down planning . Kegiatan ini dikontrol dan dikendalikan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Kota Bitung karena sifatnya sebagai proyek pemerintah. Sementara itu peranan wanita dapat dikatakan sedikit. Hal ini terlihat dari
banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh wanita nelayan belum dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga, waktu lebih banyak dihabiskan dirumah
untuk mengurus rumah tangga, hal ini terlihat di Kecamatan Bitung Selatan. Dalam usaha dagang, kebanyakan wanita nelayan tidak berperan, namun demikian
ada yang berperan sebagai pedagang sambilan baik berupa kegiatan menjual ikan hasil tangkapan suami, ataupun ikan olahan yang dibuatnya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dimana partisipasi masyarakat digerakkan oleh tokoh dan aparat, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku serta nilai-
nilai pemegang kepentingan terhadap proses pengambilan keputusan dapat menerima. Berdasarkan temuan ini maka paradigma sikap dan perilaku
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut saat ini berkembang dalam format a kuatnya peran aparat dan tokoh masyarakat, b masyarakat
masih menaruh kepercayaan pada mereka yang berpendidikan relatif tinggi yang tercermin pada pengaruh tokoh masyarakat yang memiliki pendidikan lebih
dihargai. Keterlibatan masyarakat dalam kelompok bukan karena keinginan sendiri
tetapi didorong oleh adanya faktor pemimpin formal yaitu Lurah. Hal ini seperti diungkap oleh Kepala Kelurahan, sebagai berikut: pada tahun 2005 ketika ada
kegiatan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung, yang mengikuti kegiatan adalah kelompok nelayan. Kelompok nelayan tersebut dibentuk oleh
Lurah dengan kriteria tidak memiliki pekerjaan tetap dan patuh.
6.2. Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang
Akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dilakukan dengan menggunakan analisis Rap-Insus-COREMAG. Analisis Rap-
Insus-COREMAG akan menghasilkan indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang.
Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari empat dimensi yang dianalisis menghasilkan nilai
indeks akuntabilitas sebesar 57,07 pada skala akuntabilitas 0 – 100. Hal ini
menunjukkan bahwa berdasarkan analisis terhadap 45 atribut dengan 4 dimensi, pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh termasuk kategori cukup
akuntabel, dengan nilai indeks akuntabilitas 50 Gambar 23.
Good Bad
Up
Down
-80 -60
-40 -20
20 40
60 80
20 40
60 80
100 120
Sumbu X Setelah Rotasi Skala Akuntabilitas
S u
mbu Y S
e te
la h R
o ta
s i
Gambar 23.
Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh
Berdasarkan Gambar 23 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa secara umum masih perlu dilakukan perbaikan pada berbagai dimensi pengelolaan
kawasan terumbu karang, mencakup dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk mengetahui dimensi pengelolaan mana yang
memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi.
6.2.1. Dimensi Ekologi
Berdasarkan Gambar 24 nilai indeks akuntabilitas untuk dimensi ekologi adalah sebesar 70,67 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 47,04 untuk lokasi pesisir
Bitung. Hal ini menunjukkan bahwa indeks akuntabilitas dimensi ekologi Pulau Lembeh cukup akuntabel, sedangkan pesisir Bitung termasuk kategori kurang
akuntabel.
