Makna dukungan sosial bagi gay.

(1)

MAKNA DUKUNGAN SOSIAL BAGI GAY

Reza ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman gay saat menerima dukungan sosial dan makna yang dikonstruksi atas dukungan tersebut. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan interaksi yang lebih memanusiakan kelompok gay. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretative phenomenological analysis (IPA). Tiga laki-laki gay yang telah mengungkap orientasi seksual mereka sekurang-kurangnya pada orang terdekat dan menerima dukungan dari orang-orang tersebut dipilih untuk menjadi informan penelitian ini. Data dikumpulkan dengan metode wawancara semi-terstruktur dan dianalisis dengan metode IPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan dalam penelitian ini memaknai dukungan yang diterima sebagai bentuk penghargaan atas kehidupan pribadi, cermin untuk berefleksi, pemacu agar selalu bergerak maju dalam hidup, dan penyemangat hidup. Makna yang dikonstruksi membuat para informan menyadari bahwa ada koneksi dan pola tertentu dalam hidup mereka yang membuat mereka dapat mengembangkan perilaku adaptif. Makna yang dikonstruksi juga membuat para informan merasa berani untuk mengungkap orientasi seksual mereka kepada orang lain dan merasa nyaman setelahnya.


(2)

THE MEANINGS OF SOCIAL SUPPORT CONSTRUCTED BY GAY MEN

Reza ABSTRACT

This study aimed to explore the experiences of receiving social support and the meaning constructed on it by gay men. The results were expected to be used as a basis of more humane interactions between gay men and people around them. This study was a qualitative study which used interpretative phenomenological analysis (IPA) as its approach. Three gay men who have disclosed their sexual orientation and received social support were chosen as informants in this study. The data was gathered by semi-structured interviews and analysed by a method called IPA. The results showed that the informants constructed some meanings from the experiences of receiving social support, they were a form of respect of others’ privacy, a way to reflect, a way to make them keep moving forward in life, and something that cheered them up. The meanings the informants constructed on the experiences made them realized that there were some connections and patterns in their lives that led them to develop adaptive behaviors. The meaning they constructed also encouraged them to disclose their sexual orientation that led them to feel better after disclosing their sexual orientation.


(3)

i

MAKNA DUKUNGAN SOSIAL BAGI GAY

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Reza NIM: 119114147

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

(5)

(6)

iv

Siapa yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai yang

paling 'beradab'? Si pemilik pengalaman itulah yang paling berhak atas

definisi dan teori tentang diri dan kehidupannya.


(7)

v

Kepada mereka yang tersingkirkan Dan


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Juni 2016

Peneliti,


(9)

vii

MAKNA DUKUNGAN SOSIAL BAGI GAY

Reza ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman gay saat menerima dukungan sosial dan makna yang dikonstruksi atas dukungan tersebut. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan interaksi yang lebih memanusiakan kelompok gay. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretative phenomenological analysis (IPA). Tiga laki-laki gay yang telah mengungkap orientasi seksual mereka sekurang-kurangnya pada orang terdekat dan menerima dukungan dari orang-orang tersebut dipilih untuk menjadi informan penelitian ini. Data dikumpulkan dengan metode wawancara semi-terstruktur dan dianalisis dengan metode IPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan dalam penelitian ini memaknai dukungan yang diterima sebagai bentuk penghargaan atas kehidupan pribadi, cermin untuk berefleksi, pemacu agar selalu bergerak maju dalam hidup, dan penyemangat hidup. Makna yang dikonstruksi membuat para informan menyadari bahwa ada koneksi dan pola tertentu dalam hidup mereka yang membuat mereka dapat mengembangkan perilaku adaptif. Makna yang dikonstruksi juga membuat para informan merasa berani untuk mengungkap orientasi seksual mereka kepada orang lain dan merasa nyaman setelahnya.


(10)

viii

THE MEANINGS OF SOCIAL SUPPORT CONSTRUCTED BY GAY MEN

Reza ABSTRACT

This study aimed to explore the experiences of receiving social support and the meaning constructed on it by gay men. The results were expected to be used as a basis of more humane interactions between gay men and people around them. This study was a qualitative study which used interpretative phenomenological analysis (IPA) as its approach. Three gay men who have disclosed their sexual orientation and received social support were chosen as informants in this study. The data was gathered by semi-structured interviews and analysed by a method called IPA. The results showed that the informants constructed some meanings from the experiences of receiving

social support, they were a form of respect of others’ privacy, a way to reflect, a way to make them keep moving forward in life, and something that cheered them up. The meanings the informants constructed on the experiences made them realized that there were some connections and patterns in their lives that led them to develop adaptive behaviors. The meaning they constructed also encouraged them to disclose their sexual orientation that led them to feel better after disclosing their sexual orientation.


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Reza

Nomor Mahasiswa : 119114147

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Makna Dukungan Sosial Bagi Gay

supaya digunakan untuk kepentingan akademis.

