Analisa Perbandingan Rancangan Anggaran Biaya Perkerasan Daur Ulang Dengan Perkerasan Konvensional (Studi Kasus : Jln Pal XI – Aek Godang)

(1)

ANALISA PERBANDINGAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA

PERKERASAN DAUR ULANG DENGAN PERKERASAN

KONVENSIONAL

(Studi Kasus : Jln Pal XI – Aek Godang)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh : WAHYUDIN HASIBUAN

030404039

SUB JURUSAN TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Masalah kerusakan jalan merupakan masalah yang seakan tidak ada habisnya, yang selalu dihadapi oleh setiap negara. Di Indonesia, kerusakan dengan berbagai jenis dan tingkatannya sangat sering dijumpai di berbagai daerah.Sementara di lain pihak, dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk perbaikan jalan adalah sangat terbatas. Adanya keterbatasan dana, ditambah lagi dengan banyaknya ruas jalan yang harus diperbaiki membuat perlunya dicari alternatif perbaikan yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan dana yang sangat terbatas tersebut untuk memperbaiki kondisi kerusakan jalan. Salah satu metode alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi daur ulang untuk menghasilkan lapis pondasi perkerasan daur ulang yang distabilisasi dengan semen (CTRB). Dengan teknik ini, material perkerasan jalan yang telah rusak diolah kembali untuk digunakan sebagai material lapis pondasi daur ulang (CTRB) pada pekerjaan perbaikan jalan.

Analisa terhadap Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dari 2 jenis tipikal penanganan rehabilitasi jalan yang digunakan oleh Dinas Bina Marga dilakukan untuk membandingkan teknik yang paling ekonomis diantara teknik rehabilitasi konvensional dengan teknik rehabilitasi yang menggunakan teknik daur ulang. Analisa dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Panduan Analisa Harga Satuan Pekerjaan Pendukung Spesifikasi Umum Edisi Desember 2006. Analisa dilakukan pada contoh kasus penanganan yang dilakukan pada pekerjaan peningkatan jalan proinsi ruas jalan jurusan Pal XI – Aek Godang Kabupaten Tapanuli Selatan sepanjang 3,75 km yang disimulasikan kembali pada 3 kondisi tipikal penanganan yang umumnya digunakan oleh Dinas Bina Marga, yaitu perawatan berkala (IRI = 4 s/d 8), pekerjaan peningkatan (IRI = 8 s/d 12) dan pekerjaan rehabilitasi/rekonstruksi (IRI>12).

Dari hasil analisa Rancangan anggaran Biaya (RAB), diperoleh hasil bahwa pada tipikal penanganan untuk pekerjaan perawatan berkala, teknik daur ulang tidak memberikan efisiensi biaya seperti yang diharapkan karena pada tipikal penanganan tersebut, perkerasan daur cenderung menjadi over desain akibat adanya batas tebal minimum lapis CTRB. Sementara pada tipikal penanganan untuk pekerjaan peningkatan dan pekerjaan rehabilitasi/rekonstruksi, penggunaan teknik daur ulang sebagai alternatif perbaikan jalan mampu memberikan efisiensi biaya berturut-turut 25% dan 15% apabila dibandingkan dengan metode konvensional.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini.

Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam ujian sarjana

Teknik Sipil bidang studi Transportasi pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera

Utara.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan dorongan dari

berbagai pihak, tugas akhir ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh

karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama penyusunan

Tugas Akhir ini, khususnya kepada :

1. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis M.Eng.Sc selaku Dosen Pembimbing yang

telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membantu,

membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya skripsi ini.

2. Bapak Medis Sejahtera Surbakti, ST, MT, selaku Co-Pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan

dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Bapak Prof.Dr. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Teruna Jaya MSc, selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak/Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera

Utara, yang telah membekali penulis berberbagai ilmu pengetahuan hingga


(4)

6. Kepada Ayahanda Syarifuddin Hsb dan Ibunda tercinta Rahmawati yang telah

membimbing penulis untuk menjadi manusia yang mampu menghadapi hidup

dengan penuh ketegaran. Karunia terindah bagi Ananda adalah dilahirkan

sebagai anakmu Bunda.

7. Abangku Erwinsyah dan Irwansyah serta adikku Ardiansyah atas dorongan

semangatnya.

8. Kepala Dinas Bina Marga, Ir. Umar Zunaidi Hsb, MM dan Om Edie atas

segala bantuan dan arahannya dalam menyediakan bahan masukan bagi

penulis.

9. Bapak Ir. Iswahyudi M.Si dan Bapak Ir. Anthony Brena MM beserta para staf

Dinas Jalan dan Jembatan Provinsi Sumatera Utara yang telah berkenan

meluangkan waktunya menyediakan bahan masukan dalam penulisan tugas

akhir ini.

10.Asisten beserta staf Laboratorium Beton USU, B’Rey, Bg’Indra, B’Arlin,

B’Saripudin, Abd.Gafur, Andi Rizky, Tami, Fahim, Yusuf, Ari, Harly dan

Mas Bandi atas segenap bantuannya.

11.Kepada seluruh kru tim “THE JHONDOLZZ” : Nova, Fahrul, Reno, Hamdi,

Dian, Sayed, Yardiman, Oriza, Abu, Rendi, Hari, Topik, Hamzah, Yuna, dan

seluruh Stambuk 2003 lainnya.

12.Kepada sahabat terbaikku Nilam Sari (Uun), terima kasih atas bantuannya

selama proses editing.

13.Kepada kakak dan adik-adikku di Sumarsono 19, K’icut, Vidya, Diska dan

Wynda.


(5)

15.Kepada seluruh Stambuk 2006, Atha, Budi, Citra, Diana, Didik, Adeq, Farqi,

Ghafar, Haikal, Khoir, Nur Hafni, dan yang lainnya yang belum disebutkan.

16.Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tugas

akhir ini yang belum disebtkan namanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas Akhir ini masih jauh dari

Kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan segala kritik dan saran yang bersifat

membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaan Tugas Akhir ini.

Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

penulisan – penulisan selanjutnya.

Medan, Oktober 2009

Wahyudin Hasibuan 03 0404 039


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I. 1. Umum ...1

1. 2. Permasalahan ...5

I. 3. Maksud Dan Tujuan ...6

I. 4. Pembatasan Masalah ...6

I. 5. Sistematika Penulisan ...7

BAB II KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN ... 9

II. 1. Konstruksi Perkerasan Jalan ... 10

II. 2. Konstruksi Perkerasan Lentur ... 10

II. 3. Penyebab Kerusakan Jalan ... 13

II. 3. 1. Faktor Kelebihan Muatan ... 14

II. 3. 2. Faktor Desain ... 17

II. 3. 3. Faktor Pelaksanaan Yang Tidak Tepat ... 18

II. 3. 4. Faktor Terlewatinya Umur Rencana ... 19


(7)

II. 5. Pemilihan Langkah Pemeliharaan ... 25

II. 6. Stabilisasi Pada Perkerasan Jalan ... 27

II. 6. 1. Stabilisasi Mekanis ... 29

II. 6. 2. Stabilisasi Kimiawi ... 29

II. 6. 3. Stabilisasi Bitumen ... 32

BAB III TEKNIK DAUR ULANG SEBAGAI ALTERNATIF ... 34

REHABILITASI JALAN ... 34

III. 1. Perkembangan Metode Daur Ulang ... 34

III. 2. Keuntungan Metode Daur Ulang Perkerasan ... 37

III. 2. 1. Penghematan Material ... 37

III. 2. 2. Penghematan Energi ... 37

III. 2. 3. Penghematan Biaya ... 38

III. 2. 4. Pelestarian Lingkungan ... 38

III. 3. Pertimbangan Teknik Daur Ulang Sebagai Alternatif Perbaikan Jalan ... 39

III. 3. 1. Pertimbangan Teknis ... 40

III. 3. 2. Pertimbangan Ekonomi ... 42

III. 3. 3. Pertimbangan Lingkungan ... 44

III. 4. Kriteria Jalan Yang Dapat Didaur Ulang ... 45

III. 5. Cement Treated Recycling Base Dan Sub Base (CTRB dan CTRSB)... 46

III. 5. 1. Spesifikasi Teknis CTRB dan CTRSB ... 46


(8)

III. 7. Kinerja Perkerasan Daur Ulang ... 67

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA PERKERASAN DAUR ULANG DENGAN PEKERASAN KONVENSIONAL ... 70

IV. 1. Gambaran Umum ... 70

IV. 2. Tipikal Desain Perkerasan ... 71

IV. 2. 1. Tipikal Penanganan Untuk IRI = 4 - 8 ... 72

IV. 2. 2. Tipikal Penanganan Untuk IRI = 8 – 12 ... 74

IV. 2. 3. Tipikal Penanganan Untuk IRI > 12 ... 75

IV. 3. Rancangan Anggaran Biaya ... 77

IV. 3. 1. RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI = 4 s/d 8 ... 78

IV. 3. 2. RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI = 8 s/d 12... 80

IV. 3. 3. RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI > 12 ... 83

IV. 4. Analisa Rancangan Anggaran Biaya ... 87

IV. 4. 1. Analisa RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI = 4 – 8 ... 89

IV. 4. 2. Analisa RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI = 8 – 12 ... 90

IV. 4. 3. Analisa RAB Untuk Tipikal Penanganan Untuk IRI > 12 ... 91

IV. 5. Diskusi... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

V. 1. Kesimpulan ... 96

V. 2. Saran ... 96


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Bagan Alir Penulisan ...8

Gambar 2. 1. Lapis Perkerasan Lentur[10] ... 10

Gambar 2. 2. Konsep Pemeliharaan Jalan ... 22

Gambar 2. 3. Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan[16]... 26

Gambar 2. 4. Kekuatan Modified Dan Bound Material Untuk Berbagai Kandungan Semen[19]. ... 32

Gambar 3. 1. Teknik Alternatif Rehabilitasi Jalan ... 36

Gambar 3. 2. Teknik Alternatif Rehabilitasi Jalan ... 42

Gambar 3. 3. Metode Kerja Soil Recycler/Stabilizer[4]... 51

Gambar 3. 4. Truk Penebar Semen[4] ... 52

Gambar 3. 5. Panduan Pemilihan Alat Pemadat[24] ... 53

Gambar 3. 6. Penebaran Semen[10] ... 56

Gambar 3. 7. Pencampuran[10]... 57

Gambar 3. 8. Pemadatan[10]... 58

Gambar 3. 9. Perataan[10] ... 59

Gambar 3. 10. Pemberian Air[10] ... 60

Gambar 3. 11. Peletakan Plastik Pengumpul Semen[10] ... 62

Gambar 3. 12. Pengambilan sample semen[10] ... 62

Gambar 3. 13. Penimbangan Berat Sample Semen[10] ... 63

Gambar 3. 14. Koefisien Lapisan Stabilisasi Cemented-Material[1]... 66

Gambar 4. 1. Alternatif Rehabilitasi Jalan... 71


(10)

Gambar 4. 3. Tipikal Penanganan Konvensional Untuk IRI = 4 - 8 ... 72

Gambar 4. 4. Tipikal Penanganan Daur Ulang Untuk IRI = 4 – 8... 73

Gambar 4. 5. Tipikal Penanganan Konvensional Untuk IRI = 8 – 12... 74

Gambar 4. 6. Tipikal Penanganan Daur Ulang Untuk IRI = 8 – 12... 74

Gambar 4. 7. Tipikal Penanganan Konvensional Untuk IRI > 12 ... 76

Gambar 4. 8. Tipikal Penanganan Daur Ulang Untuk IRI > 12... 76


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Nilai VDF Dan ADT Jalur Pantura[24] ... 17

