Akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh, Kota Bitung

(1)

AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN

PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG

DI SELAT LEMBEH, KOTA BITUNG

TASLIM ARIFIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung

merupakan gagasan dan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2008

Taslim Arifin C26102005.1


(3)

RINGKASAN

TASLIM ARIFIN. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, DIETRIECH G. BENGEN, VICTOR P.H. NIKIJULUW, dan UNGGUL AKTANI

Kawasan Selat Lembeh, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup beragam diantaranya adalah terumbu karang (coral reef). Potensi tersebut mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Selat Lembeh, sehingga perlu dikelola secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan. Kebijakan yang menjamin keberlanjutan pengelolaan terumbu karang terasa sulit tanpa memperhatikan faktor akuntabilitas melalui kajian secara multidimensi. Pada dasarnya permasalahan utama pembangunan pada kawasan terumbu karang adalah pengelolaannya belum optimal sehingga mengakibatkan terjadinya konflik pemanfaatan. Tujuan utama penelitian ini adalah menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap hal-hal sebagai berikut: (1) Kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan serta peruntukan kawasan terumbu karang yang dapat dikembangkan di Selat Lembeh, (2) Dimensi dan atribut yang dapat mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, dan (3) Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh.

Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir yang memiliki potensi terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan secara terpadu berbasis ekosistem, dan multidimensi. Beberapa alat (tools) analisis yang digunakan, adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Analisis Faktorial Koresponden (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG dan Stella Ver 8.0.Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung.

Kondisi terumbu karang di Selat Lembeh tergolong buruk sampai dengan baik sekali. Terumbu karang tidak ditemukan di lokasi Aertembaga, dimana pada lokasi tersebut terdapat aktifitas pelabuhan, baik pelabuhan perikanan, pelabuhan domestik dan pelabuhan container, serta merupakan daerah padat industri. Komunitas karang di Papusungan dan Manembo-Nembo mengalami degradasi kearah kepunahan. Persentase penutupan karang hidup yang termasuk kategori baik sekali hanya dapat dijumpai di Kareko yang letaknya di sebelah utara Selat Lembeh. Penyebab degradasi karang di Selat Lembeh diduga disebabkan karena menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, aktivitas pelabuhan dan aktivitas manusia.

Hasil Analisis matriks korelasi data karakteristik lingkungan perairan di kawasan Selat Lembeh memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama dari tiga sumbu adalah tinggi, yaitu 73,144%. Stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter pH, kekeruhan, BOD5, dan nitrat yang tinggi, hal tersebut diduga


(4)

salinitas, ammonia, dan kecepatan arus yang tinggi. Berdasarkan hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) memperihatkan informasi utama sebaran dari kategori benthic lifeforms pada setiap lokasi pengamatan, bahwa penyebaran lifeforms terpusat pada 3 sumbu faktor utama (F1, F2 dan F3) yang masing-masing sumbu mampu menjelaskan sebesar 38,99 %, 28,86 % dan 15,14 % dari ragam total.

Berdasarkan hasil analisis peruntukan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi, diperoleh hasil bahwa lokasi Aertembaga, Manembo-Nembo, Mawali, Papusungan, dan Batulubang termasuk kategori tidak sesuai dengan skor rata-rata berkisar 16,5. Lokasi Tandurusa termasuk sesuai bersyarat dengan skor 54. Lokasi Lirang, Nusu dan Paudena termasuk kategori sesuai dengan skor rata-rata antara 70-76. Lokasi Kasawari, Makawidey, Tanjung Merah, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Pasir Panjang termasuk kategori sangat sesuai dengan skor rata-rata 88 - 100. Untuk pengembangan pariwisata bahari diperoleh lokasi yang tidak sesuai yaitu Aertembaga, Manembo-nembo, Papusungan dan Batulubang dengan skor rata-rata 235. Lokasi kategori sesuai yaitu Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Mawali dengan skor rata-rata 560. Lokasi kategori sangat sesuai yaitu Tanjung Merah, Paudean dan Pasir Panjang.

Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari empat dimensi yang dianalisis menghasilkan nilai indeks akuntabilitas sebesar 57,07 pada skala akuntabilitas 0 – 100. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis terhadap 45 atribut dengan 4 dimensi, pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh termasuk kategori cukup akuntabel, dengan nilai indeks akuntabilitas > 50. Untuk mengetahui dimensi mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi. Nilai indeks akuntabilitas untuk dimensi ekologi adalah sebesar 70,67 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 47,04 untuk lokasi pesisir Bitung. Hal ini menunjukkan bahwa indeks akuntabilitas dimensi ekologi Pulau Lembeh cukup akuntabel, sedangkan pesisir Bitung termasuk kategori kurang akuntabel. Berdasarkan analisis leverage menunjukkan bahwa atribut ”kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih tinggi, sedangkan atribut ”keanekaragaman ikan karang” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari atribut lainnya. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi sebesar 43,22 untuk Pulau Lembeh dan 33,22 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi lebih kecil daripada nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan termasuk kedalam kategori ”kurang akuntabel”. Rendahnya nilai indeks dimensi teknologi ini disebabkan karena masih adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Berdasarkan hasil analisis leverage terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi yaitu, jenis alat tangkap dengan nilai 3,25, selektivitas alat tangkap dengan nilai 2,88, dan tipe kapal dengan nilai 2,72.


(5)

Nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi sebesar 61,64 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 40,89 untuk lokasi Pesisir Bitung. Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat 5 (lima) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi yaitu waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik. Nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan sebesar 47,95 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 16,20 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut termasuk kategori kurang untuk Pulau Lembeh dan buruk untuk Pesisir Bitung. Atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yaitu tokoh panutan dengan nilai 5,82, pemegang kepentingan utama dengan nilai 4,30, koperasi dengan nilai 3,08 dan tradisi/budaya dengan nilai 2,89.

Berdasarkan skenario kondisi saat ini, diperoleh bahwa sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan. Meskipun nilai indeks ekologi memperlihatkan nilai yang cukup akuntabel namun tidak dibarengi oleh peningkatan dimensi lainnya, hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Apabila kondisi tersebut diperbaiki maka akan meningkatkan sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang sampai 20 tahun ke depan.


(6)

Management in Lembeh Strait, Bitung. Supervisors : DEDI SOEDHARMA, DIETRIECH G. BENGEN, VICTOR P.H. NIKIJULUW and UNGGUL AKTANI Lembeh Strait, under the administration of Bitung city, North Sulawesi Province has a rich variety of marine & coastal resources including coral reefs. Sustainable management of these natural richness is required since the resources play important role to populations living around Lembeh strait which are dependant on marine resources for their livelihoods. Development in coral reef area faces management problem leading to conflict of use. An attempt to include accountability factor using multidimensional approach is needed to implement sustainable policy for coral reefs more effectively.

The main objective of this study is to examine the accountability and sustainability of coral reef management in Lembeh strait. An integrated approach based on ecosystem and multi-dimension factors were applied to investigate anthropogenic activities in the coral reef area.

Methods of analysis used in this study, were Principle Component Analysis (PCA), Correspondent Analysis (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG and Stella Ver 8.0. The excellent condition of coral reef in Lembeh Strait was observed in Kareko and Posokan (Acropora Non-Acropora), whereas poor condition was found in Papusungan, Manembo-nembo and Aertembaga. Results of PCA and CA analysis showed that coral reefs located nearby the port and industrial area were relatively poor as indicated by environmental quality parameter values.