Ordinasi Dimensi Ekologi
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 1
Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
S u
m b
u Y
set el
ah r
o tasi
20
Gambar 24. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi
Analisis Leverage Dimensi Ekologi
2.595585143 1.036870019
1.092145732 1.36593863
1.395100115 1.346792958
1.527586857 1.825059521
2.156436877 2.002774936
1.489037128 2.939113622
2.699168795
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3 Persentase Penutupan Karang
Keanekaragaman Ikan Karang Kecepatan Arus
Substrat Perairan Suhu
Salinitas kecerahan
Kedalaman Spesies Endemik
Sedimentasi Jumlah sungai
Kondisi Perairan Tingkat Eksploitasi sumberdaya Ikan karang
A tr
ibut
Perubahan Root M ean Square RMS jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
.5
Gambar 25. Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan konstribusi terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Berdasarkan
Gambar 25 dari tiga belas 13 atribut yang dianalisis, menunjukkan bahwa atribut ”kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan
karang, spesies endemik, dan sedimentasi” memiliki tingkat sensitivitas yang
relatif lebih tinggi, sedangkan atribut ”keanekaragaman ikan karang” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari ke dua belas 12 atribut lainnya.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir yang sangat produktif, namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau
pengaruh eksternal. Wilayah pesisir Selat Lembeh memiliki 5 lima buah sungai utama DAS, yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan
Rinondoran Lampiran 10, hal ini dapat menjadi sumber pembuangan limbah. Karena itu pengelolaan terumbu karang harus didasarkan atas pemahaman
perspektif holistik dan berbasis ekologis. Clark 1996 mengelaborasi kaidah ekologis ini menjadi acuan bagi pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut: 1
integritas ekosistem: bahwa setiap ekosistem pesisir harus dikelola sejalan dengan keterkaitan bagian-bagian serta sebagai satu kesatuan yang utuh, 2 DAS: bahwa
pengelolaan DAS sedapat mungkin mempertahankan pola alaminya, karena DAS adalah faktor kunci dalam pengelolaan air sebagai komponen utama keterkaitan
elemen-elemen ekosistem, dan 3 penyangga DAS: perlu dibangun penyangga DAS berupa vegetasi sepanjang DAS tersebut sejalan dengan meningkatnya
pembangunan. Tata guna lahan yang dicirikan oleh penutupan lahan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidrorologi DAS. Keberadaan
DAS tersebut dapat mempengaruhi sifat fisika-kimia perairan, khususnya pola sebaran salinitas perairan Selat Lembeh Kota Bitung. Salinitas menggambarkan
konsentrasi dari total ion yang terdapat dalam suatu perairan dengan ion-ion utama penyusunnya adalah natrium, kalium, magnesium, khlorida, sulfat dan
bikarbonat Millero dan Sohn, 1992. Salinitas akan bervariasi secara vertikal dan horizontal tergantung masukan air tawar, air hujan dan penguapan evaporasi.
Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme laut dan kelarutan gas-gas di dalam air laut.
6.2.2. Dimensi Teknologi
Gambar 26 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi sebesar 43,22 untuk Pulau Lembeh dan 33,22 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai
indeks akuntabilitas dimensi teknologi lebih kecil daripada nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan termasuk kedalam kategori ”kurang
berkelanjutan”. Rendahnya nilai indeks dimensi teknologi ini disebabkan karena
masih adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Untuk meningkatkan status nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan
terhadap atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.
Ordinasi Dimensi Teknologi
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Su m
b u
Y s e
te la
h r
o ta
s i
Gambar 26.
Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dimensi teknologi
Analisis Le v e rage Dime nsi Te knologi
3.250003081 2.883794492
1.388423019 2.724338823
0.513031913
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 Jenis Alat Tangkap
Selektivitas Alat Tangkap Ketersediaan alur pelayaran
Tipe Kapal Teknologi Penanganan
pasca panen
A tr
ibut
Perubahan Root M ean Square RMS jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 27. Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan
dalam bentuk perubahan nilai RMS
Berdasarkan hasil analisis leverage Gambar 27 terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi
yaitu, jenis alat tangkap dengan nilai 3,25, selektivitas alat tangkap dengan nilai 2,88, dan tipe kapal dengan nilai 2,72.
