28
sosial sebagai
stress buffer.
Skema 1. Peran dukungan sosial sebagai stress buffer. Cohen Wills, 1985
Skema Cohen dan Wills 1985 menggambarkan dua titik di mana dukungan sosial bekerja dalam mengurangi stres. Pada titik pertama,
dukungan sosial berada di antara stresor dan hasil penilaian individu atas stresor tersebut. Pada titik ini, adanya dukungan sosial akan membuat
individu merasa bahwa ia akan dibantu oleh orang lain sehingga ia merasa dapat mengatasi stresor tersebut Cohen Wills, 1985. Pada titik kedua,
dukungan sosial berada di antara hasil penilaian individu atas stresor dan dampak yang muncul setelah individu merasa stres. Pada titik ini, dukungan
sosial berperan untuk mengurangi reaksi stres yang timbul. Contohnya, adanya solusi atas masalah yang ditawarkan oleh keluarga atau teman
sehingga hal tersebut membuat individu lebih tenang. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
4. Perbedaan Budaya dalam Mencari dan Memberi Dukungan Sosial
Dukungan sosial tidak selamanya membuahkan hasil positif. Individu bisa saja tidak menganggap suatu dukungan sebagai sesuatu yang membantu
jika dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya atau ia memang tidak sedang membutuhkan bantuan Sarafino, 2008. Menurut
Sarafino, jika hal tersebut terjadi, dukungan sosial memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengurangi stres. Oleh karena itu, pemberian dukungan
sosial bukan hanya masalah mencocokkan kebutuhan dengan jenis dukungan, tetapi juga kecocokan antara pemberi dan penerima dukungan berdasarkan
cara berpikir dan berperilakunya Sarason Sarason, 2009. Jika dilihat dari perspektif tersebut, latar belakang budaya tentu memengaruhi jenis dukungan
yang dipilih oleh pemberi atau jenis dukungan yang dicari oleh penerima. Individu berlatarbelakang budaya kolektivistik dan individualistik
ternyata menunjukkan perbedaan dalam hal mencari dukungan sosial. Menurut Taylor et al. 2004, warga Amerika Serikat yang lebih individualis
lebih banyak mencari dukungan sosial ketika menghadapi masalah dibandingkan dengan orang Asia yang kolektivis. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh orang-orang individualis menganggap bahwa sebuah hubungan adalah sarana untuk mencapai tujuan pribadi sehingga mereka
cenderung meminta dukungan agar tujuan tersebut dapat tercapai Taylor et al., 2004. Sedangkan, orang-orang kolektivis memandang diri dan orang-
orang di sekitarnya sebagai kesatuan yang saling bergantung sehingga penyesuaian diri dan berkompromi adalah hal yang penting untuk menjaga
30
keharmonisan kelompok Taylor et al., 2004. Ada ketakutan bahwa keharmonisan akan terganggu jika individu menunjukkan masalah-masalah
pribadinya. Dalam hal memberi dukungan sosial, perbedaan juga tampak pada
individu kolektivis dan individualis. Chen et al. 2012 menggolongkan dukungan menjadi dua kategori, yaitu emotion-focused support dan problem-
focused support. Emotion-focused support terdiri dari dukungan emosional atau penghargaan, sedangkan problem-focused support terdiri dari dukungan
instrumental dan informasional. Menurut Chen et al., emotion-focused support bertujuan untuk menenangkan dan mengurangi dampak psikologis
dari stresor pada individu. Sedangkan problem-focused support bertujuan untuk langsung membantu penyelesaian masalah dengan cara memberi solusi
atau memberi barang yang dibutuhkan. Chen et al. menunjukkan bahwa orang-orang individualis cenderung memberi emotion-focused support yang
menunjukkan bahwa mereka menghargai pikiran dan emosi penerima dukungan serta tidak ingin melanggar rasa independen penerima dukungan.
Sedangkan, orang-orang kolektivis yang cenderung mengenyampingkan persoalan pribadi agar tidak merusak keharmonisan kelompok lebih sering
memberi problem-focused support. Hal tersebut dianggap normatif karena orang-orang kolektivis kurang menghargai ekspresi emosi Butler, Lee,
Gross dalam Chen et al., 2012.
31
C. Dukungan Sosial Pada Gay
Gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan bagi gay telah berlangsung cukup lama. Organisasi pertama di dunia yang memperjuangkan hak-
hak gay berdiri pada tahun 1897 di Berlin, Jerman dengan nama Scientific- Humanitarian Committee LeVay Valente, 2006. Setelah hancur dengan
berkuasanya Nazi di Jerman, organisasi yang memperjuangan hak-hak gay muncul kembali pada tahun 1950 dengan nama Mattachine Society dan tahun 1955 dengan
nama Daughters of Bilitis di Amerika Serikat LeVay Valente, 2006. Di Indonesia, pembentukan organisasi bernama Lambda Indonesia pada tahun 1982
Boellstorff dalam Ariyanto Triawan, 2008 dapat dianggap sebagai awal dari gerakan mendukung gay.
Gerakan-gerakan tersebut menunjukkan kepedulian dan dukungan terhadap kelompok gay. Dukungan sosial diperlukan oleh gay karena menjadi bagian
kelompok minoritas yang terdiskriminasi dari banyak aspek. Ariyanto dan Triawan 2008 menyebutkan setidaknya ada lima bentuk diskriminasi yang dialami oleh
gay, yaitu diskriminasi sosial, hukum, politik, ekonomi, dan budaya. Standar ganda yang diterapkan negara tentu menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi gay.
Bahkan pasal-pasal dalam Undang- undang Dasar Republik Indonesia UUD ’45
yang mengatur tentang hak asasi manusia pun terasa mandul ketika yang menjadi korban pelanggaran HAM adalah kelompok gay. Banyak kasus kekerasan yang
bahkan berujung kematian terjadi pada gay ternyata tidak mendapat perhatian dari aparatur negara lihat Ariyanto Triawan, 2008.