Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib Pt. Askes Pada Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh Dan Puskesmas Baiturahman Di Kota Banda Aceh Tahun 2007

(1)

ANALISIS PELAKSANAAN RUJUKAN RAWAT JALAN

TINGKAT PERTAMA PESERTA WAJIB PT. ASKES

PADA PUSKESMAS MIBO, PUSKESMAS BATOH

DAN PUSKESMAS BAITURAHMAN

DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2007

T E S I S

OLEH :

ZUHRAWARDI

NIM : 0170120023

PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Judul Tesis : Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib PT. Askes pada Tiga Puskesmas di Kota Banda Aceh Tahun 2007.

Nama Mahasiswa : Zuhrawardi Nomor Induk Mahasiswa : 0170120023

Program Studi : Administrasi Kebijakan Kesehatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Nerseri Barus, MPH Ketua

Dr. Jules H. Hutagalung, MPH Zulkarnaen, SKM., M.Kes

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur SPs USU


(3)

Ibu ………

Ayah ……….

Terimakasih atas doa-doamu selama ini untuk keberhasilanku,

Dalam meraih cita-cita yang telah lama kuimpikan

Doa-doa mu itu, akan selalu kudambakan untuk Kesuksesanku dalam meniti hidup ini

Dengan ridha Allah dan penuh keikhlasann hati,

Kupersembahkan karya tulis ini ke hadapan yang mulia, Ibunda dan Ayahanda tercinta

Terimakasihku untuk isteriku tercinta Kamariah, Dan anak-anaku tersayang Ekaniar, Evi Rosita dan Guantara,

Serta seluruh keluarga tercinta yang telah memberiku dorongan

Dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini

Wassalam,


(4)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN RUJUKAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PESERTA WAJIB PT. ASKES PADA TIGA PUSKESMAS

DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2007

Pengelolaan program pemeliharaan kesehatan di Indonesia telah mengarah kepada penerapan konsep manager care, status sistem pelayanan yang mengintegrasikan pembiayaan dan pemberian pelayanan yang dibutuhkan pesertanya melalui elemen-elemen kontrak kerja dengan pelaksanaan pelayanan (institusi pelayanan kesehatan) sebagaimana yang telah diterapkan oleh PT. Askes Indonesia. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah kenyataan yang khususnya terjadi di puskesmas-puskesmas yang berada di Kota Banda Aceh yang menggambarkan masih tingginya rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama yang menyebabkan bertambahnya permintaan wajib ASKES.

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian deskriptif ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Situation Analysis Study. Informan pada penelitian ini berjumlah 12 orang yang terdiri dari kepala kantor PT. Askes cabang Banda Aceh mewakili 3 orang dokter dalam kapasitas mereka sebagai Kepala Puskesmas, 3 orang staf Puskesmas yang bertanggung jawab atas program Askes dan 5 orang pasien Askes yang mendapat rujukan rawat jalan tingkat pertama.

Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa para dokter telah mengerti dengan baik tentang sistem kapasitas dan menyebabkan tingginya rujukan pada Puskesmas, para dokter pada prinsipnya tidak dapat menolak jika pasien bersikeras meminta rujukan rawat jalan walaupun tidak didukung oleh indikasi medis. Umumnya pasien yang meminta rujukan rawat jalan atas inisiatif mereka sendiri tanpa adanya indikasi medis tersebut memiliki latar belakang pendidikan mulai dari SMA ke atas. Alasan pasien meminta rujukan tersebut pada umumnya adalah karena obat-obat yang diberikan pihak Puskesmas tidak bervariasi walaupun mereka menderita penyakit yang berbeda-beda. Jika mereka dirujuk mereka memiliki kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan dari dokter Spesialis di Rumah Sakit. Secara umum, peserta wajib Askes yang mendapat rujukan rawat jalan tingkat pertama pada tahun 2006 dari ketiga Puskesmas yang dirujuk adalah 25%-30% dari total jumlah peserta wajib Askes yang berkunjung ke tiga Puskesmas tersebut.


(5)

ANALYSIS OF THE IMPLEMENTATION OF FIRST CLASS OUT-PATIENT REFERRAL GIVEN TO THE OBLIGATORY MEMBERS OF

PT. ASKES AT THE COMMUNITY HEALTH CENTERS OF MIBO, BATOH AND BAITURRAHMAN IN BANDA ACEH IN 2007

ABSTRACT

The management of health care program in Indonesia has headed to the application of the concept of managed care a system of service which integrates financing and providing the service needed by its members through the elements of work contract signed together with the service provider (health service institution) as applied by PT. Askes Indonesia. This study looks at the real problems, especially found at the community health centers in Banda Aceh, showing that the high ratio of the first level out-patient referral has resulted in the increase of the number of Askes’ Obligatory Members.

This study uses a descriptive research design with qualitative research method and Situation Analysis Study approach. The 12 (twelve) informants participated in this study comprises the Head of PT. Askes Banda Aceh Branch Office / his representative, 3 (three) doctors in their capacities as Heads of Community Health Centers, 3 (three) staff of Community Health Centers who are in charge of the Askes program, and 5 (five) Askes patients with the first class out-patient referral.

The result of study shows that the doctors have understood the system of capitalization and resulted in the increase of referral from the community health centers. Principally, the doctors cannot refuse if the patients insist to have an out-patient referral even though it is not supported by the medical indication. Naturally, the patients who Askes for the out-patient referral without any medical indication on their own initiatives have a high-school or university educational background. They asked for the referral because the medicine given by the community health centers remains the same although they suffer from different diseases. If the out-patient referral they asked is granted they will have a chance to get the health service from the specialist doctor serving in the hospital. In general, the obligatory members of Askes who got the first class out-patient referral in 2006 from the three community health centers were 25%-30% of the total number of the obligatory members of Askes who visited the community health centers.


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, yang telah diberikannya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib PT. Askes pada Tiga Puskesmas Kota Banda Aceh Tahun 2007”, ini dengan lancar.

Pada proses dimulainya hingga penyelesaian tesis ini, peneliti menyadari bahwa keberhasilan peneliti dalam menyelesaikan Tesis ini tidak terlepas dari keterlibatan dan bantuan berbagai pihak yang telah dengan sukarela memberikan masukan dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian akhir penelitian ini. Pada kesempatan ini, dari lubuk hati peneliti yang paling dalam, maka peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, diantaranya ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. T. Chairun Nisa B, M.Sc., selaku Direktur SPs USU. 2. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS., selaku Ketua Program Magister AKK

SPs USU.

3. Ibu Prof. dr. Nerseri Barus, MPH., selaku Komisi Pembimbing / Penguji. 4. Bapak dr. Jules H. Hutagalung, MPH., selaku Anggota Komisi Pembimbing

/ Penguji.

5. Bapak Zulkarnaen, SKM, M.Kes., selaku Anggota Komisi Pembimbing / Penguji.

6. Para informan yang telah memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh peneliti, sehingga penelitian ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

7. Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana, khususnya Program Studi AKK, yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama saya mengikuti pendidikan.


(7)

8. Seluruh staf Program Magister AKK yang telah banyak membantu saya selama mengikuti pendidikan di Program Pasca Sarjana ini.

9. Rasa terima kasih yang tidak terhingga juga saya sampaikan kepada keluarga saya yang tercinta, khususnya bagi isteri dan anak-anak tercinta yang selama ini tidak lelah-lelahnya memberikan semangat dan motivasi kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa sekalian, khususnya mahasiswa pada Program Pascasarjana Prodi AKK, yang telah begitu banyak memberikan motivasi bagi saya dalam menyelesaikan tesis ini, semoga kita semua dapat berhasil sesuai apa yang kita cita-citakan.

Pada kesempatan ini saya juga menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan sekali guna memperbaiki kualitas dari laporan hasil penelitian ini.

Akhirnya saya hanya dapat berharap, bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kiita semua. Amin ya rabbal alamin !.

Medan, Juni 2007 Penulis


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Zuhrawardi

Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 19 Juli 1959

Agama : Islam

Alamat : Desa Ilie, kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : Takengon, tamat Tahun 1972 2. Sekolah Menengah Pertama : Jakarta, tamat Tahun 1976 3. S P R : Banda Aceh, tamat Tahun 1980 4. Sekolah Menengah Atas : Banda Aceh, tamat Tahun 1984 5. S G P : Jakarta, tamat Tahun 1985

6. Akademi Keperawatan : Unpad Bandung, tamat Tahun 1989 7. Pogram Akta III : Unpad Bandung, tamat Tahun 1990 8. Sarjana (Strata I) : FKIP Unsyiah, Banda Aceh,

tamat Tahun 1992

9. Akta IV : Banda Aceh, Tahun 1992 10. Sarjana Kesehatan Masyarakat : FKM Umuha, Banda Aceh,

Tamat Tahun 2001 11. Pascasarjana USU : Medan, Tahun 2007

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Staf SPK Depkes RI Banda Aceh, tahun 1981 s/d 1996 2. Kepala SPK Pemda Kota Sabang, tahun 1996 s/d 2003 3. Dosen Akper Depkes RI, Banda Aceh, tahun 2003 s/d 2006 4. Pudir Poltekes Prov. NAD, tahun 2006 - sekarang


(9)

PERNYATAAN

ANALISIS PELAKSANAAN RUJUKAN RAWAT JALAN TINGKAT PERTAMA PESERTA WAJIB PT. ASKES

PADA TIGA PUSKESMAS DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2007

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjaaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2007 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Landasan Teori ... 7

1.4. Pertanyaan Penelitian ... 8

1.5. Tujuan Penelitian ... 8

1.6. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Pelayanan Kesehatan dengan Asuransi ... 11

2.2. Managed Care ... 12

2.3. Pembayaran Kapitasi dalam Sistem Asuransi Kesehatan di Indonesia ... 18

2.4. Fungsi Gatekeeper dalam Asuransi Kesehatan di Indonesia .. 20

2.5. Kapitasi Total dalam Asuransi Kesehatan ... 20

2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan kesehatan ... 22

2.7. Puskesmas ... 27

2.8. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Sistem Rujukan . 29 2.9. Pengetahuan ... 31


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian ... 39

3.2. Tempat dan Waktu ... 39

3.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 42

3.4. Definisi Operasional Variabel dan cara Pengukurannya . 43 3.5. Informan Penelitian ... 45

3.6. Metode Pengumpulan Data ... 45

3.7. Instrumen Penelitian ... 45

3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 47

4.2. Pembahasan ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 81

5.2. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 4.1. Perkiraan Persentase Pasien Askes yang Meminta Rujukan ... 79