Menurut Russ 1991, tekanan penangkapan ikan yang berkepanjangan akan memberikan dampak pada terumbu karang, sehingga ketersediaan stok ikan
akan mengalami perubahan. Mengacu pada hasil analisis leverage, maka dibutuhkan kebijakan pengelolaan terumbu karang, seperti pembentukan daerah
konservasi laut untuk peningkatan persentase penutupan karang yang pada akhirnya memberikan peluang stok ikan karang melakukan pemijahan spawning
sebagai sumber utama peremajaan recruitment. Marsaoli 2001, menyatakan bahwa hubungan model pertumbuhan ikan lencam dengan sediaan stok
menunjukkan bahwa pada kondisi karang baik pertumbuhan maksimum lestari MSY per tahun mencapai 7.083,97 kgkm
2
, sedangkan pada kondisi karang rusak pertumbuhan maksimum lestari hanya mencapai 3.001,10 kgkm
2
. Pertumbuhan ikan lencam mengalami penurunan sebesar 58 dari kondisi karang
baik ke kondisi karang rusak. Aktivitas pertumbuhan ikan akan mengalami penurunan, jika kebanyakan ikan yang tertangkap adalah kelompok ikan yang
sedang dalam proses pertumbuhan. Peristiwa ini akan menyebabkan overfishing pertumbuhan growth overfishing Charles, 2001. Overfishing pertumbuhan
lebih cepat terjadi pada kondisi karang rusak dibanding kondisi karang baik, selanjutnya dengan acuan hasil ini maka dibutuhkan kebijakan ukuran minimum
minimum size ikan karang di Selat Lembeh yang tertangkap untuk menghindari mortalitas ikan yang masih dalam proses pertumbuhan, sehingga tidak perlu
terjadi overfishing pertumbuhan. Menurut Marsaoli 2001, jumlah upaya optimum untuk kondisi karang
baik per tahun sebesar 168 tripkm
2
, sedangkan untuk kondisi karang rusak sebesar 123 tripkm
2
. Hasil maksimum lestari CMSY untuk kondisi karang baik per tahun sebesar 7.089,60 kgkm
2
atau sekitar 58 lebih tinggi dari pada hasil maksimum lestari pada kondisi karang rusak yang berjumlah 2.992,59 tripkm
2
. Berdasarkan pada analisis leverage yang diperoleh maka dapat dikatakan
bahwa kerusakan terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberadaan ikan karang. Selain itu, kerusakan terumbu karang
akan memberikan dampak eksternalitas stok apabila tidak ditetapkan upaya zonasi atau konservasi laut. Langkah yang diambil misalnya penutupan sebagian
kawasan untuk berbagai aktivitas penangkapan termasuk intensitas penangkapan
merupakan salah satu alternatif yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya overfishing malthus
malthusian overfishing. Penetapan upaya pemanfaatan yang sama di antara kedua kondisi tersebut akan berakibat overfishing malthus pada
kondisi karang rusak jika mengikuti rekomendasi upaya zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang baik. Sebaliknya, akan terjadi underfishing jika
mengikuti rekomendasi zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang rusak. Menurut Russ 1991, overfishing malthus akan terjadi pada saat kondisi
intensitas penangkapan ikan yang tinggi sedangkan hasil yang diperoleh semakin berkurang yang diikuti dengan rusaknya lingkungan. Solusi dalam pencegahan hal
tersebut, dijelaskan oleh Pauly 1988 dengan mencoba memasukkan perikanan karang ke dalam suatu sistem pemanfaatan optimal dengan mempertimbangkan
ekosistem terumbu karang dan wilayah sekitarnya. Selanjutnya menurut Munro 1984, penentuan hasil maksimum berkelanjutan sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya tangkap lebih overfishing. Hal ini lebih menarik lagi pada perairan terumbu karang karena adanya efek penangkapan berdampak dua arah,
yaitu terhadap stok ikan dan terumbu karang. Studi Cesar 1997 menyatakan bahwa pengambilan batu karang
memberikan keuntungan bersih sebesar 121.000 per km
2
dalam nilai netto saat ini, namun menimbulkan kerugian netto kepada masyarakat sebesar 93.600
dalam nilai perikanan, 12.000-260.000 dalam nilai proteksi wilayah pantai, 2.900 – 481.900 dalam nilai pariwisata, 67.000 dalam nilai kerusakan kawasan
hutan dan kerugian yang tidak dapat dihitung karena kehilangan pangan dan keanekaragaman hayati.
Teknologi yang digunakan masyarakat menentukan keberlanjutan dan pengelolaan terumbu karang. Contoh kasus dalam hal ini adalah masyarakat desa
pulau-pulau kecil di Maluku menggunakan alat tangkap sederhana untuk menangkap ikan. Akibatnya sumberdaya ikan tetap terjaga dengan baik.
