Metode Dalam Dakwah Metode Dakwah
sesuatu, dan mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama.
28
Penjabaran diatas, sesuai dengan pengertian hikmah yang diuraikan oleh Said bin Ali bin Wahif al-Qathani dalam kitab al-
Hikmah wafi al Dakwah Ilallah Ta‟ala, sebagai berikut:
29
a. Menurut Bahasa
1 Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur‟an dan Injil.
2 Memperbaiki membuat menjadi baik atau pas dan
terhindar dari kerusakan. 3
Ungkapan untuk mengetahui yang utama dengan ilmu yang utama.
4 Obyek kebenaran al-haq yang didapat melalui ilmu dan
akal. 5
Pengetahuan atau ma‟rifat, dan seterusnya. b.
Menurut Istilah syar‟i 1
Valid tepat dalam perkataan dan perbuatan. 2
Mengetahui yang benar dan mengamalkannya ilmu dan pengalaman
3 Wara‟ dalam Din Allah
4 Meletakkan sesuatu pada temppatnya
5 Menjawab dengan tegas dan tepat, dan seterusnya.
Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut frame of reference, field of reference dan field of experience,
28
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al- Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h. 163.
29
Said bin Ali bin Wahif al-Qathani, al- Hikmah wafi al Dakwah Ilallah Ta‟ala,
penerjemah Masykur Hakim Ibaidillah Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h.21-23.
yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan obyek dakwah.
30
Selain itu beberapa ilmuan Islam juga memberi makna bi al- hikmah, sebagai berikut:
1 Syekh Muhammad Al-Jawi memberi makna bi al-hikmah
dengan hujjah argumentasi.
31
2 Wahbah Al-Juhali memberikan makna bi al-hikmah sebagai
perkataan yang elas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan.
32
3 Al-Zamakhsyari membeeri makna bi al-hikmah sebagai
perkataan yang pasti benar, yakni dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keeraguan datau kesamaran.
Kemudian ia juga mengartikan dengan al- Qur‟an, yakni
“serulah mereka mengikuti kitab yang memuat al- hikmah.
33
Dari pemaknaan al-hikmah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dakwah bi al-hikmah dakwah yang dilakukan dengan penuh
kebijaksanaan, kesabaran, keadilan, ketabahan, argumentative, dan filosofis, yang sesuai dengan risalah kenabian an-nuubuwwah dan
ketentuan-ketentuan di dalam al- Qur‟an wahyu Allah, dalam rangka
mengungkapkan al-haq kebenaran, menghilangkan keraguan, dan
30
Toto Tasmono, Komunikasi Dakwah Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987, hal. 37.
31
Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsir Al-Munir, h.469.
32
Wahbab Al-Juhali, At-Tafsir Al Munir, Juz. 13-14, h. 267.
33
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al- Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h. 163.
memposisikan sesuatu pada tempatnya secara proposional berdasarkan ilmu yang paling utama dan
ma‟rifat.
Dakwah bi al-hikmah yang berarti dakwah bijak, mempunyai makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad‟u. hal
ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realitas sebagaimana tantangan dan kebutuhan, dengan selalu memperlihatkan
kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, dan situasi social kultural mad‟u.
34
Dengan demikian dakwah bi al-hikmah yang merupakan metode dakwah bi
jak, akan selalu memperhatikan kondisi mad‟u dalam hal:
a. Kadar pemikiran, tingkat pendidikan, dan intelektualitas mad‟u.
b. Keadaan psikologis mad‟u yang menjadi objek dakwah, dan
c. Suasana serta situasi social kultural mad‟u.
Hal ini sejalan dengan penyataan Sayyid Quthub, ia menyatakan bahwa untuk mewujudkan metode dakwah bi al-hikmah
harus memperhatian tiga faktor, yaitu:
34
Ibid, hal 164
a. Keadaan dan situasi orang yang didakwahi.
b. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar
mereka tidak merasakan keberatan dengan beban materi tersebut.
c. Metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi
sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.
35
Prinsip-prinsip metode dakwah bi al-hikmah ini ditujukan terhadap
mad‟u yang kapasitasnya intelektual pemikirannya terkategorikan khawas, cendikiawan, atau ilmuan.
36
Mohammad Natsir dalam bukunya yang berjudul Fiqhud Da‟wah, membagi kata hikmah dalam beberapa segmen berikut ini:
37
a. Mengenal golongan.
b. Kemampuan memilih saat, bila harus bicara, bila harus diam.
c. Mengadakan kontak pemikiran dan mecari titik pertemuan,
sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sistematis. d.
Tidak melepaskan shibghah corak kepribadian dari ajaran yang dibawakan.
e. Memilih dan menyusun kata yang tepat.
f. Hikmah dalam cara perpisahan.
g. Uswah hasanah dan lisanul hal.
h. Khulasah.