Dengan demikian, saya berikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 21 Juni 2016 Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Manusia lahir ke dunia dengan segala persamaan dan perbedaannya. Persamaan membuat seseorang merasa memiliki teman, perbedaan—pada titik tertentu—membuat seseorang merasa tidak nyaman sehingga ia merasa tidak perlu memperlakukan orang yang berbeda tersebut dengan baik. Ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang atas perbedaan yang berujung pada perbuatan tidak menyenangkan pada orang lain inilah yang memantik ketertarikan peneliti dalam memulai penelitian ini. Harapannya, apa yang disampaikan oleh target perbuatan tidak menyenangkan tersebut dapat membawa kesadaran pada pelaku bahwa semua orang ingin diperlakukan sama, diperlakukan sebagai seorang manusia.

Banyak pihak yang telah terlibat dalam penelitian ini. Tanpa mereka, penelitian yang dilakukan oleh peneliti pemula ini tak akan sampai pada titik ini,

titik di mana peneliti dapat mengucap “ah, akhirnya selesai”. Oleh karena semua

bantuan yang telah diberikan, peneliti ingin mengucap syukur dan berterima kasih kepada:

1. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi tempat peneliti mencuri sedikit ilmu tentang psikologi selama 5 tahun.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi USD karena telah menemani 5 tahun perjalanan studi peneliti.

3. Kepala Program Studi Psikologi yang menjabat selama peneliti menimba ilmu, Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si.


(13)

xi

karena telah mengizinkan peneliti untuk meninggalkan bangku perkuliahan di program studi ini.

4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M. Psi. selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti.

5. Bapak Dr. Y. B. Cahya Widiyanto, M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu berusaha membuat suasana bimbingan tidak terlalu kaku.

6. Dosen-dosen lain, staf administrasi, dan staf laboratorium di Fakultas Psikologi USD yang telah membantu peneliti selama berkuliah, berorganisasi, atau sekadar bercengkerama ringan. Terima kasih karena telah membantu peneliti untuk sampai pada titik ini.

7. Kedua orang tuaku, Tan Hwa Nam dan Lusia Ei yang berada di seberang lautan, yang tidak henti-hentinya menanyakan “kapan skripsinya selesai?”, bukan karena malu jika anaknya kuliah berlama-lama, namun karena ingin mendukung, dan tentunya khawatir apakah anaknya dapat menyelesaikan studi atau tidak. I love you both, walaupun peneliti belum pernah mengucapkan kata-kata tersebut secara langsung kepada mereka.

8. Kakak dan adik-adik peneliti, Topan, Jesica, Gita, dan Mikelin yang setia menjadi teman bersenang-senang, bertengkar—seringnya dimarahi, terutama oleh kakak peneliti—dan aktivitas lainnya yang pernah kita lakukan bersama.

Thank you guys for being my brother and sisters.

9. Tama, Gerson, Nina, Rhintan, Rona, dan Bu Polwan Putri yang dari awal perkuliahan sampai saat ini masih bersedia berteman dengan peneliti.


(14)

xii

10. Teman-teman sebimbingan, Mbak Tirza, Olga, Ruth, Acil, Bene, Thea, Mas Efrem, Mas Rio, Mas Damar, Mbak Ros, Kunto, Clara, Beatriks, dan teman-teman sebimbingan angkatan 2012, terima kasih karena telah mendukung peneliti selama kita berproses bersama.

11. Teman-teman angkatan 2011 Fakultas Psikologi USD, baik yang pernah sekelas, seorganisasi, atau se-kepanitiaan.

12. Sahabat-sahabat di OFT! Ghina, Sylvan, Dennis, Ando, Irest, Derry, Chindy, Shinta, Febby, Yosia, dan Bram yang telah menjadi teman dalam beberapa perjalanan selama berada di Yogyakarta, yang menjadi teman mengobrol saru, yang menjadi teman tidur sarden, terima kasih. I just love the moments

I have spent with you guys, they were priceless. Kapan nge-trip lagi?

13. Teman-teman dari fakultas lain, baik yang pernah seorganisasi, se-kepanitiaan, atau bertemu di kegiatan luar kampus yang telah membuat

peneliti berpikir “oh, I can make some friends”.

14. Teman-teman Staf Pendaftaran dan Promosi USD angkatan 2013, 2014, dan 2015 yang telah memberi pengalaman berkesan selama bertugas di kampus maupun di lapangan.

15. Teman-teman angkatan 2012 dan 2013 di Radio Masdha FM yang membuat 2 tahun di situ terasa menyenangkan.

16. Herlina, sesosok manusia yang baik dan sekaligus menyebalkan, tetapi sangat membantu dalam hidup peneliti. Jangan pernah berubah.


(15)

xiii

17. Ketiga manusia berharga yang bersedia meluangkan sedikit waktunya dan terbuka pada peneliti tentang diri mereka yang sebenarnya untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Terima kasih sebesar-besarnya.