Tabel 2. 2. Kondisi Permukaan secara Visual dan Nilai RCI, IRI ... 25

Tabel 2. 3. Kondisi Jalan Dan Langkah Penanganannya... 26

Tabel 2. 4. Panduan Pemilihan Bahan Pengikat Berbagai Indeks Plastisitas Dan... 28

Ukuran Butiran Material[5] ... 28

Tabel 2. 5. Tipikal Propertis Cemented Material [5]... 31

Tabel 3. 1. Ketentuan Air Untuk CTRB dan CTRSB[7] ... 48

Tabel 3. 2. Persyaratan Mutu Agregat CTRB dan CTRSB[7]... 50

Tabel 3. 3. Gradasi Campuran CTRB dan CTRSB[7] ... 50

Tabel 3. 4. Kriteria Kekuatan CTRB dan CTRSB[9]... 55

Tabel 3. 5. Tipikal Koefisien Lapisan Perkerasan[24] ... 65

Tabel 4. 1. Tipikal Penanganan Konvensional... 73

Tabel 4. 2. Tipikal Penanganan Teknik Daur Ulang ... 73

Tabel 4. 3. Tipikal Penanganan Konvensional... 75

Tabel 4. 4. Tipikal Penanganan Teknik Daur Ulang ... 75

Tabel 4. 5. Tipikal Penanganan Konvensional... 77

Tabel 4. 6. Tipikal Penanganan Teknik Daur Ulang ... 77

Tabel 4. 7. Daftar Kuantitas Dan Harga Pekerjaan Penanganan Konvensional ... 78

Tabel 4. 8. Rekapitulasi Perkiraan Harga Penanganan Konvensional ... 79

Tabel 4. 9. Daftar Kuantitas Dan Harga Pekerjaan Penanganan Daur Ulang... 79

Tabel 4. 10. Rekapitulasi Perkiraan Harga Penanganan Daur Ulang ... 80

Tabel 4. 11. Daftar Kuantitas Dan Harga Pekerjaan Penanganan Konvensional ... 81

Tabel 4. 12. Rekapitulasi Perkiraan Harga Penanganan Konvensional... 81


(12)

Tabel 4. 14. Rekapitulasi Perkiraan Harga Penanganan Daur Ulang ... 83

Tabel 4. 15. Daftar Kuantitas Dan Harga Pekerjaan Penanganan Konvensional ... 84

Tabel 4. 16. Rekapitulasi Perkiraan Harga Penanganan Konvensional... 85

Tabel 4. 17. Daftar Kuantitas Dan Harga Pekerjaan Penanganan Daur Ulang... 86


(13)

ABSTRAK

Masalah kerusakan jalan merupakan masalah yang seakan tidak ada habisnya, yang selalu dihadapi oleh setiap negara. Di Indonesia, kerusakan dengan berbagai jenis dan tingkatannya sangat sering dijumpai di berbagai daerah.Sementara di lain pihak, dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk perbaikan jalan adalah sangat terbatas. Adanya keterbatasan dana, ditambah lagi dengan banyaknya ruas jalan yang harus diperbaiki membuat perlunya dicari alternatif perbaikan yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan dana yang sangat terbatas tersebut untuk memperbaiki kondisi kerusakan jalan. Salah satu metode alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi daur ulang untuk menghasilkan lapis pondasi perkerasan daur ulang yang distabilisasi dengan semen (CTRB). Dengan teknik ini, material perkerasan jalan yang telah rusak diolah kembali untuk digunakan sebagai material lapis pondasi daur ulang (CTRB) pada pekerjaan perbaikan jalan.

Analisa terhadap Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dari 2 jenis tipikal penanganan rehabilitasi jalan yang digunakan oleh Dinas Bina Marga dilakukan untuk membandingkan teknik yang paling ekonomis diantara teknik rehabilitasi konvensional dengan teknik rehabilitasi yang menggunakan teknik daur ulang. Analisa dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Panduan Analisa Harga Satuan Pekerjaan Pendukung Spesifikasi Umum Edisi Desember 2006. Analisa dilakukan pada contoh kasus penanganan yang dilakukan pada pekerjaan peningkatan jalan proinsi ruas jalan jurusan Pal XI – Aek Godang Kabupaten Tapanuli Selatan sepanjang 3,75 km yang disimulasikan kembali pada 3 kondisi tipikal penanganan yang umumnya digunakan oleh Dinas Bina Marga, yaitu perawatan berkala (IRI = 4 s/d 8), pekerjaan peningkatan (IRI = 8 s/d 12) dan pekerjaan rehabilitasi/rekonstruksi (IRI>12).

Dari hasil analisa Rancangan anggaran Biaya (RAB), diperoleh hasil bahwa pada tipikal penanganan untuk pekerjaan perawatan berkala, teknik daur ulang tidak memberikan efisiensi biaya seperti yang diharapkan karena pada tipikal penanganan tersebut, perkerasan daur cenderung menjadi over desain akibat adanya batas tebal minimum lapis CTRB. Sementara pada tipikal penanganan untuk pekerjaan peningkatan dan pekerjaan rehabilitasi/rekonstruksi, penggunaan teknik daur ulang sebagai alternatif perbaikan jalan mampu memberikan efisiensi biaya berturut-turut 25% dan 15% apabila dibandingkan dengan metode konvensional.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Umum

Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang

diletakkan diatas lapisan tanah dasar yang berfungsi untuk memikul beban lalu lintas.

Struktur perkerasan harus mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar

dengan cara menyebarkannya pada lapisan perkerasan tanpa menimbulkan lendutan

pada lapis perkerasan yang dapat merusak struktur perkerasan itu sendiri.

Salah satu jenis perkerasan yang paling umum digunakan adalah perkerasan

lentur. Hampir 80 % dari total panjang jalan di Indonesia merupakan perkerasan

lentur[2]. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan lentur juga

akan mengalami defisiensi atau penurunan kinerja akibat pengaruh beban lalu lintas

dan lingkungan seiiring dengan berjalannya umur rencana perkerasan. Sehingga

struktur perkerasan akan membutuhkan upaya-upaya pemeliharaan untuk menjaga

kinerjanya.

Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan

perbaikan kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun

maupun pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali.

Keseluruhan pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja perkerasan agar

dapat memberikan pelayanan sampai akhir umur rencananya. Pada akhir umur

rencana, dimana kondisi perkerasan telah mencapai kondisi kritis, maka jenis

penanganan yang diperlukan adalah berupa peningkatan atau betterment, dalam hal ini


(15)

Salah satu teknik alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki

kerusakan jalan adalah dengan teknik daur ulang perkerasan jalan (pavement

recycling).

Teknik daur ulang perkerasan adalah suatu metode perbaikan jalan yang

menggunakan kembali material perkerasan jalan eksisting sebagai material untuk

perbaikan jalan tersebut dengan penambahan beberapa material tambahan seperti

agregat baru, rejuvenator atau recycling agents, semen, aspal emulsi, foamed asphalt (

campuran aspal emulsi dan semen ) dan material lainnya. Dengan teknik ini, material

perkerasan lama diolah kembali menjadi material/agregat daur lang untuk selanjutnya

digunakan kembali dalam pekerjaan perbaikan jalan, baik langsung pada jalan yang

diperbaiki tersebut maupun untuk pekerjaan perbaikan ruas jalan lain.

Saat ini telah terdapat bermacam-macam metode daur ulang yang dapat

digunakan untuk memperbaiki kerusakan perkerasan jalan. ARRA[4] membagi

metode recycling kedalam beberapa jenis yang berbeda yaitu:

1. Surface Recycling

Yaitu proses daur ulang material lapis aus perkerasan jalan beraspal,

baik dengan menggunakan teknik pemanasan maupun tanpa pemanasan,

bergantung paada jenis aditif yang digunakan. Pada teknik daur ulang ini,

kerusakan yang dapat diperbaiki terbatas pada kerusakan yang terjadi pada

lapis aus perkerasan yang bersifat non struktural dengan kedalaman lapisan


(16)

2. Hotmix Recycling

Yang dimaksud dengan hotmix recycling adalah proses penggunaaan

kembali material perkerasan lama beraspal, ditambah atau dikombinasikan

dengan campuran agregat dan aspal baru, dengan atau tanpa bahan aditif

dimana selama proses pencampurannya digunakan teknik pemanasan[3].

Berdasarkan lokasi pencampurannya, hotmix recycling terdiri dari dua jenis,

yaitu:

a. Hot In Place Recycling

Yaitu teknik daur ulang perkerasan dimana proses pencampurannya

dilakukan langsung dilokasi pekerjaan.

b. Hot In Plant Recycling

Yaitu teknik daur ulang perkerasan dimana proses pencampurannya

dilakukan di alat pencampur terpusat (Central Mixing Plant)

3. Coldmix Recycling

Yang dimaksud dengan Coldmix Recycling adalah proses penggunaaan

kembali material perkerasan lama beraspal, ditambah atau dikombinasikan

dengan campuran agregat dan aspal baru, dengan atau tanpa bahan aditif

dimana selama proses pencampurannya tidak menggunakan teknik

pemanasan[3]. Berdasarkan lokasi pencampurannya, hotmix recycling terdiri


(17)

a. Cold In Place Recycling

Yaitu teknik daur ulang perkerasan dimana proses pencampurannya

dilakukan langsung dilokasi pekerjaan.

b. Cold In Plant Recycling

Yaitu teknik daur ulang perkerasan dimana proses pencampurannya

dilakukan di alat pencampur terpusat (Central Mixing Plant)

4. Full Depth Reclamation (FDR)

Yaitu teknik daur ulang dimana keseluruhan lapis perkerasan yang

terdiri dari lapis permukaan beraspal, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah

dan sebagian lapis tanah dasar yang telah mengalami kerusakan didaur ulang

ditempat dengan kedalaman mencapai 300 mm dengan satu kali pengerjaan

sekaligus dengan menggunakan peralatan large

reclaimer/stabilizer/recycler[11]. Pada beberapa literatur, teknik ini juga

dikenal dengan nama Deep Lift Insitu Pavement Recycling

(DLIPR)[15][17][19][20][21]. Pada tulisan ini akan dibahas teknik daur ulang


(18)

Sebagai salah satu metode perbaikan perkerasan jalan, teknik daur memiliki

keuntungan-keuntungan yang unik yang tidak dimiliki oleh metode rehabilitasi yang

lain. Beberapa keuntungan dari penggunaan teknik daur ulang dalam perbaikan

perkerasan jalan antara lain:

1. Mengurangi biaya rekonstruksi

2. Mengurangi pemakaian aspal dan agregat.

3. Menjaga kondisi geometrik perkerasan.

4. Ramah lingkungan.

5. Hemat energi.

1. 2. Permasalahan

Masalah kerusakan jalan merupakan masalah yang seakan tidak ada habisnya,

yang selalu dihadapi oleh setiap negara, baik di negara maju maupun di negara

berkembang. Kerusakan dengan berbagai jenis dan tingkatannya sangat sering

dijumpai di berbagai daerah. Data dari Dinas Bina Marga Propinsi Sumatera Utara

akhir Desember 2008, dari sekitar 2.793,04 km jalan propinsi yang ada di Sumatera

Utara, sekitar 25,65 % (716,37 km) kondisinya rusak berat, 10, 47 % (292.36 km)

dalam kondisi rusak, 25,52 % (712,66 km) dalam kondisi sedang dan sisanya 38,37 %

(1071,65 km) dalam kondisi mantap. Dari sini terlihat bahwa pada tahun 2008 hampir

50% kondisi jalan di Propinsi Sumatera Utara dalam kondisi rusak. Sehingga upaya


(19)

Sementara di lain pihak, dana yang dianggarkan untuk perbaikan jalan adalah

sangat terbatas, bahkan mengalami penurunan, seperti yang dikemukakan oleh Kepala

Dinas Bina Marga Propinsi Sumatera Utara pada harian Medan Bisnis, 2 april 2009,

dimana anggaran perbaikan jalan propinsi untuk tahun 2009 mengalami penurunan

menjadi Rp. 396 miliar dari sebelumnya Rp. 429,4 miliar pada tahun 2008. Demikina

juga halnya pada anggaran untuk perbaikan jalan nasional, hanya sebesar Rp. 17,1

triliun dari sebelumnya Rp. 18,5 triliun pada tahun 2008.

