teritori yang lebih luas dibanding dengan harimau betina. Harimau jantan dalam satu habitat utama mampu mencakup beberapa teritori harimau betina hingga mencapai rasio 3:1 (teritori 3 harimau betina dalam teritori satu jantan) (Sherpa & Maskey 1998). Harimau jantan memiliki luas teritori 50-150 km2, sedangkan betina 15-150 km2 (McDougal 1979). Harimau jantan tiga kali lebih sering mengontrol teritorinya jika dibanding dengan harimau betina (Jackson 1990).

2.1.7. Satwa Mangsa

Kucing besar merupakan karnivora yang cenderung memangsa beberapa jenis mangsa dengan rata-rata 4 jenis satwa mangsa (Kitchener 1991). Beberapa jenis kucing besar merupakan karnivora yang oportunis dalam preferensi satwa mangsa yang dimakannya, dan ukuran maksimum mangsanya berhubungan dengan ukuran tubuhnya. Jumlah pakan yang dimakan kucing besar kurang lebih seperlima dari massa tubuhnya (Schaller 1967).

Harimau memangsa berbagai spesies hewan yang berhasil ditangkapnya termasuk burung, reptil, amfibi, ikan, bahkan invertebrata. Akan tetapi komposisi jenis pakan terbesar yang dimangsa harimau adalah mamalia, khususnya hewan ungulata. Di Taman Nasional Gunung Leuser, satwa mangsa yang disukai harimau adalah rusa sambar, babi hutan, muncak dan landak (Griffith 1997). Harimau kadang-kadang memangsa kijang dan kambing hutan pada kawasan dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl (Seidensticker et al. 1999).

2.1.8. Hubungan antara Satwa Mangsa dan Harimau

Kepadatan dan populasi harimau pada suatu habitat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan ketersedian satwa mangsa. Kepadatan satwa mangsa merupakan faktor signifikan yang menentukan ukuran teritori harimau betinaserta kepadatan populasi harimau secara keseluruhan (Sherpa & Maskey 1998).


(26)

Wilayah teritori harimau jantan selain tergantung oleh ketersediaan mangsa juga ditentukan oleh keberadaan betina yang dikawininya (Jackson 1990).

Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran besar dan Suidae seperti, rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scrofa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus sp), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kuau raja (Argusianus argus) (Sihotang 2008).

Penyusutan populasi satwa mangsa akan mengakibatkan menurunya tingkat keberhasilan berburu seekor harimau, pembuangan energi yang lebih besar setiap berburu serta semakin luasnya pergerakan harimau (Sunquist 1981). Jenis mangsa kucing besar termasuk harimau di hutan tropis yang telah ada sangat sedikit dikaji, bahkan preferensi pakan sangat jarang diketahui khususnya mangsa harimau sumatera (Kitchener 1991).

Harimau dan satwa mangsa memiliki hubungan yang dinamis pada aktivitas memangsa dan dimangsa dalam rantai makanan di dalam ekosistem hutan. Sebagian besar kebutuhan makan harimau sumatera diperoleh dari Cervidae berbadan besar. Harimau betina dewasa membutuhkan daging 1708 - 2562 kg per tahun untuk hidup. Hal ini berarti seekor harimau betina dapat membunuh 122 - 183 ekor kijang setiap tahunnya. (Seidensticker et al. 1999).

Berkurangnya jumlah satwa mangsa harimau merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup harimau. Namun demikian faktor ini sering terabaikan oleh para ahli pelestarian hingga saat ini (Karant & Stith 1995). Hal ini disebabkan oleh efek pengurangan jumlah satwa mangsa hampir tidak kentara, tidak seperti perburuan harimau dan musnahnya habitat yang dramatis. Tidak kentaranya pengaruh penurunan jumlah satwa mangsa terhadap populasi harimau juga disebabkan oleh kurangnya survey satwa mangsa yang dilakukan secara berkala dan rutin (Kitchener 1991).


(27)

2.2. Perangkap Kamera (Camera Trap)

Perangkap kamera merupakan suatu alat dan sistem untuk memantau satwaliar secara efektif dan efisisen dalam upaya mendukung usaha-usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya harimau sumatera (Karant & Nicolas 2001). Teknologi perangkap kamera telah banyak memberikan kemudahan dalam pemantauan berbagai jenis satwaliar termasuk di Indonesia. Penggunaan perangkap kamera dalam pemantauan satwaliar di Indonesia pertama kali digunakan oleh Grifft (1994) di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.

Pada awalnya perangkap kamera yang umum digunakan adalah perangkap kamera konvensional (kamera analog) yaitu menggunakan film sebagai bahan untuk merekam gambar. Seiring perkembangannya perangkap kamera mulai menggunakan tipe digital dengan menggunakan memori (SD, CF dan Micro SD) sebagai alat untuk merekam data. Kamera analog yang umum digunakan adalah tipe DeerCam dan tipe Trail Master, sedangkan kamera digital yang digunakan diantaranya tipe Reconix dan DLC.

Dalam penggunaannya terdapat dua tipe sensor peangkap gambar yaitu sensor gerak dan sensor panas. Perangkap kamera Trail Master merupakan perangkap kamera yang menggunakan sensor gerak sedangkan perangkap kamera tipe DeerCam, Reconix dan DLC merupakan perangkap kamera yang menggunkan sensor panas.

Perangkap kamera analog mampu merekam berbagai informasi satwaliar dan lingkungannya. Informasi yang mampu direkam perangkap kamera konvensional diantaranya, jenis satwa, keadaan fisik satwa, pergerakan satwa, waktu perjumpaan (sebagai waktu aktivitas). Kamera digital selain mampu merekam data yang sama dengan perangkap konvensional juga mampu menangkap beberapa data tambahan diantaranya suhu lokasi pemasangan, jarak perpindahan satwa pada sudut tangkap kamera. Hutchinson & Waser (2007) menggunakan kamera Reconix untuk menghitung kecepatan berjalan satwa. Kecepatan berjalan satwa dihitung untuk menduga kepadatan populasi satwa tersebut.