Pendatang harus menggunakan alat tangkap ikan yang sama dengan yang digunakan penduduk lokal. Di Papua, jika penduduk suatu suku tertentu ingin
menangkap ikan di perairan yang menjadi milik suku lain, teknologi yang digunakan harus sama. Sementara itu, kehadiran alat tangkap yang modern,
terutama yang terbuat dari bahan-bahan pabrik serta dengan menggunakan kapal
bermotor cenderung mendesak nelayan kecil untuk meninggalkan dan keluar dari perairan yang secara tradisi dan turun temurun telah menjadi daerah tempat
usahanya. Ditinjau dari kebutuhan aspek teknologi, kegiatan penangkapan ikan
merupakan kegiatan yang memerlukan investasi modal yang cukup besar. Nikijuluw 2001, menyatakan bahwa besarnya investasi awal satu unit alat
tangkap termasuk kapal berkisar antara Rp. 9,23 juta untuk kapal dan alat tangkap gillnet sampai dengan Rp.243,10 juta untuk kapal dan alat tangkap mini
purse seine . dari jumlah tersebut tidak semua nelayan mampu memilikinya dan
bagi nelayan yang telah memiliki alat tangkap, terkadang dihadapkan pada masalah modal untuk renovasi. Mengingat investasi pada kegiatan perikanan
tangkap senantiasa dihadapkan pada masalah depresiasi modal dan alat tangkap di samping resiko lainnya. Nikijuluw 2001, melaporkan bahwa usaha penangkapan
ikan dari beberapa alat tangkap yang diamati di Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebagian dari alat tangkap masih menghasilkan tingkat rentabilitas dan pendapatan
sosial yang cukup tinggi misalnya gillnet, sementara alat tangkap yang lain seperti mini purse seine, trammel net, dan bagan, dihadapkan pada resiko yang
kurang menguntungkan, artinya besarnya tingkat rentabilitas maupun pendapatan sosial yang diterima oleh pemilik kapal relatif kecil. Hal ini disamping oleh
tingginya biaya operasional penangkapan juga kendala hasil tangkapan yang tidak menentu. Kondisi ini mencerminkan bahwa upaya penangkapan ikan memerlukan
perhatian serius, sehingga pengembangan penangkapan ikan perlu dimbangi dengan upaya perbaikan ekosistem, seperti terumbu karang yang dapat berfungsi
sebagai daerah spawning ground dan fishing ground atau diperlukan adanya diversifikasi alat tangkap yang ramah lingkungan dan atau pengembangan usaha
alternatif diluar kegiatan penangkapan ikan seperti pengelolaan pariwisata bahari.
6.2.3. Dimensi Sosial Ekonomi
Pada Gambar 28 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi sebesar 61,64 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 40,89 untuk lokasi Pesisir
Bitung. Nilai indeks tersebut berada di bawah nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan berada di atas dimensi teknologi dan termasuk kedalam kategori
”cukup” akuntabel untuk lokasi Pulau Lembeh dan kategori ”kurang” akuntabel
untuk lokasi Pesisir Bitung. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya terumbu karang di dua lokasi studi mengindikasikan dimensi sosial
ekonomi ”kurang” akuntabel dibanding aspek ekologi dan lebih akuntabel dibanding dimensi teknologi. Namun manfaat ini masih bersifat jangka pendek
karena pemanfaatan terumbu karang masih ada yang bersifat destruktif. Perbaikan atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi sosial ekonomi, khususnya di
lokasi Pesisir Bitung perlu dilakukan agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat, sebaliknya nilai indeks untuk lokasi Pulau
Lembeh perlu dipertahankan.
Ordinasi Dimensi Sosial Ekonomi
GOOD BAD
UP
DOWN
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
S u
m b
u Y
setel a
h r
o tasi
Gambar 28. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi
Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat 5 lima atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi Gambar 29,
yaitu Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya,
zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik.
Analisis Leverage Dimensi Sosial Ekonomi
2.638780556 1.78198294
1.521056677 2.76708084
1.937655166 3.441954345
1.621660101 3.762562246
1.402549063 1.162985838
1.053562591 1.415892506
1.34710047 1.195029678
1.17678618 1.056591717
1.506113152 2.617928892
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5
Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan Tingkat pendidikan
Pengetahuan lingkungan Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya
Memiliki nilai estetika Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
Ketergantungan pada pariw isata bahari sebagai sumber nafkah Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
Lokasi untuk pendidikan dan penelitian Pemandu w isata
Tempat sew a scuba Wisataw an lokal
Wisataw an mancanegara Jumlah objek w isata
Lama tinggal w isataw an Keuntungan profit
Transfer keuntungan Zonasi peruntukan lahan
A tr
ibut
Perubahan Root Mean Square RMS jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
4
Gambar 29. Peran Masing-Masing Atribut dimensi sosial ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Dari lima atribut yang sensitif, atribut waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang memberikan nilai indeks yang paling sensitif
terhadap dimensi sosial ekonomi yaitu 3,76. Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu
karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam natural resourcebased activity, pengelolaan terumbu karang merupakan
kegiatan ekonomi yang berbasis pasar market-based activity. Berdasarkan permasalahan pengelolaan terumbu karang dengan mempertimbangkan peran dari
dimensi sosial ekonomi, dapat dirumuskan sebuah alternatif solusi yang representatif untuk menunjang pengelolaan secara berkelanjutan. Solusi alternatif
pengelolaan ekosistem terumbu karang lebih diarahkan untuk memperkuat dan mengembangkan kelembagaan serta partisipasi masyarakat lokal. Wells et al.