(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 2.1. Hubungan Fungsional Komponen-komponen Pokok dalam

Sistem Pelayanan Kesehatan dengan Asuransi ... 11

Gambar 2.2. Peranan Bersama Puskesmas dan Rumah Sakit ... 22

Gambar 2.3. Perjanjian Kerjasama yang Berbeda ... 23


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Permohonan Menjadi Informan

Lampiran 2. Persetujuan Calon Informan Menjadi Informan Penelitian

Lampiran 3. Panduan Wawancara dengan Ka. Kantor Askes Cabang Banda Aceh Lampiran 4. Panduan Wawancara dengan Kepala Puskesmas / Dokter di

Puskesmas

Lampiran 5. Panduan Wawancara dengan Staf Puskesmas

Lampiran 6. Panduan Wawancara dengan Pasien Askes yang mendapat Surat Rujukan Rawat Jalan Tingkat I di RS. Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Prinsip dasar pembangunan kesehatan di Indonesia dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga negara. Hal senada juga terdapat pada konstitusi World Health Organization (WHO) tahun 1948. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, sekaligus berkewajiban memelihara kesehatan diri, masyarakat dan lingkungannya. Upaya pemenuhan hak setiap insan atas kesehatan merupakan prinsip dasar pembangunan kesehatan di Indonesia. (Direktorat JPKM, 2006)

Pelaksanaan beberapa program pemeliharaan kesehatan di Indonesia telah mengarah kepada penerapan konsep managed care, seperti yang dilaksanakan oleh PT. Askes, PT. Jamsostek dan Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Masyarakat (Bapel JPKM). Pengembangan program pemeliharaan kesehatan yang berbasis konsep managed care belum begitu menggembirakan, meskipun telah dimuat dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Kebijakan tentang sistem asuransi kesehatan di Indonesia masih bersifat pluralistik serta cenderung ke arah sistem bebas,

law enforcement yang belum optimal. Hal ini akan mengakibatkan biaya

pelayanan kesehatan yang sulit dikendalikan dan terbukanya inefisiensi pelayanan kesehatan yang sangat lebar. (Mukti, 1997)


(16)

Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola program jaminan pemeliharaan kesehatan pegawai negeri, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan beserta anggota keluarganya dan peserta lainnya adalah PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. Badan ini ditetapkan berdasarkan PP No. 69 Tahun 1991. PT. Askes Kantor Pusat berkedudukan di Jakarta. Di beberapa ibukota propinsi PT. Askes mempunyai kantor regional, sedangkan di Daerah Tingkat II (dapat terdiri dari beberapa Dati II) terdapat Kantor Cabang (KC). Di Daerah Tingkat II yang tidak terdapat kantor cabang ditempatkan Kantor Kabupaten / Kota. (Mukti, et all, 2001)

Sejak tahun 1977 sampai saat ini, premi pesertas wajib PT. Askes adalah sebesar 2% dari gaji pokok per jiwa per bulannya. Sejak tahun 1980 PT. Askes telah melaksanakan dasar-dasar managed care pada operasionalnya, yaitu pelayanan yang komprehensif dengan memadukan antara sistem pelayanan, jaringan pelayanan dan sistem pembayaran. Pada tahun 1992, mulai dikembangkannya konsep kapitasi total secara nasional, yaitu dimana anggaran pelayanan kesehatan pada semua tingkatan dan obat diintegrasikan kedalam suatu sistem pembiayaan yang didasarkan atas jumlah jiwa yang terdaftar di suatu wilayah tertentu dan memperlakukan sistem reward bagi pengolahan program yang efektif. (Sulastomo, 1997)

Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh peserta atau claim ratio kepesertaan wajib PT. Askes pada beberapa tahun terakhir ini selalu berada di atas 80%. Keadaan ini akan menyulitkan PT. Askes, untuk itu perlu diupayakan pengendalian pelayanan dan pengendalian biaya oleh Pemberi


(17)

Pelayanan Kesehatan (PPK), terutama upaya menekan rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama yang dilaskukan oleh dokter di Puskesmas. (Mukti, et

all, 2001)

PT. Askes Kantor Cabang Banda Aceh merupakan salah satu kantor cabang yang ada di Kantor Propinsi Regional Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Wilayah kerja kantor cabang Banda Aceh meliputi : kota Banda Aceh, Kotamadya Sabang dan Kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 1992 PT. Askes memutuskan untuk mengembangkan program kapasitas total dalam sistem operasionalnya. Terdapat tiga model kapasitas total yang ada saat ini, yaitu Kapasitas total alternatif I, II dan III. (PT. Askes Prov NAD, 2004)

Model sistem pelayanan dan pembiayaan kapasitas total alternatif I yaitu memberikan peranan utama dalam pengendalian biaya pelayanan kesehatan kepada Puskesmas. Implementasi model kapasitas total alternatif I ini diterapkan di seluruh Puskesmas yang berada di dalam wilayah Kotamadya Banda Aceh. Kapasitas total alternatif II adalah memberikan peranan yang sama antara Puskesmas dan Rumah Sakit dalam mengendalikan biaya pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Sementara itu kapitasi total alternatif III adalah kerjasama terpisah yang dimiliki antara PT. Askes dengan Puskesmas dan PT. Askes dengan Rumah Sakit. (PT. Askes Prov NAD, 2004)

Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh tahun 2004, diketahui bahwa rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes di Kota Banda Aceh adalah 20,5%, dari jumlah


(18)

kunjungan peserta Askes seluruhnya, yaitu : 85.040 kunjungan. Data ini diperoleh dari 6 Puskesmas yang berada di wilayah Kota Banda Aceh pada tahun 2004, yaitu : Puskesmas Kuta Alam dengan jumlah kunjungan 18.939 orang, rujukan 7.561 orang (rasio rujukan 39,9%), Puskesmas Baiturrahman dengan jumlah kunjungan 15.919 orang, rujukan 2.314 orang (rasio rujukan 14,5%, Puskesmas Syiah Kuala dengan jumlah kunjungan 10.222 orang, rujukan 2.181 orang (rasio 21,3%), Puskesmas Kopelma dengan jumlah kunjungan 14.115 orang, jumlah kunjungan 21.139 orang, rujukan 2.198 orang (rasio rujukan 10,4%), dan Puskemas Mibo dengan jumlah kunjungan 4.706 orang, rujukan 1.030 orang dan rasio rujukan 21,9%. (PT. Askes Prov NAD, 2004)

Keadaan ini menunjukkan bahwa Puskesmas yang berada di kota Banda Aceh belum dapat menjalankan fungsinya sebagai gatekeeper dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya angka rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama. Tingginya rasio rujukan pasien Askes akan berdampak pada peningkatan pemanfaatan fasilitas pelayanan tingkat lanjutan, maka akibatnya akan terjadi pembengkakan biaya pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan, sehingga menyebabkan PT. Askes tidak dapat memberikan insentif kepada PPK karena adanya pembagian rasio antara PT. Askes dengan PPK. (PT. Askes Prov NAD, 2004)

Berdasarkan sistem kapasitas total alternative I, dimana disebutkan bahwa PPK dapat menanggung resiko keuangan bila tidak melakukan pelayanan kesehatan secara tepat, maka tidak adanya insentif yang diberikan


(19)

oleh PT. Askes kepada PPK akan membuat para dokter di Puskesmas akan merasa tidak mendapatkan apa-apa (reward) dalam melayani pasien wajib PT. Askes. Keadaan ini dapat mempengaruhi sikap dan prilaku dokter dalam memberikan pelayanan, sehingga dapat menyebabkan kinerja para dokter menjadi rendah. Kinerja yang rendah akan menyebabkan ketidakpuasan pasien dalam mendapat pelayanan kesehatan, sehingga dampaknya akan membuat pasien minta untuk dirujuk pada pelayanan yang lebih tinggi. (Depkes, et all, 2001)

Keadaan ekonomi negeri ini yang menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan harga di segala sektor, tidak terkecuali sektor kesehatan akan menyebabkan semakin meningkatnya pengeluaran keuangan yang dibebankan kepada PT. Askes. Apabila jika dilihat dari klaim rasio yang selalu di atas 80%, maka beban keuangan yang diemban oleh PT. Askes cukup berat. Apabila hal ini terus berlanjut dapat menyebabkan kebangkrutan PT. Askes. Penerapan sistem kapasitas total alternative I, dimana Puskesmas berperan sebagai gatekeeper perlu dipantau efektifitasnya. Tingginya rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes dari Puskesmas dalam Kota Banda Aceh ke Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin atau Rumah Sakit Fakinah, menyebabkan PT. Askes cabang Banda Aceh harus mengeluarkan dana yang besar dalam membayar claim ratio nya. (PT. Askes Prov NAD, 2004)

Untuk dapat mengetahui dengan baik penyebab dari tingginya rasio rujukan rawat jalan tingkat I di Kotamadya Banda Aceh, maka dilakukan


(20)

penelitian ini yang bertujuan menggali penyebab dari tingginya angka rujukan tersebut. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan dalam mencari solusi pemecahan masalah terhadap tingginya rasio rujukan ini.

1.2. Perumusan Masalah

Tingginya rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama di Kota Banda Aceh akan memunculkan berbagai persepsi yang salah di masyarakat tentang pelayanan kesehatan bagi peserta Askes, diantaranya adalah persepsi bahwa tingkat kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di Kota Banda Aceh masih rendah, karena banyak pasien Puskesmas yang harus di rujuk ke Rumah Sakit guna mendapat perawatan lebih lanjut. Persepsi lainnya yang muncul adalah bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas masih kurang memuaskan atau persepsi lainnya adalah bahwa fasilitas kesehatan yang ada di Puskesmas tidak lengkap, sehingga pasien banyak di rujuk ke Rumah Sakit. Guna mengetahui fakta sebenarnya dari tingginya rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama ini, maka haruslah diketahui penyebabnya, guna meluruskan persepsi yang terlanjur melekat di masyarakat tersebut, khususnya yang berhubungan tentang pelayanan kesehatan bagi peserta wajib Askes. Jika penyebabnya telah diketahui dengan jelas maka dapat dicari solusi yang tepat guna menurunkan rasio rawat jalan tingkat pertama ini.