Dalam pengunaannya perangkap kamera digital jauh lebih unggul dibandingkan perangkap kamera konvensional. Keunggulan yang dimiliki kamera


(28)

digital diantaranya, mampu merekam informasi lebih banyak, mampu merekam data (foto) lebih banyak, tahan terhadap perubahan cuaca yang ekstreem, hemat penggunaan baterei, dan memiliki casing yang kuat. Dalam pelaksanaan perangkap kamera digital juga memeilki beberapa kelemahan diantaranya ukuran ynag besar an bobotnya yang berat (bobot terpasang jenis Reconix ± 5kg/unit), rawan pencurian, gangguan satwaliar terutama gajah sumatera, mengambil gambar secara otomatis, dan ketergantungan terhadap cahaya matahari untuk mendapatkan data foto yang akurat.

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1. Definisi

Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia (brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, manganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi (Chrishman 1997). SIG sebagai system informasi berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem) (Prahasta 2002):

a). Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG

b). Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy seperti tabel, grafik dan peta,

c). Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan diedit,

d). Data manipulations dan analisis: subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.


(29)

Keempat subsistem dalam SIG memiliki hubungan yang sangat penting dalam penggunaannya. Keterkaitan antar subsistem SIG disajikan pada Gambar 1.

Data manipulations dan analisis

SIG

Data management

Data input Data output

Gambar 1 Subsistem-subsistem SIG (Prahasta 2002). 2.3.2. Komponen SIG

SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG dalam pengoperasiannya terdiri atas komponen (Batubara dan Hasibuan 2000):

a. Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas memori serta RAM yang besar.

b. Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi geografi. Komponen-komponen software adalah alat untuk memasukkan & memanipulasi informasi geografik, DBMS (sebuah database untuk sistem pengelolaan), Alat untuk menyokong pertanyaan-pertanyaan geografik, menganalis dan Memvisualisasikan GUI (Graphical User Interface) untuk mempermudah pengaksesan kepada alat-alat

c. Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan DBMS untuk mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.


(30)

d. Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan membangun rencana- rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. Pemakai GIS adalah teknikal khas yang medesain dan memelihara sistem dan pemakai untuk meningkatkan nilai kerja yang mereka lakukan sehari-hari. e. Metoda: Kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain

yang baik dan metoda- metoda bisnis, yang merupakan model dan beroperasi khusus untuk tiap-tiap organisasi.

Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan (Prayitno 2002). Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Fungsi pengguna adalah untuk memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran, menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan sesuai keinginan dan merencanakannya (Prayitno 2002).

2.3.3. Aplikasi SIG

Pemakaian SIG dalam penelitian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) anatara lain:

a. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah (2007). Penilaian kesesuaian habitat harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian layer yaitu ketersedian mangsa (ER harimau dan mangsa hasil perangkap kamera), jarak dari sungai (buffer jarak dari sungai), topografi (peta kontur) dan kerapatan tajuk (LAI/Leaf Area Index). Pembobotan dilakukan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya menunjukan terdapat tiga daerah kesesuaian habitat harimau yaitu rendah, sedang dan tingggi dengan hasil kesesuaian pada tingkat kesesuaian tinggi 95.85% dengan validasi 95.64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi.


(31)

b. Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Berdasarkan CameraTrap di Lansekap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh, Riau oleh Hutajulu (2007). Studi karakteristik harimau dilakukan berdasarkan overlay pemasangan perangkap kamera terhadap faktor ketinggian, letak sungai, aktivitas manusia dan ketersedian satwa mangsa. Hasil penelitian menunjukan penyebaran harimau dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.

c. Kepadatan dan Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Ipuh Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Agus Riansyah (2007). Penelitian ini memanfaatkan SIG untuk melakukan interpolasi dan overlay tingkat perjumpaan harimau dan mangsanya. Berdasarkan hasil interpolasi dan overlay keduanya diketahui pada titik kamera tertentu tingkat perjumpaan harimau yang tinggi diikuti oleh tingkat perjumpaan mangsa yang tinggi pula atau sebaliknya namun tidak pada kamera lainnya dimana tingkat perjumpaan mangsa tetap tinggi meskipun tingkat perjumpaan harimau rendah.

2.4. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

2.4.1. Definisi

Penginderaan jauh merupakan seni dan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan data suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa melakukan kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut (Lillesand & Kiefer 1990). Komponen dasar sistem penginderaan jauh ditujukan oleh sumber tenaga yang seragam, atmosfer yang tidak mengganggu, kesempurnaan sensor, interaksi antara benda dengan tenaga yang digunakan, sistem pengolahan data tepat waktu, dan berbagai penggunaan data.

Dalam penerapannya teknik penginderaan jauh menghasilkan beberapa data yang disebut citra dan selanjutnya diproses serta diinterpretasikan untuk mendapatkan data yang bermanfaat dalam aplikasi dalam bidang-bidang tertentu yang diinginkan. Keberhasilan penggunaan sistem penginderaan jauh meningkat berarti dengan mengunakan pendekatan multi pandang (mutiple view) dalam pengumpulan datanya. Metode ini meliputi penginderaan multi tingkat (multi


(32)

stage), multi spektral (multi spectral), dan multi waktu (multi temporal). Penginderaan multi tingkat merupakan pengumpulan data suatu daerah kajian dikumpulkan dari berbegai tingkat ketinggian. Penginderaan multi spectral merupakan pengumpulan data melalui beberapa saluran secara bersama-sama, sedangkan penginderaan multi waktu merupakan pengumpulan data yang dilakukan pada lebih dari satu waktu pemotretan (Lillesand & Kiefer 1990).

