Perumusan Masalah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Indonesia belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam disertasi ini dilakukan telaah tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang.

1.2. Perumusan Masalah

Selat Lembeh memiliki beberapa pulau sangat kecil baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang didalamnya terdapat aktivitas penangkapan ikan dan pariwisata bahari. Pratasik et al. 2003, melaporkan bahwa di Selat Lembeh terdapat sekitar 45 genera karang batu. Hasil penelitian Souhoka 2000, melaporkan bahwa persentase tutupan terumbu karang di Selat Lembeh tergolong dalam kondisi baik yaitu berkisar 50 -100, lebih lanjut dilaporkan bahwa potensi terumbu karang Selat Lembeh adalah: 1 karang batu; 81 jenis, 2 moluska; 306 jenis, 3 crustacea anomura; 25 jenis, 4 macroalgae; 51 jenis, dan 5 ikan; 427 jenis, sedangkan Hukom 2000, melaporkan bahwa terdapat sekitar 205 jenis ikan karang yang termasuk dalam 31 famili. Beberapa kegiatan yang telah berkembang di Selat Lembeh adalah aktivitas penangkapan ikan, budidaya laut, pariwisata bahari dan aktivitas industri pelabuhan. Mengingat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya laut Selat Lembeh, maka diperlukan suatu pengelolaan secara terpadu agar keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dapat terjaga dan taraf hidup masyarakat semakin meningkat. Berbagai permasalahan yang ada, seperti permasalahan lingkungan fisika-kimia perairan yang disebabkan berbagai bentuk pencemaran, permasalahan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat mengganggu kelestarian sumberdaya terumbu karang. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dipecahkan secara terpadu yang berbasis ekosistem dan menyertakan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga nantinya akan dihasilkan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut Selat Lembeh, maka secara konseptual pengelolaan kawasan terumbu karang harus didasarkan pada elemen-elemen yang mendukungnya. Faktor-faktor tersebut meliputi ekologi, teknologi, dan sosial ekonomi. Interaksi faktor-faktor tersebut jika dikelola secara optimal diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya alam serta dapat mencegah kerusakan lingkungan oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan terumbu karang harus disusun dalam bentuk pembagian zona yang paling sesuai antara komoditi dan kondisi perairan sehingga dapat terjaga keberlanjutannya. Aspek akuntabilitas juga salah satu pertimbangan dalam keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagai bentuk pertanggung jawaban akuntabilitas masyarakat terhadap lingkungannya, saat ini masyarakat Pulau Lembeh khususnya telah membuat aturan bahwa penangkapan ikan karang hanya bisa dilakukan dengan memancing dan dilarang menggunakan bom ikan atau bius. Mereka menganggap jika terumbu karang hancur oleh bom dan bius ikan maka tidak ada lagi tempat bagi nelayan Pulau Lembeh mencari ikan. Mengkaji akuntabilitas dalam sistem pengelolaan kawasan terumbu karang dianalisis dari perspektif dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan yang sangat bermanfaat bagi upaya memperkuat pengembangan sistem pengelolaan kawasan terumbu karang. Hal ini diyakini bahwa sistem pengelolaan tersebut mampu mewujudkan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang yakni suatu usaha yang mengedepankan konservasi dan perlindungan sehingga kebijakan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dapat terlaksana dengan baik. Pada gilirannya sistem pengelolaan kawasan terumbu karang akan mendukung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat social well being, terutama bagi komunitas nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kebijakan yang menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang terasa sulit tanpa memperhatikan faktor multidimensi. Pada dasarnya permasalahan utama pengelolaan kawasan terumbu karang adalah pengelolaannya yang belum optimal. Pemanfaatan lahan di daerah pesisir terus meningkat dan mendesak sampai pada lahan yang seharusnya sebagai daerah konservasi. Hal ini disebabkan karena lemahnya keterpaduan antar sektor yang terlibat di wilayah pesisir. Selain itu, adanya konflik kepentingan dan lemahnya informasi secara multidimensi sebagai landasan pengelolaan, juga menjadi penyebab utama dalam mencapai tujuan akhir keterpaduan pengelolaan kawasan terumbu karang. Lembaga pemerintah dan swasta masih belum optimal memberdayakan masyarakat yang mendiami atau yang hidupnya berdekatan dengan area terumbu karang. Akibatnya terjadi pengelolaan kawasan terumbu karang yang belum terintegrasi. Berbagai metode untuk mengukur akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang yang tersedia, sifatnya masih parsial misalnya menggunakan valuasi ekonomi yang terdiri dari pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif Baker dan Koeoniam, 1986, dan manajemen Sanchirico et al., 2002, dan sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian analisis terhadap satu atau dua variabel saja untuk melihat status keberlanjutan belum memadai, mengingat proses pengelolaan melibatkan banyak variabel multidimensi. Kondisi setiap dimensi yang terkait erat dengan proses pengelolaan kawasan terumbu karang perlu dikaji dan dianalisis sehingga hasil penilaian dapat bersifat komprehensif. Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan dalam pengelolaan kawasan terumbu karang adalah belum adanya kajian secara komprehensif berbasis ekosistem dan multidimensi tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang.

1.3. Tujuan Penelitian