bernegara Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar „rule-driven’, melainkan „mission driven’, yang
didasarkan atas aturan hukum. Limbong, 2011:79 .
2.1.2. Hukum Sebagai Sarana Pembangunan
Konsep hukum pembangunan yang dipakai disini adalah menurut pendapat Mochtar
Kusumaatmadja. Dalam
perkembanganannya, konsep
hukum pembangunan ini akhirnya diberi nama “Teori Hukum Pembangunan”. Ada dua
aspek yang melatarbelakangi munculnya teori hukum ini. Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan, bahkan menghambat perubahan masyarakat.
Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi perubahan alam pemikiran masyarakat kearah hukum modern. Oleh karena itu, Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada suatu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang
teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan
ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Selanjutnya, untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di
masyarakat karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya
kepastian hukum dan ketertiban. Libong, 2011:80 . Fungsi Hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak
cukup untuk
menjamin kepastian
dan ketertiban.
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu, yakni
sebagai “sarana pembaruan masyarakat”” law as tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan”. Kusumaatmadja, 2002:51 .
2.1.3. Pembangunan Sosial
Paradoks antara pembangunan sosial dan ekonomi sangat disadari sebagai masalah paling krusial saat ini. Kemiskinan dan pengangguran yang meluas
sangat mudah di temukan di Negara-negara yang menganggap keberhasilan membangun ekonomi, teknologi dan industry. Ini berarti disintegrasi antara
pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial telah terjadi, sehingga golongan masyarakat mayoritas bawah di suatu Negara menjadi tumbal dari pilihan
kebijakan pembangunan ekonomi tersebut. Pembangunan ekonomi yang memarjinalkan golongan-golongan yang tidak memiliki akses terhadap kebijakan,
pembangunan, proses politik, serta sumber-sumber ekonomi yang ada. Suharto, 2005:15 .
Deklarasi dan program aksi pada intinya memuat komitmen tegas dan kuat mengenai perlunya penanganan segera terhadap penyebab utama dan penyebab
structural terjadinya masalah sosial yang dikemas dalam tiga agenda besar: 1.
Pengentasan Kemiskinan 2.
Perluasan kerja produktif dan pengurangan pengangguran, dan 3.
Peningkatan integritas sosial. Teori-teori kemiskinan pada umumnya bermuara pada dua paradigma
besar yang juga berpengaruh pada pemahaman mengenai kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan. Dua paradigma yang dimaksud adalah Neo-Liberal
dan Demokrasi-sosial. Dua paradigma ini memiliki perbedaan yang sangat jelas
terutama dalam melihat kemiskinan maupun dalam memberikan solusi penyelesaian masalah kemiskinan. Paradigma yang dimaksud adalah sebagai
berikut : 1.
Paradigma Neo-Liberal Pada paradigma ini individu dan mekanisme pasar bebas menjadi focus
utama dalam melihat kemiskinan Syahyuti, 2006: 95. Pendekatan ini menempatkan kebebasan individu sebagai komponen penting dalam suatu
masyarakat. Oleh karena itu dalam melihat kemiskinan, pendekatan ini memberikan penjelasan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang
merupakan akibat dari pilihan-pilihan individu. Bagi pendekatan ini kekuatan pasar merupakan kunci utama untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Hal
inidikarenakan kekuatan pasar yang diperluas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menghapuskan kemiskinan. Syahyuti, 2006: 95.
Bagi pendekatan ini strategi penanggulangan kemiskinan bersifat sementara dan peran negara sangat minimum. Peran negara baru dilakukan bila
institusi-institusi di masyarakat, seperti keluarga, kelompok-kelompok swadaya, maupun lembaga-lembaga lainnya tidak mampu lagi menangani kemiskinan.
Kelemahan paradigma ini adalah terlalu memandang kemiskinan hanya melalui pendapatan dan kurang melibatkan orang miskin sebagai subyek dalam
permasalahan kemiskinan. 2.
Paradigma Demokrasi-Sosial Pendekatan ini juga menekankan pada kesetaraan sebagai prasyarat
penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan Syahyuti, 2006 : 95.
Kemandirian dan kebebasan ini akan tercapai jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber bagi potensi dirinya, seperti pendidikan,
kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan disini bukan sekedar bebas dari pengaruh luar namun bebas pula dalam menentukan pilihan-pilihan.
Disini lah peran negara diperlukan untuk bisa memberikan jaminan bagi setiap individu untuk dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan,
dimana mereka dimungkinkan untuk menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Peran negara dalam pendekatan ini cukup
penting terutama dalam merumuskan strategi untuk menanggulangi kemiskinan. Bagi pendekatan ini kemiskinan harus ditangani secara institusional
melembaga, misalnya melalui program jaminan sosial. Salah satu contohnya adalah pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, akan dapat
meningkatkan kebebasan, hal ini dikarenakan tersedianya penghasilan dasar sehingga orang akan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dan
menentukan pilihan-pilihannya, dan sebaliknya ketiadaan penghasilan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan.
Kelemahan teori ini adalah adanya ketergantungan yang tinggi pada negara dalam membentuk struktur dan institusi untuk menanggulangi kemiskinan.
Padahal pencapaian pembentukan struktur dan institusi yang tepat dalam menangani kemiskinan itu sendiri tergantung pada kapabilitas kelompok miskin.
Penggunaan kemiskinan relatif dalam pendekatan ini juga lebih menyulitkan dalam membentuk kebutuhan standar yang diperlukan oleh kelompok miskin. Hal
ini dikarenakan kemiskinan tidak dilihat dari kebutuhan minimal yang harus
dicapai tapi lebih pada rata-rata kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik dalam Regulasi Daerah