Result of zoning analysis showed that Lembeh Strait is suitable for both marine protected and marine tourism areas. Examination on accountability factor resulted in positive contribution of institutional dimension to sustainability index of coral reef management. Attributes revealed to give impact on accountability factor were prominent figure in the society, main interest holder in the society, joint venture institution and tradition / culture. According to assessment of three dimensions (ecology, technology and socio-economic), ecological dimension showed the highest sustainability index, whereas technology dimension showed the lowest value. The integration of marine protected area and marine tourism area can be further developed as coral reef management policy in Lembeh strait.

Based on Rap-Insus-COREMAG analysis some sensitive attributes must be considered to support coral reef management policy, i.e. waters condition, endemic species, fishing gears & their selectivity, vessel type, duration of coral reef resources use, dependency level on fisheries aspect as livelihood & historical, cultural and art aspect of local society on marine resources. It is also concluded that a special institution is required to coordinate marine and coastal resources management activities in Lembeh Strait among stakeholders.


(7)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sebuah masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG

DI SELAT LEMBEH, KOTA BITUNG

TASLIM ARIFIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Suharsono


(10)

N a m a : Taslim Arifin N R P. : C261020051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Dr. Unggul Aktani

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segalah karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Disertasi ini memuat empat kajian pokok, yaitu (1) kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan, (2) pemanfaatan dan peruntukan kawasan terumbu karang, (3) akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, dan (4) sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tinggi kepada, yang terhormat Bapak/Ibu:

1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA., Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. dan Dr. Unggul Aktani yang telah memberi bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.,

sebagai ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi beserta staf pengajar atas bekal ilmu dan bimbingan yang telah diberikan dan staf sekretariat SPL atas bantuannya selama masa studi penulis di PS SPL-IPB. 3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

selaku penguji pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Suharsono dan Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc. selaku penguji pada ujian terbuka, yang telah memperkaya isi disertasi ini.

4. Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Peneliti P2O-LIPI), Drs. Mudjiono, MS (Kepala UPT Loka Konservasi Biota Laut LIPI-Bitung), Drs. Jacobus Jusuf Wenno, M.Sc. (Field Program & Operational Manager Mitra Pesisir Sulawesi Utara), Asep Sukmara, S.Pi. (staf GIS Mitra Pesisir Sulawesi Utara) atas diskusi dan bantuan datanya.

5. Nurdin Rahman, SH, selaku Rektor UNISMUH Palu yang telah memberi tugas belajar pada penulis untuk melanjutkan studi S-3 di IPB.

6. Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc., selaku Kepala BRKP dan Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc., selaku Kepala Pusris Wilnon-BRKP yang telah memberi izin belajar S-3 di IPB.


(12)

penulisan disertasi.

8. Direktur Akademi Perikanan Bitung (APB) atas bantuan fasilitas, Daniel H. Ndahawali, M.Si; Ir. Palehel Mulalinda, MP dan Drs. Jantje Gahung, M.Si (staf pengajar APB) yang telah membantu dalam kegiatan survei lapangan maupun diskusi yang menarik.

9. Ir. Muh. Hatta, M.Si, Subhan A. Alhidayat, M.Si, Samsul B. Agus, M.Si (Cacul), Ir. Hasrat AS dan Ir. Anthon A. Djari, MS serta kepada seluruh peneliti dan staf Pusris Wilnon, khususnya Kelti “Daya Dukung Lingkungan Laut” atas bantuan dan kerjasamanya serta diskusi yang menarik.

10.Teman-teman angkatan VII PS - SPL untuk Program Doktor, yaitu: Adnan, Apendi, Hasan, Tamtomo, Indra, dan Desniarti, mereka telah menjadi sahabat penulis yang baik selama menjalani masa-masa studi di IPB.

11.Kepada adik-adikku, Muhammad Rusli Arifin, A.Md; Gunawan Arifin, SH, MH; dan Ervina Arifin yang telah memberikan perhatian dan doa demi kesuksesan penulis dalam meraih cita-cita.

12.Kepada isriku tercinta, Irma Shita Arlyza, M.Si. yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan doa demi kesuksesan penulis dalam meraih cita-cita.

13.Kepada Pamanda Drs. Fihrin, M.Si dan Tante Ny. Hj. Niswa; Abba M. Arifin (Alm) dan Ibunda Araleng serta Ayah Dinul Chir Em Nur, BA. dan Mama Tioliana, BA (Alm) atas restu dan doanya sehingga penulis dapat menimba ilmu dan menyelesaikan studi Doktor di IPB.

Begitu besarnya bantuan mereka kepada penulis, semoga Allah SWT meridhoi segala kebaikan Bapak/Ibu/Saudara dan kelak akan menjadi amal sholeh dengan pahala berlipat ganda. Amin Ya Robbul Alamin.

Bogor, Februari 2008 Wassalam,


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuju-Tuju Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Maret 1970 dari Abba M. Arifin (Alm) dan Ibu Araleng. Merupakan putra 1 (pertama) dari 4 (empat) bersaudara. Pada tahun 1999 penulis diterima pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2001, pada bulan Agustus 2002 diterima di Program S-3 (Doktor) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Penulis pernah bekerja sebagai asisten dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palu dan dosen Akademi Perikanan Bitung. Sejak Tanggal 1 Juni 2006 penulis mutasi ke Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP). Saat ini penulis bergabung di Kelompok Penelitian ”Daya Dukung Lingkungan Laut”.

Selama mengikuti program S-3 (Doktor), penulis aktif dan terlibat dalam kegiatan penelitian bidang kelautan dan perikanan, baik di pusat maupun di daerah (BAPPEDA Tingkat I dan Tingkat II). Beberapa artikel telah diterbitkan yang merupakan bagian dari disertasi ini adalah (1) Analisis Distribusi Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan Selat Lembeh, Jurnal Kelautan Nasional (Akreditasi B), Vol.2,No.1 April 2007; Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP (ISSN 1907797X), (2) Indeks Keberlanjutan Ekologi-Teknologi Ekosistem Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung, Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (Akreditasi B), Vol.33,No.2, Agustus 2007; Pusat Penelitian Oseanografi (P2O-LIPI) (ISSN 0125-9830), dan (3) Analisis Daya Dukung Sosial-Ekonomi Pengelolaan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Bitung, dipresentasikan pada Musyawarah Nasional Terumbu Karang di Jakarta Tanggal 10 - 11 September 2007 dan terbit pada Prosiding Nasional COREMAP II Departemen Kelautan dan Perikanan.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ………... iii

DAFTAR GAMBAR ……….. v

DAFTAR LAMPIRAN ……….. vii

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 4

1.3. Tujuan Penelitian ………... 6

1.4. Kerangka Pendekatan Penelitian ……….. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Karakteristik Lingkungan Perairan Terumbu Karang... 9