2.4.2. Citra Landsat

Salah satu alat yang umum digunakan untuk memperoleh citra penginderaan jauh adalah Satelit Landsat. Citra landsat cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannya. Satelit landsat merupakan salah satu sensor yang memiliki thematic mapper (TM) spasial 30x30 meter dengan karakteristik seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik spectral landsat thematic mapper

Band Panjang

gelombang Potensi pemanfaatan

1 0,45 - 0,52 a. Penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan

pantai.

b. Pembedan antara tanah dan vegetasi

c. Pembedaan antara tumbuhan berdaun lebar dan berdaun jarum

2 0,52-0,60 Mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi untuk

penilaian ketahanan

3 0,63-0,69 Saluran absorbsi klorofil untuk diskriminasi vegetasi

4 0,76-0,90 Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air

5 1,55-1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah serta untuk

membedakan salju dan awan

6 2,08-2,35 Saluran infra merah termal untuk perekaman vegetasi, diskriminasi

kelembaban tanah dan pemetaan termal

7 10,45-12,50 Saluran yang diseleksi karena memiliki potensi membedakan tipe

batuan untuk pemetaan hydrotermal Sumber: Lo (1995)

2.4.3. Penggunaan Citera Landsat ETM pada SIG

Citera satelit dan foto udara merupakan hasil data penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan dalam SIG dengan berbagai cara. Cara pengintegrasian data citra satelit dan foto udara kedalam SIG dapat dilakukan dengan cara (Wiradisastra 1996):


(33)

a). Foto udara discan dan diolah sehingga menghasilkan data raster dan atau vektor, tergantung pengunaan SIG.

b). Digitasi peta rupa bumi menggunakan digitizer untuk menghasilkan data vektor.

c). Citra satelit diolah mengunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversikan kedalam format data SIG, baik data vektor maupun data raster. d). Citra satelit yang telah memiliki georeferensi dapat langsung digunakan oleh

perangkat lunak SIG.

e). Citra satelit hasil olahan perangkat lunak pengolah citra, didigitasi dan akan menghasilkan data vektor.

Data yang dihasilkan dalam sistem penginderaan jauh adalah berupa data raster dan vektor. Data raster merupakan data satuan homogen terkecil yang disebut dengan istilah piksel (pixel), dimana setiap piksel menyatakan luasan permukaan bumi pada suatu lokasi; sedangkan data vektor merupakan data berupa objek yang diwakili titik-titik, garis, poligon yang memiliki koordinat kartesius. Pemilihan citra satelit sangat ditentukan oleh kebutuhan pengunaan SIG tersebut. Semakin tinggi resolusi suatu citra yang digunakan maka akan semakin baik kenampakan spasial yang dihasilkan.

2.5. Global Positioning System (GPS)

GPS merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi di muka bumi dengan menggunakan satelit yang dapat memberikan informasi mengenai posisi, kecepatan dan waktu secara cepat, teliti, murah dimana saja di bumi pada setiap waktu (Abidin 1994). GPS juga merupakan jaringan satelit yang secara terus menerus memancarkan frekuensi radio rendah (Puntodewo et al. 2003).

Data GPS merupakan salah satu bentuk sumber data SIG yang diinterpretasikan dalam bentuk vektor. Teknologi GPS mampu memberikan terobosan penting dalam menyediakan data untuk SIG karena memberikan data keakuratan yang tinggi (Puntodewo et al. 2003).


(34)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah dan Status Kawasan

Ekosistem Ulu Masen merupakan suatu kawasan ekosistem yang terletak di Propinsi Aceh. Ekosistem ini merupakan bagian Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di bagian barat Pulau Sumatera. Pegunungan Bukit Barisan yang terdapat di Aceh dibentuk oleh dua ekosistem yang berhubungan langsung tetapi berbeda, yaitu ekosistem Ulu Masen di bagian utara dan ekosistem Leuser di bagian selatan hingga Provinsi Sumatera Utara.

Tidak seperti ekosistem Leuser yang sebagian besar kawasannya berstatus sebagai Taman Nasional Gunung Leuser yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri kehutanan, ekosistem Ulu Masen belum memiliki status tersebut. Ekosistem ini berada di bawah pengawasan Gubernur Propinsi Aceh melaui SK NO.19/1999 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Aceh. SK gubernur ini mengacu pada UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memberikan kewenangan bagi Propinsi Aceh untuk mengelola sumberdayanya termasuk bidang kehutanan

Penamaan Hutan Ulu Masen diambil dari nama Gunung Ulu Masen yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh. Nama Ulu Masen sendiri diambil dan diputuskan oleh komunitas Imam Mukim yang diwakili oleh Imum Mukim Kabupaten Aceh Jaya, yaitu sebuah kesepakatan yang dilakukan pada pertemuan Mukim pada tahun 2003 di Meulaboh dan Banda Aceh.

Sebelum nama Ulu Masen diputuskan, juga muncul usulan penamaan kawasan gunung Sikawet sebagai ekosistem hutan yang layak dilindungi, yaitu habitat satwa terancam punah seperti gajah sumatera. Setelah di telaah dan didiskusikan lebih lanjut, maka nama Ulu Masen dipilih sebagai nama kawasan hutan yang mewakili satu kesatuan ekosistem yang terdapat di lima Kabupaten.


(35)

3.2. Letak dan Luas

Secara geografis Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada pada 4020’3’’LU sampai 5030’0’’ LU dan 95020’0’’ BT sampai 96030’0’’ BT. Secara administratif pemerintahan Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada pada lima kabupaten di Propinsi Aceh meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Luas keseluruhan Ekosistem Ulu Masen adalah 738.857 ha. Pembagian luasan Ekosistem Ulu Masen berdasarkan kawasan administratif pemerintahannya disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Luas kawasan Ekosistem Ulu Masen per-kabupaten kota

No Kabupaten/Kota Luasan (ha) Luasan (%)

1 Aceh Barat 113.012 15

2 Aceh Jaya 266.573 36

3 Aceh Besar 94.989 13

4 Pidie dan Pidie Jaya 264. 283 36

Total 738.857 100

* sumber : Hidayat (2009)

3.3. Kondisi Fisik Kawasan 3.3.1. Topografi

Kawasan Ekosistem Ulu Masen berada di kawasan pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah barat dan timur kawasan. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung, kubah-kubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan dan sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya.