Adanya keterbatasan dana, ditambah lagi dengan banyaknya ruas jalan yang

harus diperbaiki membuat perlunya dicari alternatif perbaikan yang dapat

meningkatkan efisiensi penggunaan dana yang sangat terbatas untuk memperbaiki

kondisi kerusakan jalan. Salah satu metode alternatif yang dapat digunakan adalah

dengan menggunakan teknologi daur ulang. Dengan teknik ini, material perkerasan

jalan yang telah rusak diolah kembali untuk digunakan sebagai material untuk

memperbaiki kerusakan jalan.

I. 3. Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk membuktikan

apakah penggunaan teknik daur ulang dalam perbaikan perkerasan jalan mampu

memberikan penghematan dalam penggunaan biaya bila dibandingkan dengan teknik

rehabilitasi konvensional yang selama ini digunakan.

I. 4. Pembatasan Masalah

Banyaknya jenis metode daur ulang yang dapat dijadikan sebagai teknik

alternatif membuat penulis membatasi permasalahan pada perbandingan faktor biaya

pada tipikal desain perkerasan yang digunakan oleh Dinas Bina Marga untuk


(20)

Kabupaten Tapanuli Selatan, secara konvensional maupun dengan menggunakan

teknik daur ulang.

I. 5. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penulisan, penulis membagi garis-garis besar

penulisan sebagai berikut :

Bab. 1. Pendahuluan

Bab ini berisikan gambaran mengenai konstruksi perkerasan jalan, kondisi umum

perkerasan jalan di Propinsi Sumatera Utara, permasalahan yang akan dibahas,

maksud dan tujuan pembahasan serta sistematika penulisan.

Bab II. Kerusakan Dan Rehabilitasi Jalan

Berisikan uraian tentang konsep pelayanan jalan, sebab-sebab kerusakan jalan,

konsep rehabilitasi jalan serta stabilisasi material perkerasan jalan.

Bab III. Metode Daur Ulang Sebagai Alternatif Rehabilitasi Jalan

Bab ini berisi uraian mengenai teknik Deep Lift Insitu Pavement Recycling

sebagai teknik alternatif rehabilitasi jalan, faktor-faktor yang mempengaruhi

penggunaannya, sejarah perkembangan metode ini serta kinerja jalan yang

direhabilitasi dengan teknik ini.

Bab IV. Analisa Dan Diskusi

Pada bab ini akan disajikan pembahasan mengenai perbandingan faktor

ekonomis dari tipikal desain perkerasan daur ulang yang digunakan Dinas Bina Marga

pada pekerjaan rehabilitasi jalan propinsi ruas jalan jurusan Pal XI – Aek Godang

Kabupaten Tapanuli Selatan, secara konvensional maupun dengan menggunakan


(21)

Bab V. Kesimpulan Dan Saran

Berisi kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan masalah dari bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teknik daur ulang selanjutnya.

Adapun metode penelitian pada tugas akhir ini dapat digambarkan dalam bentuk Flow chart berikut ini :

Gambar 1. 1. Bagan Alir Penulisan Maksud Dan Tujuan

Penulisan

Tinjauan Pustaka.

Gambaran Umum Daur Ulang Perkerasan Jalan Jenis-jenis kerusakan dan

perawatan jalan.

Kesimpulan Dan Saran. Analisa Teknik Perbaikan

Jalan Yang Paling Ekonomis Antara Teknik

Daur Ulang Dan Teknik Konvensional


(22)

BAB II

KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN

II. 1. Konstruksi Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang

diletakkan diatas lapisan tanah dasar yang berfungsi untuk memikul beban lalu lintas.

Struktur perkerasan harus mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar

dengan cara menyebarkannya pada lapisan perkerasan tanpa menimbulkan lendutan

pada lapis perkerasan yang dapat merusak struktur perkerasan itu sendiri. Berdasarkan

jenis bahan pengikatnya, struktur perkerasan jalan dapat dibedakan atas 3 jenis,

meliputi[14]:

a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan

yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Struktur

perkerasan jenis ini bekerja dengan cara memikul dan

menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu struktur

perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikat.

Struktur perkerasan ini bekerja sebagai pelat beton dengan atau

tanpa tulangan yang diletakkan diatas tanah dasar dengan atau

tanpa lapis pondasi. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh

pelat beton.

c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu

merupakan kombinasi anatar perkerasan lentur dan perkerasan


(23)

II. 2. Konstruksi Perkerasan Lentur

Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan – lapisan yang diletakkan di

atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan – lapisan tersebut berfungsi untuk

menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan yang ada di

bawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban

yang terima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah

dasar[14].

Konstruksi perkerasan lentur seperti yang tergambar pada Gambar 2. 1

terdiri dari :

1. Lapisan permukaan ( Surface course )

2. Lapisan pondasi atas ( Base course )

3. Lapisan pondasi bawah ( Subbase course )

4. Lapisan tanah dasar ( Subgrade )


(24)

A. Lapis Permukaan ( Surface Course )

Lapisan permukaan ini terletak di bagian paling atas dari lapisan perkerasan,

berfungsi sebagai :

1. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi

Untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

2. Lapis aus ( Wearing course ), yaitu lapisan yang menerima gesekan akibat rem

kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

3. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh

lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek.

4. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke

lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.

Agar dapat memenuhi fungsi tersebut, maka pada umumnya lapisan permukaan dibuat

dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang

kedap air dengan dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lebih lama.

Beberapa jenis bahan yang tersedia untuk lapisan ini dapat berupa LASTON,

Asbuton, Hot Rolled Asphalt, Aspal Macadam, dan sebagainya.

B. Lapisan Pondasi Atas ( Base Course )

Yaitu lapisan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah,

yang mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan

menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.

2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.


(25)

Material yang akan digunakan untuk lapis pondasi atas adalah material yang

cukup kuat. Untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya

menggunakan material dengan CBR > 50 % dan Indeks Plastisitas < 4 % [14].

Beberapa jenis pondasi material pondasi atas yang sering digunakan di Indonesia

antara lain agregat bergradasi baik (batu pecah kelas A, B dan C), pondasi

Macadam, stabilisasi tanah dengan semen, kapur atau aspal.

C. Lapisan Pondasi Bawah ( Subbase Course )

Yaitu lapisan yang terletak antara lapis pondasi atas dan lapis tanah dasar,

lapisan pondasi bawah ini berfungsi sebagai :

1. Bagian konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar.

2. Efisiensi penggunaan material, karena material pondasi bawah relatif lebih

murah dibandingkan dengan lapisan yang ada di atasnya.

3. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal.

4. Lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.

5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. Hal ini sehubungan dengan

kondisi lapangan yang memaksa harus menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca

atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda – roda alat berat selama

konstruksi perkerasan berlangsung.

6. Lapisan untuk mencegah partikel – partikel halus dari tanah dasar naik

ke lapis pondasi atas.

Jenis lapisan pondasi bawah yang sering digunakan di Indonesia antara lain agregat


(26)

D. Lapisan Tanah Dasar ( Subgrade )

Yaitu lapisan tanah setebal 50 – 100 cm yang terletak di bawah lapis pondasi

bawah. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah

aslinya baik, atau tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau

tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya.

II. 3. Penyebab Kerusakan Jalan

Perkerasan jalan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum

mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari segi kondisi

kerusakan struktural dan kerusakan fungsional[22].

Kerusakan struktural adalah kerusakan yang mencakup kegagalan perkerasan

dari satu atau lebih komponen perkerasan yang mengakibatkan perkerasan tidak dapat

lagi memikul beban lalu lintas. Kerusakan struktural dapat disebabkan oleh kondisi

lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan

pengaruh kondisi lingkungan disekitarnya.

Sementara kerusakan fungsional adalah suatu kondisi kerusakan dimana

kenyamanan dan keamanan dari pengguna jalan terganggu dan biaya operasi

kendaraan meningkat. Kerusakan fungsional ini dapat berdiri sendiri dan dapat pula

diiukuti dengan kerusakan struktural.

Selama ini, kelebihan muatan kendaran dituding sebagai penyebab utama

kerusakan jalan. Namun kelebihan muatan bukanlah satu-satunya penyebab kerusakan

jalan, masih ada faktor-faktor lainnya yang juga dapat memicu timbulnya kerusakan

jalan, seperti adanya genangan air, bencana alam atau faktor teknis lain di lapangan.

Dari data penelitian transportasi Departemen Perhubungan [Suara Merdeka, 26


(27)

kelebihan muatan dan sisanya adalah akibat bencana alam. Bencana alam yang

dimaksud disini dapat berrupa terjadinya tanah longsor, banjir dan sebagainya.

Disamping itu, faktor teknis di lapangan seperti kesalahan perencanaan maupun

pelaksanaan juga dapat menyebabkan jalan mengalami kerusakan dini[2].

II. 3. 1. Faktor Kelebihan Muatan

Prinsip dasar perencanaan perkerasan jalan adalah untuk mengakomodasi

beban lalu lintas sesuai standar dengan meningkatkan kemampuan tanah dasar melalui

lapis-lapis konstruksi perkerasan[2]. Perencanaan konstruksi jalan dibuat berdasarkan

prakiraan terhadap beban lalu lintas yang akan melewatinya dengan

mengkonversikannya menjadi beban sumbu standar untuk memudahkan perhitungan.

Beban sumbu standar merupakan beban dimana setiap satu kali lintasan sumbu

standar akan memberikan daya rusak (damage factor) terhadap perkerasan sebesar

satu[12].

Muatan standar truk untuk perencanaan perkerasan yang dimaksud adalah

sebesar 8,16 ton (dibulatkan menjadi 8,2 ton), muatan ini mengacu kepada ketentuan

yang dikeluarkan AASHTO[1] yang menetapkan beban sumbu standar (standard axle

load) sebesar 18.000 lbs atau setara dengan 8,16 ton, dengan asumsi dimana setiap

lintasan truk as tunggal dengan beban sumbu sebesar 8,16 ton akan memberikan

faktor perusak terhadap perkerasan sama dengan satu. Sementara untuk semua

kendaraan lain dengan beban sumbu yang berbeda, diekivalenkan terhadap beban

sumbu standar dengan menggunakan angka ekivalen sumbu (E).

Dinas Bina Marga memberikan rumus untuk menentukan angka ekivalen


(28)

[Pers. 2. 1]

[Pers. 2. 2]

Dengan asumsi tidak ada kendaraan yang kelebihan muatan (muatan sumbu

terberat melebihi beban sumbu standar), maka umur rencana jalan dapat ditentukan

dengan memperkirakan lamanya periode yang diperlukan sampai tercapainya jumlah

lintasan beban standar yang direncanakan.