2.1.1. Cahaya ………. 9

2.1.2. Suhu ……… 10

2.1.3. Salinitas ………... 11

2.1.4. Sedimen ……….. 11

2.2. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 14

2.3.Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang ... 16

2.3.1. Dimensi Kelembagaan ... 17

2.3.2. Dimensi Ekologi ………... 21

2.3.3. Dimensi Teknologi ………... 22

2.3.4. Dimensi Sosial Ekonomi ... 23

2.4. Multidimensional Scaling ... 24

2.5. Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang ... 26

2.6. Konservasi dan Pariwisata Bahari ... 27

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Batasan Lokasi Studi ... 31

3.3. Jenis dan Sumber Data... 31

3.4. Metode Analisis Data ... 33

3.4.1. Kondisi Terumbu Karang ... 33

3.4.2. Analisis karakteristik lingkungan perairan ... 34

3.4.3. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang ... 34

3.4.3.1. Potensi kawasan konservasi terumbu karang ... 35

3.4.3.2. Potensi Pengembangan Pariwisata Bahari ... 37

3.4.4. Analisis akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang ... 41

3.4.4.1. Analisis akuntabilitas ... 41

3.4.4.2. Analisis sistem keberlanjutan ... 48


(15)

IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK

LINGKUNGAN PERAIRAN ... 49

4.1. Kondisi Terumbu Karang ………. 49

4.2. Karakteristik Lingkungan Perairan ... 53

4.3.Keterkaitan Karakteristik Lingkungan Perairan dengan Penutupan Karang ... 61

V. PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG ... 67

5.1. Analisis Pemanfaatan Perairan Selat Lembeh ... 67

5.2. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang ... 69

5.2.1. Potensi kawasan konservasi terumbu karang ... 69

5.2.2. Potensi pengembangan pariwisata bahari ... 74

VI. AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG ... 82

6.1. Kondisi dan skor masing-masing atribut pada setiap dimensi . 82 6.1.1. Dimensi Ekologi ……… 86

6.1.2. Dimensi Teknologi ……… 93

6.1.3. Dimensi Sosial Ekonomi ... 96

6.1.4. Dimensi Kelembagaan ... 104

6.2. Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang ... 107

6.3. Telaah Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang 127 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 141

7.1. Kesimpulan ... 141

7.2. Saran ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 143

LAMPIRAN ... 159


(16)

1. Perkiraan dampak sedimentasi terhadap komunitas karang …... 12

2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 33

3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang ... 37

4. Matriks kesesuaian lahan untuk pengembangan pariwisata bahari ... 40

5. Sistem penilaian potensi kawasan untuk pengembangan pariwisata bahari ... 40

6. Dimensi dan atribut penilaian akuntabilitas pengelolaan terumbu karang ... 41

7. Dimensi dan atribut penilaian keberlanjutan pengelolaan terumbu karang ... 42

8. Kategori status keberlanjutan terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG ... 47

9. Matrik korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh ... 54

10. Akar ciri dan persentase konstribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi ... 58

11. Akar Ciri dan Kontribusi Inersi Total pada 3 Sumbu Utama Faktorial ……… 62

12. Kesesuaian lahan untuk pembentukan kawasan konservasi terumbu karang, Selat Lembeh ... 74

13. Kelas kesesuaian parameter untuk pengembangan pariwisata bahari pada masing-masing lokasi di Selat Lembeh ... 87

14. Pemberian skor pada masing-masing parameter untuk pengembangan pariwisata bahari ... 78

15. Faktor penunjang/kekhasan dan faktor pembatas pengembangan pariwisata bahari di Selat Lembeh ... 80

16. Kondisi nilai skor setiap atribut akunntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh ... 84

17. Stakeholder pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh 87 18. Jumlah ikan yang didaratkan di PP-Bitung ………... 96

19. Rasio siswa terhadap Guru SD dan Guru SLTP ... 101

20. Objek Wisata di Selat Lembeh ... 105

21. Nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh ... 107

22. Indikator ekonomi ekstraktif per vessel per tahun (Rp juta) ... 108

23. Nilai indeks akuntabilitas dan keberlanjutan Pulau Lembeh dan pesisir Bitung pada setiap dimensi ... 124

24. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG untuk beberapa parameter statistik ... 126

25. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai Insus-COREMAG dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95% ………… 129 26. Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 1 . 130 27. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 1 131


(17)

28. Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 2 . 134 29. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 2 135 30. Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 3 . 136 31. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 3 138 32. Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 4 . 139 33. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 4 139


(18)

No. Halaman 1. Alur pikir penelitian Akuntabilitas dan keberlanjutan

pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh, Kota Bitung .... 8 2. Rancangan pengelolaan terumbu karang ... 16 3. Prinsip spill over dari Konservasi ... 30 4. Peta lokasi penelitian ... 32 5. Ilustrasi akuntabilitas dan keberlanjutan dari setiap dimensi .... 46 6. Proses analisis Rap-Insus-COREMAG dengan pendekatan

MDS ……….. 48

7. Jumlah genera karang batu di Selat Lembeh ... 51 8. Dominasi jumlah koloni karang batu di Selat Lembeh ... 51 9. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms di Selat

Lembeh ……….. 52

10. Persentasi tutupan karang hidup di Selat Lembeh ... 52 11.

Grafik analisis komponen utama parameter fisika-kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan …………...

59

12.

Grafik analisis komponen utama parameter kondisi perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen uatama kedua (F3): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ……….

60

13.

Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) ………..

63

14.

Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) ………..

63 15. Peta Sebaran Ekosistem Pesisir dan Lokasi Penyelaman di

Selat Lembeh ………. 67

16. Peta Rencana Tata Ruang pelabuhan Kota Bitung ... 69 17. Peta zona kawasan konservasi terumbu karang Selat Lembeh,

Kota Bitung ... 73 18. Peta zona pengembangan pariwisata bahari Selat Lembeh,

Kota Bitung ... 79 19. Jenis dan perkembangan alat tangkap ... 98 20. Frekuensi tipe kapal yang berkunjung di PP-Bitung (Januari

s/d Mei 2005) ... 98 21. Persentase pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bitung ... 100 22. Perkembangan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara

yang berkunjung di Kota Bitung ………... 105 23.

Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh ...

109


(19)

24. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai

indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan ... 110

25. Peran masing-masing atribut aspek akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 111 26. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi ... 113

27. Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 113

28. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dan keberlanjutan dimensi teknologi ... 115

29. Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 115

30. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi sosial ekonomi ... 119

31. Peran Masing-Masing Atribut dimensi sosial ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 120

32. Diagram Layang (kite diagram) akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lambeh, Kota Bitung ... 125 33. Ordinasi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95% terhadap median ……… 127

34. Diagram konseptual perumusan skenario pengelolaan kawasan terumbu karang ... 129

35. Hasil simulasi pada skenario kondisi saat ini ... 133

36. Hasil simulasi skenario upaya yang bisa dilakukan ... 134

37. Simulasi skenario kondisi baik ... 138

38. Simulasi skenario pada kondisi buruk ... 140


(20)

No. Halaman 1. Persentase Karang batu dan biota lain yang berasosiasi dengan

terumbu karang di Selat Lembeh

152 2. Peta sebaran jumlah genera karang batu di Pulau Lembeh 153 3. Peta sebaran jumlah genera karang batu di pesisir Bitung 154 4. Peta persentase tutupan kategori benthic lifeforms di Pulau

Lembeh 155

5. Peta persentase tutupan kategori benthic lifeforms di pesisir

Bitung 156

6. Peta sebaran persentase tutupan karang di Pulau Lembeh 157 7. Peta sebaran persentase tutupan karang di pesisir Bitung 158 8. Karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh 159 9.

Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas fisika-kimia perairan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA

160

10.

Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA

160

11.

Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA

161

12.

Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas Kategori Benthic Lifeforms pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA

161 13. Hasil Skoring setiap atribut pengelolaan terumbu karang 162 14. Peta Daerah Aliran Sungai Kawasan Selat Lembeh 167 15.

Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi kelembagaan ……….

168

16.

Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi ekologi ………..

168

17.

Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi teknologi ...

169

18.

Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi sosial-ekonomi ...

169 19. Persamaan (kondisi baseline) untuk simulasi skenario

pengelolaan kawasan terumbu karang ... 170


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup beragam diantaranya terumbu karang (coral reef), ikan hias, padang lamun, dan mangrove. Menurut Soekarno (2001), peranan dan fungsi terumbu karang bagi pembangunan daerah adalah (1) sebagai sumber makanan, (2) sebagai sumber perikanan, (3) sebagai objek wisata bahari, (4) sebagai sumber obat-obatan, (5) sebagai sumber keanekaragaman hayati, (6) sebagai bahan makanan, (7) sebagai pelindung pantai dari kerusakan, dan (8) sebagai laboratorium alam untuk penelitian.

Selat Lembeh juga memiliki pulau-pulau kecil baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang di dalamnya terdapat aktivitas penangkapan ikan dan pariwisata bahari. Makatipu (2003) dalam Kelompok Kerja Terpadu (KTT) Kota Bitung (2005), menyatakan bahwa Selat Lembeh memiliki keunikan yaitu merupakan tempat migrasi ikan-ikan pelagis kecil dan besar seperti tongkol (cakalang), layang (malalugis), tuna, dan ikan kembung. Bahkan mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus sering muncul di perairan ini. Potensi tersebut mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Selat Lembeh, Kota Bitung, sehingga perlu dikelola secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan.

Berdasarkan data penduduk dari Badan Pusat Statistik Kota Bitung (2005), Jumlah penduduk Kota Bitung pada tahun 2005 tercatat sekitar 149.644 jiwa. Selat Lembeh yang dilingkupi oleh dua kecamatan pesisir, merupakan wilayah yang memiliki jumlah penduduk cukup padat. Kedua Kecamatan tersebut masing-masing memiliki jumlah penduduk sebanyak ±16.000 penduduk dengan kepadatan 325 penduduk/km2 di Kecamatan Bitung Selatan, serta 47.564 penduduk di Kecamatan Bitung Timur. Kecamatan Bitung Timur memiliki jumlah penduduk kedua terbesar (meliputi 34% dari jumlah penduduk setelah Kecamatan Bitung Tengah). Rata-rata orang per rumah tangga di kawasan tersebut adalah empat orang per rumah tangga dengan proporsi usia rata-rata terbanyak adalah usia antara 20 – 50 tahun. Kenaikan jumlah penduduk tersebut tentunya akan


(22)

memberikan pengaruh terhadap kebutuhan hidup mereka, seperti pangan yang bersumber dari wilayah pesisir dan laut, maupun meningkatnya tekanan perairan akibat aktifitas industri.

Meningkatnya aktivitas industri di sekitar Selat Lembeh akan berdampak terhadap kuantitas limbah, baik limbah padat maupun berupa cairan. BPS (2005) melaporkan bahwa, jumlah perusahaan industri di Kota Bitung sekitar 2.432 unit usaha. Menurut KTT Kota Bitung (2005), industri di kota Bitung didominasi oleh industri perikanan, industri galangan kapal, industri minyak kelapa, industri transportasi laut, makanan, baja, dan industri menengah dan kecil, dimana limbah dari aktivitas industri tersebut mengalir ke Selat Lembeh. Menurut Done (1997) dan Hughes et al. (1999), pembuangan limbah industri dan rumah tangga meningkatkan kandungan nutrien dan racun di lingkungan terumbu karang. Pembuangan limbah yang tidak diolah langsung ke laut menambah nutrien dan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atau sumber lain amat mengganggu karena dapat meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga pada akhirnya melenyapkan karang. Lebih lanjut Brown (1997), menyatakan bahwa terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih. Menurut GESAMP (1976) dalam Supriharyono (2000), limbah domestik mempunyai sifat utama yaitu: (1) mengandung bakteri, parasit, dan kemungkinan virus, dalam jumlah banyak, yang sering terkontaminasi dalam kerang (shellfish) dan area pariwisata bahari, (2) mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD (Biological Oxygen Demand) biasanya tinggi, (3) kandungan unsur hara nutrien terutama komponen fosfor dan nitrogen tinggi, sehingga sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi, dan (4) mengandung bahan-bahan terapung, berupa bahan-bahan-bahan-bahan organik dan anorganik dipermukaan air atau berada dalam bentuk suspensi. Menurut API (1985) dalam Supriharyono (2002), polusi laut dapat mengganggu simbiose karang-alga dan keanekaragaman flora dan fauna, pemulihan kerusakan karang dari pengaruh minyak membutuhkan 5 - 10 tahun atau 20 - 50 tahun untuk kembali seperti semula.


(23)

3

Terumbu karang yang terdapat di Selat Lembeh terus mendapat tekanan yang sangat besar, baik aktivitas di perairan maupun dari kegiatan di darat yang berasal dari pesisir Bitung. Perubahan yang terjadi adalah (1) degradasi terumbu karang, (2) penurunan kualitas perairan, dan (3) migrasi spesies ke ekosistem yang lebih sehat ke luar selat. Hal ini diduga akibat limbah sistem perkotaan dan transportasi laut, meningkatnya aktivitas industri serta pemukiman di wilayah Kota Bitung, dan penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai akuntabilitas yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kepedulian dan kemampuan dalam mengelola kawasan terumbu karang secara berkelanjutan.

Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh suatu kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe, 2002). Lebih lanjut Munasinghe (2002), menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu terpadunya konsep ‘equity’ lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan, aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek sosial budaya. Dahuri (2003), menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan yaitu keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan.

Kawasan terumbu karang selama ini dipandang hanya dengan menitikberatkan pada fungsi ekologinya semata, padahal di dalam kawasan terumbu karang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial yang sangat potensial. Ketimpangan pandangan tersebut selain karena kurangnya informasi mengenai pentingnya kawasan terumbu karang, juga dilatarbelakangi oleh minimnya informasi secara multidimensi mengenai manfaat dan pengelolaan kawasan terumbu karang. Penggunaan atribut secara multidimensi untuk kajian


(24)

akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Indonesia belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam disertasi ini dilakukan telaah tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. 1.2. Perumusan Masalah

Selat Lembeh memiliki beberapa pulau sangat kecil baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang didalamnya terdapat aktivitas penangkapan ikan dan pariwisata bahari. Pratasik et al. (2003), melaporkan bahwa di Selat Lembeh terdapat sekitar 45 genera karang batu. Hasil penelitian Souhoka (2000), melaporkan bahwa persentase tutupan terumbu karang di Selat Lembeh tergolong dalam kondisi baik yaitu berkisar 50% -100%, lebih lanjut dilaporkan bahwa potensi terumbu karang Selat Lembeh adalah: (1) karang batu; 81 jenis, (2) moluska; 306 jenis, (3) crustacea (anomura); 25 jenis, (4) macroalgae; 51 jenis, dan (5) ikan; 427 jenis, sedangkan Hukom (2000), melaporkan bahwa terdapat sekitar 205 jenis ikan karang yang termasuk dalam 31 famili.