(21)

1.3. Landasan Teori

1.3.1. Sistem Pelayanan Kesehatan dengan Pola Rujukan Berjenjang

Sistem pelayanan kesehatan dengan pola rujukan berjenjang, telah diterapkan oleh PT. Askes dengan harapan peserta Askes akan memperoleh pelayanan kesehatan secara efisien dan efektif sesuai kebutuhan medisnya. Dokter Puskesmas diberi wewenang membuat surat rujukan bagi peserta PT. Askes yang memerlukan penanganan lebih lanjut ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. (Andari, 2001)

1.3.2. Pengendalian Rujukan

Pengendalian rujukan dapat dilakukan dengan sempurna dengan cara menerapkan pelayanan kesehatan paripurna, yaitu melalui langkah-langkah : pembinaan (promotif), pencegahan (preventif), deteksi dini dan tindakan segera, pencegahan cacat lebih lanjut, pemulihan dan konsultasi rujukan. (Sutomo, 2001)

Langkah-langkah pengendalian rujukan dapat dilakukan melalui berbagai cara misalnya : 1) Menambah jam konsultasi pasien, 2) Memberi leaflet atau petunjuk kepada pasien, 3) Melakukan kunjungan ke rumah, 4) Menelepon peserta asuransi kesehatan untuk datang ke tempat praktek guna memeriksa ulang, menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan, periksa laboratorium, dan 5) Melakukan deteksi dini berupa uji penyaringan masal dengan mempertimbangkan biaya dan tenaga yang tersedia.

Berdasarkan analisa pelaksanaan rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes di Puskesmas dalam Kota Banda Aceh


(22)

ke BPK RSU Dr. Zainoel Abidin atau ke Rumah Sakit lainnya di Kota Banda Aceh, maka perlu diteliti penyebabnya sehingga didapatkan solusi guna memecahkan persoalan ini.

1.4. Pertanyaan Penelitian

1.4.1. Bagaimanakah pemahaman dokter yang bertugas di Puskesmas tentang kapitasi, persepsi resiko keuangan, indikasi kebutuhan medis dan non medis terhadap pelaksanaan rujukan pelayanan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes.

1.4.2. Bagaimanakah kelengkapan dari sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Puskesmas (alat-alat kesehatan dan obat-obatan), terkait dengan pemberian rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes yang diberikan oleh dokter.

1.4.3. Bagaimanakah karakteristik pasien (khususnya jenis penyakit dan tingkat pendidikan) yang mendapat rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes pada dua Puskesmas di Kota Banda Aceh.

1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum

Untuk menganalisa pelaksanaan rujukan pada pelayanan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes di Puskesmas Baiturrahman, Puskesmas Mibo, dan Puskesmas Batoh yang berada pada wilayah Kota Banda Aceh.


(23)

1.5.2. Tujuan Khusus

a. Menganalisa peran dokter Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturrahman dalam memahami kapitasi, persepsi resiko keuangan, indikasi kebutuhan medis dan non medis dalam pelaksanaan rujukan pada pelayanan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes.

b. Menganalisis sarana Puskesmas (fasilitas alat dan ketersediaan obat) dalam pelaksanaan rujukan pada pelayanan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes.

c. Menganalisa peranan pasien terhadap pemberian rujukan rawat jalan ke Rumah Sakit oleh dokter Puskesmas, dilihat dari jenis penyakit dan pendidikan yang dimiliki pasien.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk penyempurnaan kebijakan manajerial PT. Askes cabang Banda Aceh dalam melakukan evaluasi kegiatan pelayanan serta dalam mengoptimalkan kualitas pelayanan bagi peserta Askes.

1.6.2. Bagi Puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para dokter di Puskesmas guna melakukan upaya dalam mengambil langkah-langkah guna mengendalikan rasio rujukan rawat jalan tingkat I bagi peserta wajib PT. Askes di Puskesmas masing-masing.


(24)

1.6.3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti dalam mengadakan research ilmiah dan meningkatkan pemahaman peneliti tentang manajemen sistem Askes di Indonesia umumnya dan Propinsi NAD khususnya.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pelayanan Kesehatan dengan Asuransi

Menurut seorang pakar Asuransi Kesehatan Indonesia, Murti (2000) mengatakan bahwa sistem pelayanan kesehatan dengan asuransi umumnya mencakup empat komponen, yaitu : 1) Peorangan, keluarga dan masyarakat, 2) Perusahaan / badan penyelenggaraan asuransi, 3) Pemberi pelayanan kesehatan, dan 4) Pemerintah.

A B

Individu Masyarakat

Pemerintah C

Perusahaan / Pengelola

Asuransi

Pemberi Pelayanan

Gambar 2.1. Hubungan fungsional komponen-komponen dalam sistem pelayanan kesehatan dengan Asuransi

Keempat komponen tersebut memperlihatkan empat jenis hubungan fungsional seperti disajikan pada gambar 2.1 sebagai berikut :

a. Penggalangan dana perorangan ataupun masyarakat oleh penyelenggara asuransi.


(26)

b. Pembiayaan kesehatan oleh penyelenggara asuransi

c. Pemberian pelayanan kesehatan dan medis oleh pemberi kesehatan d. Pengaturan sistem pelayanan kesehatan dengan asuransi oleh pemerintah

The Health Insurance Association of Amerika (HIAA) tahun 2000

menyebutkan bahwa cara asuransi bekerja adalah menyebarkan resiko kepada sejumlah peserta. Peserta membayar sejumlah uang kepada perusahaan asuransi yang disebut premi. Dengan menggunakan dana yang dikumpulkan melalui premi, perusahaan asuransi membayar seluruh atau sebagian dari kerugian financial yang dialami peserta.

2.2. Managed Care

Secara umum dikatakan bahwa Managed Care adalah suatu pemeliharaan kesehatan melalui suatu jaringan pelaksanaan pelayanan yang diberi tanggung jawab untuk mengelola dan menyediakan pelayanan yang bermutu dengan baik yang efektif. Criteria managed care sebagai suatu sistem pelayanan yang mengintegrasikan sistem pembayaran dan pelayanan kesehatan dengan ciri-ciri sebagai berikut : kontak dokter atau rumah sakit preventif kepada populasi peserta, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan dengan sistem pembayaran prospektif. (Blador, 1996)

Pembayaran premi per orang per bulan sudah ditentukan sebelumnyas berdasarkan kapitasi, adanya pengendalian utilisasi dan mutu, adanya insentif financial bagi pasien untuk memanfaatkan pelaksanaan dan fasilitas yang ditunjuk serta adanya resiko keuangan dan berbagai keuntungan bagi dokter


(27)

atau rumah sakit yang kemungkinan ditanggung bersama dengan pengelola dana, pengendalian dan mutu pelayanan telah tertuang dalam kontrak yang dilaksanakan oleh dokter dan rumah sakit.

Managed Care merupakan sistem pelayanan yang dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem yang mengintegrasikan pembiayaan dan pemberian pelayanan yang dibutuhkan kepada peserta melalui elemen-elemen sebagai berikut: adanya kontrak atau kerjasama dengan pelaksana pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan yang komprehensif bagi pesertanya, adanya standar dalam seleksi pelaksanaan pelayanan kesehatan dan program formal untuk perbaikan mutu dan kajian utilisasi, juga upaya untuk menjaga pasien untuk tetap sehat dengan mengurangi pemanfaatan pelayanan serta adanya insentif financial bagi peserta yang menggunakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dan prosedur yang ditetapkan HIAA. Kerjasama atau kontrak yang dilakukan oleh organisasi pengelola program pemeliharaan kesehatan dengan dokter atau rumah sakit serta fasilitas pelaksana pelayanan kesehatan lainnya dalam rangka menyediakan fasilitas pelayanan bagi pesertanya. (HIAA, 2000)

PT. Askes (2000) mendefinisikan Managed Care sebagai suatu pendekatan yang memadukan / integrasi antara sistem pelayanan dan pembiayaan dalam memberikan pelayanan yang bersifat komprehensif disertai pemilihan / seleksi pemberi pelayanan dan pembentukan jaringan pelayanan. Pelaksanaan pelayanan berdasarkan prinsip rujukan berjenjang, pengendalian mutu dan utilisasi pelayanan.


(28)

Kehadiran Health Maintenance Organization (HMO) ternyata menimbulkan fenomena yang menarik. Biaya pelaksanaan kesehatan ternyata dapat diterima dalam jumlah yang luar biasa melalui penurunan perawatan RS, pelayanan kesehatan ambulatoar serta adanya insentif financial untuk menghemat biaya pelayanan kesehatan pada para dokter (Sulastomo, 2000). HMO berkembang dengan mengutamakan strategi control biaya utilisasi yang ketat. Kebanyakan HMO memiliki cara control biaya yang mencakup

utilization review, perencanaan kapasitas pelayanan, dan insentif (reward)

bagi para manajer yang berhasil mengontrol biaya. (Baldor, 1996)

Pada konsep Managed Care pengendalian biaya dilaksanakan terutama melalui tempat dimana peserta mendapatkan pelayanan kesehatan serta akan mendapatkan insentif financial berupa tanggungan seluruh biaya pelayanan atau tingkat iuran yang rendah jika menggunakan fasilitas pelayanan yang ditentukan, organisasi pelayanan kesehatan tidak menanggung biaya pelayanan atau dikenakan iuran biaya yang tinggi jika mendapatkan pelayanan di luar pelayanan yang ditetapkan. (Kongsvedt, 1997)

Menurut HIAA (2000) kompensasi penyelenggaraan pelayanan (provider) merupakan alat yang penting untuk mengontrol biaya dalam program pelayanan terkendali. Kompensasi meliputi hal-hal seperti menanggung resiko

(risk sharing) dan insentif yang akhirnya mempengaruhi perilaku penyelenggara

pelayanan kesehatan (provider) tentu saja. Perjanjian menanggung resiko bersama dan gaji yang berlandaskan pemanfaatan (utilization) dan produktifitas


(29)

merupakan upaya agar penyelenggara pelayanan lebih menyadari persoalan biaya.