Permasalahan terjadi ketika pada tahap perencanaan, beban yang

diperhitungkan merupakan beban standar, namun kenyataan yang terjadi di lapangan

banyak dijumpai truk-truk dengan muatan sumbu terberat melebihi beban sumbu

standar (kelebihan muatan). Dalam hal ini, akibat adanya faktor pangkat empat yang

digunakan untuk menghitung angka ekivalen beban standar, maka untuk setiap

penambahan beban tiap roda kendaraan akan mengakibatkan penambahan daya rusak

kendaraan (damage factor) terhadap perkerasan sebesar pangkat empat dari rasio

antara beban nyata yang bekerja dengan beban standar. Sehingga penambahan beban

pada truk yang kelebihan muatan akan memberikan peningkatan yang sangat

signifikan pada angka ekivalen kendaraan.

Sementara langkah yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kelebihan

muatan tersebut adalah dengan menerapkan batasan berat yang diizinkan untuk setiap

jenis kendaraan yang akan melintas di jalan raya. Namun permasalahan yang terjadi

selanjutnya adalah terjadinya pemisahan wewenang antara instansi terkait yang


(29)

bertanggung jawab melakukan kontrol terhadap muatan kendaraan yang akan

melintasi jalan raya.

Disatu sisi, perencanaan perkerasan dilakukan tanpa memperhitungkan adanya

beban berlebih, sementara disisi lain dinas perhubungan memberlakukan batasan Jenis

Berat yang diizinkan (JBI) untuk truk tunggal sebesar 15 ton, truk ganda 21 ton dan

truk tiga sumbu 29 ton. Berat yang jauh lebih besar dari beban standar yang

direncanakan sebesar 8 ton untuk truk tunggal, 15 ton untuk truk ganda dan 20 ton

untuk truk tiga sumbu. Hal ini juga masih belum sepenuhnya diikuti karena masih

adanya toleransi yang mengizinkan kendaraan untuk tetap melintas dengan kelebihan

beban. Bahkan pada saat awal diberlakukannya, toleransi yang diberikan mencapai

90% dari JBI baru kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai menjadi 50% yang

mulai diterapkan sejak 1 Februari 2008 oleh DLLAJ delapan propinsi se-sumatera dan

jawa[26].

Hal ini juga tidak sepenuhnya menjamin tidak adanya lagi truk yang melewati

batasan toleransi yang diberikan karena masih adanya anggapan bahwa tujuan adanya

jembatan timbang adalah untuk memperoleh retribusi atau pendapatan denda

pelanggaran, sementara tujuannya sebagai alat untuk mengontrol kelebihan muatan

kendaraan menjadi kabur. Sehingga sampai saat ini masih banyak dijumpai truk-truk

yang kelebihan muatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Zarkasi[26] di jalur Pantura menemukan bahwa

kurang lebih 51% turk as tunggal melebihi beban 8,2 ton dan 42% truk as ganda

melebihi beban 15 ton. Sehingga dapat dipahami kenapa kondisi perkerasan jalan pada


(30)

Tabel 2. 1. Nilai VDF Dan ADT Jalur Pantura[24]

II. 3. 2. Faktor Desain

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, prinsip dasar perencanaan

perkerasan jalan adalah untuk mengakomodasi beban lalu lintas sesuai standar yang

ditetapkan untuk perencanaan tebal perkerasan. Saat ini hampir seluruh ruas jalan di

propinsi Sumatera Utara didesain dengan menggunakan MST (Muatan Sumbu

Terberat) 8 ton [Dinas Bina Marga PropSU]. Dengan MST 8 ton, maka beban muatan


(31)

untuk truk sumbu tunggal, 15 ton untuk truk sumbu tandem dan 20 ton untuk truk

sumbu tripel. Namun kenyataan di lapangan, muatan maksimum beban kendaraan

yang ditetapkan oleh Dinas Perhubungan masih jauh melebihi estimasi beban yang

digunakan dalam perencanaan perkerasan sehingga membuat perencanaan perkerasan

tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Dalam hal ini kerusakan terjadi akibat adanya perbedaan pandangan antara

Dinas Bina Marga sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap perencanaan

perkerasan jalan dengan Dinas Perhubungan sebagai instansi yang bertanggung jawab

terhadap kontrol beban muatan kendaraan. Dimana sebagai akibatnya, perencanaan

perkerasan yang dilakukan dengan mengacu pada MST 8 ton cenderung menjadi

under design akibat ketetapan Jenis Berat yang diizinkan (JBI) yang dikeluarkan oleh

Dinas Perhubungan, terlebih lagi dengan adanya toleransi yang mengizinkan truk

berjalan dengan beban maksimum 50 – 60% diatas JBI[6].

II. 3. 3. Faktor Pelaksanaan Yang Tidak Tepat

Penyebab dari kegagalan pelaksanaan konstruksi jalan dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor ketidak-sengajaan dan faktor kesengajaan[harian Medan Bisnis, 2

April 2009]. Faktor ketidak-sengajaan meliputi kegagalan konstruksi jalan akibat

terbatasnya wawasan yang dimiliki oleh para perencana dan pelaksana serta

terbatasnya pengetahuan dasar tentang teknik perkerasan jalan yang dimiliki oleh para

kontraktor. Disamping itu, kurangnya peranan laboratorium didalam perencanaan dan

pelaksanaan pekerjaan jalan. Banyak pelaksanaan pekerjaan yang belum memenuhi

spesifikasi sehingga banyak pekerjaan yang diselesaikan dengan mutu yang tidak


(32)

Sementara faktor kesengajaan yang menyebabkan kegagalan konstruksi jalan

lebih diakibatkan oleh kecurangan-kecurangan yang dilakukan kontraktor untuk

mengejar keuntungan pribadi semata, dalam hal ini dilakukan dengan merubah

komposisi campuran material perkerasan, pemakaian material perkerasan tidak

memenuhi syarat, mengurangi tebal perkeraan serta pekerjaan pemadatan lapis

perkerasan yang tidak memenuhi standar dengan tujuan untuk agar proses pelaksanaan

menjadi lebih singkat dan biaya produksi menjadi lebih kecil.

Sehubungan dengan hal-hal tersebtu diatas maka faktor pengawasan pekerjaan

dilapangan harus diperketat sehingga penyimpangan-penyimpangan dilapangan

terhadap pelaksanaan pekerjaaa, penggunaan kualitas material yang tidak sesuai dapat

direduksi seminimal mungkin.

II. 3. 4. Faktor Terlewatinya Umur Rencana

Kerusakan jalan akibat terlewatinya umur rencana lebih disebabkan oleh

keterbatasan dana yang tersedia untuk memperbaiki kerusakan jalan. Sehingga jalan

yang seharusnya sudah perlu direkonstruksi namun akibat keterbatasan dana terpaksa

ditangani dengan pemeliharaan berkala atau pemeliharaan rutin untuk memperpanjang

masa layan jalan tersebut.

Hal ini untuk jangka pendek dianggap mampu mengatasi permasalahan yang

terjadi, namun karena langkah penanganan yang tidak sesuai dengan kerusakan yang

terjadi, kerusakan perkerasan dapat dengan segera muncul kembali.

II. 4. Konsep Pemeliharaan Jalan


(33)

yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jalan sangat bergantung kepada kondisi

dari ruas jalan

A. Perawatan Jalan / Pemeliharaan Rutin

Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya terhadap

lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (riding

quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang

tahun. Sementara pemeliharaan berkala adalah penanganan yang dilakukan

terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak sepanjang tahun) dan sifatnya

meningkatkan kemampuan struktural[8].

Pekerjaan pemeliharaan rutin mencakup usaha-usaha memelihara atau

merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan terhadap seluruh ruas jalan

yang ada dalam kondisi bagus, agar jalan dapat berfungsi seperti yang

diharapkan. Pemeliharaan rutin dilaksanakan secara terencana sesuai dengan

kebutuhan. Kegiatan ini mencakup penanganan permukaan aspal dan drainase.

Pemeliharaan rutin mencakup pekerjaan-pekerjaan perbaikan kecil dan

pekerjaan-pekerjaan rutin yang umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu

yang teratur dalam satu tahun, seperti penambalan permukaan dan pemotongan

rumput serta pekerjaan-pekerjaan perbaikan untuk menjaga agar jalan tetap

pada kondisi yang baik. Pemeliharaan rutin biasanya dilaksanakan pada semua

ruas dan segmen yang dalam keadaan baik atau sedang.

Pekerjaan pemeliharaan merupakan faktor yang penting untuk menjaga

agar tingkat pelayanan jalan dapat dipertahankan sesuai umur rencananya.


(34)

dengan masa pelyanan jalan akan dapat mengurangi kebutuhan untuk

dilaksanakannya pekerjaan berat. Pekerjaan pemeliharaan merupakan prioritas

utama dalam perawatan jalan.

B. Pekerjaan Rehabilitasi / Pemeliharaan Berkala

Pemeliharaan berkala merupakan pemeliharaan yang dilakukan

terhadap jalan pada waktu–waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan

sifatnya meningkatkan kemampuan struktural. Pemeliharaan berkala

merupakan kegiatan pemeliharaan jalan yang terencana secara berkala,

mencakup penanganan khusus pada jalan terhadap setiap kerusakan dan

bersifat setempat pada ruas jalan dengan kemampuan pelayanan yang baik.

Pemeliharaan berkala merupakan pekerjaan yang mempunyai frekuensi yang

terencana lebih dari satu tahun pada suatu lokasi jalan. Untuk jalan-jalan

kabupaten, pekerjaan ini terdiri dari pemberian lapis ulang pada jalan-jalan

dengan lapis permukaan dari aspal dan pemeberian lapis ulang kerikil pada

jalan kerikil, termasuk menyiapkan permukaan jalan.

C. Pekerjaan Penunjangan

Pekerjaan penunjangan merupakan kegiatan pemeliharaan jalan yang

bersifat sementara (jangka pendek) terhadap ruas-ruas jalan yang dalam

kondisi pelayanan tidak baik atau kritis, sebelum program peningkatan jalan

dapat dilakukan. Pekerjaan penunjangan umumnya dilakukan ketika dana yang

diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan peningkatan / rehabilitasi belum


(35)

D. Pekerjaaan Peningkatan

Pekerjaan peningkatan adalah penanganan jalan yang bertujuan untuk

memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau

geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Pekerjaan

peningkatan mencakup kegiatan pemeliharaan jalan untuk memperbaiki

kondisi jalan dengan kemampuan tidak bagus atau kritis menjadi jalan dengan

kondisi baik.

Secara garis besar, konsep pemeliharaan jalan dapat dilihat pada Gambar 2. 2

berikut.

Gambar 2. 2. Konsep Pemeliharaan Jalan

Sebelum dapat melakukan pekerjaan pemeliharaan jalan dengan baik sesuai

dengan yang dibutuhkan, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut[8]:

1. Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan

KONSEP PEMELIHARAAN JALAN

PERAWATAN JALAN

REHABILITASI JALAN

PENUNJANGAN JALAN

PENINGKATAN JALAN

1. Perawatan Rutin 2. Patching

1. Overlay 2. Patching

1. Pelaburan 2. Patching

1. Overlay 2. Rekonstruksi


(36)

Menurut UU No. 13 tahun 1980 tentang klasifikasi jalan, menurut fungsinya jalan

dapat dibedakan atas:

a. Jalan Utama / Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan

ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah

jalan masuk dibatasi secara efisien.

b. Jalan Kolektor / Sekunder, yaitu jalan yang melayani angkutan

pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,

kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan Lokal / Penghubung, yaitu jalan yang melayani angkutan

setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata

rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

2. Identifikasi Permasalahan Jalan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan kerusakan

jalan untuk lebih memantapkan jenis penanganan yang dilakukan pada

masing-masing ruas jalan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara

melaksanakan survai mendetail terhadap kondisi perkerasan jalan serta

diskusi dengan pihak-pihak berwenang setempat untuk memperoleh

informasi yang dibutuhkan.