Beberapa kegiatan yang telah berkembang di Selat Lembeh adalah aktivitas penangkapan ikan, budidaya laut, pariwisata bahari dan aktivitas industri pelabuhan. Mengingat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya laut Selat Lembeh, maka diperlukan suatu pengelolaan secara terpadu agar keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dapat terjaga dan taraf hidup masyarakat semakin meningkat. Berbagai permasalahan yang ada, seperti permasalahan lingkungan fisika-kimia perairan yang disebabkan berbagai bentuk pencemaran, permasalahan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat mengganggu kelestarian sumberdaya terumbu karang. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dipecahkan secara terpadu yang berbasis ekosistem dan menyertakan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga nantinya akan dihasilkan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut Selat Lembeh, maka secara konseptual pengelolaan kawasan terumbu karang harus didasarkan pada elemen-elemen yang mendukungnya. Faktor-faktor tersebut meliputi ekologi, teknologi, dan sosial ekonomi. Interaksi faktor-faktor tersebut


(25)

5

jika dikelola secara optimal diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya alam serta dapat mencegah kerusakan lingkungan oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan terumbu karang harus disusun dalam bentuk pembagian zona yang paling sesuai antara komoditi dan kondisi perairan sehingga dapat terjaga keberlanjutannya. Aspek akuntabilitas juga salah satu pertimbangan dalam keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagai bentuk pertanggung jawaban (akuntabilitas) masyarakat terhadap lingkungannya, saat ini masyarakat Pulau Lembeh khususnya telah membuat aturan bahwa penangkapan ikan karang hanya bisa dilakukan dengan memancing dan dilarang menggunakan bom ikan atau bius. Mereka menganggap jika terumbu karang hancur oleh bom dan bius ikan maka tidak ada lagi tempat bagi nelayan Pulau Lembeh mencari ikan.

Mengkaji akuntabilitas dalam sistem pengelolaan kawasan terumbu karang dianalisis dari perspektif dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan yang sangat bermanfaat bagi upaya memperkuat pengembangan sistem pengelolaan kawasan terumbu karang. Hal ini diyakini bahwa sistem pengelolaan tersebut mampu mewujudkan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang yakni suatu usaha yang mengedepankan konservasi dan perlindungan sehingga kebijakan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dapat terlaksana dengan baik. Pada gilirannya sistem pengelolaan kawasan terumbu karang akan mendukung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being), terutama bagi komunitas nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kebijakan yang menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang terasa sulit tanpa memperhatikan faktor multidimensi. Pada dasarnya permasalahan utama pengelolaan kawasan terumbu karang adalah pengelolaannya yang belum optimal. Pemanfaatan lahan di daerah pesisir terus meningkat dan mendesak sampai pada lahan yang seharusnya sebagai daerah konservasi. Hal ini disebabkan karena lemahnya keterpaduan antar sektor yang terlibat di wilayah pesisir. Selain itu, adanya konflik kepentingan dan lemahnya informasi secara multidimensi sebagai landasan pengelolaan, juga menjadi penyebab utama dalam mencapai tujuan akhir keterpaduan pengelolaan kawasan terumbu karang. Lembaga pemerintah dan swasta masih belum optimal


(26)

memberdayakan masyarakat yang mendiami atau yang hidupnya berdekatan dengan area terumbu karang. Akibatnya terjadi pengelolaan kawasan terumbu karang yang belum terintegrasi.

Berbagai metode untuk mengukur akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang yang tersedia, sifatnya masih parsial misalnya menggunakan valuasi ekonomi yang terdiri dari pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif (Baker dan Koeoniam, 1986), dan manajemen (Sanchirico et al., 2002), dan sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian analisis terhadap satu atau dua variabel saja untuk melihat status keberlanjutan belum memadai, mengingat proses pengelolaan melibatkan banyak variabel (multidimensi). Kondisi setiap dimensi yang terkait erat dengan proses pengelolaan kawasan terumbu karang perlu dikaji dan dianalisis sehingga hasil penilaian dapat bersifat komprehensif.

Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan dalam pengelolaan kawasan terumbu karang adalah belum adanya kajian secara komprehensif berbasis ekosistem dan multidimensi tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap hal-hal sebagai berikut:

1. Kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan serta peruntukan kawasan terumbu karang yang dapat dikembangkan di Selat Lembeh.

2. Dimensi dan atribut yang dapat mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang.

3. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh. 1.4. Kerangka Pendekatan Penelitian

Kawasan pesisir memiliki aktivitas yang sangat kompleks dan permasalahan secara multidimensi. Selama ini pendekatan analisis dalam menangani masalah yang terjadi di kawasan pesisir cenderung dilakukan secara


(27)

7

parsial dan sektoral. Oleh karena itu pendekatan secara multidimensi dalam satu analisis yang utuh sangat diperlukan. Penelitian ini diharapkan menjawab tantangan dan kebutuhan tersebut melalui pendekatan secara komprehensif yang mengkombinasikan berbagai penelitian kualitatif dan kuantitatif. Kerangka pemikiran studi ini didekati dari pemikiran bahwa kawasan terumbu karang merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan analisis terdahulu dalam melihat pemanfaatan berbagai kepentingan tersebut. Keseluruhan pendekatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir yang memiliki potensi terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan secara terpadu berbasis ekosistem, dan multidimensi. Beberapa alat (tools) analisis yang digunakan, adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Analisis Faktorial Koresponden (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG dan Stella Ver 8.0. Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung.


(28)

Assessment

Kondisi & Karakteristik Lingkungan Terumbu Karang Arahan Peruntukan Kawasan Terumbu Karang

Indeks Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Skenario Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang

Manfaat Sosial-Budaya Manfaat Ekonomi Manfaat Ekologi

Pengelolaan Berkelanjutan Kawasan Terumbu Karang

Pendekatan Ekosistem

dan Multidimensi

Analisis Kondisi & Karakteristik Lingkungan Terumbu Karang Analisis Pemanfaatan dan Peruntukan Kawasan Terumbu Karang

Analisis Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Simulasi Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu

Pariwisata Bahari

Penangkapan secara Destruktif

Limbah Perkotaan, Industri dan Pelabuhan

Konflik Pemanfaatan

Akuntabilitas Keberlanjutan

Ekologi Teknologi Sosial Ekonomi Kelembagaan

Perikanan Pelabuhan & Industri

Sistem Biologi-Ekologi Permintaan

Potensi Kawasan Terumbu Karang

Gambar 1. Alur pikir penelitian akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh, Kota Bitung


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Karakteristik Lingkungan Perairan Terumbu Karang

2.1.1. Cahaya

Hewan-hewan karang membangun terumbu karang dengan cara memanfaatkan energi cahaya matahari yang menjadi kunci eksistensi pandangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua terumbu karang dalam skala waktu geologi. Cahaya secara ekologi merupakan pembatas dibandingkan semua parameter fisika lingkungan lainnya, oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan secara fisik terhadap biogeografi karang secara horizontal. Kepentingan cahaya dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dan proses simbiosis karang dengan zooxanthellae yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peranan cahaya bagi karang, hal ini sinergis dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat menyebabkan rendahnya diversitas karang (Veron (1995).

Mengingat binatang karang (hermatypic atau reef-building corals) hidupnya bersimbiose dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500 fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (reef corals) umumnya tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam.