35
Sayyid Quthub, fi dzilal qal- qur‟an jilid VII, Bairut, Ihya‟ At-turas Al-Arabi, t.t,
36
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al- Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002, H. 164.
37
Muhammad Natsir, Fiqhud D a‟wah Jakarta: MEDIA DA‟WAHH, 2000, h.161-225.
Dengan demikian, maka seorang da‟i yang menggunakan metode dakwah bi al-hikmah dalam menyampaikan dakwahnya akan
melakukan dan melaksanakan hal-hal yang tersebut diatas. 2.
Mau‟idzoh Hasanah
Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa Mau‟idzoh Hasanah
adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argument-
argumen yang memuaskan sehingga pihak audiwnce dapat membenarkan apa yang isampaikan oleh subyek dakwah.
38
Dakwah dengan metode ini ditujukan pada manusia jeni kedua, yaitu keumuman manusia. Manusia yang memiliki kemampuan di
bawah manusia jenis pertama. Mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi ragu untuk memilih mengikuti kebenaran yang
disampaikan kepada mereka atau justru mengikuti kebatilan yang tumbuh disekelilingnya Muhammad Husai Yusuf mengatakan:
“Mereka membutuhkan pelajaran yang baik al-maw‟idzah al- hasanah, ucapan yang mengena qaul baligh, serta penjelasan yang
berguna, berupa sugesti targhib untuk kebenaran, penjelasan tetang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman tarhib mengikuti
kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada
mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang, serta dapat mengihilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan
orang-orang mukmin di bawah panji Nabi dan Rasul yang paling
mulia.”
39
38
Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997 h. 121.
39
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al- Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, h. 166-167.
Dengan demikian menurut Asep Muhiddin, dakwah dengan pendekatan
mau‟idzah hasanah ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:
40
a. Tutur kata yang lembut sehingga akan terkesan hati.
b. Menghndari sikap sinis dan kasar.
c. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau sikap menghakimi
orang yang diajak bicara mukhathab. Mereka tidak merasa tersinggung atau merasa dirinya dipaksa
menerima suatu gagasan atau ide tertentu. Upaya untuk menghindari rasa tersinggung atau paksaan ini tercermin dalam ayat al-
Qur‟an surat Al-Imran ayat 159:
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lmah lembut
terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati bersikap kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”
40
Ibid, h. 167
3. Mujadalah
Mujadalah disebut juga sebagai metode tanya-jawab atau juga metode dialog. Metode dakwah yang ketiga ini disebutkan dalam al-
Qu r‟an surat an-Nahl ayat 125, yakni wa jadilhum bi al-lati hiya
ahsan. Metode ini merupakan upaya dakwah melalui jalan bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan santun, saling
menghargai, dan tidak arogan.
41
Dalam hal ini, Syekh Yusuf al-Qardhawi menuturkan bahwa dalam diskusi ada dua metode, yaitu metode yang baik hasan dan
metode yang lebih baik ahsan. Al- Qur‟an menggariskan bahwa salah
satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode diskusi yang lebih baik. Diskusi dengan metode ahsan ini adalah dengan
menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi, kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaan dari kedua
belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.
42
Lazimnya lazimnya cara ini digunakan untuk orang-orang yang taraf berpikirnya cukup maju, dan kritis seperti ahl al kitab yang
memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya. Karena itu al-
Qur‟an juga telah memberikan perhatian khusus kepada ahl al Kitab yaitu melarang berdebat bermujadalah
dengan mereka
41
Ibid, hal 128
42
Syekh Yusuf al-Qardhawi, Ial Shahwah al Islamiya baina al-Juud wa al-Tatarruf Risalah al Mahakim al-
yar‟iyyah wa al Su‟ur al-Diniyah Qatar, 1402 H, h. 203
kecuali dengan cara terbaik.
43
Sebagaimana tertuang dalam al- Qur‟an surat al-Ankabut ayat 46:
“ D
a n
j a
n ganlah kamu sekalian berdebat dengan ahli kitab Yahudi dan
Nasrani melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali dengan orang-
orang dzalim dari mereka.”
Ayat tersebut menerangkan cara melakukan perdebatan kepada ahli kitab, yakni harus dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin,
sopan santtun, dan lemah lembut, kecuali jika mereka telah memperlihatkan keangkuhaan dan kezaliman yang keluar dari batas-
batas kewajaran. Maka penulis menyimpulkan bahwa metode dakwah
mujadalah ini hanya perlu digunakan pada orang-orang tertentu seperti ahli kitab dan orang-orang kafir yang sombong. Namun, ketika
seor ang da‟I menggunakan metode ini, ia harus tetap mampu menjaga
sikap dan kata-katanya dengan penuh kelemah lembutan dan sopan santun sehingga mereka mampu menerima kebenaran yang
disampaikan dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa paksaan
43
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000 cet. Ke. 1. H.49.
apalagi permusuhan. Namun, bagi orang-orang yang benar-benar dzalim metode ini tidak perlu digunakan.