Saran Pengertian dan Ruang Lingkup Gugatan Class Actions

gugatan class actions, komponen perwakilan kelompok class representatives harus terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim Pengadilan, agar benar-benar dapat menjamin kepentingan dari seluruh anggota kelompok secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan apakah gugatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme Preliminary Certification Test kepada anggota kelompok agar melakukan opt in dan opt out. Opt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelompok dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelompok sedangkan opt out adalah kesempatan anggota kelompok untuk menyatakan dirinya keluar dari class actions dan tidak mengkehendaki jadi bagian dari gugatan. Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan apabila tuntutan gugatan adalah berupa uang ganti rugi monetary damages karena menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau injuction maka mekanisme ini tidak perlu dilakukan.

B. Saran

1. Hendaknya dibuat lagi peraturan yang mengatur dengan jelas dan tegas mengenai prosedur gugatan perwakilan kelompok class actions dan juga hak gugat organisasi legal standing bukan hanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, tetapi melainkan dibuat dalam suatu bentuk Undang-Undang tersendiri. Universitas Sumatera Utara 2. Pengadilan harus bertindak lebih adil dan bijaksana dalam memutuskan apakah suatu perkara dapat masuk dalam gugatan class actions atau tidak dan hendaknya pengadilan juga berpihak kepada masyarakat yang dirugikan haknya daripada pengusaha. 3. Perwakilan kelompok harusnya lebih teliti dan lebih bersikap membela kepentingan anggota kelompoknya diatas kepentingan pribadinya sendiri. 4. Hakim hendaknya lebih objektif dalam memeriksa dan memutuskan perkara- perkara gugatan class actions ataupun legal standing dengan memperhatikan kepentingan semua pihak. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN CLASS ACTION