3.3.2. Tanah

Pegunungan Bukit Barisan meliputi beberapa formasi geologi yang berbeda. Perbedaan karakteristik menentukan perbedaan pada lapisan tanah, hidrologi, tumbuhan dan produktivitas biologis. Kawasan berkapur, termasuk formasi kars, pada umumnya berpori, mengalirkan sedikit air permukaan dan mempunyai produktivitas relatif rendah. Intrusi granodiorites yang parah, seperti


(36)

yang terjadi di dalam batas air Krueng Sabe dari daerah Aceh Jaya, memiliki porositas rendah, lapisan tanah tipis dan memiliki produktivitas relatif rendah.

Terdapat tiga jenis tanah mendominasi kawasan ini (FFI & CC Aceh 2007), yaitu kompleks podsolik coklat, podsolik dan litosol kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol dan andosol. Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan endapan dan batuan beku), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik coklat, podsolik dan litosol, serta kompleks resina dan litosol. Sebaran tipe tanah propinsi Aceh disajikan pada gambar 3.

Gambar 2 Peta keadaan geologi Aceh (sumber: FFI & CC Aceh 2007). 3.3.3. Iklim

Iklim Aceh dideskripsikan sebagai tropis dengan kelembaban yang tinggi (80-90%) dan variasi kecil pada temperatur harian (25-27 °C) sepanjang musim. Rataan temperatur tahunan bervariasi pada ketinggian yang berbeda, mulai dari 26°C pada 0 mdpl dan turun sekitar 0,52°C untuk setiap penambahan ketinggian 100 m. Sementara dataran rendah yang panas dan lembab memiliki rataan suhu


(37)

tanah tahunan di atas 22°C, dan puncak gunung mempunyai rataan antara 0-8°C (3000m ke atas). Kecepatan angin secara umum rendah, berkisar antara 1,5 – 2,5 m/detik. Daerah Aceh dapat digolongkan ke dalam 11 tipe curah hujan, berdasar pada angka rataan jangka panjang dari bulan basah dan bulan kering.

Curah hujan tahunan rata-rata di Aceh bervariasi, hal ini disebabkan oleh hubungan timbal balik yang kompleks antara topografi dan hujan. Daerah dengan curah hujan paling tinggi terletak di sepanjang pantai barat dan daratan sepanjang pegunungan Barisan, yaitu sebesar 3000 mm hingga 5000 mm per tahun. Kebalikannya, curah hujan tahunan rata-rata di beberapa daerah sepanjang pantai utara dan pantai timur hanya berkisar antara 1000 mm hingga 1500 mm, yaitu pada lembah pegunungan antara Takengon dan Owaq di Aceh Tengah. Pada sistem klasifikasi ini, pantai barat Aceh, Kaki Bukit, dan Bukit Barisan timur termasuk dalam golongan sangat basah tipe A dan Af (>9 bulan basah dan <2 bulan kering). Sementara daerah paling kering terletak di lembah Krueng Aceh dan pantai timur laut Aceh, yaitu tipe E2 (<3 bulan basah dan 2-3 bulan kering). 3.4. Kondisi Biologi

3.4.1. Flora

Kawasan ekosistem Ulu Masen ditumbuhi berbagi jenis flora mulai dari tanaman bernilai ekonomi tinggi sampai semak belukar. Berbagai jenis tanaman yang dapat di jumpai di ekosistem Ulu Masen antara lain lain meranti, keruing, shorea, dan pohon kapur (Dryoballanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan (Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. Zibethinus), menteng (Baccaurea montheyana dan B. racemosa), dukuh (Lansium domesticum), mangga (Mangifera foetida dan M. guadrifolia), rukem (Flacaourtia rukem), dan rambutan (Nephelium lappaceum).

Selain jenis tersebut juga dapat ditemukan rotan (merupakan plasma nutfah penting bagi kawasan ini), palm daun sang (Johannesteijsmania altifrons ) yang merupakan jenis yang hanya terdapat di daerah Langkat, tanaman obat-obatan (kemenyan dan kayu manis), beberapa jenis bunga raflesia (Rafflessia cropylosa, R. atjehensis, R. hassetii), dan Rhizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar dengan diameter 1,5 meter, serta berbagai tumbuhan pencekik (ara).


(38)

3.4.2. Fauna

Ekosistem Ulu Masen memiliki keanekaragaman fauna yang tinggi. Berbagai jenis satwaliar yang dapat dijumpai diantaranya mamalia, burung dan reptil. Jenis mamalia yang dapat dijumapai diantaranya lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), kedih (Presbytis thomasi), siamang (Hylobates sindactylus), musang congkok (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Felis temmincki), pulusuan (Arctonyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ajak (Cuon alpinus), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), tapir (Tapirus indicus). Selain mamalia tersebut juga terdapat jenis burung dan dan reptile yaitu: kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul (Egretta sp), itik liar (Cairina sp), rajawali kerdil (Microhierax spp), rangkong (Buceros bicornis), julang ekor abu-abu (Annorhinus gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus), dan beo nias (Gracula religiosa), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan senyulong (Tomistoma sp).


(39)

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang Aplikasi SIG untuk analisis distribusi populasi harimau sumatera dan mangsanya di lakukan di Hutan Blang Raweu, Kawasan Ekosistem Ekosistem Ulu Masen, secara administratif lokasi penelitian berada pada Kecamtan Mane dan Geumpang Kabupaten Pidie serta Kecamatan Meureudue Kabupaten Pidie Jaya Propinsi Aceh. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada Desember 2009 sampai Mei 2010. Tipe hutan yang terdapat pada lokasi penelitian adalah hutan primer, hutan sekunder dan padang rumput. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.