18. Kamu, kamu, kamu, iya, kamu.

19. Para pembaca penelitian ini, semoga penelitian ini dapat memberi manfaat bagi Anda. Terima kasih jika telah menyediakan sedikit waktu untuk membaca penelitian ini.

20. Dan yang terakhir, kepada semua orang yang tak bisa peneliti sebut satu persatu dalam tulisan ini, baik teman KKN, teman kepanitiaan di dalam maupun luar kampus, teman freelance di event-event luar kampus, dan lain-lain. Terima kasih karena telah menjadi bagian dari cerita hidupku.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Akan tetapi, hal itu bukan berarti sebuah keburukan, seperti kata seorang karakter dalam sebuah komik,

“There is no such thing as perfect in this world. That may sound cliché, but

it is the truth. The average person admires perfection and seeks to obtain it. But, what is the point of achieving perfection? There is none. Nothing. Not a single thing. I loathe perfection! If something is perfect, then there is nothing left. There is no room for imagination. No place left for a person to gain additional knowledge or abilities. Do you know what that means? For scientists such as ourselves, perfection only brings despair. It is our job to create things more wonderful than anything before them, but never to obtain perfection. A scientist must be a person who finds ecstasy while suffering from


(16)

xiv

Oleh karena itu, peneliti terbuka dengan saran dan kritik terkait penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 21 Juni 2016 Peneliti


(17)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR SKEMA ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoretis ... 9


(18)

xvi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Homoseksualitas ... 11

1. Definisi Homoseksual ... 11

2. Teori Penyebab Homoseksualitas ... 12

3. Perkembangan Identitas dan Penerimaan Diri Gay ... 15

4. Pengungkapan Identitas Gay ... 19

5. Sikap Terhadap Gay ... 21

B. Dukungan Sosial ... 23

1. Definisi Dukungan Sosial ... 23

2. Jenis-jenis Dukungan Sosial ... 25

3. Peran Dukungan Sosial ... 26

4. Perbedaan Budaya dalam Mencari dan Memberi Dukungan Sosial ... 29

C. Dukungan Sosial Pada Gay ... 31

D. Pengalaman dan Makna yang Dikonstruksi ... 32

E. Pemaknaan Dukungan Sosial oleh Gay ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian... 37

B. Pendekatan Penelitian ... 37

C. Fokus Penelitian ... 38

D. Informan Penelitian ... 38

E. Instrumen Penelitian ... 39


(19)

xvii

G. Metode Analisis Data ... 40

H. Kualitas Penelitian ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Pelaksanaan Penelitian ... 44

B. Profil Informan... 45

1. Informan 1 (B) ... 46

2. Informan 2 (LN) ... 47

3. Informan 3 (PRHR) ... 48

C. Analisis Data dan Hasil ... 49

1. Informan 1 (B) ... 49

2. Informan 2 (LN) ... 55

3. Informan 3 (PRHR) ... 62

D. Pembahasan... 68

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Keterbatasan Penelitian ... 78

C. Saran ... 78

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 78

2. Bagi Masyarakat Umum dan Orang Berlatarbelakang Keilmuan Psikologi ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(20)

xviii

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Peran dukungan sosial sebagai stress buffer ... 28 Skema 2. Alur berpikir ... 36 Skema 3. Dinamika psikologis yang terjadi ketika informan 1 menerima dukungan sosial ... 54 Skema 4. Dinamika psikologis yang terjadi ketika informan 2 menerima dukungan sosial ... 61 Skema 5. Dinamika psikologis yang terjadi ketika informan 3 menerima dukungan sosial ... 67 Skema 6. Dinamika psikologis yang terjadi secara umum pada para informan saat menerima dukungan sosial ... 76


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed consent ... 87 Lampiran 2. Daftar pertanyaan ... 89 Lampiran 3. Transkrip wawancara dan contoh analisis ... 91


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Awal tahun 2016 menjadi saat yang kurang menyenangkan bagi kelompok

gay. Dimulai dari pernyataan Menristek Dikti, M. Nasir, yang melarang kelompok gay untuk beraktivitas di lingkungan kampus1, hingga pada pernyataan Ikatan

Psikologi Klinis (IPK-HIMPSI) yang menganggap bahwa homoseksualitas bertentangan dengan budaya bangsa dan berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat Indonesia. Pernyataan tersebut tersebar di berbagai media, baik media daring2 maupun melalui pesan dalam grup media sosial di ponsel pintar.

Sebagai konsekuensi dari pernyataannya, M. Nasir mendapat berbagai tanggapan dari netizen, terutama pengguna Twitter. Pada akhirnya, M. Nasir berusaha mengklarifikasi pernyataannya dengan menuliskan pernyataan tambahan melalui akun Twitter-nya. Hal serupa terjadi pada pernyataan IPK-HIMPSI terkait sikap organisasi tersebut pada kelompok gay. Pengkategorian homoseksualitas sebagai gangguan yang dapat dicegah dan disembuhkan mengundang perhatian The

British Psychological Society (BPS) dan American Psychiatric Association (APA).