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Gugatan Class Actions

Pada dewasa ini di Indonesia dengan perkembangan perekonomian dunia, tempaknya semakin banyak gugatan yang menggunakan prosedur class actions yang diajukan di beberapa pengadilan negeri dengan berbagai variasi alasan yang menjadi landasan gugatan. Oleh karena itu, kebutuhan informasi serta perkembangan pengetahuan tentang gugatan class actions yang bersifat praktis, kini sangat dirasakan kebutuhannya. Walaupun gugatan class actions telah dikenal pertama kali pada abad ke 18 di Inggris, kemudian meluas penerapannya di abad ke 19 di negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan lain-lain, yang pada umumnya adalah negara-negara dengan sistem hukum common law, tetapi bagi Indonesia sendiri pemahaman konsep ini masih terbilang baru. Dalam menggunakan dan menyikapi prosedur gugatan ini, baik praktisi hukum maupun hakim di pengadilan tidak semuanya memahami aspek teknis penerapan prosedurnya. Pemahaman yang belum memadai ini dikarenakan prosedur class actions belum ada pedoman prosedur acara atau pedoman teknis penerapannya, dan umumnya sangat terkait dengan aspek prosedural yang sangat kompleks. Tidak adanya undang-undang maupun peraturan lain yang mengatur tentang prosedur gugatan class actions, selain daripada Peraturan Mahkamah Universitas Sumatera Utara Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok. Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta-fakta atau dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidak efisiennan bagi para pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan kepada pihak pengadilan sendiri. Tujuan gugatan class actions, agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien judicial economy. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu per satu. Manfaat ekonomis gugatan class actions ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class actions, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan class actions ini akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu secara satu per satu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan yang berbeda antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya. Dalam Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, gugatan Perwakilan Kelompok Universitas Sumatera Utara Class Actions didefinisikan sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya sangat banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Gugatan perwakilan kelompok yang disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak Gugat Organisasi yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pada dasarnya merupakan padanan kata dari istilah class actions dan legal standing yang sudah sering digunakan dalam praktek peradilan dan negara-negara barat, khususnya negara Anglo Amerika yang pada umumnya menganut sistem hukum common law . Sistem hukum common law adalah sistem yang menitik beratkan penciptaan kaidah hukum melalui putusan pengadilan. Dalam perkembangannya konsep class actions dan legal standing tersebut, ternyata juga diterima dan dipraktekkan di negara continental yang menganut sistem hukum statute law. Sistem hukum statute law adalah sistem yang menitik beratkan penciptaan kaidah hukum melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen. Indonesia sendiri adalah termasuk salah satu negara penganut sistem hukum statute law tersebut, sehingga gugatan perwakilan Universitas Sumatera Utara kelompok dan hak gugat organisasi merupakan fenomena hukum yang relatif masih baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Meskipun gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak Gugat Organisasi masih tergolong baru di Indonesia, namun pada prakteknya peradilan kasus-kasus mengenai hal tersebut sudah aja sejak tahun 1988 yaitu melalui gugatan yang diajukan oleh R.O. Tambunan, S.H., yang mewakili kepentingan masyarakat termasuk dirinya sendiri yang berkeberatan atas penggunaan nama “Bentoel Remaja” oleh pabrik rokok Bentoel karena memancing minat konsumen rokok di kalangan remaja. Gugatan yang diajukan Mukthar Pakpahan, S.H., kepada Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta yang mewakili masyarakat korban penyakit demam berdarah di DKI Jakarta untuk gugatan Perwakilian Kelompok. Sedangkan Hak Gugat Organisasi untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1988 melalui gugatan yang diajukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup WAHLI di Pengadilan Negeri Jakarta. Akan tetapi dari banyak kasus-kasus yang muncul tersebut, kebanyakan tidak diterima atau ditolak pengadilan karena masih belum memenuhi persyaratan formal maupun material, hal tersebut dikarenakan memang hukum materilnya baru diatur pada tahun 1997 seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahkan hukum acaranya sendiri baru diatur pada tahun 2002 seiring dnegan terbitnya dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok. Universitas Sumatera Utara Hukum acara gugatan Perwakilan Kelompok yang diatur dalam dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok yang disebutkan pada Pasal 3 dan Pasal 10, ternyata hanya mengatur hukum acara gugatan Perwakilan Kelompok untuk di Pengadilan Negeri, sedangkan untuk di Pengadilan Tata Usaha Negara belum ada pengaturannya, oleh karena itu tulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam tentang gugatan Perwakilan Kelompok dan Hak Gugat Organisasi dan kemungkinannya masuk dalam kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Konsep gugatan Perwakilan Kelompok berawal dari Inggris pada abad ke-17, namun prosedur gugatannya pertama kali baru dirumuskan dalam Undang- Undang di Amerika Serikat yaitu US Federal Rule of Civil Procedure 1938 dan diundangkan pada tahun 1966 10 Kemudian prosedur tersebut diikuti oleh negara-negara Anglo Saxon dan selanjutnya berkembang luas di berbagai negara di dunia, di daratan Eropa Kontinental yang menganut sistem hukum statute law, termasuk juga di Indonesia yang seiiring dengan desakan arus globalisasi dan demokrasi di berbagai penjuru dunia, terutama sekali yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia, sehingga pada saat ini tidak ada lagi negara yang menganut secara murni sistem hukum common law atau statute law melainkan keduanya sudah saling bersinergi sesuai dengan tuntutan kebutuhan penegakan hukum dan rasa keadilan yang bersifat universal. . 