3. Penghitungan Lalu Lintas

Kegiatan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah jalan yang akan

dipelihara masih mampu melayani volume lalu lintas yang melewatinya.

Bila setelah dievaluasi ternyata volume lalu lilntas pada jam sibuk lebih


(37)

timbul kemacetan sehingga langkah peningkatan perlu dilakukan untuk

mengantisipasinya.

4. Kecepatan Perjalanan

Kemacetan yang terjadi pada suatu ruas jalan dapat diukur dengan

mengetahui kecepatan kendaraan atau waktu perjalanan. Makin lama

kendaraan tiba di tujuan berarti makin lambat kecepatan lalu lintas. Jika

kecepatan kendaraan kurang dari 50 % kecepatan rencana ruas jalan maka

dapat dikatakan pada jalan tersebut mulai timbul kemacetan, sehingga

perlu dilakukan peningkatan kapasitas jalan.

5. Penilaian Kondisi Perkerasan

Yang termasuk kedalam penilaian kinerja perkerasan jalan adalah[14]:

a. Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya

kontak antara ban dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang

terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan

jalan, kondisi cuaca, dan sebagainya.

b. Wujud struktur perkerasan, terlihat dari kondisi fisik perkerasan seperti

adanya retak-retak, amblas, gelombang dan sebagainya.

c. Fungsi pelayanan, yaitu pelayanan yang diberikan oleh jalan terhadap

pengguna jalan. Kenyamanan pengemudi sangat tergantung dari

fungsi pelayanan dan wujud perkerasan. Parameter fungsi pelayanan

yang diberikan antara lain adalah Indeks Permukaan (IP) atau Present

Serviceability Index (PSI) dan Indeks Kondisi Jalan (Road Condition


(38)

Tabel 2. 2. Kondisi Permukaan secara Visual dan Nilai RCI, IRI

IRI Nilai RCI Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual

4

8 - 10 Sangat rata dan teratur

7 - 8 Sangat baik dan umumnya rata

6 - 7 Baik

6 5 - 6 Cukup, tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan

tidak rata

8 4 - 5 Jelek, kadang – kadang ada lubang, permukaan jalan

tidak rata

12 3 - 4 Rusak, bergelombang, banyak lubang

16 2 - 3 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah

perkerasan hancur

>16 < 2 Tidak dapat dilalui, kecuali dengan Jeep 4WD

II. 5. Pemilihan Langkah Pemeliharaan

Pemilihan jenis penanganan yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan

jalan sangat bergantung kepada kondisi dari ruas jalan. Pada dasarnya penetapan

kondisi jalan minimal adalah sedang, berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai

dengan 8 m/km, tergantung dari fungsi jalannya[16].

Jika IRI masih dibawah 4,5 m/km, artinya jalan masih dalam kondisi tahap

pemeliharaan rutin, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan merupakan tindakan

pencegahan untuk mencegah infiltrasi air kedalam struktur perkerasan serta untuk

mencegah kerusakan perkerasan akibat pengaruh cuaca dan lingkungan, kegiatan

pemeliharaan yang dilakukan dapat berupa penambalan lubang, penutupan retak dan

kegiatan perawatan lainnya yang bertujuan untuk menjaga kondisi pelayanan

perkerasan jalan. Jika IRI antara 4,5 sampai 8 m/km, yang dikategorikan dalam

kondisi sedang, berarti jalan sudah perlu dilakukan pemeliharaan berkala dengan


(39)

dipertimbangkan untuk mendapat peningkatan, sedangkan jika IRI lebih besar dari 12

m/km, maka jalan sudah dalam kondisi kritis atau habis umur rencananya, untuk itu

jalan tersebut perlu direkonstruksi dengan menambah lapisan agregat base kelas A

baru kemudian ditutup dengan lapisan aus untuk mengembalikan tingkat

pelayanannya. Secara umum hubungan antara kondisi, umur dan jenis penanganan

jalan dapat dilihat pada Gambar 2. 3 dan Tabel 2. 3 berikut.

Gambar 2. 3. Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan[16]

Tabel 2. 3. Kondisi Jalan Dan Langkah Penanganannya

RCI IRI Jenis Penanganan

> 7 < 4,5 Perawatan Rutin

7 – 5 4,5 – 8 Perawatan Berkala

5 – 3,5 8 – 12 Peningkatan


(40)

II. 6. Stabilisasi Pada Perkerasan Jalan

Stabilisasi dalam perkerasan jalan adalah suatu proses yang dilakukan

sedemikian rupa untuk meningkatkan daya dukung beban dan stabilitas material yang

distabilisasi [11]. Stabilisasi dilakukan dengan mencampur sejumlah bahan pengikat

maupun material baru dengan gradasi tertentu untuk meningkatkan kualitas material

yang distabilisasi. Terdapat banyak jenis bahan pengikat (binder) yang dapat

digunakan dalam stabilisasi. Pemilihan bahan pengikat dipengaruhi oleh nilai Indeks

Plastisitas (IP) material, gradasi dan ukuran butiran material serta ketersediaan

peralatan dan bahan untuk melakukan stabilisasi. Sebagai contoh, semen sangat baik

digunakan pada material dengan Indeks Plastisitas lebih kecil atau sama dengan 10[5].

AUSTROADS [5] memberikan panduan untuk memilih bahan pengikat dalam

stabilisasi berdasarkan nilai Indeks Plastisitas dan ukuran partikal material, seperti

terlihat pada Tabel 2. 3.

Dalam perkembangannya penggunaan stabilisasi dalam rehabilitasi perkerasan

jalan saat ini juga sering dikombinasikan dengan teknik daur ulang material

perkerasan[18][19]. Penggunaan stabilisasi dalam daur ulang perkerasan dilakukan

untuk peningkatan kualitas material perkerasan yang didaur ulang. Penggunaan

stabilisasi dalam daur ulang perkerasan jalan semakin didukung dengan

perkembangan teknologi peralatan untuk pengerjaan stabilisasi, sehingga semakin

memudahkan proses pengerjaan stabilisasi dengan berbagai jenis material, aditif


(41)

Stabilisasi dalam daur ulang perkerasan dilakukan dengan untuk mendaur

struktur perkerasan eksisting yang terdiri dari lapis permukaan dan lapis pondasi

maupun lapis tanah dasar perkerasan menjadi lapis pondasi yang distabilisasi.

Berdasarkan jenis aditif yang digunakan, stabilisasi pada material perkerasan

terdiri dari [4].

- Stabilisasi mekanis

- Stabilisasi kimia

- Stabilisasi bitumen

Tabel 2. 4. Panduan Pemilihan Bahan Pengikat Berbagai Indeks Plastisitas Dan Ukuran Butiran Material[5]


(42)

II. 6. 1. Stabilisasi Mekanis

Stabilisasi jenis ini dilakukan dengan penambahan material dengan gradasi

tertentu pada material yang akan distabilisasi untuk memperbaiki gradasi material

tersebut sehingga akan meningkatkan daya ikat (interlocking) antar partikel material

ketika dipadatkan. Material yang ditambahkan dapat berupa batu pecah, abu batu,


(43)

Jenis stabilisasi ini merupakan jenis stabilisasi yang paling umum digunakan

dalam perkerasan jalan, lapisan stabilisasi yang dihasilkan dalam perencanaan tebal

perkerasan diasumsikan sebagai unbound material.

II. 6. 2. Stabilisasi Kimiawi

Stabilisasi jenis ini menggunakan aditif berupa bahan kimia yang dapat terdiri

dari semen Portland, kapur, abu terbang (fly ash) dan beberapa jenis aditif lainnya

berupa senyawa kimia dalam bentuk polymer yang dikembangkan untuk digunakan

dalam proses stabilisasi.

Khusus untuk stabilisasi dengan bahan pengikat semen (cemented material),

dikenal 2 jenis tingkatan stabilisasi yang dibuat berdasarkan kriteria kekuatan

struktural (structural performance) yang dihasilkan material yang distabilisasi, yaitu

mofidied material dan bound material[5].

Modified material merupakan stabilisasi yang diproleh dengan penambahan

jumlah semen yang relatif sedikit terhadap material jalan yang hanya cukup untuk

memperbaiki kekurangan sifat material yang distabilisasi tanpa menyebabkan

perubahan kekakuan material[16]. Penambahan semen yang dilakukan umumnya

dilakukan untuk menurunkan nilai Indeks Plastisitas material yang tinggi, mengurangi

sensitifitas material berbutir halus terhadap pengaruh air serta untuk menyediakan alas

(working platform) untuk pengerjaan pemadatan lapisan diatasnya. Dalam

perencanaan tebal perkerasan, stabilisasi jenis ini digolongkan kedalam unbound

material karena kekakuannya yang tidak berubah. Namun ada kalanya seiring

berjalannya waktu, material yang distabilisasi memperoleh peningkatan kekuatan


(44)

perencanaan jangka panjang, stabilisasi jenis ini dapat diasumsikan sebagai bound

material dengan modulus <1000 Mpa.

Bound material merupakan stabilisasi yang diperoleh melalui penambahan

semen dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kekakuan dan kemampuan

memikul tegangan tarik akibat beban lalu lintas[19]. Penggunaan stabilisasi jenis ini

akan menghasilkan pengurangan tebal perkerasan apabila dibandingkan dengan

perkerasan yang menggunakan lapis pondasi yang tidak distabilisasi. Hal ini karena

kekakuannya yang cukup tinggi sehingga dengan tebal lapisan yang cukup tipis sudah

mampu memikul beban yang direncanakan padanya. Namun disisi lain, karena

kekakuannya yang tinggi tersebut lapisan stabilisasi ini menjadi lebih rentan terhadap

retak fatigue akibat pengulangan beban. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan

tebal minimum untuk lapisan stabilisasi sebesar minimal 250 mm[5], sebagai contoh,

analisa yang dilakukan dengan menggunakan program Circly[22], dimana analisa

yang dilakukan untuk perkerasan dengan stabilisasi bound material dengan modulus

E=3500 MPa diatas tanah dasar dengan CBR=5%, lalu lintas rencana = 1x105 ESAs,

menunjukkan bahwa tebal lapis stabilisasi yang diperlukan untuk mencegah terjadinya

alur pada tanah dasar cukup sebesar 55 mm. Namun untuk mencegah terjadinya retak

fatigue pada lapis stabilisasi akibat pengulangan beban, perhitungan yang dilakukan

menunjukkan bahwa diperlukan lapisan setebal 290 mm. Hal ini memberikan

kesimpulan bahwa kegagalan yang terjadi pada lapis stabilisasi jenis bound material

lebih diakibatkan oleh terjadinya retak fatigue akibat pengulangan beban. Untuk itu

disarankan penggunaan tebal minimum lapis sebesar minimal 250 mm untuk

mencegah terjadinya retak fatigue akibat tebal lapisan yang terlalu tipis.

Dari pengalaman praktis, diperoleh besaran penambahan semen sebesar 1


(45)

material, penambahan semen sebesar 2 sampai 3% untuk mendapatkan karakteristik

stabilisasi lightly bound dan penambahan semen lebih besar dari 4% untuk

mendapatkan karakteristik stabilisasi jenis heavily bound [11][19]. Secara garis besar,

tipikal propertis material dan penambahan jumlah semen yang dibutuhkan untuk

setiap jenis stabilisasi cemented material dapat dilihat pada Tabel 2. 5 dan Gambar 2.

4. berikut.