(40)

 

4.2. Peralatan yang Digunkan

Peralatan yang digunakan adalah perangkap kamera tipe Reconyx dan DLC, GPS, Kompas, Baterai, kamera digital, peta kerja, alkohol 70%, pengukur waktu, meteran dan alat tulis. Objek penelitian adalah harimau sumatera dan mangsanya serta habitatnya. Untuk memebantu analisis data digunkan komputer yang dilengkapai dengan program Microsoft Excel 2007, Adobe Photoshop CS3, CAPTURE, Erdas Imagine 9.1, Arc GIS 9.3, dan SPSS 19. Peralatan perangkap kamera dan GPS yang digunakan disajikan pada Gambar 4.

a b c

Gambar 4 Peralatan lapangan (a) Kamera reconix, (b) Kamera DLC dan (c) GPS. 4.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan

Jenis data yang akan dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang akan dikumpulkan merupakan data spasial berupa Citra Landsat ETM (Enhanced Thematic Mapper) 7 tahun 2000, Peta Rupa Bumi Propinsi Aceh skala 1: 50.000 tahun 1977, Peta RSTM (Shuttle Radar Topography Mission) keberadaan dan tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa, serta jumlah individu harimau dan satwa mangsa terdeteksi perangkap kamera.

Data sekunder yang akan dikumpulkan meliputi kondisi harimau sumatera dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, gangguan yang terjadi dan potensial terjadi, interaksi antara harimau sumatera dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar Kawasan Ekosistem Ulu Masen.

Data sekunder dikumpulkan melalui buku, jurnal, internet dan sumber lainnya serta pencarian informasi dengan wawancara informal pada masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan Kawasan Ekosistem Ulu Masen dan


(41)

 

harimau serta habitatnya seperti manajemen Kewasan Ekosistem Ulu Masen, Ranger, masyarakat dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta lembaga lainya yang menjalin kerjasama dengan Ulu Masen dan Propinsi Aceh.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Metode Perangkap Kamera

Perangkap kamera (camera trap) merupakan alat yang yang baik dan efektif digunakan dalam pendugaan populasi satwaliar serta penentuan penyebarannya terutama jenis mamalia besar yang hidup diatas tanah (terestrial) (Karanth & Nichols 2002). Pemasangan perangkap kamera dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan titik secara acak pada grid yang telah dibagi sesuai dengan peta kerja. Grid survey yang dipakai merupakan grid yang telah dibagi oleh FFI (Fauna & Flora International)-Aceh Programe untuk melakukan metode Ocalpancy (present-absen) terhadap harimau sumatera dan mamalia besar di Propinsi Aceh. FFI membagi kawasan Ulu Masen menjadi 52 Grid Cell, dengan luas areal 17×17 km2 per Grid Cell. Penentuan luas areal tersebut berdasarkan penelitian yang menyebutkan jarak jelajah harimau jantan dewasa mencapai 250 km2. Artinya areal satu grid cell 17×17 km setara dengan 289 km2 telah memenuhi jarak jelajah harimau sumatera. Untuk pemasangan perangkap kamera grid yang digunakan adalah grid dengan kode N33W39 dan N33W40. Setiap grid dibagi menjadi 30 grid kecil dengan pembagian 6 sejajar garis bujur dan 5 sejajar garis lintang atau setiap grid kecil berukuran 2,83 x 3,4 km. Pemasangan kamera dilkukan dengan asumsi titik dimanapun dalam setiap grid kecil mewakili keseluruhan kawasan pada grid tersebut.

Pemasangan lapangan perangkap kamera dilakukan pada tiang dan atau pohon pada titik yang ditetapkan. Pada padang rumput pemasangan perangkpa kamera dilakukan dengan membawa pancang dari hutan sekitar padang rumput. Kamera dipasang pada ketinggin 30-60 cm dari permukaan jalur yang dilintasi satwa. Jatak tiang pemasangan perangkap kamera dari jalur adalah 1,5-3 m. Selain itu diusahakan sedapat mungkin kamera tidak mmenghadap langsung ke arah matahari karena dapat menyebabkan kamera mengambil gambar secara terus menerus saat matahari bersinar terik. Gambar 5 menyajikan posisi pemasangan perangkap kamera


(42)

 

Gambar 5 Posisi pemasangan perangkap kamera. 4.4.2. Survey Lapangan Menggunakan Metode Jalur

Survey keberadaan harimau dan mangsanya dengan menggunkan metode jalur dilakukan pada semua jalur pemasangan perangkap kamera yaitu pada jalur Blang Raweu dan Krueng Gooha. Metode yang digunakan untuk menandakan titik-titik keberadaan harimau sumatera dan mangsanya adalah dengan melakukan pencatatan setiap perjumpaan langsung (direct encounter) dan perjumpaan tidak langsung (indirect encounter) keberadaan harimau sumatera dan mangsanya pada semua jalur pemasangan perangkap kamera yang dilakukan. Jenis keberadaan harimau yang dicatat adalah perjumpaan langsung, jejak kaki, cakaran, kotoran, sisa makanan serta jejak lainya yang dapat menunjukan keberadaan harimau sedangkan keberadaan mangsa harimau yang dilakukan pencatatan berupa perjumpaan langsung, kotoran, pusat-pusat kegiatan mangsa yang dapat menunjukan keberadaan mangsa harimau sumatera.

4.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera

Foto-foto hasil perangkap kamera dipisahkan antara satwa mangsa dan harimau sumatera. Foto-foto harimau sumatera dipisahkan berdasarkan pola loreng (McDougal 1979, , Franklin et al. 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Kemudian dikembangkan database referensi foto-foto harimau yang bermutu,


(43)

 

sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah kumpulan referensi ini dibuat maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al. 1999) dengan menggunakan program Adobe Photoshop CS3. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE dan Arc View 3.3. jumlah individu teridentifikasi merupakan populasi minimum harimau sumatera pada kawasan penelitian.

