Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia SDM Indonesia dan secara tidak langsung merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih rendah. United Nation Development Program UNDP dalam Human Development Index HDI tahun 2005 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih memprihatinkan, peringkat tersebut justru sebenarnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004 http:jurnalhukum.blogspot.com. Gambaran tersebut setidaknya memacu kita untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Di sisi lain proses peningkatan mutu pendidikan di Indonesia tentu saja harus sejalan dengan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas, yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pencapaian tujuan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tersebut dapat diketahui melalui suatu kegiatan yang dinamakan evaluasi. Menurut Ralp Tyler dalam Arikunto 2005: 3, menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 menyebutkan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebaga i bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Salah satu bentuk evaluasi adalah Ujian Nasional UN. Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 66 menyebutkan bahwa Ujian Nasional merupakan penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi. UN merupakan alat ukur yang terstandar standardized test yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi, UN menunjukkan suatu sistem evaluasi yang terpusat. Sistem evaluasi terpusat dalam bentuk UN mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan. Kontroversi seputar ujian secara nasional mula- mula dipicu oleh penolakan sekelompok masyarakat terhadap kebijakan kenaikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI batas kelulusan dari 3,01 pada 2003 menjadi 4.01 pada 2004. Ada kekhawatiran ambang kelulusan itu bisa membuat banyak siswa tidak lulus. Argumen berkembang ke masalah dampak pembelajaran di sekolah, UN membuat perhatian murid tertuju kepada mata pelajaran yang diujikan. Selain itu juga dikritik karena tidak komprehensif, hanya mementingkan aspek kognitif saja. Tak kalah pentingnya, UN dianggap tidak adil karena mengevaluasi murid dengan ukuran yang seragam, sungguh suatu pelanggaran bagi keadaan Indonesia yang heterogen. Pendapat-pendapat tersebut sejalan pula dengan hasil kajian Koalisi Pendidikan. Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan LAP, National Educational Watch NEW, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, The Centre for the Betterment Indonesia CBE, Kelompok Kajian Studi Kultural KKSK, Federasi Guru Independen Indonesia FGII, Forum Guru Honorer Indonesia FGHI, Forum Aksi Guru Bandung FAGI-Bandung, For-Kom Guru Kota Tangerang FKGKT, Lembaga Bantuan Hukum LBH-Jakarta, Jakarta Teachers and Education Club JTEC, dan Indonesia Corporation Watch ICW menyebutkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pemberlakuan UN. Penyimpangan- penyimpangan tersebut muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tetapi lebih pada hal yang bersifat fundamental baik secara pedagogis, yuridis, sosial psikologis maupun ekonomi Tempo, 4 Februari 2004. Hal- hal tersebut dijelaskan sebagai berikut ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan kognitif, ketrampilan psikomotorik, dan sikap afektif. Tetapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik. Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pada tahun 20022003 menjadi 4,01 pada tahun 20032004 dan 4,25 pada tahun 20042005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di- UN-kan di sekolah ataupun di rumah. Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 mema ng disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan korupsi dana UN. Selain hal- hal tersebut di atas, yang tidak kalah disoroti adalah berkenaan dengan kebijakan yang menjadikan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan. Hal ini tentu saja tidak menghargai proses pendidikan yang sudah dijalani oleh peserta didik selama tiga tahun dan juga tidak menghargai peran guru dalam ikut serta mengevaluasi peserta didik karena diambil alih oleh UN. Walaupun sebenarnya di tahun ajaran 20062007 syarat kelulusan tidak hanya berdasarkan hasil UN saja melainkan ada tiga aspek lain yang juga harus diperhitungkan tetapi dalam prakteknya tentu saja hasil UN lah penentu segalanya. Keberatan-keberatan tentang UN mencapai puncaknya ketika beberapa orang yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Ujian Nasional Tekun menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Standar Nasional Pendidikan atas kelalaiannya dalam memenuhi hak pendidikan warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan para siswa yang gagal menempuh UN. Gugatan tersebut akhirnya dikabulkan Lampung Post, 22 Mei 2007. Di antara kritikan-kritikan tajam, muncul juga argumentasi yang mendukung kuat pelaksanaan UN. Argumen tersebut diantaranya menyebutkan bahwa Ujian Nasional merupakan langkah terakhir untuk mengukur apakah sekolah-sekolah yang dibangun baik oleh negara maupun swasta telah memenuhi standar mutu pendidikan nasional. Lebih lanjut dikatakan Ketua BSNP Badan Standar Nasional Pendidikan, UN dilaksanakan untuk melihat perkembangan proses pendidikan di setiap wilayah sekaligus sebagai pemetaan standar pendidikan nasional. Wakil Presiden Yusuf Kalla menjelaskan bahwa tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada beberapa mata pelajaran tertentu, juga untuk mengukur apakah standar nasional pendidikan itu tercapai atau tidak Media Indonesia, 7 Desember 2006. Sedangkan menurut enam hasil studi yang dilakukan oleh Depdiknas maupun lembaga- lembaga yang disponsori Depdiknas, menyimpulkan bahwa masyarakat mendukung ujian akhir secara nasional Kompas, 31 Januari 2005. Keenam hasil studi tersebut antara lain dijelaskan sebagai berikut. Studi pertama dilakukan oleh Pusat Kebijakan Balitbang Depdiknas, menyimpulkan bahwa UAN diperlukan untuk alat ukur standar mutu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pendidikan nasional. Studi kedua oleh Inspektorat Jenderal Depdiknas. Menurut studi ini, seluruh kepala dinas propinsi dan kabupaten, kepala sekolah, guru, murid, orang tua murid maupun pemerhati pendidikan menyatakan setuju UAN diselenggarakan. Studi ketiga yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, mayoritas siswa menyebutkan UAN membuat siswa semangat belajar, rajin mencari sumber bacaan, rajin masuk sekolah; mayoritas guru menyatakan UAN membuat mereka lebih giat mengajar, meningkatkan disiplin dan motivasi berprestasi.; mayoritas orang tua menyatakan UAN membuat mereka lebih memperhatikan proses pembelajaran anak dan memberi dorongan belajar. Sedangkan studi keempat yang dilakukan oleh Universitas Pendidikan Indonesia mengemukakan bahwa evaluasi nasional berperan meningkatkan mutu dan perlu dilaksanakan oleh badan independen. Studi kelima dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Indonesia LSPI. Studi ini menyimpulkan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan UAN, sekolah perlu diberi kepercayaan menentukan kelulusan, penyelenggaraan ujian oleh lembaga mandiri dan perlunya perbaikan pada sistem ujian dengan ditiadakan ujia n ulangan dan disertakan soal essai. Dan studi yang keenam oleh Departemen Hukum dan HAM mengemukakan UU No. 20 Th 2003 tentang Sisdiknas memerintahkan adanya kompetensi lulusan, penilaian berencana dan berkala: evaluasi mutu peserta didik dilakukan pada semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan secara nasional PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Furqon Masih Perlukah Ujian Akhir Nasional, Pikiran Rakyat, 23 Desember 2004 – On line menyebutkan sedikitnya ada lima alasan yang mendukung pelaksanaan UN. Pertama, alasan akuntabilitas publik public accountability , yaitu ujian dalam pendidikan diharapkan mampu menyediakan dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kemajuan dan prestasi, sehubungan dengan manfaat dari setiap rupiah yang dibelanjakan dalam kegiatan pendidikan. Kedua, alasan pengendalian mutu quality control pendidikan. Ujian diharapkan dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan dan menjamin bahwa setiap keluaran lulusan pendidikan telah memenuhi kualifikasi, kompetensi, atau