Tabel 2. 5. Tipikal Propertis Cemented Material [5]

Type material Tebal lapisan (mm) Kekuatan (MPA) Modulus (MPA)

Modifield Sembarang UCS<1.0 <1.000

Lightly bound <250 UCS 1-4 1.500-3.000


(46)

Gambar 2. 4. Kekuatan Modified Dan Bound Material Untuk Berbagai Kandungan

Semen[19].

II. 6. 3. Stabilisasi Bitumen

Material yang distabilisasi dengan bitumen akan menghasilkan suatu lapisan

Yang lebih fleksibel sehingga lebih tahan terhadap retak fatigue bila dibandingkan

dengan material yang distabilisasi dengan semen (cemented material). Material yang

distabilisasi dengan bitumen juga lebih tahan terhadap retak susut sehingga dapat

segera dibuka untuk lalu lintas setelah konstruksinya selesai [4].

Jenis pengikat yang sering digunakan dalam stabilisasi ini dapat berupa emulsi

aspal dan busa aspal. Emulsi aspal dihasilkan dari proses pengemulsian aspal keras

dalam air yang mengandung bahan pengemulsi (emulsifier). Aspal emulsi dibedakan

atas ion yang terkandung di dalamnya, yang terdiri dari [24] :

- Aspal emulsi anionic, yaitu aspal emulsi yang mengandung ion negatif

- Aspal emulsi kationik, yaitu aspal yang mengandung ion positif

- Aspal mulsi non ionic, yaitu aspal emulsi yang tidak mengandung ion

Sementara busa aspal dihasilkan ketika sejumlah air dingin dan udara

disemprotkan pada aspal panas sehingga menyebabkan timbulnya busa pada aspal.

Busa aspal pada umumnya terdiri dari 97 % aspal, 2.5 % air, dan 0.5 % zat aditif. Sifat

busa aspal dipengaruhi oleh dua faktor utama, meliputi [24] :

- Rasio ekspansi, yaitu perbandingan volume maksimum buat aspal dalam

kondisi berbusa dengan volume aspal sebelum menjadi berbusa

- Waktu paruh (half life), yaitu waktu yang dibutuhkan busa aspal untuk


(47)

Alasan utama penggunaan aspal emulsi maupun busa aspal aditif stabilisasi

adalah untuk memudahkan mencampur aspal dengan material yang dingin dan

lembab[4], seperti kondisi yang terjadi pada material daur ulang perkerasan jalan

dimana material yang digunakan dalam keadaan dingin dan lembab.

Disamping jenis stabilisasi yang telah diuraikan diatas, juga dikenal jenis

stabilisasi yang menggunakan campuran bahan pengikat, seperti stabilisasi dengan

campuran semen-aspal emulsi, semen-busa aspal, semen-kapur dan sebagainya.

Tujuan penggunaan campuran bahan pengikat ini adalah untuk memperbaiki

kekurangan yang dimiliki oleh satu jenis bahan pengikat dengan menggunakan

kelebihan dari bahan pengikat lainnya, seperti untuk meningkatkan kuat ikat awal

(early strength) maupun untuk menambah waktu kerja (working period) sehingga

memudahkan untuk proses pelaksanaannya. Sebagai contoh, pada penambahan sedikit

semen yang digunakan pada stabilisasi dengan busa aspal maupun emulsi aspal.

Penambahan semen pada stabilisasi jenis ini bertujuan untuk meningkatkan kuat awal

(early strength) dari stabilisasi tersebut, sementara busa aspal maupun emulsi aspal

berfungsi untuk meningkatkan daya tahan lapis stabilisasi terhadap timbulnya retak


(48)

BAB III

TEKNIK DAUR ULANG SEBAGAI ALTERNATIF REHABILITASI JALAN

III. 1. Perkembangan Metode Daur Ulang

Teknik daur ulang material perkerasan jalan sebenarnya bukanlah suatu

konsep yang baru[4]. Teknik pengupasan dan penghancuran struktur perkerasan lama

pengolahan kembali dengan berbagai jenis bahan pengikat (binders) untuk

membentuk suatu jenis lapis pondasi yang distabilisasi sudah diterapkan pada sejak

tahun 1950an. Sementara usaha untuk penyempurnaan dan pengembangan baik dalam

metode maupun perlengkapan peralatan yang digunakan terus dilakukan agar

diperoleh suatu hasil yang maksimal seiring dengan perkembangan teknologi dan

kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Teknik daur ulang, khususnya Full Depth Reclamation (FDR) atau dikenal

juga dengan teknik Deep Lift Insitu Pavement Recycling (DLIPR) pada dasarnya

merupakan perkembangan dari teknik stabilisasi tanah (soil stabilizing) dalam

konstruksi pekerasan jalan. Jika dahulu stabilisasi tanah dilakukan dengan peralatan

sederhana dengan kemampuan yang sangat terbatas. Saat ini, seiring dengan

penemuan alat stabilisasi modern seperti heavy duty recycler Wirtgen WR-2500 atau

CMI RS 500/600 memungkinkan dibuatnya stabilisasi material daur ulang perkerasan

dengan mudah dan handal. Demikian juga halnya dengan penemuan peralatan

pendukung untuk pengaplikasian berbagai jenis bahan pengikat serta proses

pencampuran untuk mendapatkan hasil yang optimum semakin mempermudah


(49)

Di Indonesia studi ataupun pengkajian tentang potensi penerapan teknik daur

ulang perkerasan jalan mulai dilakukan pada tahun 1985[3]. Dan salah satu teknik

daur ulang perkerasan jalan yang saat ini sedang diterapkan di Propinsi Sumatera

Utara adalah teknik daur ulang perkerasan yang dikenal dengan teknik Full Depth

Reclamation (FDR) atau yang dikenal juga dengan teknik Deep Lift Insitu Pavement

Recycling (DLIPR). Teknik ini merupakan teknik daur ulang material perkerasan lama

ditempat baik yang berupa material berbutir kasar/halus ataupun campuran aspal yang

telah mengalami kerusakan dengan kedalaman lapisan mencapai 300 mm ataupun

lebih dengan satu kali proses pengerjaan dengan mengunakan peralatan large

reclaimer/stabilizer/recycler[11].

Pada teknik ini, seluruh lapisan perkerasan lama yang terdiri dari lapis

permukaan beraspal, lapis pondasi maupun sebagian tanah dasar digaruk untuk

selanjutnya diolah kembali ditempat menjadi material daur ulang yang selanjutnya

digunakan kembali sebagai material untuk menghasilkan lapis pondasi perkerasan

daur ulang.

Untuk dapat melakukan proses ini terlebih dahulu diperlukan penyelidikan

yang menyeluruh dan kemudian dilakukan perencanaan tebal perkerasan.

Penyelidikan yang dibutuhkan antara lain jumlah lalu lintas yang akan melewati jalan

tersebut, pemeriksaan visual lapangan, pembuatan tes pit dan pengambilan sampel,

pengukuran lendutan, pengukuran roughness, alur dll.

Hasil dari proses ini merupakan lapis pondasi perkerasan daur ulang yang

distabilisasi dengan menggunakan semen yang dikenal dengan Cement Treated

Recycling Base dan Cement Treated Recycling Sub Base (CTRB dan CTRSB).

Gambar 3.1 berikut menunjukkan proses yang harus dilakukan untuk


(50)

(51)

III. 2. Keuntungan Metode Daur Ulang Perkerasan

Sebagai teknik alternatif perbaikan kerusakan jalan, metode daur ulang

perkerasan memberikan keuntungan-keuntungan antara lain[4]:

1. Penghematan Material

2. Penghematan Energi

3. Penghematan Biaya

4. Pelestarian Lingkungan

III. 2. 1. Penghematan Material

Dengan menggunakan teknik daur ulang, memungkinkan untuk menggunakan

kembali material perkerasan lama sebagai bahan untuk pekerjaan perbaikan kerusakan

jalan, sehingga penghematan dari segi pengguaaan material baru dapat dilakukan.

Jika perbaikan kerusakan jalan dilakukan dengan metode konvensional, bahan

perkerasan lama akan terbuang begitu saja, sementara dengan metode daur ulang,

material perkerasan lama tersebut akan diolah kembali untuk digunakan sebagai

material perkerasan baru. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan mengingat

semakin sulitnya untuk memperoleh material yang bermutu tinggi baik dari segi

kualitas maupun kuantitas, terutama didaerah yang tidak memiliki sumber material.

III. 2. 2. Penghematan Energi

Selain menghemat penggunaan material baru, teknik daur ulang juga


(52)

memproduksi agregat yang berkualitas seperti batu pecah dibutuhkan energi yang

cukup besar yang digunakan dalam operasional mesin pemecah batu (stone crusher).

Dengan metode konvensional, kebutuhan agregat akan lebih banyak bila

dibandingkan dengan teknik daur ulang, sehingga energi yang digunakan untuk

memproduksi agregat juga lebih besar. Maka dengan penggunaan teknik daur ulang,

penghematan energi dapat dilakukan. Demikian juga halnya dengan transportasi yang

digunakan untuk mengangkut material perkerasan dari semuber material ke lokasi

pekerjaan yang juga membutuhkan energi yang cukup besar.

III. 2. 3. Penghematan Biaya

Dari segi biaya, jelas terlihat bahwa teknik daur ulang dapat menghemat

penggunaan biaya yang diperlukan untuk pengadaan material baru. Hal ini karena

dalam metode konvensional, pemakaian material perkerasan baru lebih banyak bila

dibandingkan dengan teknik daur ulang, sehingga pengeluaran biaya untuk pengadaan

material tersebut juga akan lebih besar.

Namun hal itu semua juga harus didukung oleh ketersediaan peralatan yang

diperlukan untuk pelaksanaan teknik daur ulang, dimana peralatan tersebut masih sulit

untuk diperoleh di Indonesia, sehingga biaya untuk mendatangkannya terkadang dapat

menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan metode konvensional.

III. 2. 4. Pelestarian Lingkungan

Keuntungan lain yang tidak kalah penting dengan digunakannya teknik daur

ulang perkerasan adalah terpeliharanya kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.


(53)

dimanfaatkan kembali, sementara dalam metode konvensional, material perkerasan

lama yang telah dibongkar biasanya dibiarkan berserakan disekitar lokasi pekerjaan.

Kondisi ini disamping mengganggu keindahan juga dapat mengganggu aktifitas

lainnya. Umumnya material perkerasan lama yang dibuang tersebut memakan tempat,

dan mengganggu ruang gerak disekitar lokasi pembuangan material tersebut.

III. 3. Pertimbangan Teknik Daur Ulang Sebagai Alternatif Perbaikan Jalan

Teknik daur ulang merupakan salah satu dari beberapa alternatif perbaikan

perkerasan jalan. Sebelum menentukan teknik alternatif yang akan digunakan, perlu

dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kerusakan perkerasan jalan dengan

melakukan pengujian lapangan seperti survey kondisi permukaan perkerasan, tingkat

kekasaran, nilai lendutan serta uji laboratorium terhadap contoh material perkerasan

untuk mengetahui penyebab kerusakan jalan serta karakteristik material perkerasan

eksisting. Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dibuat evaluasi

untuk menetukan alternatif perbaikan yang paling sesuai untuk mengatasi kerusakan

yang terjadi.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan teknik daur ulang sebagai

alternatif perbaikan jalan antara lain[3]:

- Pertimbangan Teknis

- Pertimbangan Ekonomi


(54)

III. 3. 1. Pertimbangan Teknis

Merujuk kepada konsep yang digunakan oleh Dinas Bina Marga, dimana

untuk jalan yang telah memasuki kondisi kritis dimana nilai IRI lebih besar atau sama

dengan 12, maka langkah penanganan yang diambil adalah berupa rekonstruksi jalan

dengan menutup permukaan jalan lama dengan material agregat kelas A untuk

selanjutnya dilapisi dengan lapisan penutup berupa lapisan beraspal yang terdiri dari

dua lapisan yaitu laston lapis aus (AC – WC) dan laston lapis antara (AC – BC). Pada

kondisi ini, struktur perkerasan lama dianggap sebagai tanah dasar atau underlying

base material, dimana pada kondisi ini struktur perkerasan lama dianggap tidak lagi

memberikan kontribusi terhadap daya dukung perkerasan (dianggap sama dengan

nol).