Penghitungan kepadatan populasi harimau dilakukan berdasarkan luas efektif area sampling. Luas efektif area sampling diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari Vi Mean Maximum Distance Move (ViMMDV) (Karanth & Nichols 1998, Karanth & Nichols 19982000) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005).

m d d m i i ∑ = =1

dan 2 d w=

Dalam hal ini w = lebar garis batas, m = Jumlah recapture Individu, d= rata-rata jarak individu recapture, di = Jarak dari tiap individu recapture ke-i.

Karena tidak ada harimau yang tertangkap dua kali pada dua lokasi kamera berbeda maka luasan sampling area dihitung luasan grid kecil yang terpasang kamera. Luas sampling area diperoleh dengan mengalikan jumlah grid kamera terpasang dengan luas satu grid. Luasan ini dijadikan landasan karena asumsi pemasangan perangkap kamera pada setiap gridnya dianggap mewakili keseluruhan luasan grid yang bersangkutan.

Selain penghitungan kepadatan relatif juga dilakukan penghitungan kepadatan absolut harimau sumatera untuk setiap 100 km2. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data jumlah individu yang telah diidentifikasi melalui data foto kamera Trap. Selanjutnya data hasil identifikasi foto dianalisis mengunkan metode capture recapture untuk memperkirakan populasi (N-hat). Dalam hal ini diasumsikan bahwa populasi tertutup (closure test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth & Nicholas, 2002) melalui


(44)

 

Program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture model Mh dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel

tertutup secara demografi, yakni diasumsikan tidak ada kelahiran, kematian, imigrasi, maupun emigrasi selama survey dilakukan. Kepadatan absolut harimau dihitung dengan menggunakan persamaan:

) (w A

N D=

Dalam hal ini D = estimasi kepadatan harimau, N = jumlah individu yang telah teridentifikasi dan A(w) = efektivitas sampling area.

4.5.2. Pendugaan Populasi Mangsa

Dengan menggunakan data kecepatan berjalan satwa yang diperoleh berdasarkan hasil perangkap kamera maka digunkan metode yang dipekenalkan oleh Hutchinson & Waser (2007). Kecepatan berjalan yang dihitung adalah satwa jenis ungulata dalam hal ini adalah rusa dan kijang. Kecepatan berjalan rusa dan kijang dihitung menggunkan Adobe Photoshop untuk memperkirkan jarak berjalan satwa dengan meliahat waktu pada foto hasil perangkap kamera. Persamaan yang digunakan berdasarkan metode tersebut adalah:

dimana y merupakan jumlah foto, r adalah jarak dari lensa ke objek, t adalah waktu operasi kamera, v adalah kecepatan berjalan dan D kepadatan populasi. 4.5.3. Distribusi Harimau dan Satwa Mangsa

Distribusi harimau sumatera dan mangsanya dianalisis dengan melakukan overlay (pelapisan) koordinat perjumpaan keberadaan harimau sumatera dan mangsanya terhadap data spasial (peta tematik) seperti tutupan lahan, ketinggian, kemiringan, jarak dari sungai, jarak dari padang rumput dan aktivitas manusia. 1. Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan dibuat dengan menggunakan Erdas Imagine 9.1 dari citra landsat TM 7 tahun 2000. Proses pembuatan peta tutupan lahan disajikan pada Gambar 6.


(45)

 

Klasifikasi Terbimbing 

Recode 

Fill 

Focal Majority 

Uji Akurasi  Mosaic 

Subset Image  

Geo Correction 

Citra Lansat 

Titik Uji 

Peta Tutupan Lahan 

Erdas Imagine 9.1 

Gambar 6 Proses pembuatan peta tutupan lahan. 2. Peta Kontur, ketinggian dan kemiringan

Peta Kontur, ketinggian dan kemiringan dihasilkan dari peta srtm yang diperoleh melalui wbsite http//rstm.cgsir.usgs.org. Peta srtm yang digunakan adalah peta dengan kode geografi “srtm 56-11” dan “srtm 56-12”. Pembuatan peta dilakukan menggunakan program Arc GIS 9.3. Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan disajikan pada Gambar 7.


(46)

 

Peta Kontur 

Subset Image (pemotongan Citra)

Fill

3D Analyst Conditional

Raster Survace  Countur 

Slope

Create/Modify TIN

Create TIN from Feature

Reclassify Reclassify 

Peta Ketinggian  Peta Kemiringan 

Peta SRTM

Erdas Imagine 9.1 

Arc GIS 9.3 

Gambar 7 Proses pembuatan peta kontur, ketinggian dan kemiringan lahan. 3. Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput

Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput dibuat dari citra landsat yang telah diproses menjadi peta tutupan lahan. Peta padang rumput dibuat dengan mengkonversi padang rumput sebagai raster menjadi padang rumput dalam format vektor berupa polygon. Jarak dari padang rumput dibuat dengan


(47)

 

melakukan buffer terhadap padang rumput yang telah dikonversi menjadi polygon. Buffer yang dilakukan adalah pada jarak 5, 10,15, 20, dan >20 KM dari garis terluar padang rumput. Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput disajikan pada Gambar 8.

Convertion from Raster to Polygon 

Peta Padang Rumput

Buffer

Peta Jarak dari Padang Rumput

Overlay 

Arc GIS 9.3 

Peta padang rumput dan jarak dari padang rumput  Citra Lansat

Gambar 8 Proses pembuatan peta padang rumput dan jarak dari padang rumput. 4. Peta Sungai dan Jarak dari sungai

Peta sungai dibuat dengan melakukan proses digitasi terhadap peta mosaik bakosurtanal yang telah di scan dan di-geokoreksi. Jarak dari sungai dibuat dengan melakukan proses buffer berdasarkan selang 500, 1000, 1500, 2000 dan lebih dari 2000 meter dari garis sungai yang telah didigitasi sebelumnya menggunkan program Arc GIS 9.3.proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai disajikan pada gambar 9.