Dokter pelayanan primer (Primary Care Physician; PCP) memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan pelayanan. Mereka adalah para dokter yang sesungguhnya melaksanakan dan mengendalikan pelayanan kesehatan, serta kedudukannya amat penting dalam mengontrol biaya dan pemanfaatan pelayanan (utilization). PCP memberikan pelayanan dasar bagi peserta program, membuat rujukan kepada spesialis, dan memberikan pelayanan lanjut. Dengan kata lain bahwa PCP juga bisa disebut sebagai

gatekeeper. Pada umumnya tugas PCP adalah mengarahkan, mengendalikan,

mengawasi, mengkoordinasi, dan memberikan pelayanan dasar, hal ini berarti bahwa semua pelayanan yang tidak darurat hanya dapat diberikan, atau diotorisasi oleh penjaga pintu Askes. Meskipun program kesehatan perlu menggunakan penjaga pintu Askes pelayanan primer, untuk pelayanan yang bukan darurat, kunjungan tahunan ke ahli obstetric-ginekoplogi dimungkinkan tanpa rujukan sendiri yang bersifat terbatas. (HIAA, 2000)

Pengendalian rujukan akan dapat berjalan sempurna bila pelayanan kesehatan paripurna dapat dilakukan, yaitu melalui langkah-langkah: pembinaan (promotif), pencegahan (preventif), deteksi dini dan tindakan segera, pencegahan cacat lebih lanjut, pemulihan dan konsultasi secara rujukan. (Sutomo, 2001)

Langkah-langkah pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui cara misalnya: 1) Menambah jam konsultasi untuk berdiskusi atau memberi saran,


(30)

2) Memberi leaflet atau petunjuk bergambar, 3) Melakukan kunjungan ke rumah, 4) Menelepon peserta asuransi kesehatan untuk datang ke tempat praktek guna memeriksa ulang, menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan, periksa laboratorium, dan 5) Melakukan deteksi dini yang berupa uji penyaringan masal yang tentu saja semuanya dilakukan dengan mempertimbangkan biaya dan tenaga yang tersedia. (Sutomo, 2001)

HIAA (2000) mengatakan bahwa jenis-jenis pemberian insentif

(reward) terahdap PCP dalam memberikan pelayanan adalah sebagai berikut :

a. Gaji PCP mempunyai peranan dalam keberhasilan program pelayanan terkendali sehingga kualitas, pemanfaatan dan tujuan mencari untung mempengaruhi kompensasi berupa gaji, sehingga para dokter yang memiliki rancangan menanggung resiko dengan program pelayanan terkendali memperoleh keuntungan atau kerugian karena kinerja mereka sendiri atau sejawat dokter lainnya.

b. Kapitasi, untuk menentukan kapitasi yang sesuai, pelayanan PCP harus didefinisikan secara hati-hati agar dapat memperkirakan jumlah biaya pelayanan primer, PCP dibayar dalam jumlah yang tetap per bulan per anggota, tidak masalah kunjungan atau biaya pelayanan. Health

Maintenance Organization (HMO) juga menentukan bagian dari

pembayaran kapitasi tergantung pada jumlah rujukan ke pelayanan spesialis.

c. Tabungan Rujukan (Refferal Pool). Program pengganti biaya membentuk tabungan rujukan untuk pelayanan rumah sakit dan perawatan rumah


(31)

(nursing home services), tabungan kapitasi ini menghapuskan resiko

PCP dan PCP dapat menikmati bersama dana yang terdapat di tabungan pada akhir tahun jika target pemanfaatan untuk jenis-jenis pelayanan terpenuhi.

d. Pelayanan di luar kapitasi, sebagian program kapitasi yang memberikan kemungkinan pelayanan tertentu yang tidak termasuk dalam kapitasi PCP dasar yang akan diberi pelayanan khusus, pelayanan tersebut biasanya di bayar atas ada uang ada jasa yang nilainya sudah ditentukan lebih dulu. Pelayanan tersebut ditujukan untuk meyakinkan bahwa peserta memperoleh pelayanan pencegahan atau pemeliharaan kesehatan, seperti : imunisasi, tes sekrining laboratorium dan lainnya, pendekatan ini berupa meningkatkan kualitas pelayanan bagi peserta program dengan cara mendorong PCP agar memberikan pelayanan tersebut.

e. Pembayaran Negosiasi, program pelayanan terkendali dan program bersama-sama menyepakati sejumlah pembayaran untuk suatu pelayanan atas prinsip uang dan jasa (fee for service). Besar biaya yang dinegoisasikan ini biasa didasarkan dengan biaya dari yang seharusnya ditagih oleh penyelenggara pelayanan.

f. Pembayaran Global. Pembayaran global adalah seperangkat yang dinegoisasikan yang seluruhnya sudah tercakup, dengan kata lain bahwa satu pembayaran dibayar untuk seluruh pelayanan yang diberikan untuk satu priode atau episode khusus atau episode pelayanan.


(32)

2.3. Pembayaran Kapitasi dalam Sistem Asuransi Kesehatan di Indonesia Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara penekanan biaya dengan menempatkan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Hal ini memacu para PPK berorientasi kepada upaya preventif dan promotif serta lebih memperhatikan pengendalian biaya pelayanan kesehatan. Mekanisme ini merupakan cara meningkatkan efisien dengan memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayaran pihak ketiga baik itu asuransi, PPK, maupun pemerintah. Pada situasi pasar persaingan sempurna, PPK akan memasang tarif sama dengan market price tetapi pada pasar monopoli atau oligopoly PPK dapat menetapkan harga di atas rata-rata biaya. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, PPK akan menekan jumlah kunjungan sehingga penghasilan akan sama dengan atau lebih besar dari penghasil jika ia harus melayani pasien fee for service. (Thabrary, et all, 1998)

Berbagai kegagalan penerapan kapitasi di Indonesia dan penolakan PPK untuk dibayar secara kapitasi sangat terkait dengan adanya resiko tersebut. Hal yang perlu dipahami adalah produk tenaga kesehatan pada saat ini belum dididik untuk menanggung resiko murni yang terkait dengan variasi utilisasi pelayanan. Pada awalnya para dokter (PPK) menolak cara pembayaran kapitasi ini, karena dinilai bertentangan dengan otonomi profesi kedokteran. Di sisi lain para dokter hanya menjadi alat untuk mencari untung,


(33)

sementara para dokter inilah yang menghadapi keluhan pasien dan gugatan hukum jika terjadi mal praktek. (Hendrartini, 2002)

Sulastomo (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip kapitasi total adalah sebagai berikut :

a. Anggaran pelayanan dasar, pelayanan rujukan, rawat inap dan obat diintegrasikan dalam satu sistem pembiayaan berdasar jumlah kapital/jiwa/ kartu pengenal.

b. Anggaran didesentralisasikan (termasuk obat)

c. Kewenangan mengelola anggaran, menyebabkan efisiensi d. Adanya reward untuk upaya efisiensi

Berbagai hambatan di dalam pelaksanaan kapitasi, terutama pada pemahaman konsep kapitasi sebagai metode pembayaran baru, yang belum banyak dikenal masyarakat. Selain dari itu pelaksanaan konsep kapitasi memperlihatkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. (Sulastomo, 2000)

2.3.1. Manfaat Sistem Pembayaran Kapitasi

Estaugh (1981) menyatakan bahwa apabila sistem pembayaran kapitasi dapat diterapkan, memang banyak manfaat yang dapat diperoleh. Manfaat tersebut, dis atu pihak karena diterapkannya program asuransi kesehatan, dan pihak lain karena diterapkannya sistem pembayaran kapitasi. Adapun manfaat dari diterapkannya sistem pembayaran kapitasi, jika dibandingkan dengan sistem pembayaran program asuransi kesehatan lainnya adalah sebagai berikut :


(34)

a. Sistem serta beban administrasi pihak pengelola dana dan ataupun penyelenggara pelayanan kesehatan akan lebih sederhana serta tidak merepotkan. Karena pada sistem pembayaran kapitasi tidak diperlukan pekerjaan administrasi yang terlalu rumit.

b. Penghasilan penyelenggara pelayanan kesehatan akan lebih stabil dan merata, karena memang penghasilan tersebut tidak terlalu ditentukan oleh fluktuasi jumlah kunjungan pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan, serta pada umumnya pengaturan jumlah peserta untuk tiap penyelenggara pelayanan kesehatan dapat lebih dilakukan secara lebih seimbang.

c. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan akan lebih efektif dan efisien, karena dengan sistem pembayaran ini, untuk mencegah kerugian, pihak PPK harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya (efektif) serta tidak berlebihan (efisien).

d. Bersamaan dengan itu, untuk mencegah kunjungan pasien yang memerlukan pelayanan kesehatan yang berulang-ulang dan berlebihan.

2.4. Fungsi Gatekeeper dalam Asuransi Kesehatan di Indonesia

Salah satu alat kontrol terhadap biaya dan pemanfaatan pelayanan masyarakat terkendali adalah peranan gatekeeper (penjaga pintu Askes).

Gatekeeper merupakan kunci dalam mengupayakan pelayanan dalam

organisasi pemeliharaan kesehatan. Tugas sebagai Gatekeeper adalah mengarahkan, mengendalikan, mengawasi, mengkoordinasi dan memberikan


(35)

pelayanan dasar bagi peserta program pelayanan terkendali. Ini berarti bahwa semua pelayanan yang tidak darurat hanya dapat diberikan oleh atau diotorisasi oleh gatekeeper. Meskipun peran gatekeeper tidak digunakan sebagai mekanisme pengontrol biaya, tetapi pada banyak kasus merupakan dasar bagi program penanganan resiko keuangan, misalnya pada kapitasi dan tabungan rujukan, dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi gatekeeper adalah mengkoordinir pelayanan kesehatan pada anggota dan untuk memaksimalkan efisiensi serta meningkatkan efektifitas pelayanan. (HIAA, 2006)

2.5. Kapitasi Total dalam Asuransi Kesehatan

Kapitasi Total (total capitation) adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dimana anggaran pelayanan tingkat pertama, tingkat lanjutan dan obat diintegrasikan ke dalam suatu sistem pembiayaan berdasarkan jumlah jiwa yang terdaftar di suatu wilayah dan memberlakukan sistem reward untuk pengolahan yang efisien. Pembayaran kapitasi jenis pelayanan rawat jalan tertentu dikenal dengan nama primary care capitation, sedangkan bila provider menanggung resiko untuk seluruh pelayanan rawat jalan, rujukan, dan perawatan di rumah sakit maka disebut jull capitation atau universal

capitation rate, yang saat ini PT. Askes (1998) menyebutkan kapitasi total.

Tujuan kapitasi total secara umum adalah menciptakan sistem pelayanan dan pembiayaan yang efektif, efisien, sederhana administrasi tanpa menurunkan mutu pelayanan.


(36)

Berdasarkan pertimbangan kondisi daerah, maka sistem kapitasi total pada dasarnya dapat dilaksanakan melalui model sebagai berikut (PT. Askes, 1998) :

a. Memberikan peranan Puskesmas dan RS secara bersama-sama untuk dapat mengendalikan biaya dan mutu pelayanan. Karena pimpinan Pemerintah daerah adalah penanggung jawab pelayanan kesehatan masyarakat yang dilayani oleh semua fasilitas kesehatan di wilayahnya, maka secara oeprasional perjanjian ini dilakukan di daerah yang rumah sakit lebih homogen dilihat dari aspek kepemilikan.