Meskipun konsep ini dianggap mampu untuk mengatasi permasalahan yang

terjadi, namun sebagai suatu metode rehabilitasi tentunya metode ini juga memiliki

beberapa kelemahan antara lain :

- Membutuhkan material baru (import material) dalam jumlah yang besar.

- Pelapisan ulang yang dilakukan secara berulang-ulang akan semakin

menambah tebal keseluruhan dari konstruksi perkerasan. Hal ini dapat

menjadi masalah ketika struktur perkerasan yang dilapis ulang berada

diatas struktur jembatan mapun flyover, dimana dengan bertambahnya

tebal, secara otomatis juga dapat menambah berat struktur perkerasan

yang menjadi beban pada lantai jembatan, dan sebagainya.

- Dengan bertambahnya tebal perkerasan, maka elevasi muka jalan juga


(55)

bangunan pelengkap jalan terhadap perubahan elevasi muka jalan tersebut,

sehingga hal ini akan menambah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan

ketika melaksanakan pekerjaan rehabilitasi jalan.

Salah satu alternatif lain yang dapat digunakan untuk melaksanakan pekerjaan

rehabilitasi jalan adalah dengan menggunakan teknik daur ulang. Dengan

menggunakan teknik daur ulang, struktur pekerasan lama diolah kembali untuk

menghasilkan lapis pondasi daur ulang yang distabilisasi dengan semen sebagai bahan

pengikatnya (Cement Treated Recycling Base/CTRB) untuk selanjutnya ditutup

dengan lapisan penutup berupa lapisan beraspal. Pada teknik ini, lapis penutup

beraspal yang digunakan umumnya cukup satu lapisan saja, yaitu laston lapis aus (AC

– WC). Hal ini disebabkan karena lapis CTRB yang dihasilkan melalui proses daur

ulang memiliki kekakuan yang cukup tinggi sehingga walaupun hanya ditutup dengan

satu lapis lapisan aus, kekuatannya sudah menyamai kekuatan perkerasan

konvensional yang menggunakan dua lapis lapisan penutup seperti yang telah

diuraikan diatas. Sehingga dengan menggunakan teknik daur ulang, penggunaan

material baru dapat dihemat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penambahan

tebal maupun peningkatan elevasi perkerasan dapat dihindari.

Pada teknik daur ulang ini, ketebalan lapis perkerasan yang akan didaur ulang

ditentukan oleh tebal lapis perkerasan lama yang tersedia di lapangan yang dapat

diketahui dengan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kondisi perkerasan

eksisting di lapangan, serta ketebalan lapis pondasi daur ulang (CTRB) yang

dibutuhkan. Dengan kata lain, tebal lapis perkerasan yang tersdia untuk didaur ulang

harus lebih besar atau sama dengan tebal lapis CTRB yang dibutuhkan. Dalam hal


(56)

yang diperlukan, maka permukaan perkerasan lama harus ditimbun terlebih dahulu

dengan material baru dengan gradasi agregat yang sesuai dengan gradasi material

yang diperlukan sampai mencapai ketebalan yang mencukupi untuk melakukan proses

daur ulang. Material baru yang dapat digunakan untuk menambah ketebalan lapis

perkerasan lama agar memenuhi ketebalan yang dibutuhkan tersebut dapat berupa

agregat kelas B, dengan gradasi bergantung pada gradasi material yang tersedia di

lapangan, serta gradasi material yang diperlukan untuk pembuatan CTRB.

Gambar 3. 2. Teknik Alternatif Rehabilitasi Jalan

III. 3. 2. Pertimbangan Ekonomi

Keterbatasan dana merupakan permasalahan yang sering dihadapi dalam

pekerjaan pemeliharaan perkerasan jalan sehingga upaya penghematan dan optimasi

terhadap penggunaan dana yang tersedia harus selalu dilakukan untuk menghindari

terjadinya pemborosan. Pemborosan-pemborosan yang sering terjadi dalam pekerjaan


(57)

- Mengandung unsur over design karena pelapisan ulang dilakukan dengan tebal

yang seragam (yang biasanya lebih besar dari minimum) meskipun tingkat

kerusakan yang terjadi tidak sama.

- Adanya batasan tebal minimum tebal pelapisan ulang yang sering kali

melebihi kebutuhan yang diperlukan.

- Adanya kesulitan untuk melakukan perbaikan mutu bahan dan kekuatan

konstruksi yang akan dilapis ulang.

- Perubahan elevasi jalan akibat bertambahnya tebal perkerasan karena

pelapisan ulang yang dilakukan memerlukan penyesuaian (dalam hal ini

pembongkaran) elevasi dari beberapa bangunan pelengkap jalan yang sering

kali kondisinya masih bagus.

- Kenaikan harga material perkerasan yang secara langsung berdampak pada

semakin besarnya biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jalan, dan

sebagainya.

Dengan menggunakan teknik daur ulang, permasalahan-permasalahan tersebut

diatas diharapkan dapat diatasi karena dengan menggunakan teknik daur ulang,

dimungkinkan untuk menjaga elevasi jalan sehingga penyesuaian elevasi bangunan

pelengkap terhadap elevasi jalan tidak diperlukan. Dengan teknik daur ulang juga

dimungkinkan untuk memperbaiki bagian perkerasan yang rusak saja dan juga

menghemat penggunaan material baru sehingga penghematan dapat dilakukan.

Salah satu hal yang juga perlu diperhatikan dalam menggunakan teknik daur

ulang sebagai teknik alternatif rehabilitasi jalan adalah teknik yang digunakan sedapat


(58)

dengan harga yang relatif lebih murah dari pada teknik konvensional sehingga tujuan

penggunaan teknik daur ulang untuk menghemat penggunaan biaya dapat tercapai.

III. 3. 3. Pertimbangan Lingkungan

Masalah lingkungan yang sering menyertai dalam setiap kegiatan perbaikan

jalan khususnya pelapisan ulang konvensional terutama didaerah perkotaan adalah

semakin tingginya elevasi jalan terhadap lahan hunian, perkantoran dan bangunan lain

disepanjang jalan yang dilapis ulang, dimana kondisi ini sangat merugikan dibanyak

aspek, baik dari segi estetika, fungsional dan segi teknik lainnya dari

bangunan-bangunan tersebut[2].

Perubahan elevasi jalan juga berdampak pada kinerja sistem saluran drainase

lingkungan disekitar jalan. Secara tidak langsung, penambahan elevasi jalan akibat

pelapisan ulang akan melindungi jalan dari bahaya banjir, namun sebaliknya akan

menambah bahaya banjir bagi lingkungan disekitarnya.

Aspek lingkungan lainnya adalah mulai dirasakannya kesulitan untuk

memperoleh material konstruksi jalan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya,

sehingga terkadang material tersebut harus didatangkan dari daerah lain.

Pengangkutan material ini tentunya dilakukan dengan menggunakan truk-truk berat

yang dapat menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas maupun menimbulkan

kerusakan baru pada jaringan jalan lain disekitar lokasi pekerjaan.

Demikian juga halnya pada proses rekonstruksi jalan yang dilakukan dengan

membongkar dan membuang material perkerasan jalan lama yang telah rusak dan

menggantinya dengan perkerasan baru. Hal ini juga dapat menjadi masalah ketika


(59)

pengangkutan material keluar (pembuangan) dan masuk (pengadaan) lokasi pekerjaan,

hal ini dapat juga menyebabkan gangguan terhadap lingkungan sekitar pekerjaan

sperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Dari permasalahan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah

lingkungan yang sering terjadi dalam pekerjaan perbaikan jalan lebih diakibatkan oleh

perubahan elevasi jalan, gangguan terhadap arus lalu lintas dan kerusakan baru pada

jaringan jalan disekitar lokasi pekerjaan. Dengan penerapan teknik daur ulang,

sebagian besar permasalahan tersbut dapat dipecahkan.

III. 4. Kriteria Jalan Yang Dapat Didaur Ulang

Adapun kriteria ruas jalan yang direkomendasikan untuk diperbaiki dengan

menggunakan metode daur ulang meliputi[4][11]:

 Ruas jalan yang rusak berat, nilai IRI > atau sama dengan 12, tetapi dulunya

memiliki base course dan lapisan aus.

 Kondisi perkerasan telah rusak parah dan tidak dapat direhabilitasi hanya

dengan melakukan pelapisan ulang saja.

 Kerusakan perkerasan yang terjadi menunjukkan bahwa penyebab kerusakan

adalah kegagalan pada lapis pondasi perkerasan, baik pondasi atas maupun

pondasi bawah.

 Ruas jalan yang selalu bermasalah dengan genangan air akibat tidak

berfungsinya saluran drainase perkerasan.

Ruas jalan yang dilalui truk overload yang cukup banyak, sehingga kekuatan

struktur perkerasan tidak lagi memadai untuk memikul beban lalu lintas di

masa depan.


(60)

III. 5. Cement Treated Recycling Base Dan Sub Base (CTRB dan CTRSB)

CTRB dan CTRSB merupakan jenis lapis pondasi jalan yang dibuat dengan

menggunakan material daur ulang perkerasan lama yang telah rusak. Pekerjaan daur

ulang ini meliputi pemrosesan daur ulang (recycling) pada perkerasan jalan lama baik

jalan kerikil/agregat atau jalan aspal yang telah terlebih dahulu dipersiapkan.

Pekerjaan daur ulang ini dilaksanakan pada jalan aspal/agregat/kerikil yang perlu

distabilisasi atau ditingkatkan kemampuan daya dukungnya dengan menambahkan

bahan tambah semen sebagai bahan lapis pondasi atau lapis pondasi bawah. Apabila

material yang digunakan terdiri dari selected material, lapisan aspal eksisting dan

semen maka disebut Cement Treated Recycling Subbase (CTRSB), sedangkan apabila

material yang digunakan terdiri atas kerikil/agregat, lapisan aspal eksisting dan semen

dinamakan Cement Treated Recycling Base (CTRB)[9].

III. 5. 1. Spesifikasi Teknis CTRB dan CTRSB

Pelaksanaan pekerjaan daur ulang perkerasan jalan di Indonesia, khususnya

pekerjaan daur ulang untuk menghasilkan Cement Treated Recycling Base dan Sub

Base (CTRB dan CTRSB) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang tertuang

dalam Spesifikasi Khusus bab VI : Cement Treated Recycling Base dan Sub Base

yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga.

Beberapa hal yang diatur dalam petunujk teknis tersebut antara lain ketentuan


(61)

A. Material Yang Digunakan

1. Semen

Semen merupakan bahan pengikat yang penting dan banyak digunakan

dalam pembangunan fisik di sektor konstruksi. Jika bereaksi dengan air, semen

akan menjadi pasta semen. Fungsi utama semen adalah mengikat butir-butir

agregat hingga membentuk suatu massa padat dan mengisi rongga-rongga

udara diantara butir-butir agregat. Walaupun komposisi semen dalam

campuran CTRB hanya sekitar 3–6 % berat namun karena fungsinya sebagai

bahan pengikat maka peranan semen menjadi penting. Mengacu pada

Spesifikasi Khusus Bina Marga Bab VIA, semen yang digunakan untuk CTRB

dan CTRSB adalah semen Portland biasa yang memenuhi ketentuan Standar

Industri Indonesia SII-13-1977 Semen Portland Type 1, yaitu semen portland

yang dalam penggunaannya tidak memerlukan persyaratan khusus seperti

jenis-jenis lainnya.

