Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
memang benar-benar mungkin mogelijk, kemudian oleh karena sesuatu hal menjadi tidak mungkin, maka perjanjian seperti ini tetap sah dan berharga.
Masalah sampai dimana pengaruh kejadian yang menyebabkan ketidak mungkinan melaksanakan prestasi, maka persoalan ini termasuk ruang lingkup
overmacht. Menilai overmacht atau noodtuestand yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata ialah pada saat pelaksanaannya.
Umumnya orang membedakan antara absolut overmacht dan relatif overmacht. Pada absolut overmach pelaksanaan perjanjian sama sekali sungguh-
sungguh tidak mungkin dilaksanakan oleh debitur. Pada relatif overmacht pelaksanaan perjanjian masih mungkin dilakukan tapi dengan jalan memikul
kerugian yang sangat berat bagi pihak debitur, sehingga kerugian baik berupa pembiayaan pelaksanaan benar-benar merupakan penderitaan yang besar bagi
debitur. Jadi dalam hal perjanjian kredit, maka kreditur berkewajiban untuk
menyerahkan sejumlah uang atau sejumlah barang pada debitur peminjam, sedangkan debitur berkewajiban untuk melakukan pelunasan hutang pada jangka
waktu tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan.
C. Syarat – syarat dan Bentuk – bentuk Perjanjian Kredit 1. Syarat-Syarat Perjanjian Kredit
Seringkali ditemukan dalam pemberian kredit itu tidak didasarkan kepada etika profesional yang tanpa memperhatikan faktor-faktor kelayakan untuk
pemberian kredit. Pada era globalisasi seperti sekarang ini yang sedang dihadapi pengelolaan manajemen perbankan haruslah didasarkan kepada etika profesional
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
yang secara meluas dianut oleh para pengelola bank-bank yang ada di dunia pada saat sekarang ini.
Perjanjian kredit sebahagian dikuasai oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan bagian umum KUHPerdata, maka mengenai syarat
perjanjian kredit perlu dilihat dalam bagian umum KUHPerdata tentang Perjanjian. Dalam pasal 1320 KUH Perdata untuk syahnya perjanjian diperlukan
adanya empat syarat, yaitu : a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b.
Cakap untuk membuat suatu perikatan c.
Suatu hal tertentu d.
Suatu sebab yang halal Syarat yang pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-
pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat disebut syarat objektif, karena mengenai objeknya dari
suatu perjanjian. Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka
berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi
perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui overeenstemende wilsverklarine antara para pihak.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran offerte, pernyataan yang menerima tawaran dinamakan akseptasi acceptatie
.
13
13
Mariam Darus Badrulzaman, Loc Cit, Hal. 74.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat
menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, antara lain : 1
Kekhilafan kesesatan Dalam KUHPerdata pada Pasal 1321 menyatakan tidak ada sepakat yang
sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Pada Pasal 1322 KUHPerdata juga menyatakan kekhilafan
tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan
tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan kecuali jika
persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. 2
Paksaan Dalam KUHPerdata pada Pasal 1323 menyatakan paksaan yang dilakukan
terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak
ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat. Yang dimaksud dengan paksaan adalah bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam
hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lemah dan membuat ia
mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah perjanjian. Pada Pasal 1324 KUHPerdata menyatakan paksaan telah terjadi, apabila
perbuatan itu sedemikian hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Yang dimaksud Paksaan disini adalah Kekerasan jasmani atau ancaman
akan membuka rahasia, dengan sesuatu yang diperbolekan hukum, yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.
Paksaan terhadap para pihak diatur dalam Pasal 1325 KUHPerdata, yang menyatakan paksaan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, tidak saja apabila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga
dalam garis keatas maupun ke bawah. Dalam KUHPerdata pada Pasal 1326 menyatakan ketakutan saja karena
hormat terhadap ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk pembatalan persetujuan. Dari Pasal 1326
ini dapat dilihat bahwa ketakutan tidak identik dengan paksaan. 3
Penipuan Pengertian penipuan, dalam KUHPerdata pada Pasal 1328 menyatakan
penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang
dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, akan tetapi
harus dibuktikan. Cakap dalam melakukan perbuatan hukum, dalam KUHPerdata pada Pasal
1329 menyatakan setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam KUH erdata pada Pasal 1330 juga menyatakan, tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah :
a Orang-orang belum dewasa.
b Mereka yang dtaruh di bawah pengampuan
c Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang
dan pada umumnya semua orang, kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Kalau syarat subjektif tidak dipenuhi maka suatu perjanjian itu tidak batal demi hukum akan tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas, dan
juga pihak yang menerima kredit haruslah sudah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan orang lain.
Syarat yang ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, dimana suatu perjanjian haruslah mempunyai objek bepaald onderwerp tertentu, sekurang-
kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada maupun yang akan ada. Barang itu adalah barang yang dapat
diperdagangkan dan dapat ditentukan jenisnya. Sedangkan barang yang akan datang, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1332 KUHPerdata, hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan- persetujuan. Barang yang akan ada, di dalam Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan
barang yang baru, akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Mengenai causa dan ketertiban umum, Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan perjanjian tanpa kuasa adalah suatu persetujuan tanpa sebab atau
yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Pada Pasal 1336 KUHPerdata, menyatakan sebab yang
halal adalah jika tidak dinyatakan sesuatu tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan persetujuannya,
namun demikian adalah sah. Mengenai sebab terlarang Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan causa bukanlah hubungan sebab
akibat sehingga pengertian kausa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit yang dimaksud dengan kausa bukan sebab yang
mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian
umum. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi
hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void. Dalam hubungannya dengan perjanjian kredit syarat-syarat tersebut
berlaku. Di dalam pembuatan perjanjian kredit antara pihak si penerima kredit dengan pihak bank, maka pihak si penerima kredit haruslah memenuhi
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebagai obyek dari adanya perjanjian kredit itu adalah sejumlah uang tertentu, sehingga pihak
bank sebagai pihak kredit harus menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada pihak si penerima kredit atau debitur dan pihak bank sebagai pihak kreditur
berhak untuk menuntut pengembalian daripada uang tersebut dari pihak di penerima kredit sebagai pihak debitur dan debitur berkewajiban mengembalikan
pinjamannya setelah jangka waktu yang telah ditentukan.
2. Bentuk - Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai
alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.. Perjanjian kredit dasar hukumnya secara tertulis dapat mengacu pada
Pasal 1 ayat 11, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun
dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur
sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu : a.
Perjanjian kredit di bawah tangan Perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh
bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka yaitu antara kreditur dan debitur, tanpa dibuat dihadapan notaris. Bahkan lazimnya dalam
penandatanganan akta perjanjian tersebut, tidak ada saksi yang turut serta dalam membubuhkan tanda tangannya. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa saksi
merupakan salah satu pembuktian dalam perkara perdata. Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan akta di bawah tangan adalah surat
atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang pejabat umum untuk dijadikan alat bukti. Jadi akta di bawah tangan
dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan.
Yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan
barang siapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan akta di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui tanda tangannya.
Kalau tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya.
Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda tangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah itu harus berusaha
mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Supaya akta di bawah tangan tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat
pembuktian formil, materiil dan pembuktian di depan hakim maka akta yang dibuat di bawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi. Secara harafiah legalisasi
artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar dengan jalan memberi pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas akta di bawah tangan meliputi
tanda tangan, tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi akta. Dengan adanya legalisasi maka para pihak yang membuat perjanjian di
bawah tangan tersebut tidak dapat mengingkari lagi keabsahan tanda tangan, tempat dan tanggal dibuatnya akta karena isi akta di bawah tangan, dibacakan dan
diterangkan sebelum para pihak tanda tangan. Meskipun akta di bawah tangan yang dilegalisasi tidak mengubah status
akta di bawah tangan menjadi akta otentik, namun dengan adanya legalisasi para pihak yang menandatangani akta di bawah tidak dapat lagi menyangkal atau
mengingkari keabsahan tanda tangan dan isi akta itu karena notaris telah menyaksikan dan membacakan isi akta sebelum para pihak menandatangani akta
tersebut. Berarti akta-akta di bawah tangan yang dilegalisasi mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta otentik baik pembuktian materiil, formil dan
pembuktian di depan hakim. Selain legalisasi terhadap akta di bawah tangan, ada juga yang disebut
waarmerking. Secara harfiah waarmerking dapat diartikan pengesahan, yaitu pencegahan atas akta di bawah tangan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh
undang-undang atau peraturan lain. Secara yuridis sebenarnya dalam waarmerking notaris hanya sekedar mencatat perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak di
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
dalam daftar yang disediakan untuk itu, sesuai dengan urutan yang ada. Jadi waarmerking itu tidak menyatakan kebenaran atas tanda tangan, tanggal dan
tempat dibuatnya akta dan kebenaran isi akta seperti halnya dalam legalisasi. Kekuatan hukum akta-akta di bawah tangan yang dilakukan waarmerking
secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta di bawah tangan menjadi akta otentik.
b. Perjanjian Kredit Notaril Otentik
Perjanjian kredit notaril otentik adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris. Dalam
KUHPerdata pada Pasal 1868 menyatakan akta otentik adalah : “akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau
dihadapan pegawai yang berkuasa pegawai umum untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pegawai umum, yang ditunjuk oleh undang-undang.
2. Bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya, akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Ditempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
14
Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang dimaksud Pada pasal 1868 KUH Perdata yaitu seorang notaris, seorang hakim, seorang juru sita pada
pengadilan, seorang pegawai catatan sipil, dan dalam perkembangannya, seorang
14
Thomas Suyatno, Ibid, Hal. 101.
Risky Adelia Budianty : Hubungan Hukum Antara Penjamin Dengan Pihak Pemberi Kredit Kepada Usaha Kecil Menengah Di Kota Medan Studi PT. Bank Negara Indonesia Persero Tbk Medan, 2008.
USU Repository © 2009
camat karena jabatannya ditunjuk sebagai pembuat akta tanah PPAT. Dengan demikian suatu akta notaris, surat keputusan hakim, berita acara yang dibuat oleh
juru sita pengadilan, surat perkawinan yang dibuat pegawai catatan sipil dan akta jual beli tanah yang dibuat PPAT adalah akta-akta otentik.
Dengan kata lain, jika akta di bawah tangan disangkal kebenarannya maka yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai alat bukti, harus mencari
tambahan bukti untuk membenarkan akta di bawah tangan. Tambahan bukti misalnya saksi-saksi yang dianggap mengetahui tentang pembuatan akta di bawah
tangan dan tanda tangan tersebut benar ditandatangani oleh pihak yang membantah.
D. Dasar Pertimbangan Pemberian Kredit