(48)

 

Subset Image 

Digitasi 

Polyline  Polygone 

Peta Sungai  

Buffer   

Peta Rupa Bumi Propinsi Aceh Tahun 1977  0520‐43, 0520‐44, 0521‐11 dan 0521‐21 

Arc GIS 9.3  Erdas Imagine 9.1 

Peta Batas Administratif 

Peta Jarak dari Sungai 

Gambar 9 Proses pembuatan peta sungai dan jarak dari sungai. 4.5.4. Hubungan Harimau dengan Satwa Mangsa

1. Penggunaan Habitat Harimau dan Mangsanya

Hubungan penggunaan habitat oleh harimau dan mangsanya dilakukan dengan melakukan analisis deskriptif terhadap hasil analisis peta terhadap berbagai faktor ynag diduga mempengaruhi distribusi harimau dan mngsanya. Peta yang akan dianalisis merupakan peta hasil tumpang tindih (overlay) antara keberadaan harimau terhadap suatu faktor dengan keberadaan mangsa terhadap faktor tersebut.


(49)

 

2. Pola Aktivitas Harian Harimau dan Mangsanya

Pola aktivitas harian harimau sumatera dan mangsanya dianalisis menggunkan foto yang berhasil diperoleh dari perangkap kamera. Menurut Laidlaw (1999) dibutuhkan lebih dari 5 foto hasil perangkap kamera satu spesies satwa untuk dapat dijadikan acuan dalam analisis pola aktivitas harian satwa tersebut. Foto-foto yang dianalisis dikelompokan berdasarkan selang waktu tertentu dalam hal ini setiap satu jam.

Pola aktivitas harian harimau dan mangsanya dapat dilihat dengan membuat grafik berdasarkan selang waktu yang digunakan. Untuk melihat hubungan pola aktivitas harian harimau dan mangsanya dapat dianalisis dengan melakukan penumpukan atau tumpang tindih (overlay) grafik pola aktivitas harian harimau dan mangsanya.

3. Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsanya

Tingkat perjumpaan (ER/Encounter Rate) harimau dan mangsanya (jumlah foto/100 hari) diperoleh dengan melakukan perhitungan total jumlah foto yang berhasil diidentifikasi dibagi dengan total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi seratus digunakan untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan dalam keseluruhan periode pemasangan perangkap kamera (Lynam et al. 2000). ER harimau dan mangsanya dihitung dengan menggunakan persamaan:

100 .

∑ ∑ =

d f ER

Dalam hal ini ER = Encounter Rate, Σf = jumlah total foto harimau/mangsa, dan

Σd = jumlah total hari operasi kamera.

Untuk mendapatkan peta hubungan ER harimau dan mangsa diperoleh dari proses interpolasi ER harimau dan mangsa pada setiap kamera dan kemudian melakukan tumpang tindih kedua ER tersebut menggunkan program Arc GIS 9.3. sebelum melakukan proses interpolasi terlebih dahulu nilai ER dimasukan pada atribut setiap kamera yang digunakan pada proses pembuatan peta tersebut. Proses pembuatan peta interpolasi ER disajikan pada gambar 10.


(50)

 

ER Harimau ER Mangsa Harimau

Interpolasi (Arc GIS 9.0)

Overlay Titik pemasangan

kamera Titik Pemasangan Kamera

ER Harimau ER Mangsa

Peta Interpolasi ER Harimau dan Mangsanya

Gambar 10 Proses pembuatan peta overlay ER harimau dan mangsanya. Untuk mendapatkan hubungan yang lebih akurat maka dilakukan uji regresi logistik ER harimau terhadap ER mangsanya dan ER mangsa terhadap ER harimau. Apabila terdapat nilai signifikan P > 0.05 maka dapat diartikan bahwa faktor yang diuji tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap faktor lainnya. Uji regresi linier ini dilakukan menggunakan program SPSS 19.

     


(51)

5.1.Hasil

5.1.1. Keberadaan Harimau Sumatera dan Mangsanya Berdasarkan Perangkap Kamera

Keberadaan harimau sumatera dan mangsanya diidentifikasi menggunakan perangkap kamera digital. Pada penelitian ini total terdapat 28 kamera terpasang. Semua kamera terpasang dalam 4 lokasi pemasangan selama periode November 2009 sampai Mei 2010. Lama periode pemasangan kamera pada setiap titik bervariasi antara 18 sampai 59 hari dengan rata rata periode pemasangan selama 31,35 hari setiap kamera. Rekapitulasi keadaan perangkap kamera terpasang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan perangkap kamera terpasang

Lokasi Pemasangan

Kriteria Blang

Raweu

Krueng

Gooha Alu Ilei Gumue

Jumlah

Jumlah kamera terpasang (unit) 10 5 5 8 28

Persentase 41.67% 20.83% 16.67% 20.83% 100.00%

Periode kamera terpasang (unit) 42 59 25 18 144

Persentase 29.17% 40.97% 17.36% 12.50% 100.00%

Kamera yang rusak (unit) 3 0 1 0 4

Persentase 75.00% 0.00% 25.00% 0.00% 100.00%

Kamera yang hilang (unit) 0 0 1 0 1

Persentase 0.00% 0.00% 100.00% 0.00% 100.00%

Total trap night (hari) 358 243 114 66 781

Persentase 45.84% 31.11% 14.60% 8.45% 100.00%

Efektif trap night (hari) 243.18 242.83 92.55 69.65 648.21

Persentase 37.52% 37.46% 14.28% 10.74% 100.00%

Terdapat dua tipe kamera terpasang yaitu tipe Reconyx dan DLC. Total terdapat 20 kamera tipe Reconyx dan 8 kamera tipe DLC terpasang. 4 dari 8 perangkap Kamer DLC merupakan Perangkap video tipe yang digunakan untuk mendapatkan data yang sama seperti perangkap kamera.