2. Air

Air diperlukan pada campuran CTRB untuk memacu proses hidrasi

semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan

konstruksi. Air yang dapat diminum umumnya dapat digunakan dalam proses

pembuatan CTRB. Air yang mengandung senyawa-senyawa berbahaya atau

mengandung garam, minyak, gula atau bahan kimia lainnya yang bila dipakai

akan mengurangi kualitas campuran CTRB bahkan dapat mengubah sifat

CTRB yang dihasilkan disaran kan untuk tidak digunakan dalam campuran


(62)

Mengacu pada Spesifikasi Khusus Bina Marga Bab VIA, air yang digunakan

untuk pekerjaan CTRB dan CTRSB adalah air tawar yang bebas dari endapan

maupun larutan atau bahan suspensi yang mungkin dapat merusak pembuatan

CTRB dan CTRSB seperti yang ditentukan dan harus memenuhi ketentuan

yang disyaratkan dalam SNI 03-6817-2002 tentang mutu air yang digunakan

dalam beton.

Tabel 3. 1. Ketentuan Air Untuk CTRB dan CTRSB[7]

No Macam Pengujian Persyaratan Cara Pengujian

1 pH 4,5 – 8,5 SNI 06-2423-1991

2 Bahan Organik Maksimum 200 ppm SNI 03-6817-2002

3 Minyak Mineral < 2 % berat semen SNI M68-1990-03

4 Kadar Sulfat < 10.000 ppm SNI 06-2426-1991

5 Kadar Klorida < 20.000 ppm SNI 06-2431-1991

3. Material Daur Ulang (Recycling)

a. Material yang didaur ulang dengan stabilisasi semen ini umumnya

dimanfaatkan dari material yang sudah ada di perkerasan lama yang

kemudian dibuat rancangan campuran dari hasil pengambilan contoh

lapangan sebelum pekerjaan daur ulang dilaksanakan melalui tes pit

disetiap segmennya menggunakan kadar semen yang direncanakan.

b. Material daur ulang digunakan sebagai agregat yang diperoleh dari

campuran lapis perkerasan lama yang digaruk dan dihancurkan

sehingga lolos saringan 1 ½ inci (37,50 mm) untuk lapis pondasi dan


(1)

penutup beraspal ini memiliki harga yang paling besar apabila dibandingkan dengan mata pembayaran pekerjaan lainnya pada tipikal penanganan yang dianalisa.

Dari analisa terhadap simulasi perhitungan Rancangan Anggaran Biaya pada beberapa jenis tipikal penanganan perbaikan jalan dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode daur ulang khususnya pembuatan CTRB pada perbaikan kerusakan perkerasan jalan lebih tepat digunakan pada pekerjaan rehabilitasi atay rekonstruksi karena mampu memberikan penghematan biaya konstruksi secara langsung.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan hasil analisa pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpilan bahwa :

1. Pemilihan teknik rehabilitasi jalan harus dibuat berdasarkan tingkat kerusakan dan tingkat keekonomisan teknik rehabilitasi yang akan digunakan.

2. Dari hasil analisa Rancangan anggaran Biaya (RAB), diperoleh hasil bahwa pada tipikal penanganan untuk kondisi jalan dengan nilai IRI = 4 s/d 8 (perawatan berkala), teknik daur ulang tidak memberikan efisiensi biaya seperti yang diharapkan adanya batasan tebal minimum yang disarankan sehingga pada teknik daur ulang cenderung terjadi unsure over desain sehingga menyebabkan biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar dari pada biaya yang dibutuhkan pada metode konvensional.

3. Dari hasil analisa Rancangan anggaran Biaya (RAB), diperoleh hasil bahwa pada tipikal penanganan untuk kondisi jalan dengan nilai IRI = 8 s/d 12 (pekerjaan peningkatan) dan pada jalan dengan nilai IRI > 12 (pekerjaan rehabilitasi/rekonstruksi), penggunaaan teknik daur ulang terbukti mampu memberikan efisiensi biaya berturut-turut 25% dan 15%. Hasil yang bervariasi mungkin terjadi pada tipikal penanganan lainnya, tergantung pada penggunaan material baru dan kadar bahan pengikat semen yang digunakan.


(3)

4. Penghematan yang diperoleh dengan pemakaian teknik daur ulang terutama sekali diperoleh melalui pengurangan penggunaan material beraspal, baik AC – WC maupun AC – BC yang digunakan sebagai material lapis penutup pada tipikal penanganan yang dianalisa apabila dibandingkan dengan metode konvensional.

V. 2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan untuk pengembangan teknik daur ulang selanjutnya adalah hendaknya dibahas mengenai sampai sejauh mana pengaruh penggunaan material baru dalam teknik daur ulang dapat mempengaruhi tingkat kekonomisan teknik daur ulang terhadap teknik rehabilitasi konvensional.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. AASHTO (1993) AASHTO Guide for Design of Pavement Structure. American Association of State Highway and Transportation Officials; Washington, D.C. 2. Agah, Heddy. R, Kerusakan Jalan: Akibat, Kesengajaan atau Dampak?, Fakultas

Teknik Universitas Indonesia.

3. Aly, Ir.Moh.Anas (2007), Teknik Dasar Dan Potensi Daur Ulang Konstruksi Jalan, Yayasan Pengembang Teknologi Dan Manajemen, Indonesia.

4. ARRA (2001), ARRA Basic Asphalt Recycling Manual, Asphalt Recycling and Reclaiming Association, U.S.A.

5. AUSTROADS ( 2002 ), Mix Design For Stabilised Pavement Material, AUSTROADS, Australia.

6. AustStab (1996), Life Cycle Costing Of Stabilised Pavements, AustStab, Australia.

7. Departemen Pekerjaan Umum (2005), Pedoman Perencanaan Campuran Lapis Pondasi Hasil Daur Ulang Perkerasan Lama Dengan Semen No. Pd. T-08-2005-B, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta

8. Direktorat Jenderal Bina Marga (1990), Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota No. 018 / T / BNKT / 1990.

9. Direktorat Jenderal Bina Marga (2008), Panduan Analisa Harga Satuan, Spesifikasi Umum dan Khusus Edisi Desember 2006, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

10. Muench, S. T, Mahoney, J. P. and Pierce, L. M, (2003), WSDOT Pavement Guide Interactive, Department of Transportation, Olympia.


(5)

11. Muis, Zulkarnain.A.; Rasidi, Selamat, (2008), Deep Lift Insitu Pavement Recycling Sebagai Alternatif Teknik Rehabilitasi Jalan Di Provinsi Sumatera Utara, Prosiding Konferensi Regional Teknik Jalan Ke 10 Wilayah Barat Dan Tengah, HPJI, Indonesia.

12. Muis, Zulkarnain A, (1993), Perencanaan Tebal Perkerasan Lanjutan, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

13. Sugeng, Bambang, Peranan Rekayasa Jalan Dalam Mewujud Sustainable Transportation, ITB, Bandung.

14. Sukirman, Silvia, (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, NOVA, Bandung.

15. Sharp, K.G; Johnson-Clarke; J.R, Fossey, D.W (2005), A Review Of The Australian ALF Program, Australian Road Research Board (ARRB), Australia. 16. Tamin, Ofyar Z, dkk (2008), Pengaruh Muatan Truk Berlebih Terhadap Biaya

Pemeliharaan Jalan Dan Alternatif Pemecahannya, Simposium XI FSTPT, Universitas Dipenogoro Semarang.

17. Vorobieff, George, (1997), Research And Emerging Trend In Road stabilisation, Auststab, Australia.

18. Vorobieff, George, (2004), Stabilisation Practice In Australia, Auststab, Australia. 19. Vorobieff, George, (2004), Modified Versus Bound Pavements, Auststab,

Australia.

20. White BE,Greg; Gnanendran, Chartigesu,(2005), The Characterisation Of Cementitious Insitu Stabilised Pavement Material: The Past, The Present And The Future,University Of New south Wales, Australia

21. Wilmot, Tom. D (2003), Selection Of Additives for Stabilisation And Recycling of Road Pavements, Stabilised Pavements of australia, Australia


(6)

22. Wilmot, Tom. D; Rodway, Bruce, (1999), Stabilised Pavements – Selecting Additive: Cementitious, Polymer Or Bitumen, Auststab, Australia

23. Wilmot, Tom. D; Vorobieff, George (1997), Is Pavement Recycling Is A Good Community Policy?, AustStab, Australia.

24. Wirtgen,GmbH, (2004), Wirtgen Cold Recycling Manual, Second Edition, Windhagen, Germany.

25. Wiryanto, Usman, (2001), Metodologi Penyusunan Rencana Program investasi Jangka Menengah Jalan Kabupaten Di Kabupaten Purworejo TA 2001, Purworejo.

26. Zarkasi, Iwan, (2008), Upaya Balai V Dalam memelihara Jalan Berkelanjutan Tahan Cuaca Dan Beban Berlebih, Balai Besar Penanganan Jalan Nasional V.


Dokumen yang terkait

Evaluasi Tebal Lapis Perkerasan Lentur Manual Desain Perkerasan Jalan No.22.2/KPTS/Db/2012 Dengan Menggunakan Program Kenpave

17 135 102

Pembuatan Papan Partikel Komposit Polietilena Kerapatan Rendah Daur Ulang Dan Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit

2 41 86

Kajian Tentang Kelayakan Proses Daur Ulang Air Limbah Rumah Tangga Menjadi Air Baku Untuk Air Bersih Di Pemukiman Karyawan PT. Inalum Tanjung Gading Kabupaten Batubara

3 49 89

Daur Ulang Kemasan Kantongan Plastik (Polietilen) Dan Pelepah Kelapa Sawit Untuk Saklar Listrik

2 64 84

Konsep Daur Ulang pada Material Bekas sebagai Elemen Interior Kafe di Medan (Studi Kasus: Resep Nenek Moyangku, Lekker Urban Food House, dan Hungry Tummy)

9 90 188

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU DITINJAU DARI METODE Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningka

0 3 16

ANALISA PERBANDINGAN KONSTRUKSI JALAN PERKERASAN LENTUR DENGAN PERKERASAN KAKU Analisa Perbandingan Konstruksi Jalan Perkerasan Lentur Dengan Perkerasan Kaku Ditinjau Dari Metode Pelaksanaan Dan Biaya (Studi Kasus: Pekerjaan Peningkatan Struktur Jalan Ma

0 2 20

ANALISA LENDUTAN DAN MODEL RETAK LAPIS PERKERASAN AC-WC DAUR ULANG YANG DIPERKUAT GEOGRID PRA-TEGANG Analisa Lendutan Dan Model Retak Lapis Perkerasan Acwc Daur Ulang Yang Diperkuat Geogrid Pra-Tegang.

0 1 15

KONSTRUKSI LAPIS PERKERASAN ACWC DAUR ULANG DIPERKUAT DENGAN GEOGRID PRA-TEGANG Konstruksi Lapis Perkerasan Acwc Daur Ulang Diperkuat Dengan Geogrid Pra-Tegang.

0 1 16

KONSTRUKSI LAPIS PERKERASAN ACWC DAUR ULANG DIPERKUAT DENGAN GEOGRID PRA-TEGANG Konstruksi Lapis Perkerasan Acwc Daur Ulang Diperkuat Dengan Geogrid Pra-Tegang.

0 0 8