1992, menyatakan bahwa pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama, yaitu: 1 pemangku kepentingan stakeholder diberi kesempatan untuk
terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung aspirasi dan pengalaman mereka
dalam pengelolaan, 2 pembagian peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan, 3 kerangka kerja
pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis, melainkan juga mencakup tujuan ekonomi, sosial dan budaya.
Menurut Satria et al. 2002, pada dimensi sosial ekonomi, terdapat langkah-langkah menuju pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu melalui
tiga tingkatan, 1 Tingkat masyarakat; pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas pemasaran pada masyarakat nelayan agar tidak bergantung pada
pedagang besar dan pedagang perantara. Dalam tingkatan ini, pemerintah juga diharapkan dapat mengendalikan fluktuasi harga komoditas perikanan untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan. 2 Tingkatan kabupatenkota; pemerintah diharapkan dapat memberikan akses dan jaringan pemasaran antara
kalangan pengusaha besar dan masyarakat melalui sistem insentif dan disinsentif. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan lebih berorientasi pada pasar,
3 Tingkat antar kabupatenkota; menjadikan hubungan pemasaran antara hulu dan hilir lebih baik dan mewujudkan mekanisme kontrol dan pengawasan
terhadap pasar gelap dan antar daerah. Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka manfaat ekonomi dari potensi terumbu karang harus diarahkan untuk upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat. Tidak adil bila manfaat ekonomi dinikmati oleh orang luar, sedangkan penduduk setempat hanya menjadi penonton. Oleh karena itu manfaat
terumbu karang harus diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Karena keterbatasan potensi terumbu karang dan modal serta
peningkatan kebutuhan manusia yang selalu meningkat, maka penggunaan potensi tersebut harus efektif dan efisien.
Menurut Marsaoli 2001, Besarnya keuntungan berkelanjutan pada saat hasil maksimum lestari MEY menunjukkan bahwa kondisi karang baik,
keuntungan berkelanjutan dicapai pada saat upaya tangkap per tahun sekitar 133 tripkm
2
. Pada kondisi karang rusak, keuntungan berkelanjutan dicapai ketika upaya tangkap berada pada posisi 78 tripkm
2
. Nilai keuntungan berkelanjutan pada kondisi karang baik per tahun sebesar Rp. 22.044.750 dan pada kondisi
karang rusak diperoleh nilai keuntungan berkelanjutan sebesar Rp. 5.978.700.
Menurut Russ 2001, overfishing ekonomi terjadi ketika upaya tangkap melebihi nilai maksimum ekonomi lestari MEY.
Beberapa hasil studi menunjukan bahwa daerah konservasi telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi
Halpern 2003 misalnya menunjukkan bahwa secara rata-rata, daerah konservasi telah meningkatkan kelimpahan abundance sebesar dua kali lipat, sementara
biomas ikan dan keanekaragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi
perikanan jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE. Beberapa studi menunjukan bahwa daerah konservasi telah meningkatkan rasio
CPUE dalam kisaran 30 sampai 60 dari kondisi sebelum di konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort misalnya jumlah trip, beberapa studi seperti di
Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti.