Kedua organisasi tersebut meminta IPK-HIMPSI untuk mempertimbangkan

1

http://news.detik.com/berita/3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan

2

http://www.sharia.co.id/2016/02/ikatan-psikologi-klinis-menilai-lgbt-perlu-dipulihkan/


(23)

kembali keputusannya dalam memasukkan homoseksualitas ke dalam daftar gangguan yang dapat disembuhkan3.

Sikap negatif dan tindak diskriminatif pada kelompok gay dalam masyarakat Indonesia sendiri sebenarnya sudah menjadi lagu lama. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) misalnya, mengungkap bahwa 80,6% warga Indonesia merasa tidak nyaman jika harus hidup berdampingan dengan kelompok

gay4. Angka yang diperoleh dari survei yang dilakukan pada tahun 2012 tersebut

mengalami peningkatan sebanyak 15,9% dari angka yang diperoleh dari survei yang dilakukan pada tahun 2005 (LSI, 2012). Pew Research Center (2014) menunjukkan angka yang bahkan lebih besar, yaitu 93% warga Indonesia menolak keberadaan kelompok gay.

Kenapa kelompok gay ditolak keberadaannya? Hal ini berkaitan dengan istilah kompleks bernama heteronormativitas. Secara sederhana, heteronormativitas dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang menormalisasi perilaku dan ekspektasi masyarakat berkaitan dengan asumsi bahwa semua individu adalah heteroseksual5. Sistem ini menganggap bahwa laki-laki haruslah maskulin, perempuan haruslah feminin, dan laki-laki serta perempuan saling tertarik satu sama lain. Anggota kelompok gay yang tidak memenuhi ekspektasi tersebut karena memiliki ketertarikan pada individu berjenis kelamin sama kemudian dianggap

3

http://www.bps.org.uk/news/bps-denouces-indonesian-classification-lgbt-mental-illness; surat dari APA kepada IPK-HIMPSI dapat diunduh di:

http://psychiatry.org/File%20Library/Newsroom/APA-denounces-IPA-LGBT-classification.pdf

4

http://lsi.co.id/lsi/2012/10/22/meningkatnya-populasi-yang-tidak-nyaman-dengan-keberagaman-2/


(24)

abnormal. Hal tersebut kemudian berujung pada kelompok gay yang menerima perlakuan berbeda dari orang-orang di sekitar mereka.

Ada berbagai faktor yang dapat memengaruhi sikap individu terhadap kelompok gay. Beberapa faktor tersebut antara lain jenis kelamin, generasi kelahiran, agama, tingkat pendidikan, dan status perkawinan (Adamczyk & Pitt, 2009). Temuan Adamczyk dan Pitt (2009) menunjukkan bahwa laki-laki, orang yang menikah, orang dengan pendidikan yang rendah, dan orang yang beragama tertentu menunjukkan sikap negatif kepada kelompok gay. Hasil survei Pew

Research Center (2014) khususnya menunjuk agama sebagai salah satu faktor

pembentuk sikap negatif pada kelompok gay. Menurut survei tersebut, warga di negara yang menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam hidupnya menunjukkan sikap lebih negatif dibandingkan negara lain (Pew Research Center, 2014). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Besen dan Zicklin (2007) bahwa orang yang tingkat religiositasnya tinggi cenderung menutup diri terhadap homoseksualitas.

Sikap negatif dan tindakan diskriminatif ini sangat beragam, ia dapat berupa perilaku seperti mengolok-olok, menghina, memperlakukan kelompok gay dengan tidak sopan (Mays & Cochran, 2001) hingga mengancam menggunakan senjata, memukul, dan melakukan kekerasan seksual pada kelompok gay (lihat Ariyanto &

Triawan, 2008; D’Augelli & Grossman, 2001). Perlakuan diskriminatif tersebut

bukan tanpa akibat. Perlakuan diskriminatif yang diterima kelompok gay berkorelasi dengan tingkat kesehatan mental yang buruk yang meliputi perasaan bahwa hidup lebih sulit dijalani, harga diri yang lebih rendah, perasaan kesepian,


(25)

keinginan untuk bunuh diri, perasaan bersalah, hingga masalah seksual (D’Augelli

& Grossman, 2001; Mays & Cochran, 2001; Meyer, 1995). Pada kelompok lesbian, perlakuan diskriminatif yang diterima berkorelasi dengan gejala posttraumatic

stress disorder (PTSD; Szymanski & Balsam, 2011).

Hingga titik ini, hasil penelitian yang dilakukan tentang dampak negatif sikap negatif dan tindak diskriminatif pada kelompok gay tampaknya tidak melunakkan hati masyarakat Indonesia. Kalaupun ada sekelompok orang atau organisasi yang memiliki misi untuk mengadvokasi kelompok gay, biasanya mereka akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan misi tersebut. Sebagai contoh, pada awal tahun 2016, Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC-UI) yang menawarkan jasa konseling pada kelompok gay menerima teror dan tuduhan sebagai komunitas LGBT6. Kasus-kasus lain terkait

kelompok gay yang mendapat perlakuan diskriminatif baik dari individu hingga aparatus negara dapat dilihat dalam tulisan Ariyanto dan Triawan (2008).