Rumah Sakit

ASKES Puskesmas

Gambar 2.2. Memberi Peranan kepada Puskesmas dan Rumah Sakit secara Bersama-sama dalam pengendalian biaya dan mutu pelayanan

b. Mengadakan perjanjian kerjasama secara terpisah antara PT. Askes dengan Puskesmas (untuk RJTP dan RJTI, termasuk obatnya) dan antara PT. Askes dengan RS (rawat inap termasuk obat. Puskesmas dan RS punya alokasi biaya sendiri-sendiri berdasar kapitasi, namun tetap bekerjasama dalam pengendalian biaya rawat jalan lanjutan. Model ini diterapkan di daerah dengan satu rumah sakit dimana kecil kemungkinan untuk merujuk ke tempat lain.


(37)

Puskesmas Rumah Sakit

ASKES

Gambar 2.3. Perjanjian kerjasama yang berbeda antara PT. Askes dengan Puskesmas dan PT. Askes dengan Rumah Sakit

2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan kesehatan

Andersen, R (1995) menyatakan bahwa pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan oleh masyarakat tergantung pada tiga faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing), faktor pendukung (enabling), serta faktor kebutuhan (need).

a. Faktor Predisposisi (Predisposing)

Merupakan kumpulan faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik individu, yang mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang meliputi :

1) Keadaan demografi berupa: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penyakit di masa lalu serta jumlah anggota keluarga.

2) Keadaan struktur sosial, meliputi: jenis pekerjaan, status sosial, pendidikan, ras dan suku.

3) Sikap dan kepercayaan, terutama kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan lainnya serta kepercayaan terhadap penyakit.


(38)

b. Faktor Pendukung (Enabling Factor)

Kondisi yang memungkinkan seseorang untuk mendpaatkan pelayanan kesehatan atau merasa puas dengan menggunakan pelayanan kesehatan yang ada, terdiri dari :

1) Sumber daya keluarga yaitu: penghasilan keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan. 2) Sumber daya masyarakat: jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah

tenaga kesehatan serta rasio penduduk dan tenaga kesehatan. c. Faktor Kebutuhan (Need Factor)

Faktor ini menunjukkan kebutuhan individu untuk mempergunakan fasilitas kesehatan, hal ini ditunjukkan oleh adanya kebutuhan karena alasan yang kuat yaitu adanya jawaban atas penyakit tersebut dengan cara mencari pelayanan kesehatan. Faktor ini merupakan bagian yang paling langsung berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebutuhan dibagi menjadi dua kategori, dirasakan atau perceived dan

evaluated.

Green (1991) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempunyai pengaruh pada prilaku kesehatan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

1) Faktor Predisposisi (Predisposing), yang biasa mempunyai pengaruh pengetahuan, kepercayaan, sikap serta nilai seseorang.

2) Faktor Pendukung (Enabling Factor), yang biasanya berwujud lingkungan fisik berupa tersedianya fasilitas kesehatan.


(39)

3) Faktor Pendukung (Reinforcing Factor), faktor ini merupakan dari petugas kesehatan yang diwujudkan dalam sikap dan prilaku petugas kesehatan dan tokoh masyarakat.

Selain hal yang telah disebutkan di atas, faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi masyarakat / individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan dan pengetahuan merupakan salah satu karakteristik individu, yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan melalui prilaku pengambilan keputusan. Masyarakat dnegan tingkat pendidikan yang tinggi umumnya lebih memperhatikan masalah kesehatan sehingga bila mereka menderita penyakit yang ringan sudah berupaya mencari pertolongan, pengobatan ke tempat pelayanan kesehatan yang dinilai bermutu. Sebaliknya masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah bila menderita sakit ringan umumnya mereka berupaya mengobati sendiri penyakitnya, dan bila mereka tidak sembuh dengan pengobatannya sendiri atau menganggap penyakitnya sudah berat baru berupaya mencari pertolongan pengobatan ke tempat pelayanan kesehatan secara berjenjang mulai Puskesmas, dilanjutkan ke tempat praktek swasta. (Atkins, et all, 1986)

Selain itu faktor jarak antara tempat tinggal dengan pusat pelayanan kesehatan juga memberi pengaruh terhadap kunjungan penderita yang mencari pertolongan kesehatan (Sutrina, 1986). Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martinelly (2001), pendapat Sutrina tidak terbukti. Berdasarkan


(40)

penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jarak tempuh Puskesmas dengan rumah sakit dengan tingginya rujukan pasien peserta wajib PT. Askes ke RSUP Dr. M. Djamil, selanjutnya juga hasil penelitian ini juga menyatakan tidak ada hubungan antara transportasi umum dengan tingginya rujukan pasien peserta wajib PT. Askes dari Puskesmas ke Rumah Sakit.

Asuransi kesehatan terahdap pelayanan rawat jalan tidak berbeda antara pria dan wanita. Pencarian pelayanan rawat jalan biasanya hanya menyangkut penyakit ringan dan biasanya resiko laki-laki dan perempuan relatif sama, tetapi akses kelompok peremuan terhadap pelayanan rawat jalan di fasilitasi publik lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Salah satu faktor penyebabnya adalah intensifnya promotif dan preventif yang dilaksanakan pemerintah melalui Puskesmas dengan sasaran balita dan ibu hamil. Ketika ibu mengantarkan balitanya ditimbang dan diimunisasi, maka para ibu tersebut dapat sekaligus memeriksakan diri sehingga angka rawat perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Faktor lain adalah jam buka Puskesmas biasanya pagi hari, menyebabkan kaum laki-laki kurang dapat mengakses pelayanan karena kesibukan pekerjaan. (Thabrany dan Pujianto, 2000).

Pengaruh pendidikan pada akses pelayanan kesehatan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Korelasi langsung dengan peningkatan kesadaran dan korelasi tidak langsung dapat melalui pendapatan. Ada korelasi antara


(41)

tingkat pendidikan dengan pendapatan, semakin tinggi pendidikan makin tinggi pendapatan dan sebaliknya. (Thabrany dan Pujianto, 2000)

Perbedaan akses rawat jalan peserta asuransi kesehatan berturut-turut adalah 1,5 kali dan 2,1 kali dibandingkan dengan bukan peserta asuransi kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan, karena dengan adanya jaminan biaya dari asuransi membuat harga efektif pelayanan kesehatan yang harus dibayar peserta menjadi nol di Indonesia. Akibatnya, konsumsi pelayanan kesehatan oleh peserta asuransi kesehatan akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan asuransi kesehatan, sesuai dengan kurva demand dalam teori supply dan demand.

2.7. Puskesmas

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat, di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dnegan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepada penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah


(42)

Daerah Tingkat II, sehingga pembagian wilayah kerja Puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota, dengan saran teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota.

Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja Puskesmas bisa meliputi 1 Kelurahan.

Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kesehatan Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Bidang Kesehatan sesuai situasi dan kondisi daerah tingkat II. Konsekuensinya adalah perubahan struktur organisasi kesehatan serta tugas pokok dan fungsi yang menggambarkan lebih dominannya aroma kepentingan daerah tingkat II, yang memungkinkan terjadinya perbe daan penentuan skala prioritas upaya peningkatan pelayanan kesehatan di tiap daerah tingkat II, dengan catatan setiap kebijakan tetap mengacu kepada Renstra Kesehatan Nasional. Di sisi lain daerah tingkat II dituntut melakukan akselerasi di semua sektor penunjang upaya pelayanan kesehatan.

Pelayanan Kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang meliputi pelayanan :

a. Kuratif (pengobatan)


(43)

c. Promotif (peningkatan kesehatan) d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan)

2.8. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Sistem Rujukan

Pusat Kesehatan Masyarakat adalah sarana pelayanan kesehatan fungsional milik dan dikelola oleh Pemerintah Daerah yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat, selanjutnya disebut Puskesmas (Depkes dan Depdagri, 2001). Berdasarkan pedoman kerja Puskesmas, unit pelayanan kesehatan ini mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. (Depkes, 1998)

Pengertian sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal balik atas timbulnya masalah dari suatu kasus atau masalah kesehatan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal kepada yang lebih berkompeten, terjangkau dan dilakukan secara rasional (Depkes RI, 1998). Secara ringkas sistem rujukan memberikan kontribusi pada standar pelayanan medis yang tinggi, dengan membatasi upaya medis yang berlebihan dan adanya pembagian tugas yang efisien antara dokter umum dengan dokter spesialis. (Sweeney, 2001)

PT. Askes menerapkan sistem pelayanan kesehatan dengan pola rujukan berjenjang dengan harapan peserta akan memperoleh pelayanan


(44)

kesehatan secara efisien dan efektif sesuai dengan kebutuhan medisnya. Dokter Puskesmas diberi wewenang membuat surat rujukan bagi peserta PT. Askes yang memerlukan penanganan lebih lanjut ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Pembayaran biaya pelayanan kesehatan didasarkan atas besaran tarif yang ditetapkan pada SK Menkes dan SK Mendagri yang merupakan perwujudan subsidi pemerintah bagi pegawai negeri. (PT. Askes, 2002)

Menurut Sutomo (2001), rujukan akan berjalan sempurna bila pelayanan kesehatan yang paripurna dapat dilakukan, yaitu melalui langkah-langkah: 1) Pembinaan (promotof), 2) Pencegahan (preventif), 3) Deteksi dini dan tindakan segera, 4) Pencegahan lebih lanjut, 5) Pemulihan dan konsultasi secara rujukan. Selanjutnya penatalaksanaan pelayanan ini sebesar-besarnya adalah untuk mencapai peningkatan hubungan antara dokter dengan pasien.

Sutarjo (1993) mengusulkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan suatu sistem rujukan yang baik, yaitu: 1) Pelayanan tingkat pertama harus dilengkapi peralatan yang mempermudah penanganan, mempersiapkan dan mengirimkan penderita ke tempat tujuan, 2) Melibatkan pembiayaan diri asuransi kesehatan dalam pembiayaan rujukan, 3) Semua tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan kemampuan yang ada berdasarkan peraturan dan etika profesi, 4) Adanya hubungan fungsional antara setiap unit pelayanan, 5) Perlu disusun standar pelayanan medis dan peralatan, 6) Penanganan penderita selalu diutamakan.