standar tertentu yang ditetapkan. Ketiga, alasan motivator pressure to achieve, yaitu evaluasi diharapkan menjadi instrumen untuk mendorong dan memaksa pengelola, penyelenggara, dan pelaksana guru dan siswa pendidikan untuk berusaha lebih keras dalam mencapai hasil yang diharapkan. Keempat, alasan seleksi dan penempatan, yaitu hasil evaluasi pendidikan dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak seorang pelamar, khususnya jika tempat yang tersedia lebih sedikit dari jumlah yang melamar. Selain itu, hasil evaluasi juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan ke mana seseorang dianjurkan untuk melanjutkan pendidikannya atau bekerja. Kelima, alasan diagnostik, yaitu bahwa evaluasi dapat memberikan umpan balik feedback kepada sistem tentang kekuatan dan kelemahannya, sehingga dapat ditentukan kegiatan tindak lanjut yang diperlukan. Fungsi ini sering juga dikaitkan dengan fungsi peningkatan mutu quality improvement karena balikan yang tepat dapat mendorong kegiatan dan program pendidikan untuk senantiasa melakukan peningkatan mutu layanan pendidikan dan keluaran yang dihasilkannya. Kontroversi sistem pelaksanaan UN yang berkepanjangan tentu saja menimbulkan keprihatinan bagi banyak pihak Beberapa pihak yang paling merasakan dampak UN adalah siswa, guru dan orang tua siswa. Masing- masing mempunyai beban sesuai dengan kapasitasnya dalam rangka menghadapi UN. Bagi siswa, beban kian akan berat dirasakan, manakala standar kelulusan akan dinaikkan kembali. UN tahun 2007 menentukan dua kriteria kelulusan:1. Memiliki nilai rata-rata minimum 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; 2 Memiliki nilai minimum 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimum 6,00. Kedua kriteria ini dimungkinkan akan dinaikkan nilainya pada UN 2008. Terhadap kebijakan ini, peneliti menduga ada perbedaan persepsi diantara para siswa terhadap pelaksanaan UN. Bagi guru, tuntutan standar minimal seperti yang disebutkan di atas tentu akan menjadi beban karena mereka harus mempersiapkan peserta didik yang sangat heterogen, misalnya tingkat kecerdasan dan keadaan sosial ekonomi orang tuanya. Selain itu, terbatasnya sumber dana dan sarana prasarana di sekolah juga akan menjadi hambatan tersendiri bagi guru untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mempersiapkan anak didik dalam menghadapi UN. Terhadap keadaan tersebut, peneliti menduga ada perbedaan persepsi guru terhadap pelaksanaan UN. Bagi orang tua siswa, kedua kriteria standar minimal UN tahun 2007 dan kemungkinan akan dinaikkan lagi untuk UN tahun depan, sungguh menjadi kekhawatiran tersendiri, muncul keraguan apakah putera-puteri mereka siap menghadapi UN. Lebih dari itu, anggapan yang berkembang di masyarakat adalah UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan, walaupun sebenarnya masih ada tiga kriteria kelulusan yang lain. Peneliti menduga ada perbedaan persepsi orang tua terhadap pelaksanaan UN. Siswa, guru, dan orang tua diduga mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap pelaksanaan UN. Perbedaan tanggapan ini bisa disebabkan oleh kualitas siswa, kualitas guru dan sarana prasarana sekolah. Sekolah yang memiliki siswa dan guru berkualitas baik dan sarana prasarana memadai diduga memiliki persepsi yang lebih positif dibandingkan dengan sekolah yang memiliki siswa dan guru yang berkualitas sedang maupun kurang serta sarana prasarana yang terbatas. Dalam penelitian ini, sekolah yang berkualitas amat baik dikelompokkan dalam sekolah terakreditasi A, berkualitas baik dikelompokkan dalam sekolah terakreditasi B dan sekolah berkualitas kurang dikelompokkan dalam sekolah belum terakreditasi. Pengkategorisasian tersebut merupakan hasil penilaian Badan Akreditasi Sekolah berdasarkan Kepmendiknas No.087u2002 tentang Akreditasi Sekolah. Peneliti menduga bahwa perbedaan kategorisasi sekolah ini akan mempengaruhi persepsi siswa, guru dan orang tua terhadap pelaksanaan UN. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian, dengan judul “Persepsi Siswa, Guru, dan Orang Tua terhadap Ujian Nasional, Studi Kasus pada SMA-SMA di Kabupaten Kulon Progo”.

B. Batasan Masalah