Menjadi anggota dari kelompok minoritas yang terstigmatisasi membuat para

gay memiliki kemungkinan besar untuk mengalami stres kronis (Meyer, 1995).

Untuk menetralkan stres dan akibat-akibat lain yang ditimbulkan oleh sikap negatif, stigma, dan tindak diskriminatif, dukungan sosial menjadi hal yang penting untuk diberikan. Hal ini terbukti dari temuan Cochran, Sullivan, dan Mays (2003) yang menunjukkan bahwa kelompok gay lebih sering menggunakan layanan kesehatan mental, menemui dokter untuk mengeluh tentang keadaan emosional dan mental

6


(26)

mereka, dan menghadiri pertemuan kelompok pemberdayaan diri (self-help) dibandingkan dengan heteroseksual. Dalam konteks keluarga misalnya, kelompok

gay yang ditolak oleh orang tuanya akan berusaha untuk mencari dukungan dari

orang lain yang dapat menjadi figur orang tua bagi mereka (Nesmith, Burton, & Cosgrove, 1999).

Dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai sebuah interaksi sosial atau hubungan di mana individu menerima bantuan konkret atau interaksi yang membuatnya merasa memiliki kelekatan dengan orang lain atau kelompok lain yang dianggap memperhatikan dan mencintainya (Hobfoll & Stokes dalam Goodwin, Cost, & Adonu, 2004). Dukungan sosial merupakan informasi yang membuat individu merasa bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dan menjadi bagian dari sebuah jaringan yang memiliki tanggung jawab bersama (Cobb, 1976). Dukungan ini bisa datang dari siapa saja, baik itu keluarga, pasangan, teman, ataupun komunitas (Sarafino, 2008). Akan tetapi, penelitian Nesmith et al. (1999) menunjukkan bahwa 77% dukungan yang diterima kelompok gay datang dari orang-orang di luar keluarga.

Bagaimana dukungan sosial dapat membantu kelompok gay dalam menghadapi kejadian-kejadian yang berpotensi menimbulkan stres dalam hidupnya? Cohen dan Wills (1985) mengajukan dua konsep: dukungan sosial sebagai main effect dan dukungan sosial sebagai stress buffer. Sebagai main effect, dukungan sosial dianggap bermanfaat jika individu berada dalam lingkungan yang secara teratur memberinya pengalaman positif dan memiliki peran yang dihargai oleh masyarakat (Cohen & Wills, 1985). Dukungan sosial sebagai main effect


(27)

berkorelasi dengan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan karena memberi individu afek positif, stabilitas dalam hidup, rekognisi, dan terhindar dari pengalaman negatif (Cohen & Wills, 1985).

Sebagai stress buffer, dukungan sosial menjadi bermanfaat di saat individu mengalami kejadian atau masalah yang berpotensi menimbulkan stres (Cohen &Wills, 1985). Dukungan sosial sebagai stress buffer akan membuat individu meninjau kembali kejadian yang dialami sehingga ia merasa bahwa ia bisa mengatasi masalah tersebut, atau membantu dalam mengurangi stres yang dialami individu dengan beberapa cara, misalnya ketersediaan solusi atas masalah tersebut (Cohen & Wills, 1985). Di sinilah dukungan sosial dapat berperan dalam membantu kelompok gay. Konsep dukungan sosial sebagai stress buffer sangat relevan dengan kondisi kelompok gay yang berkemungkinan besar mengalami stres karena stigma yang diterima atas statusnya sebagai kelompok minoritas (Meyer, 1995).

Dalam penelitian mengenai dukungan sosial yang telah banyak dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara dukungan sosial dengan tingkat kesehatan mental kelompok gay (Kwon, 2013; Shilo & Savaya, 2011). Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, hadirnya dukungan sosial dapat mengurangi tingkat stres (Cohen & Wills, 1985) serta meningkatkan daya lenting pada kelompok gay (Kwon, 2013). Dukungan sosial juga dapat menjadi moderator bagi keterbukaan kelompok gay dengan kepuasan atas hidup (Beals, Peplau, & Gable, 2009). Dalam konteks organisasi, kelompok gay yang menerima dukungan dari rekan kerjanya merasa lebih puas dengan pekerjaannya (Griffith & Hebl,


(28)

2002). Tidak salah jika dukungan sosial dikatakan berfungsi sebagai “tameng” bagi kelompok gay.