(30)

2.1.2.Suhu

Terumbu karang pada umunya terbatas pada suhu perairan antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal (Hubbard, 1990). Sensitivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global yang melanda perairan Indonesia pada tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) telah mencatat bahwa selama peristiwa pemutihan karang tersebut, suhu rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah 2-30C di atas suhu normal. Menurut Kinsman (2004) bahwa dia mendapatkan Acropora pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16 - 400C dan kisaran suhu harian paling rendah 100C di pantai Trucial. Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang, lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami. Menurut Neudecker (2001) perubahan suhu secara mendadak sekitar suhu 4 - 60C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya.

Suhu 180C yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai suhu minimum air laut yang secara fungsional terumbu karang masih dapat hidup secara normal. Fenomena telah dicatat dan diuji berulang kali pada terumbu karang di wilayah Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan dibuktikan kebenarannya. Suhu rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana sebagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan masa lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsolidasi.

Yajima et al. (1986) dalam Veron (1995), menyatakan bahwa sangat sedikit zooxanthellae karang diketahui dapat mentolerir suhu di bawah 110C pada kondisi alamiah. Karang Oulastrea crispata di Semenanjung Noto Laut Jepang dapat mentolerir suhu pada kira-kira 00C dan zooxanthellae terlihat tetap hidup di dalam jaringannya. Lebih lanjut Vaughan dan Wells (1943) dalam Veron (1995), menyatakan bahwa karang Siderastrea radians diketahui tercatat hidup dan toleran


(31)

11

pada suhu 4,50C. Catatan lain dari kelangsungan hidup akibat suhu rendah hampir sama, yaitu Solenastrea hyades di utara Carolina (Macintyre dan Pilkey, 1969 dalam Veron (1995) ditemui pada suhu 10,60C, Acropora sp., Porites spp. dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan Teluk Arab pada suhu 110C (Coles dan Fadlallah, 1991 dalam Veron (1995), dan Montipora spp. di Pulau Yaeyama pada suhu kurang dari 130C (Nomura, 1986 dalam Veron (1995).

2.1.3. Salinitas

Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang

karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman, 2004). Namun

pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,50/00 (Vaughan, 1999; Wells,

1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air

surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 700/00 (Smith, 1993).

Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Contoh Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 400/00 hanya

beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 480/00.

2.1.4. Sedimen

Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah


(32)

timur Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000). Disamping jenis sedimen tersebut, ada pula sedimen lain, yang dikenal dengan carbonate sedimen, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya. Lebih lanjut dampak tingkat sedimentasi terhadap komunitas binatang karang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkiraan dampak sedimentasi terhadap komunitas karang (Pastorok dan Bilyard, 1985

Laju sedimentasi

mg/cm2/hari Tingkatan dampak

1 - 10

10 - 50

> 50

Kecil – sedang

a. Mengurangi kelimpahan

b. Kemungkinan penurunan dalam peremajaan c. Kemungkinan penurunan jumlah spesies Sedang – bahaya

a. Pengurangan kelimpahan secara besar-besaran b. Penurunan peremajaan

c. Pengurangan jumlah spesies d. Kemungkinan invasi spesies Bahaya – katastropik

a. Kelimpahan berkurang secara drastis b. Komunitas rusak berat

c. Kebanyakan spesies musnah d. Banyak koloni mati

e. Peremajaan hampir tidak terjadi f. Regenerasi lambat atau terhenti g. Invasi spesies-spesies baru

Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polyp (mulut) karang. Pengaruh tidak langsung adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard, 1985; Supriharyono, 2000). Lebih lanjut dilaporkan oleh Pastorok dan Bilyard (1985) bahwa beberapa jenis karang, seperti Montastrea cavemosa, Siderastrea radians, S. Siderea, dan Diphria strigosa, cenderung paling tahan terhadap kekeruhan, demikian pula terumbu karang di Teluk Fouha Cfan Ylig, Guam, ada korelasi antara sedimentasi dengan keanekaragaman dan tutupan


(33)

13

karang hidup. Didaerah yang sedimentasinya per hari mencapai < 10 mg/cm2 mempunyai jenis karang > 120 spesies. Sedangkan pada daerah yang tingkat sedimentasinya per hari > 200 mg/ cm2, jenis karangnya kurang dari empat spesies.

Pengaruh sedimentasi terhadap kehidupan karang yang diakibatkan oleh aktivitas pengerukan telah banyak dilaporkan oleh para peneliti. Chansang et al (2001) melaporkan kematian karang di Ko Phuket, Thailand, akibat karang menerima sedimen yang cukup tinggi dari perusahaan pengerukan dan pemisahan timah. Lebih lanjut dikatakan di perairan sebelah utara Teluk Bang Tao (pantai barat Ko Phuket), tutupan karang hidup di dekat pantai (reef flat), yang menampung banyak sedimen persentasenya sangat rendah, yaitu 3 – 6%, dibandingkan dengan di daerah tubir (reef edge), 27 - 34% atau di daerah tubir (reef slope), 26 -34%. Demikian pula Brown (1987), yang melakukan penelitian di semenanjung Laem Pan Wah, Ko Phuket, memperoleh keanekaragaman karang yang umumnya rendah di daerah intertidal, dengan tutupan karang hidup sekitar 13 – 48%. Jenis karang yang dominan di daerah tersebut adalah Porites, Montipora, Acropora, dan Platygyra. Supriharyono (2000) juga melaporkan bahwa di perairan karang Bandengan Jepara Jawa Tengah, yang menerima sedimentasi yang tinggi dari aktivitas pertanian dan aktivitas lainnya di daerah atas terutama pada musim penghujan, perharinya mencapai sekitar 135 mg/cm2. Tutupan karang diperairan tersebut tercatat relatif rendah di daerah reef flat, yaitu sekitar 21 – 37% dan relatif tinggi di daerah dekat reef edge, yang letaknya relatif jauh dari garis pantai (150 – 250 m), yaitu 50 – 80%. Demikian pula dengan jenis-jenis bisa tahan di kedua zona tersebut juga berbeda, yaitu hanya 1 – 5 spesies di reef flat dan lebih dari 20 spesies di daerah reef edge. Jenis-jenis karang yang dominan adalah Porites lutea, Montipora digitata, Acropora aspera, Acropora pulchra, dan Platygyra spp. Pada umumnya karang yang hidup di daerah yang keruh atau sedimentasinya tinggi menampakkan tanda-tanda stress, seperti hilangnya warna, tertutup oleh silt, polyp yang baru mati atau lendir yang berlebihan. Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah disimpulkan oleh Loya dan Rinkevich (2000) yaitu: (1) menghambat pertumbuhan karang, (2) menghambat planula karang untuk menempelkan diri dan berkembang pada substrat, (3) menghambat persen fotosintesis zooxanhella, (4) menyebabkan kematian karang apabila menutupi permukaan karang, dan (5) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen.


(34)

2.2. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen, 2003). Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (demokrasisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cicin-Sain dan Knecht, 1998).

Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan laut itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan


(35)

15

ekosistem wilayah pesisir (Dahuri et al., 1996). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan (Bengen, 2001). Aplikasi pengelolaan berkelanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk mencapai tujuan ini harus berdasarkan karakteristik dan dinamika alamiah wilayah pesisir, termasuk keterkaitan ekologis dari kawasan pesisir, baik yang bersifat biogeofisik kimiawi maupun sosial-ekonomi-budaya dan politik (Dahuri et al., 1996).

Untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang, maka diperlukan pengelolaan terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan terumbu karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Salah satu konsep pengelolaan terumbu karang adalah menetapkan Kawasan Konservasi Laut. Agardy, (1997); Barr et al, (1997), menyatakan bahwa KKL memiliki peran utama sebagai berikut:

a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; Kawasan konservasi dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan; Kawasan konservasi dapat melindungi daerah

pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat membuang jangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat


(36)

terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Selanjutnya Westmacott et al, (2000), berpendapat bahwa Kawasan Konservasi Laut memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan teumbu karang dengan cara:

• Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan,

• Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali,

• Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Berikut adalah rancangan pengelolaan terumbu karang.

IN TI

Gambar 2. Rancangan pengelolaan terumbu karang (Bengen, 2000)

2.3. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang

Nikijuluw (2002a), menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan adalah

IN TI IN TI

Tahap 2 Tahap 3


(37)

17

a. Dimensi biofisik/ekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut,

b. Dimensi ekonomi terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya,

c. Dimensi kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. Atribut pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau area (stake) yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. Kelembagaan dan organisasi eksternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta

f. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya pesisir dan laut.

2.3.1. Dimensi Kelembagaan

Pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan terumbu karang adalah nelayan dan masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dimensi ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal, pemegang kepentingan utama, tingkat kepatuhan masyarakat, pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, tokoh panutan, penyuluhan hukum lingkungan, koperasi, tradisi/budaya, dan forum konservasi. Keseluruhan variabel tersebut dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya.

Variabel-variabel tersebut menentukan perilaku masyarakat secara individu atau kelompok. Asumsi yang selalu dipegang para peneliti dan manajer sumberdaya pesisir dan laut (pemerintah) adalah masyarakat bersifat rasional dan memiliki kepentingan tertentu dalam memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu,


(38)

masyarakat akan beradaptasi dengan situasi yang sejalan dengan kepentingan mereka. Dengan kata lain, jika suatu tatanan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dapat memenuhi kepentingan masyarakat, secara rasional masyarakat akan menerima tatanan tersebut.

Ostrom (1994), mengemukakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama, yaitu:

a. Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam bentuk hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencaharian,

b. Jika ada ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi atas sumberdaya pesisir dan laut serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lain.

Lebih lanjut Ostrom (1994), menyatakan bahwa jika ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan laut tinggi, sedangkan ketersediaan sumberdaya tersebut terbatas atau tidak pasti jumlahnya, masyarakat cenderung bekerjasama atau melakukan aksi kolektif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.

Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002a), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah:

1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok

dengan masalah-masalah yang dihadapi.

3. Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Pollnac et al. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management (CRM) dan Segara Anakan Conservation and Development Project, dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Natural Resource Management Project (NRMP-1) menemukan bahwa peran serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam


(39)

19

perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Peranserta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Juga, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Christie et al. (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati.

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi lokal tampak telah


(40)

berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai.

Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter berkelanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah.

Sievanen (2003) dalam studinya mengenai komunitas berpindah dan implikasi keberlanjutan memberi catatan khusus, yaitu bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas “komunitas” yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir, karena sering dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir. Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan.


(41)

21

2.3.2. Dimensi Ekologi

Atribut ini adalah pembatas atau kendala bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk terumbu karang. Sifat-sifat properti bersama sumberdaya alam seperti ekskludibilitas, substraktabilitas, dan individibilitas adalah kendala sekaligus tantangan untuk melakukan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Atribut ekologi dari sumberdaya juga menentukan skala pemanfaatan terumbu karang. Tentu saja, semakin besar area dan jumlah potensi terumbu karang yang tersedia, semakin besar skala pemanfaatan yang dapat dilaksanakan. Atribut ekologi juga menentukan cara para pengguna sumberdaya, dapat saling berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Potensi sumberdaya serta nilai finansial yang dapat diraih dari sumberdaya terumbu karang tersebut menentukan pola interaksi antar nelayan. Pola interaksi yang dimaksud dapat dilihat dari tersedia atau tidak tersedianya hak-hak pemanfaatan terumbu karang, yaitu hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak ekslusif, dan hak mengalihkan.

Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Aziz et al., 1998). Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY (maximum sustainable yield) atau terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) akan membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Gulland (1983); overfishing diberdakan menjadi dua yaitu growth overfishing yang ditandai dengan menurunnya ukuran ikan yang tertangkap, dan recruitment overfishing yang ditandai oleh makin menurunnya CPUE (catch per unit of effort).

Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsinya bertindak didalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman


(42)

spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al., 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001).

Kawasan pesisir dan laut terdiri dari berbagai ekosistem dan habitat baik yang ada di darat maupun di laut (Suwandi et al., 2001). Kondisi kerusakan atau pencemaran disetiap ekosistem pesisir dapat digunakan sebagai atribut/dimensi ekologis (Dahuri, 2002). Selain itu upaya untuk mencegah pencemaran dan pemanfaatan yang berlebihan juga dapat digunakan sebagai dimensi ekologis, misalnya adanya zonasi pemanfaatan. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark, 1996). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan. Konflik antar pengguna dapat mengurangi keberlanjutan pembangunan (Holthus, 1999).

2.3.2. Dimensi Teknologi

Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta di tentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antar pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjasama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan.

Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang


(43)

23

timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola.

b. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka.

Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang.

2.3.3. Dimensi Sosial Ekonomi

Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan


(44)

tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi.

Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut.

2.4. Multidimensional Scaling

Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang akan digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan terumbu karang di tinjau dari dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang.

Analisis multidimensional scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al, 1987). Sickle, (1997) menyatakan bahwa multidimensional scaling dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Multidimensional scaling adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek/point dalam dua dimensi atau tiga dimensi. Alder et al, (2001) menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan mengkonvigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak Euclidean antar titik. Dalil Pythagoras dapat digunakan untuk menghitung jarak euclidean antara dua titik. Dalam ruang dua dimensi jarak euclidean dirumuskan sebagai berikut :

2 2 1 2 2

1 x y y

x

d = − + − ………..(1)

Sedangkan dalam n-dimensi jarak euclidean dirumuskan sebagai berikut :


(45)

25

Dalam evaluasi kondisi sumberdaya pesisir, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa atribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 5. Hasil skor dimasukan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan pengelolaan terumbu karang dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data didalam matrik tersebut adalah data interval yang menunjukan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991).

Analisis multidimensional scaling merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metrik. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre, 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan multidimensional telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, seperti yang dilakukan oleh Alder et al (2001) untuk mengevaluasi kondisi perikanan tangkap dengan berbagai tipe variabel yang berbasis jarak. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode multidimensional scaling (Nikjkamp et al., 1980) dalam Susilo (2003).

Legendre dan Legendre (1983) menyatakan bahwa semua metode ordinasi di dalam ruang yang diperkecil disebut secara umum sebagai metode analisis faktor mengingat semuanya didasarkan pada ekstraksi eigenvector atau vektor ciri dari matriks asosiasi. Metode ordinasi dalam ruang yang diperkecil selain multidimensional scaling antara lain adalah Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis), analisis Koordinat Utama (Principal Coordinate Analysis), dan Analisis Korespondensi (Correspondence Analysis).