(45)

2.9. Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata “tahu”, yang berarti seseorang yang mempunyai pengetahuan dan cakrawala tertentu, bisa melalui pendidikan formal masupun non formal. Termasuk hal-hal yang diketahui seseorang tentang dirinya sendiri, tingkah lakunya dan keadaan sekitarnya. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoadmodjo, 1996)

Notoadmodjo (1996) diketahui bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(over behavior). Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa perilaku

yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut akan terjadi proses yang berurutan, yaitu :

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalama rti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut, di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.


(46)

d. Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat (long lasting). Sebaliknya bila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak akan berlangsung lama.

Roger (1974), citt: Notoadmodjo (1996) menetapkan 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang lain tahu tentang apa yang dipelajarinya adalah dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami dairtikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi


(47)

tersebut dengan benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus-rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip siklus pemecahan masalah (problem

solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang

diberikan.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dlaam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang


(48)

baru. Sintesis ini adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaskukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya dapat membandingkan anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas. Pada penelitian ini, pengetahuan yang ingin diukur adalah pengetahuan bidan di desa tentang infeksi nifas.

Menurut Soemanto (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan manusia diantaranya adalah :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Pendidikan berarti jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti oleh seseorang dimana bila seseorang mampu mencari pendidikan yang tinggi


(49)

kemungkinan akan meningkatkan pengetahuannya dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. (Ahmadi dan Uhbiyanti, 2001)

b. Umur

Tingkat pengetahuan usia anak-anak akan selalu memahami perubahan yang tidak tetap, hal ini sama kapasitas mental anak tidak berkembang sesuai dengan kecepatan perkembangan fisiknya, kematangan mental dan fisik secara sempurna (Soemanto, 1987). Maka dengan bertambahnya umur seseorang akan meningkatkan pengetahuan orang tersebut, umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan angka kematian maupun kesakitan, hampir sama keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. (Notoadmodjo, 1997)

c. Jenis Kelamin

Banyak penelitian yang membuktikan tidak adanya perubahan yang signifikan antara pengetahuan pria dan wanita. Berdasarkan beberapa riset yang pernah dilakukan menunjukkan wanita berlebihan dalam mengerjakan tes-tes yang menyangkut penggunaan bahasa, hafalan, reaksi estetika serta masalah social. Selain itu pihak laki-laki berlebihan dalam penalaran abstrak, penguasaan matematika, mekanika dan struktur skill. (Soemanto, 1987)

d. Paritas

Berbagai pengalaman yang diperoleh dari jumlah anak yang dilahirkan dapat mempengaruhi peningkatan pengetahuan seseorang.


(50)

Pengalaman merupakan salah satu kesempatan bagi manusia untuk mengembangkan diri dan melestarikan hidupnya. (Soemanto, 1987)

Menurut Forney dan Horney dalam Manuaba (1998), apritas ada yang primapara yaitu seorang ibu yang pertama kali melahirkan, multipara yaitu seseorang ibu yang telah dua kali melahirkan atau lebih dan tidak lebih dari lima kali melahirkan, grande multipara yaitu seorang ibu yang telah lebih dari lima kali melahirkan.

2.10. Persepsi

Secara sederhana pengertian persepsi adalah suatu proses pemahaman, pengertian, serta penafsiran terhadap pengalaman yang sudah lampau, dipengaruhi pengalaman-pengalaman yang dahulu berupa perasaan-perasaan, prasangka-prasangka, keinginan-keinginan seseorang (Mahmud, 1990). Menurut Sarwono (1992) mengatakan bahwa persepsi adlaah pengendalian terhadap suatu objek melalui aktivitas sejumlah penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak). Persepsi adalah hasil pengamatan langsung dari individu terhadap obyeki melalui alat indera.

Stonner (1986) mengatakan bahwa persepsi peran adalah kejelasan peran dalam arti bahwa seorang pegawai memahami dan menyetujui apa yang diharapkan daripadanya di dalam melaksanakan pekerjaan. Makin kita merubah peran dalam arti menanggapi harapan dari berbagai orang terutama


(51)

mengambil inisiatif dalam mencanangkan peran itu secara kreatif, maka peran tersebut semakin efektif.

Efektifitas peran ini oleh Pareek (1985) disebut sebagai daya guna peran. Daya guna peran mempunyai 10 dimensi (Pareek, 1985) makin banyak dimensi ini terdapat di dalam suatu peran, maka daya guna peran itu semakin tinggi. Sepuluh dimensi itu meliputi :

a. Integrasi diri dan peran, yaitu integrasi antar pengalaman, pendidikanh dan keterampilan yang ada pada diri seseorang dengan perannya dalam organisasi.

b. Produktifitas, yaitu mengambil inisiatif untuk memulai suatu kegiatan. c. Kreatifitas, yaitu suatu peluang untuk mencoba cara-cara baru dalam

memecahkan persoalan atau suatu peluang untuk berbuat kreatif.

d. Konfrontasi, yaitu mau menghadapi persoalan dan memperoleh pemecahan yang sesuai, jadi tidak menghindari suatu persoalan dalam menghadapi tugas.

e. Pertumbuhan pribadi, yaitu suatu faktor efektif yang menyumbangkan kepada kemajuan peranan atau persepsi bahwa peran itu memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembang.

f. Hubungan antara peran, yaitu terdapatnya usaha bersama untuk memehami masalah dan menemukan penyelesaian.

g. Hubungan saling bantu, yaitu orang-orang yang menjalankan suatu peran tertentu merasa memperboleh bantuan dari suatu sumber dalam organisasi sesuai dengan kebutuhan.


(52)

h. Kesentralan, yaitu jika orang-orang yang memegang peranan tertentu dalam organisasi menganggap peran mereka merupakan pusat dari organisasi itu. i. Pengaruh, yaitu perasaan seseorang pemegang peran dapat menggunakan

pengaruh dalam perannya.

j. Superordinasi, yaitu seseorang yang menjalankan peran yang tertentu merasakan pekerjaannya merupakan sebagian dari peran organisasinya.

Hubungan antara daya guna peran dan perilaku manajerial tentang kinerja berdasarkan penelitian Sen (1982) adalah bahwa orang-orang dengan daya guna peran yang tinggi cenderung menggunakan kebutuhan mereka secara lebih efektif selama bekerja dalam organisasi.

Sarlito (1993) menyatakan bahwa prestasi adalah kemampuan untuk mengorganisasikan pengamatan meliputi kemampuan untuk membeda-bedakan, kemampuan untuk mengelompokkan, kemampuan untuk memfokuskan dan sebagainya. Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan dalam persepsi antara lain perhatian, harapan seseorang akan rangsangan yang timbul kebutuhan sistem nilai dan ciri kepribadiannya sehingga setiap orang mempunyai prestasi berbeda-beda terhadap suatu rangsangan.


(53)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Situation Analysis Study.

3.2. Tempat dan Waktu 3.2.1. Tempat

Penelitian ini dilakukan di lingkungan kerja PT. Askes cabang Banda Aceh. Data umum tentang rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib Askes di Kota Banda Aceh diperoleh dari rekapitulasi data rujukan rawat jalan tingkat I dari seluruh Puskesmas yang berada di wilayah Kota Banda Aceh, yang disusun oleh PT. Askes cabang Banda Aceh, yang berjumlah 6 Puskesmas (tahun 2004). Pada penelitian ini, mengingat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti sendiri ataupun oleh keadaan, diantaranya seperti keterbatasan waktu, dana dan belum berfungsi beberapa Puskesmas secara maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan, khususnya Puskesmas yang terkena Tsunami tahun 2004 yang lalu, maka peneliti memilih 3 Puskesmas yang berada di wilayah Kota Banda Aceh, yaitu Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturahman untuk dijadikan sebagai tempat penelitian.


(54)

Alasan peneliti memilih Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturrahman menjadi tempat penelitian adalah karena puskesmas-puskesmas ini dan wilayah yang berada di tiga kecamatan ini relatif tidak terkena tsunami. Walaupun ada beberapa desa di wilayah ini yang terkena, tapi dampaknya tidak separah seperti pada beberapa kecamatan yang lain. Stabilitas pelayanan Puskesmas dan angka kunjungan rawat jalan penduduk yang berdomisili di tiga kecamatan tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelum tsunami.

Alasan lainnya yang melatarbelakangi peneliti untuk tidak mengikutsertakan beberapa Puskesmas lainnya sebagai tempat penelitian adalah karena belum stabilnya populasi penduduk di beberapa kecamatan tersebut. Pada beberapa kecamatan yang terkena tsunami, penduduknya masih banyak yang tinggal di barak-barak pengungsian yang jauh dari tempat tinggal semula. Bahkan banyak yang tinggal di kabupaten atau bahkan propinsi lain. Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas juga belum optimal, karena masih kurangnya penduduk yang mendiami wilayah-wilayah tersebut. Sehingga jika dilakukan perbandingan data rujukan antara satu Puskesmas dan Puskesmas lainnya akan terjadi kesenjangan yang besar. Untuk mencegah terjadinya bias pada penelitian ini, maka peneliti hanya mengambil 3 Puskesmas saja sebagai tempat pengambilan data pada penelitian ini.


(55)

3.2.2. Waktu

Penelitian ini telah dilakukan lebih kurang selama 2 tahun, yaitu dimulai dari tahun 2005-tahun 2006. Lamanya masa penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal yang berada di luar kendali peneliti maupun kendali unit manusia, diantaranya adalah bencana tsunami pada akhir tahun 2004 yang lalu, yang otomatis sangat mempengaruhi penelitian yang sedang peneliti lakukan terkait dengan hancurnya beberapa puskesmas yang semula rencananya akan peneliti jadikan tempat penelitian. Selain itu lamanya waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam merehabilitasi dan merecovery kembali, baik infrastruktur maupun sistem pelayanan kesehatan pada puskesmas yang terkena tsunami, member dampak juga terhadap puskesmas-puskesmas yang tidak terkena tsunami.

Dampak dari lamanya masa rehabilitasi dan recoveri infrastruktur dan sistem kesehatan di NAD menyebabkan penduduk yang berada di kawasan yang terkena tsunami, akan memanfaatkan sarana kesehatan di wilayah yang tidak terkena tsunami, baik itu pelayanan kesehatan umum maupun Askes. Pemerintah daerah pun memberi kemudahan dalam berbagai pelayanan masyarakat tanpa harus melalui administrasi yang ketat. Hal ini juga berlaku bagi peserta Askes, sehingga jika peneliti ingin membuat penelitian yang sesuai dengan tujuan awal penelitian, maka peneliti harus menunggu sistem pelayanan kesehatan Askes berjalan atau hampir berjalan sesuai dengan prosedur atau sistem yang seharusnya. Pelayanan Askes yang kembali ke sistem yang seharusnya baru terjadi kira-kira pada akhir tahun 2006 yang lalu, dan inipun baru terjadi di


(56)

beberapa puskesmas saja, terutama puskesmas-puskesmas yang tidak terkena tsunami. Keadaan inilah yang menghambat penelitian yang peneliti lakukan sehingga peneliti membutuhkan waktu yang lama dalam penelitian ini.

3.3. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

DOKTER PUSKESMAS

̇ Pemahaman Kapitasi

̇ Persepsi Resiko Keuangan

̇ Indikasi Kebutuhan Medis dan Non Medis

STAFF PUSKESMAS

̇ Fasilitas Alat

̇ Ketersediaan Obat

̇ Data

P A S I E N

̇ Jenis Penyakit

̇ Tingkat Pendidikan

̇ Alasan di rujuk

Rasio Rujukan Tingkat Pertama Penilaian Pelaksanaan Rujukan KEPALA ASKES

CABANG B. ACEH

̇ Data rasio rujukan tingkat I peserta wajib Askes tahun 2006

̇ Upaya-upaya yang dilakukan PT. Askes dalam menurunkan claim rasio rujukan rawat jalan tingkat I

Penyempurnaan Kebijakan Sistem


(57)

3.4. Definisi Operasional Variabel dan cara Pengukurannya

a. Rasio rujukan rawat jalan tingkat pertama adalah persentase jumlah rujukan peserta PT. Askes dari Puskesmas baiturahman, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Mibo yang dirujuk ke RS. Dr. Zainoel Abidin dan RS. Fakinah Banda Aceh selama tahun 2006. Cara pengukurannya adalah jumlah rujukan dibagi dengan jumlah kunjungan peserta wajib PT. Askes tahun 2006 di 3 puskesmas tersebut.

b. Pemahaman kapitasi adalah pemahaman dokter puskesmas terhadap konsep pemberian imbalan jasa kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang diberikan berdasarkan jumlah jiwa (kapita) yang menjadi tugas dan tanggung jawab sebuah PPK, tanpa memperhatikan frekuensi atau jumlah pelayanan pada suatu waktu tertentu. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam dengan dokter Puskesmas. c. Persepsi resiko keuangan adalah: persepsi dokter puskesmas terhadap

resiko keuangan yang diakibatkan sistem pembiayaan kapitasi Total Alternatif I, pengalihan resiko dari PT. Askes kepada PPK dan pemberian insentif apabila terjadi efisiensi pelayanan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam dengan dokter puskesmas.

d. Indikasi kebutuhan medis dan non medis adalah pengetahuan dokter puskesmas terhadap kebutuhan medis dan non medis pasien untuk dirujuk ke Rumah sakit. Pengukurannya dengan wawancara mendalam dengan dokter Puskesmas.


(58)

e. Fasilitas alat adalah ketersediaan sarana dan peralatan medis di puskesmas dalam memberikan pelayanan pada peserta wajib PT. Askes. Pengukuran ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan dokter puskesmas.

f. Ketersediaan obat adalah tersedianya obat-obatan di Puskesmas yang dibutuhkan oleh peserta wajib PT. Askes sesuai dengan kebutuhan medis dan diagnose penyakit. Pengukurannya dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan dokter puskesmas.

g. Jenis penyakit adalah klarifikasi jenis penyakit yang diderita oleh peserta wajib PT. Askes yang datang berobat ke puskesmas. Pengukurannya dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan dokter puskesmas serta melihat catatan status pasien peserta wajib PT. Askes yang ada di puskesmas.

h. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan peserta wajib PT. Askes yang berobat ke puskesmas sesuai dengan yang tertulis di kartu pasien. Pengukurannya dilakukan dengan cara melihat catatan status pasien peserta wajib PT. Askes yang ada di puskesmas.

i. Alasan meminta rujukan: alasan yang biasa dikemukakan oleh pasien peserta wajib PT. Askes ketika meminta rujukan kepada dokter di Puskesmas.

j. Upaya-upaya yang dilakukan oleh PT. Askes: segala upaya yang dilakukan oleh PT. Askes Indonesia cabang Banda Aceh dalam menurunkan claim rasio rujukan rawat jalan tingkat I.


(59)

3.5. Informan Penelitian

Informan penelitian dipilih secara purposive yaitu Kepala Puskesmas Baiturrahman, Puskesmas Batoh dan Kepala Puskesmas Mibo atau dokter yang bertugas di 3 Puskesmas tersebut dan staf Puskesmas yang berhubungan dengan pelayanan Askes serta kepada PT. Askes kantor cabang Banda Aceh. Selain itu beberapa pasien Askes yang dirujuk rawat jalan tingkat I dari beberapa Puskesmas di Kotamadya Banda Aceh juga menjadi informan penelitian ini. Penetapan Kepala Puskesmas dan Kepala PT. Askes kantor cabang Banda Aceh sebagai sumber informasi adalah karena mereka yang mengetahui dan melaksanakan langsung rujukan peserta wajib PT. Askes di Puskesmas masing-masing. Sedangkan alasan mengapa staf Puskesmas dijadikan informan adalah karena staf yang dijadikan informan tersebut adalah staf yang memegang tanggung jawab sebagai pengelola program kegiatan Askes di Puskesmas masing-masing. Selain itu alasan dijadikannya pasien peserta Askes yang dirujuk di Rumah Sakit Dr. Zainoel Abidin menjadi informan adalah guna melengkapi informasi yang ada dari sumber utama, tentang alasan pasien Askes meminta rujukan rawat jalan tingkat I.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan informan di pandu dengan pedoman wawancara (lampiran 3 s/d 6) dan direkam dengan menggunakan tape recorder.


(60)

3.7. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara mendalam, sedangkan alat pencatat selain dicatat secara manual juga direkam dengan menggunakan tape recorder.

3.8. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan melalui wawancara mendalam yang direkam kemudian dicatat dan dibuat transkrip hasil pembicaraan tersebut. Selanjutnya data tersebut dianalisa secara manual. Data kualitatif yang berasal dari wawancara mendalam tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode content analysis. Adapun tahap-tahap pengolahan data tersebut adalah sebagai berikut :

a. Mengumpulkan semua data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan dari sumber lain misalnya hasil observasi dan status pasien peserta wajib PT. Askes.

b. Mencatat atau membuat transkip semua data yang masih dalam bentuk kaset rekaman ke dalam bentuk tulisan.

c. Melakukan kategorisasi atau memberikan tanda data yang mempunyai karakteristik atau pola yang sama menurut metode pengumpulan data dan pola jawaban kemudian disajikan dalam bentuk matrik.

d. Menganalisa variabel-variabel serta menghubungkan dengan teori yang ada atau hasil penelitian lain.


(61)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini akan dibagi menjadi 4 tahapan wawancara / interview dengan para informan, dan tahapan-tahapan ini disesuaikan dengan empat kelompok informan yang berbeda latar belakangnya dan semua keempat kelompok tersebut memiliki peran yang berbeda di dalam proses dan mekanisme rujukan rawat jalan bagi peserta wajib Askes, namun semua kelompok tersebut memiliki kontribusi yang sama bagi penelitian ini, walaupun kapasitasnya berbeda.

Ketika sesi wawancara dilakukan, peneliti akan memberikan pertanyaan yang sama pada informan yang berbeda pada satu kelompok yang sama. Semua pertanyaan peneliti dipandu oleh panduan wawancara yang telah disusun oleh peneliti. Hasil wawancara yang direkam ini kemudian dibuat transkripnya dan kemudian semua hasil wawancara tersebut akan dikumpulkan untuk dianalisa kembali berdasarkan item per item pertanyaan yang ada pada setiap kelompoknya.

Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah disebutkan di atas, maka wawancara peneliti dengan informan yang dibagi dalam 4 tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Tahap I : Wawancara peneliti dengan Kepala Kantor Askes cabang Banda Aceh / yang mewakili.


(62)

b. Tahap II : Wawancara peneliti dengan tiga orang Kepala Puskesmas / Dokter yang bertugas di Puskesmas, yaitu dari Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturrahman.

c. Tahap III : Wawancara peneliti dengan 3 orang staf Puskesmas, yang menjadi penanggung jawab program Askes di Puskesmas, yaitu staf Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturrahman.

d. Tahap IV : Wawancara peneliti dengan 5 orang pasien Askes yang mendapat rujukan rawat jalan tingkat I dari Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturrahman.

Jumlah total informan yang menjadi narasumber peneliti pada penelitian ini adalah 12 orang.

4.2. Karakteristik Informan

a. Informan 01 : Kasie Askes Sosial PT. (Persero) Askes cabang 01.01 Banda Aceh

Kepala seksi Askes Sosial PT. (Persero) Askes Cabang 01.01. Banda Aceh berusia 40 tahun, dengan basic pendidikan pada Fakultas Ekonomi (S1). Pengalaman bekerja di PT. Askes adalah 11 tahun. Sebelum bekerja pada PT. Askes, informan bekerja pada freelance pada beberapa perusahaan swasta di Jakarta, Surabaya dan Semarang. Mulai bertugas di Kantor Askes cabang 01.01. Banda Aceh sejak tahun 2002, setelah sebelumnya bertugas di kantor Askes cabang Riau.


(63)

b. Informan 02 : Kepala Puskesmas Mibo

Kepala Puskesmas Mibo adalah seorang dokter PNS, berusia 32 tahun. Menjabat sebagai Kepala Puskesmas MIBO sejak tahun 2004. Informan merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Sebelum bertugas di Puskesmas Mibo, informan menjadi dokter PTT di Kabupaten Pidie (NAD). Pelatihan-pelatihan yang telah diikuti oleh informan selama ini, yang berhubungan dengan sistem rujukan adalah pelatihan manajemen rujukan pasien Askes yang diselenggarakan oleh PT. Askes bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prov. NAD tahun 2006 (Responden 02).

c. Informan 03 : Kepala Puskesmas Batoh

Kepala Puskesmas Batoh, adalah seorang dokter PNS, berusia 29 tahun. Menjabat sebagai Kepala Puskesmas Batoh sejak tahun 2005. Informan merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Sebelum bertugas di Puskesmas Batoh, informan adalah seorang dokter PTT di Kotamadya banda Aceh. Pelatihan-pelatihan yang telah diikuti oleh informan selama ini, yang berhubungan dengan sistem rujukan adalah pelatihan manajemen rujukan pasien Askes yang diselenggarakan oleh PT. Askes bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prov. NAD tahun 2006.

d. Informan 04 : Kepala Puskesmas Baiturrahman


(64)

tahun 2004. Informan merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Sebelum bertugas di Puskesmas Baiturrahman, informan adalah seorang dokter PTT yang ditugaskan di Kotamadya Banda Aceh. Pelatihan-pelatihan yang telah diikuti oleh informan selama ini, yang berhubungan dengan sistem rujukan adalah pelatihan manajemen rujukan pasien Askes yang diselenggarakan oleh PT. Askes bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prov. NAD tahun 2006.

e. Informan 05 : Staf Puskesmas Mibo

Staf Puskesmas Mibo, adalah seorang wanita berusia 31 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan telah bekerja sebagai staf Puskesmas MIBO selama 6 tahun. Staf yang bersangkutan telah menjadi penanggung jawab program Askes sejak tahun 2006.

f. Informan 06 : Staf Puskesmas Batoh

Staf Puskesmas Batoh ini adalah seorang wanita berusia 39 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat, dan telah bekerja sebagai staf Puskesmas Batoh selama lebih kurang 15 tahun. Staf yang bersangkutan telah menjadi penanggung jawab program Askes sejak tahun 2003.

g. Informan 07 : Staf Puskesmas Baiturrahman

Staf Puskesmas Baiturrahman ini adalah seorang pria berusia 34 tahun dan memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat


(1)

preventif dan promotif serta lebih memperhatikan pengendalian biaya pelayanan kesehatan.

e. Para dokter yang sekaligus Kepala Puskesmas di tiga wilayah Kota Banda Aceh, yang menjadi informan penelitian ini, secara umum telah mengetahui pengertian dari sistem kapitasi dan resiko penerapan sistem kapitasi ini bagi Puskesmas.

f. Para Kepala Puskesmas umumnya mengatakan bahwa fasilitas peralatan medis dan obat-obatan yang tersedia di Puskesmas bagi pasien Askes sudah sangat memadai, bahkan sangat baik.

g. Pada prinsipnya para Kepala Puskesmas ini mengakui, jika ada pasien peserta wajib PT. Askes yang berkeras meminta rujukan rawat jalan tingkat I tanpa indikasi medis yang mengharuskan pasien tersebut untuk mendapatkan rujukan, maka para dokter tersebut tetap memberikan rujukan. Menurut mereka pada dasarnya pelayanan kesehatan itu adalah hak semua orang, jadi hak pasien untuk menentukan dimana mereka berobat. Selain itu faktor sugesti pasien terhadap pemberi pelayanan kesehatan juga sangat berperan dalam pertimbangan pemberian rujukan.

h. Umumnya pasien yang meminta rujukan atas inisiatif sendiri tersebut memiliki pendidikan di atas SMU.

i. Pasien mendapat rujukan rawat jalan, umumnya hanya 25-30% yang membawa jawaban rujukan kembali ke Puskesmas, dan umumnya mereka datang untuk meminta rujukan kembali.


(2)

j. Para staf Puskesmas yang menjadi penanggung jawab program Askes di Puskesmas masing-masing, umumnya mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kendala dengan pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang diserahkan oleh PT. Askes, karena mereka biasanya mengambil uang tersebut di Dinkes kota, jadi segala urusan yang berkenaan dengan PT. Askes itu biasanya dilakukan oleh pihak Dinkes kota.

k. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh pasien ketika ditanya mengapa mereka meminta rujukan, diantaranya adalah : para pasien peserta Askes merasa kecewa dengan obat-obatan yang disediakan di Puskesmas, peralatan medis di Puskesmas tidak lengkap, jika berobat ke Rumah Sakit memiliki kesempatan untuk diperiksa oleh dokter spesialis, dokter yang bertugas di Rumah Sakit jauh lebih pintar daripada dokter yang bertugas di Puskesmas, jadi mereka percaya bahwa penyakit mereka akan sembuh jika berobat di Rumah sakit serta berbagai alasan lainnya.

l. Berdasarkan data yang didapat peneliti dari ketiga Puskesmas yang menjadi lokasi pada penelitian ini, khususnya data tentang persentase rujukan rawat jalan tingkat pertama peserta wajib PT. Askes, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dari ketiga Puskesmas ini, Puskesmas Baiturrahman memiliki sistem yang paling baik dalam memberikan rujukan rawat jalan kepada pasien peserta wajib PT. Askes. Hal ini dapat dilihat dari perkiraan persentase pasien Askes yang dirujuk atas permintaan pasien sendiri. Meskipun persentase rujukan dari Puskesmas Baiturrahman berada pada peringkat pertama (44% dari pasien peserta


(3)

wajib PT. Askes mendapat rujukan rawat jalan Tingkat I), namun persentase pasien yang dirujuk atas permintaan sendiri hanya 30-40%. Berarti dapat disimpulkan, bahwa 60-70% pasien yang dirujuk tersebut memang berdasarkan indikasi medis dan Puskesmas Baiturrahman menerapkan sistem yang lebih ketat dari dua Puskesmas lainnya dalam memberikan rujukan rawat jalan Tingkat I kepada peserta wajib PT. Askes.

5.2. Saran

a. Agar PT. Askes ikut membantu memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Puskesmas, dnegan cara menyediakan obat-obat yang bermutu di Puskesmas sehingga pasien tidak merasa jenuh dengan obat yang sama meskipun diagnosa penyakit berbeda.

b. Agar dokter di Puskesmas lebih tegtas dan teliti lagi dalam mengeluarkan surat rujukan, lebih mempertimbangkan kondisi kesehatan pasien dari pada sugesti pasien terhadap pelayanan kesehatan.

c. Adanya koordinasi yang baik dan komprehensif, antara PT. Askes dengan Dinas Kesehatan dan Petugas yang berada di Puskesmas, terutama provider kesehatan yang langsung berhubungan dengan pelayanan kesehatan peserta Askes wajib ini. Sehingga dengan adanya hubungan dan koordinasi kerja yang baik tersebut, maka tujuan dari pelayanan kesehatan melalui asuransi kesehatan ini akan tercapai dengan baik.

d. Pada masa yang akan datang diharapkan semua puskesmas di Indonesia, khususnya di Prov. NAD dapat diakreditasi oleh pihak-pihak yang


(4)

memiliki kompetensi dalam bidang ini, seperti Badan Akreditasi Nasional (BAN) guna mendapatkan penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan yang telah diberikan selama ini sesuai dengan standarisasi pelayanan kesehatan di Puskesmas secara nasional. Bagi Puskesmas yang tidak memiliki akreditasi yang baik, maka akreditasi ini diharapkan dapat menjadi pedoman guna meningkatkan mutu pelayanannya, sehingga outcome yang diharapkan adalah selain kepuasan masyarakat terhadap mutu pelayanan di Puskesmas, Puskesmas juga benar-benar menjadi pusat kesehatan bagi masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamson, J.H. (1984) : Metode Survey Dalam Kedokteran Komunitas, Pengantar Studi Epidemiologi dan Evaluatif, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Akins, J.S., Griffin, C.C. Guilkey, DK. (1986) : The Demand for Adult Out Patient Service in the Bicol Region of the Phillipines, Soc. Sci. Med 22 (3) : 321-328.

Andari, (2001) : Kebijakan Public – private Mix dalam Pembiayaan Kesehatan melalui Asuransi : Makalah pada seminar Public – Private Mix dalam Pelayanan Kesehatan, Jakarta.

Andersen, R (1968) : A Behavioral Model of Families Use of Health Services, Chicago : Center of Health Administration Studies, Research series 25, University of Chicago.

Azwar, S (1998) : Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, S (2000) : Rehabilitas dan Validitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baldor, RA (1996) : Managed Care Made Simple, Cambridge : Blackwell

Science Inc.

Chotimah, N., Kusnanto, H (2000) : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja dan Motivasi Dokter Keluarga PT. Askes dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan kepada Peserta Wajib PT. Askes, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 03 (04) : 171 - 185.

Depkes RI (1998) : Pedoman Kerja Puskesmas, Jilid I, Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI dan Depdagri (2000) : SKB Menkes dan Mendagri No. 1013/Menkes/ SKB/IX/2001 tentang Tarif dan Tatalaksana Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah bagi Peserta PT. Askes dan Keluarganya, PT. Askes Indonesia, Jakarta.

Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, (2006) : Ringkasan Eksekutif, Available: Http://www.Depkes.go.id

Engel, J.E., Blacwell, R.D., Miniard, P.W. (1995) : Prilaku Konsumen, Terjemahan, Jakarta, Binarupa, Aksara.


(6)

Feldstein, P.J. (1983) : Health Care Economic, Second Edition, New York : Jhon Wiley and Son.

Green, W. Lawrence (1980) : Health Education Planning, A Diagnostic Approach, Myfield Publishing Company, palo Alto.

Hendrartini, J (2000) : Sistem Pembayaran Kapitasi Total, Makalah pada Seminar Kapitasi Total bagi Dokter Keluarga PT. Askes, Yogyakarta. HIAA, (2000) : Manage Care A : Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan

Pembiayaan Pelayanan Kesehatan, Jakarta : Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM-UI.

Kongstvedt, P.R (1997) : Essential ofss Managed Health Care Handbook, Aspen Publisher, Inc., Maryland.

Kristiensen, I.S, Money G (1993) : The General Prantationer’s Use of Time, is it Influence by the Remuneration, Journal – Article : 37 (3) : 393 - 399.

Mahmud, M.D (2000) : Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE.

Martinelly (2001) : Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingginya Rujukan Pasien Askes oleh Dokter Puskesmas di Kota Padang ke RSUP Dr. M. Djamil, Thesis Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

Mukti, A.G (1997) : Managed Care : Perkembangan, Implikasi dan Tantangan ke Depan, Jakarta : Berita Kedokteran Masyarakat.

_______ (2001) : Sistem Rujukan oleh Dokter Keluarga dalam Rangka Efisiensi dan Efektifitas Pelayanan Kesehatan. Makalah : Pada Seminar Sehari peran Dokter Keluarga sebagai gatekeeper dalam Sistem Rujukan, RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Mukti, A.G., Hasbullah Thabrany, laksono Trisnantoro (2001) : Telaah Kritis terhadap Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jakarta : Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.


Dokumen yang terkait

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

3 59 149

Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Untuk Peserta Askes di Puskesmas Air Tawar Padang.

0 1 6

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Puskesmas Siko Dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate Tahun 2014 | Ali | JIKMU 7439 14626 1 SM

0 0 17

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 16

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 2

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 10

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 29

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 3 3

Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Tahun 2016

0 0 26

Perencanaan Tingkat Puskesmas Program Ke

0 1 14