Dari sisi ekonomi, manfaat yang diperoleh dari daerah konservasi laut juga cukup signifikan. Hasil studi White dan Cruz-Trinidad 1998 dalam Fauzi dan
Anna 2005, mengenai daerah konservasi laut di Apo Island menunjukan bahwa manfaat bersih net benefit yang bisa diperoleh dari MPA Apo Island hampir
mencapai US 400 ribu. Manfaat ekonomi ini diperoleh dari penerimaan ekoturisme dan perikanan serta penjualan jasa bagi kepentingan wisata dan
perikanan. Nilai ekonomi tentu saja sangat berarti dibanding dengan manfaat ekonomi sesaat dari penangkapan ikan baik yang konvensional maupun dengan
teknik yang destruktif seperti bom dan cyanida. Selain manfaat biologi dan ekonomi, daerah konservasi juga memberikan
manfaat sosial yang tidak bisa diabaikan. Beberapa hasil studi menunjukan bahwa penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi dapat meningkatkan
kepedulian awarenes masyarakat sekitar terhadap masalah lingkungan. MPA juga dapat dijadikan ajang untuk meningkatkan pendidikan lingkungan diantara
masyarakat sekitar. Di Apo Island, Philippines, penerimaan yang diperoleh dari MPA malah dapat dijadikan sebagai beasiswa bagi penduduk sekitar untuk
menempuh pendidikan formal tingkat lanjut. Interaksi dengan wisatawan dari berbagai negara juga telah membantu membuka cakrawala berfikir bagi penduduk
sekitar. Interaksi ini berfungsi juga sebagai ajang transfer teknologi dan informasi dari dunia luar ke penduduk sekitar. Selain itu, studi di kepulauan Pasifik
menunjukan bahwa penetapan MPA telah meningkatkan harmoni diantara penduduk pulau dan mengurangi konflik pengguna sumberdaya yang selama ini
cukup intens. Keberhasilan suatu MPA telah meningkatkan kebanggaan pride dan kepercayaan diri confidence masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya
yang lestari. Usaha perikanan tangkap yang menjadi tumpuan sebagain besar kominitas
nelayan yang menempati wilayah pesisir Selat Lembeh harus dikembangkan dari usaha yang sifatnya tradisional menjadi usaha yang lebih profesional. Hal tersebut
tidak saja meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidup nelayan tetapi mampu memberikan konstribusi yang signifikan dalam pendapatan asli daerah.
Sanim 2001, menyebutkan kualitas sumberdaya manusia SDM nelayan merupakan komponen utama bagi daya saing nasional, maupun internasional
suatu negara sehingga sangat penting dan strategis bagi pembangunan agribisnis di Indonesia yang dapat dilakukan dengan cara: 1 peningkatan kualitas SDM
dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan dengan berbagai dimensinya, 2 pada tingkat pemerintah daerah local goverment provinsi maupun kabupaten dan
kecamatan untuk dapat melaksanakan desentralisasi, 3 dalam era globalisasi maka peningkatan kualitas SDM harus memenuhi tiga kriteria pendidikan yang
berkelanjutan, yaitu: a multi skiling, b life long education, c learning by doing process
. Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan pada dimensi sosial-ekonomi
menunjukkan pengaruh yang berarti 2,64, hal tersebut perlu mendapat perhatian khususnya pengaturan ruang zonasi pemanfaatan, karena konflik yang ada dapat
berkembang dan berkepanjangan yang dapat mengakibatkan rusaknya terumbu karang. Kusnadi 2002, menyatakan bahwa konflik dapat berakibat langsung
pada turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran lain untuk mengkonpensasi
penurunan pendapatan akibat konflik. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan resolusi konflik yang efektif, yang diharapkan akan berdampak positif, yaitu
resolusi yang mampu mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan
menciptakan kesepakatan alokasi sumberdaya yang lebih adil Budiono, 2005. Lebih lanjut Borrini-Feyerabend, et al. 2000, menyatakan bahwa pengelolaan
konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi akan memberikan panduan penyelesaian konflik agar konstruktif ketimbang
destruktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari : 1 Aktor sosial yang peduli menyelesaikan pertikaian, 2 Wilayah
kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat, 3 Forum untuk bernegosiasi dan
peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi, 4 Data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik, 5
Opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didiskusikan di antara mereka, 6 Merumuskan dan menuliskan persetujuan dari salah satu
pilihan yang disepakati, dan 7 Mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya.
6.2.4. Dimensi Kelembagaan
Gambar 30 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan sebesar 47,95 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 16,20 untuk lokasi
pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut termasuk kategori kurang untuk Pulau Lembeh dan buruk untuk Pesisir Bitung.
Ordinasi Dimensi Kelembagaan
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 1
Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Sum b
u Y
se te
la h r
o ta
s i
20
Gambar 30. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan
Berdasarkan Gambar 31 terdapat 4 empat atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yaitu
tokoh panutan dengan nilai 5,82, pemegang kepentingan utama dengan nilai 4,30, koperasi dengan nilai 3,08 dan tradisibudaya dengan nilai 2,89.
Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan
1.766875373 4.30178497
1.569012232 1.907303566
5.816321317 1.938431424
3.084672654 2.894195331
1.737035412
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5 5
5.5 6
Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal Pemegang kepentingan utama
Tingkat kepatuhan masyarakat Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
Tokoh panutan Penyuluhan hukum lingkungan
Koperasi Tradisibudaya
Forum Konservasi
A tr
ibut
Perubahan Root M ean Square RMS jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 31. Peran masing-masing atribut aspek akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan
nilai RMS
Berbagai lembaga, kelompok sosial dan individu yang memiliki secara langsung, berarti dan khusus kepentingannya di daerah terumbu karang dapat
disebut sebagai kelompok kepentingan stakeholders. Kepentingan tersebut dapat berupa pemilik mandat institusi, minat ekonomi, ketergantungan penghidupan,
historis, kedekatan geografis serta variasi kapasitas dan kepedulian lainnya. Secara umum, kelompok kepentingan mempunyai karakteristik, selalu peduli
terhadap kepentingannya dalam pengelolaan terumbu karang, walaupun mereka mungkin tidak peduli pada semua isu dan problem pengelolaan. Berkes et al.
2001, mengusulkan bahwa untuk menangani permasalahan eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan, seperti penggunaan bom dan potasium yakni
dengan mengelola masyarakat management people. Lebih lanjut Berkes et al. 2001, menyatakan bahwa untuk mengontrol aksesibilitas masyarakat terhadap
sumberdaya diperlukan alokasi hal kepemilikan atas sumberdaya dan menentukan
bentuk aturan penggunaan sumberdaya. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik pengelolaan.
Kelompok kepentingan juga mempunyai kapasitas khusus pengetahuan atau kemampuan dan keunggulan komparatif, seperti mandat atau kedekatan
wilayah serta berkeinginan untuk berinvestasi secara khusus uang, tenaga, waktu atau otoritas politik. Borrini-Feyerabend 1997, menyatakan guna menjaga
kepentingan efektifitas dan kesetaraan proses pengelolaan kolaboratif, maka dibutuhkan pembatasan dalam menentukan kelompok-kelompok kepentingan
utama primary stakeholder dan sekunder yang akan diikutsertakan dalam proses pengelolaan kolaboratif berdasarkan sejumlah kriteria yang disepakati.
Kemungkinan kriteria tersebut sebagaimana diajukan oleh Borrini- Feyerabend 1997, di antaranya : 1 Hak-hak sumberdaya alam yang masih ada,
2 Kelangsungan hubungan, seperti penduduk versus pengunjung dan turis, 3 Pengetahuan dan kemampuan yang unik dalam mengelola sumberdaya alam, 4
Hubungan historis dan budaya dengan sumberdaya, 5 Kehilangan dan kerusakan yang ditimbulkan dalam pengelolaan, 6 Tingkat ekonomi dan kelenturan sosial
terhadap sumberdaya, 7 Tingkat upaya dan minat dalam pengelolaan, 8 Kesetaraan akses terhadap sumberdaya dan distribusi manfaat, 9 Kompatibilitas
keinginan dan kegiatan kelompok kepentingan terhadap kebijakan nasional, konservasi dan kebijakan pembangunan, dan 10 Dampak saat ini dan dampak
potensial kegiatan-kegiatan berbasis sumberdaya alam yang dilakukan oleh kelompok kepentingan.
Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Menurut
Nikijuluw 2002, tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah: 1 Keterwakilan representation yang didefinisikan sebagai
tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, 2 Kecocokan relevance adalah tingkat peraturan yang
berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi, dan 3 Penegakan hukum enforceability adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan.
Menurut APO 2002 dalam Arsyad 2007, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan harus terfokus kepada penggunaan sumberdaya jangka
panjang. Langkah awal dalam pengelolaan yang demikian adalah mengidentifikasi ekosistem dan pemangku kepentingan stakeholder karena melibatkan banyak
sektor sehingga berdampak pada pemerataan antar generasi. Kebijakan seperti melarang penangkapan pada musim tertentu, pengurangan operasi penangkapan
dan jumlah kapal yang beroperasi tidak akan diterima oleh nelayan. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengangguran dan hilangnya pendapatan.
Analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi memperlihatkan bahwa diantara dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan merupakan
dimensi yang paling lemah akuntabilitasnya khususnya di pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas untuk masing-masing dimensi dapat dilihat pada Tabel 22
berikut. Tabel 22. Nilai indeks akuntabilitas Pulau Lembeh dan pesisir Bitung pada setiap
dimensi Lokasi
Dimensi Pulau Lembeh
Pesisir Bitung Ekologi 70.67
47.04 Teknologi 43.22
33.22 Sosial ekonomi
61.65 40.89
Kelembagaan 47.95 16.20
Gambar 32 memperlihatkan bahwa nilai indeks akuntabilitas untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti
semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar, akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah tentu memiliki prioritas dimensi apa yang
lebih dominan untuk menjadi perhatian. Pada prinsipnya indeks akuntabilitas pada setiap dimensi tersebut berada pada kategori ”kurang” akuntabel.
10 20
30 40
50 60
70 80
Ekologi
Teknologi
Sosek Kelembagaan
Pulau Lembeh Pesisir Bitung
Gambar 32. Diagram Layang kite diagram akuntabilitas pengelolaan kawasan
terumbu karang di Selat Lambeh, Kota Bitung
Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-Insus- COREMAG dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk
menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di daerah studi. Tabel 23 menyajikan nilai stress dan R
2
koefisien determinasi untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya
penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat mendekati kondisi sebenarnya.
Tabel 23.
Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG untuk beberapa parameter statistik
Nilai Statistik
Multidimensi Ekologi Teknologi Sosial
Ekonomi Kelembagaan
Stress 0.19 0.14 0.18 0.13 0.14 R
2
0.90 0.95 0.94 0.95 0.95
Jumlah Iterasi
2 2 2 2 2
Berdasarkan Tabel 23, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai stress pada
analisis dengan metode MDS cukup memadai jika diperoleh nilai 25 Fisheries.com, 1999. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin
baik kualitas hasil analisis yang dihasilkan. Berbeda dengan nilai koefisien
determinasi R
2
, kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar mendekati 1. Dengan demikian dari kedua parameter
nilai stress dan R
2
menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh relatif baik
dalam menerangkan ke-empat dimensi pengelolaan yang dianalisis. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi maupun
masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan
menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis
EPA, 1997. Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Olah karena itu analisis Monte Carlo akan lebih
cepat jika menggunakan komputer Bielajew, 2001. Nama Monte Carlo diambil dari nama kota Monte Carlo karena analsis Monte Carlo pada prinsipnya mirip
dengan pertmainan rolet roullette di Monte Carlo. Rolet ini dapat dianggap sebagai suatu pembangkit angka acak yang sederhana.
Analisis Monte Carlo dalam analisis Rap-Insus-COREMAG digunakan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut dari
masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau
penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang missing data, dan nilai stress yang
terlalu tinggi. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG berupa indeks keberlanjutan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi.
Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total
maupun masing-masing dimensi. Ordinasi analisis Monte Carlo dapat dilihat pada Gambar 33. Pada Gambar 33 terlihat bahwa selang kepercayaan 95 terhadap
indeks pengelolaan terumbu karang di Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung pada analisis Monte Carlo ini masing-masing adalah 69,47 dan 46,99.
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Sumbu X Insus-COREMAG
Sum bu
Y
Gambar 33. Ordinasi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95 terhadap median
Berdasarkan Tabel 24 berikut, terlihat bahwa nilai status indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang pada selang kepercayaan 95
diperoleh hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Perbedaan nilai indeks akuntabilitas antara hasil
analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1 kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, 2
variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3 proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, 4 kesalahan pemasukan data dan data
hilang dapat dihindari. Tabel 24. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai Insus-COREMAG dan masing-
masing dimensi pada selang kepercayaan 95 Hasil MDS
Hasil Monte Carlo Status Indeks
Pulau Lembeh
Pesisir Bitung
Pulau Lembeh
Pesisir Bitung
Ekologi 70,67 47,04 70,21 46,99
Teknologi 43,22 33,22 43,17 34,83 Sosial
Ekonomi 61,64 40,89 59,94 40,59
Kelembagaan 47,95 16,20 48,88 17,99 Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada
Tabel 24, menunjukkan bahwa analisis Rap-Insus-COREMAG dengan
menggunakan metode MDS untuk menentukan akuntabilitas sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa
metode analisis Rap-Insus-COREMAG yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat rapid
appraisal akuntabilitas dari sistem pengelolaan kawasan terumbu karang.
Pada Lampiran 11, 12, 13, dan 14 dapat dilihat nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh berdasarkan analisis Monte
Carlo.
6.3. Telaah Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang