BAB IV PENERAPAN GUGATAN CLASS ACTIONS PADA PERUSAHAAN
YANG TIDAK MELAKUKAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Gugatan Perwakilan Kelompok Terhadap Suatu Perseroan Terbatas
Latar belakang gugatan Perwakilan Kelompok class actions merupakan suatu bentuk gugatan yang melibatkan sejumlah banyak orang yang mengalami
penderitaan dan kerugian, sehingga tidak efisien dan praktis apabila gugatan diajukan secara individual atau terpisah-pisah, tetapi diajukan secara kolektif
dalam suatu gugatan berdasarkan hukum acara perdata. Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih
ekonomis dan biaya lebih efisien judicial economy. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu per satu. Manfaat
ekonomis gugatan class actions ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class actions,
tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan class actions
ini akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu secara satu per satu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima.
Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan
yang berbeda antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktek gugatan class actions, komponen perwakilan kelompok class representatives harus terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim
Pengadilan, agar benar-benar dapat menjamin kepentingan dari seluruh anggota kelompok secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan
apakah gugatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme Preliminary Certification Test kepada anggota kelompok agar
melakukan opt in dan opt out. Opt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelompok dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota
kelompok sedangkan opt out adalah kesempatan anggota kelompok untuk menyatakan dirinya keluar dari class actions dan tidak mengkehendaki jadi bagian
dari gugatan. Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan
apabila tuntutan gugatan adalah berupa uang ganti rugi monetary damages karena menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi,
sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau injuction
maka mekanisme ini tidak perlu dilakukan. Setelah pemeriksaan kelayakan kelompok dan pemberitahuan kepada
masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap opt in dan opt out barulah pemeriksaan pokok sengketa dilaksanakan.
Di Indonesia prosedur gugatan perwakilan kelompok menurut Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan
Perwakilan Kelompok harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata, yang memuat antara lain :
Universitas Sumatera Utara
h. Identitas secara lengkap dan jelas tentang wakil kelompok.
i. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan
nama anggota kelompok satu per satu. j.
Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
k. Posita dari seluruh kelompok, wakil kelompok, maupun anggota kelompok
baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi, dikemukakan secara jelas dan terperinci.
l. Apabila besarnya tuntutan tidak sama dikarenakan sifat dan tingkat
kerugiannya berbeda antara satu anggota dengan anggota lainnya, maka dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokan menjadi berbagai
bagian kelompok atau sub-kelompok. m.
Tuntutan atau petitum tentang ganti kerugian harus dikemukakan secara jelas dan terperinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok, termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompoknya, wakil
kelompok tidak disyaratkan memperoleh surat kuasa dari anggota kelompok lainnya
31
Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan gugatan Perwakilan Kelompok, antara lain :
.
31
Priyatmanto Abdoellah, SH., Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi PERATUN, Makalah dalam Rangka Bintek Pemprop Bali,
Denpasar.
Universitas Sumatera Utara
6. Memenuhi unsur kesamaan fakta, dasar hukum, dan tuntutan.
7. Memiliki bukti yang paling kuat dan meyakinkan.
8. Terpercaya trustworthy dan dihormati.
9. Tidak mendahulukan kepentingan pribadi di depan kepentingan anggota
kelompok. 10.
Mengakar dan mewakili pada masyarakat legitimasi sosial
32
Sahnya gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan melalui penetapan pengadilan sedangkan apabila dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan ditentukan
melalui suatu putusan Hakim vide Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan
Perwakilan Kelompok. Bagi gugutan Perwakilan Kelompok yang dinyatakan sah, Hakim
selanjutnya memerintahkan kepada penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim dengan cara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan
Kelompok, yaitu : .
4. Pemberitahuan melalui media massa baik cetak maupun media massa
elektronik. 5.
Pemberitahuan melalui pengumuman baik papan pengumuman maupun selebaran yang ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, seperti
kelurahan, kecamatan, atau desa dan kantor pengadilan.
32
Mas Achmad Santosa, Pertanggung jawaban Perdata Civil Liability, Makalah Tambahan dalam Ceramah Lingkungan Hidup, Pekanbaru.
Universitas Sumatera Utara
6. Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu
anggota kelompok sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim dan sedapat mungkin praktis, efisien, efektif dan
accessible. Dalam prosedur pemberitahuan notofikasi tersebut, anggota kelompok
dalam waktu yang telah ditentukan oleh Hakim, diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari anggota kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana
diatur dalam Lampiran Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, dan
bagi anggota kelompok yang secara hukum tidak terikat dengan putusan pengadilan.
Pada awal pemeriksaan persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara, Hakim berkewajiban mendorong para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur perdamaian. Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan
jumlah ganti rugi secara rinci dan jelas, penentuan kelompok danatau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah-
langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau
notifikasi. Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus yang dimungkinkan untuk
menjadi objek gugatan Perwakilan Kelompok class actions, dibawah ini
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan beberapa contoh kasus gugatan Perwakilan Kelompok yang pernah terjadi di beberapa negara, yaitu
33
6. Di Amerika Serikat : kasus Agent Orange 1987, yaitu gugatan yang
diajukan oleh ribuan veteran perang Vietnam terhadap pemilik perusahaanpabrik pembuat bahan kimia beracun yang disebut “Agent
Orange ” sejenis dioxin yang telah menimbulkan penderitaancacat fisik
dan kerugian kepada para penggugat, dimana Hakim mengabulkan ganti rugikompensasi sebesar US 250,000,000.- kepada para prnggugat.
:
7. Di Australia : Kasus Nixon Vs Philip Morris produsen rokok tahun 2000,
yaitu gugatan Nixon yang mewakili sejumlah konsumen rokok produksi Philip Morris yang menderita sejumlah gangguan kesehatan setelah
menghisap rokok produksi mereka. 8.
Di India : Kasus Bhopal 1985, yaitu gugatan yang diajukan oleh sejumlah korban kebocoran gas beracun dari perusahaanpabrik kimia
“Union Carbide”. 9.
Di Philipina : Kasus Minor Oposa 1993, yaitu gugatan yang diajukan oleh 41 anak-anak dibawah umur yang diwakili oleh orang tua mereka
terhadap Menteri Lingkungan Hidup Philipina tentang Pembatalan Rencana Penebangan Hutan logging, dengan alasan penebangan hutan
telah menimbulkan penderitaan dan kerugian Para Penggugat serta generasi yang akan datang.
33
Priyatmanto Abdoellah, SH., Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi PERATUN, Makalah dalam Rangka Bintek Pemprop Bali,
Denpasar, Hal 5
Universitas Sumatera Utara
10. Di Indonesia : Kasus Rokok Bentoel Remaja 1988, yaitu gugatan yang
diajukan oleh seorang pengacara R.O. Tambunan, SH. mewakili kepentingan masyarakat yang keberatan atas penggunaan nama rokok
“Bentoel Remaja” karena dapat memancing minat konsumen rokok di kalangan remaja.
Kasus Demam Berdarah 1988, yaitu gugatan yang diajukan oleh Muktar Pakpahan, SH. mewakili masyarakat korban wabah demam berdarah di
Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta.
Pada dasarnya ada 2dua pendapat mengenai gugatan Perwakilan Kelompok di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu :
a. Tidak dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan alasan :
- Bahwa tujuan utama gugatan perwakilan kelompok adalah untuk
memperoleh ganti rugi berupa uang sedangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki tujuan utama untuk pembatalan
menyatakan tidak sah suatu keputusan Tata Usaha Negara, sehingga lebih tepat diajukan kepada Peradilan Umum.
- Bahwa putusan Peradilan Tata Usaha Negara melekat azas “erga
omnes ”, yaitu azas yang menyatakan putusan berlaku mengikat publik,
sedangkan putusan perdata di Pengadilan Negeri hanya berlaku untuk para pihak saja, sehingga sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara
diperlukan gugatan massal karena pihak-pihak yang tidak untuk
Universitas Sumatera Utara
menggugat secara otomatis terikat dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan alasan :
- Bahwa tuntutan ganti rugi tidak harus menjadi tuntutan utama gugatan
Perwakilan Kelompok, dapat juga dengan tuntutan berupa pembatalan danatau penerbitan keputusan Tata Usaha Negara yang disertai
tuntutan ganti rugi dan “injuction” yaitu tuntutan agar tergugat melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berupa tuntutan agar
tergugat menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dan tuntutan agar tergugat menerbitkan danatau tidak
menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru. -
Bahwa berlakunya azas “erga omnes” tetap dapat digunakan dalam gugatan perwakilan kelompok, karena dengan gugatan massal akan
memberikan akses kepada keadilan acces to justice dan memberikan pengaruhtekanan yang lebih berat kepada tergugat.
Pendapat yang kedua tersebut senada dengan hasil Tim Perumus Diskusi Temu Ilmiah HUT Peradilan Tata Usaha Negara ke XIII, tanggal 11 sampai
dengan tanggal 15 Januari 2004 di Medan, yang menyimpulkan bahwa pada prinsipnya gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkan di Peradilan Tata
Usaha Negara dengan berpedoman kepada Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok dan
disesuaikan dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Syarat pengajuan gugatan tidak didasarkan kepada adanya kerugian,
melainkan didasarkan kepada adanya kepentingan sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004. b.
