Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang

terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Selanjutnya Westmacott et al, 2000, berpendapat bahwa Kawasan Konservasi Laut memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan teumbu karang dengan cara: • Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan, • Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali, • Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Berikut adalah rancangan pengelolaan terumbu karang. IN TI Gambar 2. Rancangan pengelolaan terumbu karang Bengen, 2000

2.3. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang

Nikijuluw 2002a, menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan adalah IN TI IN TI Tahap 2 Tahap 3 Tahap 1 a. Dimensi biofisikekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut, b. Dimensi ekonomi terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya, c. Dimensi kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah- tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. Atribut pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau area stake yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. Kelembagaan dan organisasi eksternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta f. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya pesisir dan laut.

2.3.1. Dimensi Kelembagaan

Pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan terumbu karang adalah nelayan dan masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dimensi ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal, pemegang kepentingan utama, tingkat kepatuhan masyarakat, pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, tokoh panutan, penyuluhan hukum lingkungan, koperasi, tradisibudaya, dan forum konservasi. Keseluruhan variabel tersebut dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Variabel-variabel tersebut menentukan perilaku masyarakat secara individu atau kelompok. Asumsi yang selalu dipegang para peneliti dan manajer sumberdaya pesisir dan laut pemerintah adalah masyarakat bersifat rasional dan memiliki kepentingan tertentu dalam memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu, masyarakat akan beradaptasi dengan situasi yang sejalan dengan kepentingan mereka. Dengan kata lain, jika suatu tatanan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dapat memenuhi kepentingan masyarakat, secara rasional masyarakat akan menerima tatanan tersebut. Ostrom 1994, mengemukakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama, yaitu: a. Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam bentuk hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencaharian, b. Jika ada ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi atas sumberdaya pesisir dan laut serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lain. Lebih lanjut Ostrom 1994, menyatakan bahwa jika ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan laut tinggi, sedangkan ketersediaan sumberdaya tersebut terbatas atau tidak pasti jumlahnya, masyarakat cenderung bekerjasama atau melakukan aksi kolektif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw 2002a, menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah: 1. Keterwakilan representation yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan relevance adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3. Penegakan hukum enforceability adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Pollnac et al. 2003 dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management CRM dan Segara Anakan Conservation and Development Project , dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Natural Resource Management Project NRMP-1 menemukan bahwa peran serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Peranserta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat a manfaat yang diharapkan akan diperolehnya perceived benefits, b kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan c keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Juga, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat. Christie et al. 2003 juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi lokal tampak telah berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 enam parameter berkelanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen 2003 sebagai berikut: 1 sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; 2 sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; 3 didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; 4 keterlibatan aktif stakeholder; 5 memiliki rencana dan program yang jelas; 6 memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh 7, yaitu dukungan informasi ilmiah. Sievanen 2003 dalam studinya mengenai komunitas berpindah dan implikasi keberlanjutan memberi catatan khusus, yaitu bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas “komunitas” yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir, karena sering dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir. Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan coastal and marine-dependent communities, karena sering justru mereka yang termaginalkan.

2.3.2. Dimensi Ekologi

Atribut ini adalah pembatas atau kendala bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk terumbu karang. Sifat-sifat properti bersama sumberdaya alam seperti ekskludibilitas, substraktabilitas, dan individibilitas adalah kendala sekaligus tantangan untuk melakukan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Atribut ekologi dari sumberdaya juga menentukan skala pemanfaatan terumbu karang. Tentu saja, semakin besar area dan jumlah potensi terumbu karang yang tersedia, semakin besar skala pemanfaatan yang dapat dilaksanakan. Atribut ekologi juga menentukan cara para pengguna sumberdaya, dapat saling berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Potensi sumberdaya serta nilai finansial yang dapat diraih dari sumberdaya terumbu karang tersebut menentukan pola interaksi antar nelayan. Pola interaksi yang dimaksud dapat dilihat dari tersedia atau tidak tersedianya hak-hak pemanfaatan terumbu karang, yaitu hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak ekslusif, dan hak mengalihkan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan Aziz et al., 1998. Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY maximum sustainable yield atau terjadinya penangkapan berlebih overfishing akan membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Gulland 1983; overfishing diberdakan menjadi dua yaitu growth overfishing yang ditandai dengan menurunnya ukuran ikan yang tertangkap, dan recruitment overfishing yang ditandai oleh makin menurunnya CPUE catch per unit of effort. Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan De Santo, 2000. Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsinya bertindak didalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia Perrings et al., 2003. Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan resilience ekosistem atau sensitivitas ekosistem Holling et al., 2002. Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan Karr, 2002. Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia Hocutt, 2001. Kawasan pesisir dan laut terdiri dari berbagai ekosistem dan habitat baik yang ada di darat maupun di laut Suwandi et al., 2001. Kondisi kerusakan atau pencemaran disetiap ekosistem pesisir dapat digunakan sebagai atributdimensi ekologis Dahuri, 2002. Selain itu upaya untuk mencegah pencemaran dan pemanfaatan yang berlebihan juga dapat digunakan sebagai dimensi ekologis, misalnya adanya zonasi pemanfaatan. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir Clark, 1996. Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan. Konflik antar pengguna dapat mengurangi keberlanjutan pembangunan Holthus, 1999.

2.3.2. Dimensi Teknologi

Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta di tentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antar pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjasama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan. Oakerson 1992, mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor- faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. b. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus Susilo, 2003. Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang.

2.3.3. Dimensi Sosial Ekonomi

Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan demand dan penawaran supply komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat nelayan terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi. Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam natural resourcebased activity, terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar market-based activity . Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut.

2.4. Multidimensional Scaling