(1)

169 Lanjutan

Attributes >

Lokasi V

Abbreviation

KELEMBAGAAN

Ketersed

iaa

n

peratu

ran

pengelolaan sumberdaya

secara formal

Pemegang kepentingan

utama

Tingkat kepatuhan

masyarakat

Pelaksanaan pemantauan,

pengawasan dan p

en

g

endalian

Tokoh panutan

Penyuluhan hukum

lingkungan Koperasi

Tradisi/budaya

Forum Konservasi

Pulau Lembeh PL 0 1 1 1 1 1 0 1 1

Pesisir Bitung PB 0 1 2 2 1 0 0 0 0

Reference fisheries:

GOOD 1 1 0 0 0 2 2 1 1 1

BAD 2 0 2 2 2 0 0 0 0 0

UP 3 1 0 0 0 2 0 0 0 0

DOWN 4 0 2 2 2 0 2 1 1 1

Anchor Fisheries: 1 1 0 0 0 2 2 1 1 0

2 1 0 0 0 2 2 1 0 0

3 1 0 0 0 2 2 0 0 0

4 1 0 0 0 0 0 0 0 0

5 1 0 0 2 0 0 0 0 0

6 1 0 2 2 0 0 0 0 0

7 1 2 2 2 0 0 0 0 0

8 0 2 2 2 0 0 0 0 1

9 0 2 2 2 0 0 0 1 1

10 0 2 2 2 0 0 1 1 1

11 0 2 2 2 2 2 1 1 1

12 0 2 2 0 2 2 1 1 1

13 0 2 0 0 2 2 1 1 1


(2)

(3)

171

Lampiran 11. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi ekologi

Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median)

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 1

Sumbu X Rap-Insus-COREMAG

Su

m

b

u

20

Y

Lampiran 12. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi teknologi

Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median)

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 1

Sumbu X Rap-Insus-COREMAG

S

u

m

bu

20


(4)

Lampiran 13. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi sosial-ekonomi

Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median)

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X Rap-Insus-COREMAG

Su

m

b

u

Y

Lampiran 14. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi kelembagaan

Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median)

-60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X Rap-Insus-COREMAG

Sum

b

u


(5)

173

Lampiran 15. Persamaan (kondisi baseline) untuk simulasi skenario pengelolaan kawasan terumbu karang

EKOLOGI(t) = EKOLOGI(t - dt) + (Input_Ekologi - Output_Ekologi) * dt INIT EKOLOGI = 58.86

Input_Ekologi = (83.22+(-8.19*B_Kond_Per)+(-7.65*B_TESDI)+(-

26.38*Spesies_Endemik)+(3.91*B_J_Sedimentasi)+(-3.81*KA)+(1.49*Pers_TK))-EKOLOGI

Output_Ekologi = IF(Rehabilitasi=1) THEN (RANDOM(0,0.1)) ELSE (EKOLOGI*0.05)

KELEMBAGAAN(t) = KELEMBAGAAN(t - dt) + (Input_KLBG - Out_Put_KLBG) * dt

INIT KELEMBAGAAN = 32.08

Input_KLBG = (42.135+(-7.828*Pem_Kep)+(-11.347*Peneg_Hukum)+(16.415*Tokoh_Panutan)+(12.544*Koperasi)+(8.195*Tr adisi_Budaya)+(-0.881*Peng_Partisipatif))-KELEMBAGAAN

Out_Put_KLBG = 0.1*KELEMBAGAAN

SOSEK(t) = SOSEK(t - dt) + (Input_Sosek - Output_Sosek) * dt INIT SOSEK = 51.27

Input_Sosek = ((37.83+(-4.10*Waktu)+(11.79*WisLok)+(-

16.83*Pot_Konflik)+(8.21*Zonasi)+(7.10*KTP)+(7.16*Nilai_SB))-KTP)-SOSEK

Output_Sosek = SOSEK*0.1

TEKNOLOGI(t) = TEKNOLOGI(t - dt) + (Input_Teknologi - Output_Teknologi) * dt

INIT TEKNOLOGI = 38.22

Input_Teknologi = (63.40+(-0.34*Jenis_AT)+(12.88*Selekt_AT)+(-26.20*B_T_Kapal))-TEKNOLOGI

Output_Teknologi = TEKNOLOGI*0.1

B_J_Sedimentasi = IF (Sedimentasi=5 or Sedimentasi=6 or Sedimentasi=7 or Sedimentasi =8 ) THEN 0 ELSE IF(Sedimentasi=2 or Sedimentasi=3 or Sedimentasi=4 ) THEN 1 ELSE 2

B_Kond_Per = IF(Kond_Per=23 or Kond_Per=24 or Kond_Per=25 ) THEN 0 ELSE IF(Kond_Per=19 or Kond_Per=20 or Kond_Per=21 or Kond_Per =22) THEN 1 ELSE IF(Kond_Per=26 or Kond_Per=27 or Kond_Per=28 or Kond_Per=29 or Kond_Per=30 or Kond_Per=31 or Kond_Per=32 or Kond_Per=33 or Kond_Per=34 or Kond_Per=35 ) THEN 2 ELSE 3

B_TESDI = IF(TESDI=32 or TESDI=33 or TESDI=34 or TESDI =35 ) THEN 0 ELSE IF(TESDI=28 or TESDI=29 or TESDI=30 or TESDI =31) THEN 1 ELSE IF(TESDI>=36) THEN 2 ELSE 3

B_T_Kapal = IF (Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =4 or Tipe_kapal =5) THEN 0 ELSE IF(Tipe_kapal =6 or Tipe_kapal =7 or Tipe_kapal =8 or Tipe_kapal =9 or Tipe_kapal =10) THEN 1 ELSE 2

Jenis_AT = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 2 ELSE 0 KA = IF (Rehabilitasi =1) THEN 0 ELSE 1


(6)

Koperasi = IF (Pem_Kep = 1) THEN 1 ELSE 0

KTP = IF(Skenario=1or Skenario=3) THEN 0 ELSE IF(Skenario=2) THEN 2 ELSE 1

Nilai_SB = 0 OR 1

Pem_Kep = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 2 ELSE 0 Peneg_Hukum = IF (Pem_Kep=1) THEN 1 ELSE 0

Peng_Partisipatif = IF(Pem_Kep =1 AND(Koperasi=1 AND(Tokoh_Panutan>0))) THEN 1 ELSE (RANDOM(0,0.25))

Pers_TK = MIN(0) AND MAX(100)

Pot_Konflik = THEN 0 ELSE IF(Pot Konflik=2 or Pot Konflik =3 or Pot Konfliki=4 ) THEN 1 ELSE 2

Rehabilitasi = IF(KELEMBAGAAN>=50) THEN 1 ELSE 0 Sedimentasi = 1

Selekt_AT = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 0 ELSE 2 Skenario = 4

Spesies_Endemik = 0 OR 1

TESDI = MIN(32) AND MAX(32.6) Tipe_kapal = MIN(5) AND MAX(10)

Tokoh_Panutan = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 0 ELSE (RANDOM(1,2))

Tradisi_Budaya = IF (Tokoh_Panutan = 0) THEN 0 ELSE 1

Waktu = IF(Skenario=1) THEN 2 ELSE IF(Skenario=2) THEN 0 ELSE IF(Skenario=3) THEN 3 ELSE 1