Akan tetapi, tidak selamanya dukungan membuahkan hasil baik. Ketidaksesuaian antara dukungan yang diberikan dengan dukungan yang dibutuhkan membuat individu menganggap bahwa hal tersebut didak membantu (Sarafino, 2008). Dukungan tersebut akan menjadi sia-sia dan berkemungkinan kecil mengurangi stres (Sarafino, 2008). Selain itu, pemberian dukungan sosial bukan hanya masalah mencocokkan kebutuhan dengan jenis dukungan, tetapi juga kecocokan antara pemberi dan penerima dukungan berdasarkan cara berpikir dan berperilakunya (Sarason & Sarason, 2009). Dalam tataran perbedaan budaya misalnya, orang berlatarbelakang budaya kolektivis dan individualis menunjukkan perbedaan dalam jenis dukungan yang diberi dan dicari (Chen, Kim, Mojaverian, & Morling, 2012; Taylor et al., 2004). Temuan tersebut mendorong peneliti untuk mencari tahu tentang jenis dukungan yang diterima oleh kelompok gay dan apa yang dirasakan saat menerima dukungan tersebut.

Penelitian dengan topik sejenis sudah pernah dilakukan sebelumnya. Wulandari (2015) mewawancarai dua gay dan dua lesbian dalam rangka mengidentifikasi perilaku-perilaku orang lain yang dipersepsi sebagai dukungan oleh keempat informan tersebut. Temuan Wulandari (2015) menunjukkan bahwa mayoritas perilaku yang dipersepsi sebagai dukungan oleh keempat informannya masuk dalam kategori dukungan emosional dan informasional. Dukungan-dukungan tersebut bersumber dari teman, keluarga, teman sesama gay, atau orang asing (Wulandari, 2015). Akan tetapi, hasil penelitian Wulandari (2015) berhenti


(29)

pada pengidentifikasian jenis perilaku yang dipersepsi sebagai dukungan tanpa menggali lebih dalam tentang makna yang dikonstruksi atas perilaku-perilaku tersebut. Ketiadaan informasi mengenai makna yang dikonstruksi para informan menyisakan ruang kosong tentang apa yang dirasakan informan, mengapa mereka menganggap perilaku tersebut sebagai dukungan, dan bagaimana hal tersebut memengaruhi hidup mereka. Penelitian ini kemudian dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengeksplorasi pengalaman kelompok gay mengenai dukungan sosial yang diterima dan makna yang dikonstruksi atas dukungan tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi basis alternatif dalam berinteraksi dengan kelompok gay. Dengan mendengar langsung pengalaman kelompok gay tentang dukungan yang diterima dan apa yang mereka rasakan, maka gambaran tentang jenis dukungan yang dapat diberikan akan menjadi lebih jelas. Ketika gambaran tentang jenis dukungan yang dapat diberikan menjadi lebih jelas, maka interaksi yang dilakukan dan dukungan yang diberikan pada kelompok gay akan menjadi lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi kelompok gay tersebut. Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini harus dilakukan dan interpretative phenomenological analysis (IPA) dipilih sebagai pendekatan penelitian penelitian ini.

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah laki-laki gay memaknai dukungan sosial yang pernah diterimanya?


(30)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi pengalaman laki-laki gay saat menerima dukungan sosial dan makna yang dikonstruksi atas pengalaman tersebut, kemudian menggunakan temuan penelitian sebagai basis alternatif dalam berinteraksi dengan laki-laki gay.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang didapat dari penelitian ini adalah bertambahnya kajian di bidang psikologi sosial mengenai dukungan sosial terhadap kelompok minoritas, khususnya kelompok gay, dan psikologi konseling mengenai cara alternatif dalam menghadapi klien dari kelompok gay.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orang-orang yang memiliki anggota keluarga atau teman dari kelompok gay

Memberikan gambaran mengenai cara alternatif berinteraksi dengan kelompok gay, bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan, serta peran dukungan sosial yang diberikan baik dalam konteks interaksi sehari-hari maupun praktik psikologi.


(31)

b. Bagi anggota kelompok gay

Menjadi bahan untuk merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman terkait dukungan sosial yang pernah diterima agar dapat merasa lebih baik.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Homoseksual 1. Definisi Homoseksual

Homoseksual mengacu kepada ketertarikan erotik dan keinginan untuk membentuk hubungan romantis dengan individu berjenis kelamin sama (Rathus, Nevid, Fichner-Rathus, 2008). Homoseksual juga dapat didefinisikan sebagai individu yang perasaan seksualnya terarah pada individu lain yang berjenis kelamin sama (LeVay & Valente, 2006). Kemudian, homoseksual juga dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional, dan sosial pada individu lain yang berjenis kelamin sama, walaupun ketertarikan tersebut tidak selalu ditunjukkan dengan jelas (Martin & Lyon dalam Crooks & Baur, 1983).

Laki-laki homoseksual biasanya disebut sebagai gay, sedangkan perempuan homoseksual biasanya disebut lesbian (Rathus et al., 2008). Istilah lesbian dan gay lebih banyak digunakan karena kata “homoseksual” cenderung diasosiasikan dengan stereotip negatif, patologi, dan pereduksian identitas individu menjadi sekadar perilaku seksual (APA, 2010). Walaupun kelompok ini menyukai individu lain yang berjenis kelamin sama, identitas

gender mereka tetap sesuai dengan organ seks biologis mereka (Crooks &

Baur, 1983; Rathus et al., 2008).