Prosedur penentuan dapat tidaknya suatu gugatan diajukan dengan perwakilan kelompok, ditentukan dalam pemeriksaan persiapan sesuai
dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Apabila gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan sah, dibuat dalam suatu penetapan.
Sedangkan apabila gugatan dinyatakan tidak sah, maka dituangkan dalam suatu putusan.
c. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi juga dilakukan dalam tahap
pemeriksaan persiapan dengan berpedoman kepada ketentuan Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan
Gugatan Perwakilan Kelompok. Contoh kasus gugatan perwakilan kelompok pada Peradilan Tata Usaha
Negara adalah kasus gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekan Baru, yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Reformasi Perjuangan Rakyat
Semesta LSM-RPRS Kabupaten Karimun yang bertindak untuk dirinya sendiri dan masyarakat Kabupaten Karimun yang memohon pembatalan keputusan
Bupati Karimun tentang pemberian izin tempat usaha karaoke dan diskotik atas nama Edi Nomor 17SIEKom1998 tertanggal 12 Agustus 1998 karena
diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan melanggar AAUPB karena didirikan di tempat pemukiman penduduk padat, dekat
Universitas Sumatera Utara
dengan tempat pendidikan dan tempat peribadatan, dalam perkara Nomor 26G.TUN2000PTUN.PBR.
Dalam gugatan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan perwakilan kelompok tersebut dengan alasan :
- Memenuhi persyaratan numerosity, yakni jumlah penggugat demikian
banyaknya meliputi penduduk Karimun. -
Memenuhi persyaratan community, yakni adanya kesamaan fakta, peristiwa dengan dasar hukum antara pihak LSM-RPRS Kabupaten
Karimun dengan penduduk Karimun. -
Memenuhi persyaratan typically, yakni kesamaan tuntutan agar Bupati membatalkan SITU Karaoke dan Diskotik atas nama Edi.
- Memenuhi persyaratan adequancy of representation, yakni kelompok
perwakilan untuk melindungi kepentingan yang diwakili. Dalam mengabulkan gugatan kelayakan perwakilan kelompok tersebut,
Majelis Hakim didasarkan kepada : -
Berdirinya LSM-RPRS Kabupaten Karimun sudah lama lebih dari 1 tahun.
- Ada pengurus dan Anggaran DasarAnggaran Rumah Tangga.
- Sudah sering melakukan kegiatannya di Kabupaten Karimun kegiatan
representatif. -
Mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat Karimun hanya saja pada waktu itu oleh karena belum ada hukum
acaranya yang baku, Majelis Hakim menggunakan prosedur opt out,
Universitas Sumatera Utara
padahal tidak diperlukan karena penggugat tidak menuntut ganti rugi dan penetapan sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok dilakukan
setelah adanya pembuktian dari para pihak. Namun meskipun demikian, sampai saat ini mengenai gugatan perwakilan kelompok ke
Pengadilan Tata Usaha Negara belum diatur sedangkan gejala dalam masyarakat tentang gugatan tersebut telah ada, maka pada saat ini
diperlukan suatu peraturan tertulis yang mengatur tentang tata cara pengajuan gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Tata Usaha
Negara. Dalam berbagai kegiatan diskusi di kalangan Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara di seluruh Indonesia disepakati pada prinsipnya menerima gugatan legal standing dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan antara lain :
a. Penjelasan Pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyiratkan antara lain : “……. keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius
standing untuk mengajukan kasus lingkungan hidup ke pengadilan baik ke
Pengadilan Umum maupun ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan
mengadili perkara yang dimaksud …….”. b.
Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang intinya pihak yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah
seorang atau badan hukum perdata, dalam konteks ini maka suatu organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat asalkan berbentuk badan
Universitas Sumatera Utara
hukum perdata dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan objek sengketa yang dapat diajukan dalam gugatan hak organisasi adalah berupa keputusan Tata Usaha Negara seperti keputusan tentang
perizinan, sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 18-21 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Mengingat berlakunya azas “erga omnes” di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana putusannya berlaku untuk umum maka yang paling efektif
diterapkan adalah hak gugat organisasi legal standing karena di Pengadilan Tata Usaha Negara tuntutan utamanya bukan ganti rugi dan tidak diperlukan adanya
prosedur pemberitahuan atau notifikasi.
B. Hak Gugat Organisasi Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup Pada Suatu Perusahaan