Dari semua kamera terpasang terdapat 20 unit (71.42%) kamera yang berfungsi dengan baik dan dapat dimanfaatkan foto hasil tangkapannya. Selain itu juga terdapat 3 unit (10.71%) kamera yang berfungsi dengan baik namun tidak terdapat foto yang dapat dimanfaatkan. Untuk menghindari bias maka kamera


(1)

Lampran 6 Hasil uji regresi logistik ER harimau dan mangsa  NOMREG ER_Harimau (BASE=LAST ORDER=ASCENDING) WITH ER_Mangsa 

  /CRITERIA CIN(95) DELTA(0) MXITER(100) MXSTEP(5) CHKSEP(20) LCONVERGE(0) PCONVERGE(0.000001) SI NGULAR(0.00000001) 

  /MODEL 

  /STEPWISE=PIN(.05) POUT(0.1) MINEFFECT(0) RULE(SINGLE) ENTRYMETHOD(LR) REMOVALMETHOD(LR)    /INTERCEPT=INCLUDE 

  /PRINT=CORB PARAMETER SUMMARY LRT CPS STEP MFI.

Nominal Regression

Notes

Output Created 05-Dec-2010 17:59:26

Comments

Active Dataset DataSet0 Filter <none> Weight <none> Split File <none> Input

N of Rows in Working Data File 4

Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.

Missing Value Handling

Cases Used Statistics are based on all cases with valid data for all variables in the model.

Syntax NOMREG ER_Harimau (BASE=LAST

ORDER=ASCENDING) WITH ER_Mangsa /CRITERIA CIN(95) DELTA(0)

MXITER(100) MXSTEP(5) CHKSEP(20) LCONVERGE(0) PCONVERGE(0.000001) SINGULAR(0.00000001)

/MODEL

/STEPWISE=PIN(.05) POUT(0.1) MINEFFECT(0) RULE(SINGLE) ENTRYMETHOD(LR)

REMOVALMETHOD(LR) /INTERCEPT=INCLUDE

/PRINT=CORB PARAMETER SUMMARY LRT CPS STEP MFI.

Processor Time 00:00:00.047

Resources

Elapsed Time 00:00:00.032


(2)

Case Processing Summary

Lampiran 6 lanjutan...

N

Marginal Percentage

0 3 75.0%

ER_Harimau

2.47 1 25.0%

Valid 4 100.0%

Missing 0

Total 4

Subpopulation 4a

a. The dependent variable has only one value observed in 4 (100.0%) subpopulations.

Model Fitting Information

Model Fitting

Criteria Likelihood Ratio Tests Model Likelihood -2 Log Chi-Square df Sig. Intercept Only 4.499

Final 4.408 .091 1 .763

Pseudo R-Square

Cox and Snell .023 Nagelkerke .033

McFadden .020

Likelihood Ratio Tests

Model Fitting

Criteria Likelihood Ratio Tests

Effect

-2 Log Likelihood of

Reduced

Model Chi-Square df Sig.

Intercept 4.411 .004 1 .952

ER_Mangsa 4.499 .091 1 .763

The chi-square statistic is the difference in -2 log-likelihoods between the final model and a reduced model. The reduced model is formed by omitting an effect from the final model. The null hypothesis is that all parameters of that effect are 0.


(3)

Parameter Estimates

95% Confidence Interval for Exp(B)

ER_Harimaua B Std. Error Wald df

Lampiran 6 lanjutan...

Sig. Exp(B) Lower Bound Upper Bound

Intercep

t .198 3.243 .004 1 .951 0

ER_Ma

ngsa .016 .056 .082 1 .775 1.016 .911 1.133 a. The reference category is: 2.47.

Asymptotic Correlation Matrix

ER_Harimau 0

ER_Harimaua Intercept ER_Mangsa

Intercept 1 -.933

0

ER_Mangsa -.933 1


(4)

Lampiran 7 Analisis program CAPTURE

Mark-recapture population and density estimation program Page 1 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10 Input and Errors Listing

Input---title='Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.'

Input---task read captures x matrix occasions=3 captures=3 Input---format='(A2,0x(3f1.0))'

Input---read input data Summary of captures read

Number of trapping occasions 3 Number of animals captured 5 Maximum x grid coordinate 1.0 Maximum y grid coordinate 1.0

Input---task closure test

Input---task population estimate null jackkn Input---

*** ERROR *** Unidentified task specified. Scanning for a new task card.

*** ERROR *** This card should have been a task card, but was not.

Scanning for a new task card.

1Mark-recapture population and density estimation program Page 2 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10

Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.

Test for closure procedure. See this section of the Monograph for details.

Overall test results --

z-value 6.000

Probability of a smaller value 1.00000

1Mark-recapture population and density estimation program Page 3 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10


(5)

Lampiran 7 lanjutan...

Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.

Population estimation with constant probability of capture. See model M(o) of the Monograph for details.

Number of trapping occasions was 3 Number of animals captured, M(t+1), was 3 Total number of captures, n., was 3

*** ERROR *** No recaptures. Analysis stopped.

1Mark-recapture population and density estimation program Page 4 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10

Data from Carothers(1973), taxicabs in Edinburgh, Scotland, scheme a.

Population estimation with variable probability of capture by animal. See model M(h) of the Monograph for details.

Number of trapping occasions was 3 Number of animals captured, M(t+1), was 3 Total number of captures, n., was 3

Frequencies of capture, f(i) i= 1 2 3

f(i)= 3 0 0

Computed jackknife coefficients

N(1) N(2) N(3) N(4) N(5) 1 1.667 2.000 2.000

2 1.000 0.833 0.833 3 1.000 1.000 1.000

The results of the jackknife computations

i N(i) SE(i) .95 Conf. Limits Test of N(i+1) vs. N(i) 0 3 Chi-square (1 d.f.)

1 5.0 1.83 1.4 8.6 9586981.000 2 6.0 2.45 1.2 10.8 0.000 3 6.0 2.45 1.2 10.8 0.000


(6)

Lampiran 7 lanjutan...

Interpolated population estimate is 6 with standard error 2.4495

Approximate 95 percent confidence interval 4 to 15 estimate: 5.99999952 se: 2.44948983

Histogram of f(i)

Frequency 3 0 0 --- 3 *

2 * 1 *

---

1Mark-recapture population and density estimation program Page 5 Program version of 16 May 1994 08-Oct-10