10 Mas Achmad Santosa, SH., LLM., Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, LPHLI, Jakarta, 1997, hal 76. Universitas Sumatera Utara Di Indonesia gugatan Perwakilan Kelompok secara materil baru diatur sejak tahun 1997 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diikuti dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, sedangkan pengaturan mengenai prosedur gugatannya baru diatur pada tahun 2002 melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok disebutkan bahwa : “gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu Tata Cara Pengajuan Gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud”. Dari ketentuan tersebut diatas, persyaratan untuk gugatan Perwakilan Kelompok sama dengan persyaratan class actions yang dimuat dalam US Federal of Civil Procedure , yaitu : a. Numerosity, artinya jumlah penggugat sedemikian banyaknya bisa puluhan, ratusan,atau bahkan ribuan orang, sehingga tidak praktis dan tidak efisien apabila gugatan diajukan secara sendiri-sendiri, dan oleh karenanya dipandang cukup apabila gugatan diajukan oleh salah satu Universitas Sumatera Utara orang atau beberapa orang selaku wakil kelompok class representatives yang mewakili anggota kelompok class members. b. Commonality, artinya harus ada kesamaan fakta maupun peristiwa dan dasar hukum question of law antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili dalam pengajuan gugatan. c. Typicality, artinya harus terdapat kesamaan tuntutan hukum maupun pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili class members. d. Adequacy of Representation, artinya harus ada kelayakan perwakilan yaitu mewajibkan perwakilan kelas class of representatives untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan 11 Dalam praktek gugatan class actions, komponen perwakilan kelompok class representatives harus terlebih dahulu dibuktikan kepada Hakim Pengadilan, agar benar-benar dapat menjamin kepentingan dari seluruh anggota kelompok secara jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya untuk menetapkan apakah gugatan merupakan gugatan class action atau gugatan biasa diterapkan mekanisme Preliminary Certification Test kepada anggota kelompok agar melakukan opt in dan opt out. Opt in adalah prosedur yang dilakukan anggota kelompok dengan memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar anggota kelompok sedangkan opt out adalah kesempatan anggota kelompok untuk menyatakan dirinya keluar dari class actions dan tidak mengkehendaki jadi bagian dari gugatan. . 11 Mas Achmad Santosa, SH., LLM., Op.cit, hal 77 Universitas Sumatera Utara Mekanisme Preliminary Certification Test tersebut harus dilakukan apabila tuntutan gugatan adalah berupa uang ganti rugi monetary damages karena menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan uang ganti rugi, sedangkan gugatan yang tuntutannya hanya berupa permintaan deklaratif atau injuction maka mekanisme ini tidak perlu dilakukan. Setelah pemeriksaan kelayakan kelompok dan pemberitahuan kepada masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap opt in dan opt out barulah pemeriksaan pokok sengketa dilaksanakan. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, Hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan gugatan Perwakilan Kelompok, antara lain : 1. Memenuhi unsur kesamaan fakta, dasar hukum, dan tuntutan. 2. Memiliki bukti yang paling kuat dan meyakinkan. 3. Terpercaya trustworthy dan dihormati. 4. Tidak mendahulukan kepentingan pribadi di depan kepentingan anggota kelompok. 5. Mengakar dan mewakili pada masyarakat legitimasi sosial 12 Sahnya gugatan Perwakilan Kelompok dinyatakan melalui penetapan pengadilan sedangkan apabila dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan ditentukan melalui suatu putusan Hakim vide Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok. . 12 Mas Achmad Santosa, Pertanggung jawaban Perdata Civil Liability, Makalah Tambahan dalam Ceramah Lingkungan Hidup, Pekanbaru. Universitas Sumatera Utara Bagi gugutan Perwakilan Kelompok yang dinyatakan sah, Hakim selanjutnya memerintahkan kepada penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan Hakim dengan cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, yaitu : 1. Pemberitahuan melalui media massa baik cetak maupun media massa elektronik. 2. Pemberitahuan melalui pengumuman baik papan pengumuman maupun selebaran yang ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, seperti kelurahan, kecamatan, atau desa dan kantor pengadilan. 3. Pemberitahuan yang disampaikan secara langsung kepada tiap individu anggota kelompok sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan Hakim dan sedapat mungkin praktis, efisien, efektif dan accessible. Dalam prosedur pemberitahuan notofikasi tersebut, anggota kelompok dalam waktu yang telah ditentukan oleh Hakim, diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari anggota kelompok dengan mengisi formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok, dan bagi anggota kelompok yang secara hukum tidak terikat dengan putusan pengadilan. Universitas Sumatera Utara Pada awal pemeriksaan persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara, Hakim berkewajiban mendorong para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur perdamaian. Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, Hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci dan jelas, penentuan kelompok danatau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi, dan langkah- langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. Sebagai gambaran mengenai jenis-jenis kasus yang dimungkinkan untuk menjadi objek gugatan Perwakilan Kelompok class actions, dibawah ini dikemukakan beberapa contoh kasus gugatan Perwakilan Kelompok yang pernah terjadi di beberapa negara, yaitu 13 1. Di Amerika Serikat : kasus Agent Orange 1987, yaitu gugatan yang diajukan oleh ribuan veteran perang Vietnam terhadap pemilik perusahaanpabrik pembuat bahan kimia beracun yang disebut “Agent Orange ” sejenis dioxin yang telah menimbulkan penderitaancacat fisik dan kerugian kepada para penggugat, dimana Hakim mengabulkan ganti rugikompensasi sebesar US 250,000,000.- kepada para prnggugat. : 2. Di Australia : Kasus Nixon Vs Philip Morris produsen rokok tahun 2000, yaitu gugatan Nixon yang mewakili sejumlah konsumen rokok produksi 13 Priyatmanto Abdoellah, SH., Class Action, Legal Standing dan Judicial Review dalam Kaitannya dengan Kompetensi PERATUN, Makalah dalam Rangka Bintek Pemprop Bali, Denpasar, Hal 5 Universitas Sumatera Utara Philip Morris yang menderita sejumlah gangguan kesehatan setelah menghisap rokok produksi mereka. 3. Di India : Kasus Bhopal 1985, yaitu gugatan yang diajukan oleh sejumlah korban kebocoran gas beracun dari perusahaanpabrik kimia “Union Carbide”. 4. Di Philipina : Kasus Minor Oposa 1993, yaitu gugatan yang diajukan oleh 41 anak-anak dibawah umur yang diwakili oleh orang tua mereka terhadap Menteri Lingkungan Hidup Philipina tentang Pembatalan Rencana Penebangan Hutan logging, dengan alasan penebangan hutan telah menimbulkan penderitaan dan kerugian Para Penggugat serta generasi yang akan datang. 5. Di Indonesia : Kasus Rokok Bentoel Remaja 1988, yaitu gugatan yang diajukan oleh seorang pengacara R.O. Tambunan, SH. mewakili kepentingan masyarakat yang keberatan atas penggunaan nama rokok “Bentoel Remaja” karena dapat memancing minat konsumen rokok di kalangan remaja. Kasus Demam Berdarah 1988, yaitu gugatan yang diajukan oleh Muktar Pakpahan, SH. mewakili masyarakat korban wabah demam berdarah di Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kesehatan DKI Jakarta. Universitas Sumatera Utara

B. Manfaat Gugatan Class Actions