(33)

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa homoseksual adalah individu yang merasakan ketertarikan secara erotik, psikologis, emosi, dan sosial kepada individu berjenis kelamin sama. Ketertarikan tersebut tidak selalu ditunjukkan dan tidak membuat gay atau lesbian memiliki identitas

gender yang berlawanan dengan organ seks biologis mereka.

2. Teori Penyebab Homoseksualitas

Para ahli mencoba menjelaskan kemungkinan penyebab homoseksualitas dari beberapa perspektif, yaitu perspektif biologis dan psikologis (Rathus et al., 2008). Dalam perspektif biologis, para ahli berspekulasi mengenai faktor penyebab homoseksualitas mulai dari faktor hereditas dan genetika, hormonal, sampai struktur otak (Rathus et al., 2008). Sedangkan dalam perspektif psikologis, aliran-aliran utama dalam ilmu psikologi seperti psikoanalisis dan teori belajar digunakan para ahli untuk menjelaskan proses terbentuknya homoseksualitas (Rathus et al., 2008).

Contoh penelitian yang dilakukan dalam rangka mencari perbedaan struktur otak pada kelompok gay dilakukan oleh Simon LeVay pada tahun 1991 (Rathus et al. 2008). Dalam penelitian tersebut, Simon LeVay menemukan bahwa ukuran salah satu bagian dari hipotalamus di otak gay lebih kecil jika dibandingkan dengan bagian yang sama dari hipotalamus di otak laki-laki heteroseksual. Kemudian, penelitian mengenai hormon seks pranatal dilakukan oleh Meyer-Bahlburg dkk. pada tahun 1995 (dalam Rathus et al., 2008). Meyer-Bahlburg dkk. mewawancarai para perempuan yang


(34)

terekspos estrogen sintetis ketika masih di dalam kandungan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan-perempuan tersebut cenderung dinilai sebagai lesbian atau biseksual. Walau begitu, itu hanya sebagian kecil penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyeknya. Penelitian yang mendukung pernyataan mengenai kemungkinan pengaruh hormon atas pembentukan otak menjadi lebih maskulin atau feminin kebanyakan didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada hewan (Rathus et al., 2008). Oleh karena itu, generalisasi hasil penelitian tidak serta merta dapat dilakukan.

Teori lain yang datang dari perspektif biologis menyatakan bahwa semakin banyak jumlah kakak laki-laki yang dimiliki individu (laki-laki), semakin besar kemungkinan bahwa individu tersebut adalah gay (Lehmiller, 2014). Temuan Blanchard dan Bogaert (1996) menunjukkan bahwa peluang individu adalah gay meningkat sebesar 34% per kakak laki-laki yang ia miliki. Blanchard dan Bogaert (1996) berasumsi bahwa hal ini berkaitan dengan reaksi imun maternal yang dipicu oleh janin laki-laki dan akan menguat dengan kehamilan bayi laki-laki berikutnya. Jika asumsi tentang reaksi imun maternal ini terbukti benar, maka kemungkinan hubungan antara reaksi imun maternal dengan orientasi seksual anak di masa depan merupakan efek dari antibodi maternal pada perbedaan seksual di otak janin (Blanchard & Bogaert, 1996). Walau begitu, hasil temuan tersebut tidak selalu dapat digeneralisasikan. Beberapa anggota kelompok gay merupakan anak pertama dalam keluarganya (Lehmiller, 2014).


(35)

Dari perspektif psikologis, salah satu teori penyebab homoseksualitas datang dari aliran psikoanalisis yang digagas oleh Sigmund Freud. Freud menyatakan bahwa anak-anak memiliki kemungkinan untuk menjadi heteroseksual atau homoseksual (dalam Rathus et al. 2008). Namun, anak-anak tersebut akan mengembangkan identitas sebagai heteroseksual setelah mereka berhasil melewati tahap tertentu. Pada anak laki-laki, tahap tersebut dinamakan Oedipus complex, sedangkan pada anak perempuan dinamakan

Electra complex. Kegagalan melewati tahap tersebut akan membuat

anak-anak mengembangkan identitas homoseksual (Freud dalam Rathus et al., 2008).

Teori belajar berpendapat lain. Teori belajar—terutama teori belajar sosial (social learning)—berasumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu memerhatikan lingkungan di sekitarnya (Hogben & Byrne, 1998). Teori belajar menekankan penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) dalam pembentukan perilaku—atau dalam kasus ini adalah orientasi seksual (Hogben & Byrne, 1998). Penguatan akan membuat individu mengulangi perilaku, sedangkan hukuman sebaliknya. Namun, dalam teori belajar sosial, ada hal lain yang perlu diperhatikan. Hal tersebut adalah ekspektasi akan penguatan/hadiah (reward) yang mengimplikasikan bahwa perilaku tidak harus selalu menerima penguatan langsung agar dapat terbentuk (Hogben & Byrne, 1998). Van Wyk dan Geist (dalam Hogben & Byrne, 1998) melalui penelitiannya mencoba untuk mengkonfirmasi teori ini. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pengalaman tertentu (misalnya


(36)

dimasturbasi oleh individu berjenis kelamin sama atau berbeda) dapat memprediksi kecenderungan orientasi seksual saat individu telah dewasa. Walau begitu, para pakar behavioristik belum dapat mengidentifikasi pengalaman belajar spesifik yang dapat berkontribusi pada pembentukan orientasi seksual (Rathus et al., 2008). Banyak individu heteroseksual yang pernah memiliki pengalaman seksual dengan individu berjenis kelamin sama yang tidak mengubah orientasi seksual mereka (Rathus et al., 2008).

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan antara para peneliti mengenai penyebab berkembangnya individu menjadi heteroseksual, gay, atau lesbian (APA, 2008). Walaupun banyak penelitian telah dilakukan terkait beberapa faktor seperti genetika, hormon, perkembangan, sosial, dan pengaruh budaya, belum ada penelitian yang dapat membuat para peneliti berani untuk menyimpulkan penyebab homoseksualitas (APA, 2008). Lebih jauh, sebagian besar individu tidak merasa bahwa orientasi seksual adalah sebuah pilihan (APA, 2008).

3. Perkembangan Identitas dan Penerimaan Diri Gay

Perkembangan identitas atau pencarian jati diri merupakan salah satu tugas perkembangan utama dalam hidup manusia, terutama pada saat remaja (Erikson dalam Rosario & Schrimshaw, 2013). Proses pembentukan identitas dimulai dari munculnya realitas yang menimbulkan pertanyaan mengenai identitas diri, eksplorasi mengenai identitas, pembentukan identitas, dan adanya komitmen atau penerimaan atas identitas tersebut yang mengarah


(37)

pada integrasi identitas (Rosario & Schrimshaw, 2013). Identitas yang terintegrasi menjadi dasar bagi perkembangan lebih lanjut dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) (Rosario & Schrimshaw, 2013).

Pada kelompok gay, proses perkembangan identitas mereka dapat dilihat dari tahap-tahap berikut (Troiden, 1988).

a. Sensitization

Tahap ini ditandai dengan perasaan marjinal yang tergeneralisasi dan adanya persepsi bahwa individu adalah orang yang berbeda dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama.

b. Identity confusion

Pada tahap ini, individu mulai memikirkan kemungkinan bahwa ia adalah gay. Pemikiran bahwa individu mungkin adalah gay menjadi tidak sesuai dengan gambaran diri yang telah dipegang sebelumnya sehingga menciptakan kebingungan identitas, guncangan, dan kecemasan. Hal-hal yang menyebabkan kebingungan identitas antara lain adalah persepsi yang berubah mengenai diri, pengalaman seksual dengan lawan jenis dan sesama jenis, sanksi sosial mengenai homoseksualitas, dan ketidaktahuan serta kurangnya informasi mengenai homoseksualitas.

Kebingungan identitas menimbulkan beberapa respons sebagai berikut. 1) Penolakan, mengingkari komponen homoseksualitas pada perasaan, fantasi, dan perilaku; 2) perbaikan/pembetulan, usaha untuk


(38)

membasmi perasaan dan perilaku gay; 3) penghindaran, menghindari situasi yang menegaskan homoseksualitas; 4) redefinisi, usaha mengurangi kebingungan identitas dengan cara meredifinisi perilaku dan perasaan; 5) penerimaan, mengakui bahwa perilaku, perasaan, dan fantasi kemungkinan merupakan bentuk homoseksualitas dan berusaha mencari informasi lebih banyak mengenai homoseksualitas.

c. Identity assumption

Pada tahap ini, individu mulai mendefinisikan dirinya sebagai

gay, menoleransi dan menerima identitas sebagai gay, bergaul dengan gay lain, bereksperimen dengan seksualitas, dan mengeksplorasi

homoseksualitas. Pendefinisian individu sebagai gay dapat terjadi sebelum, saat, atau setelah berinteraksi dengan gay lain. Interaksi dengan gay lain menjadi penting di tahap ini. Jika interaksi pertama dengan gay lain menimbulkan kesan negatif, maka kemungkinan untuk berinteraksi dengan gay lainnya akan menjadi kecil dan kebingungan identitas akan bertahan.

d. Commitment

Pada tahap ini, individu mulai mengadopsi cara hidup gay. Pengadopsian ini terlihat dari indikasi internal dan eksternal. Indikasi internal meliputi seksualitas dan emosionalitas yang terintegrasi, makna dan nilai yang berubah terkait identitas sebagai gay, dan rasa puas atas


(39)

identitasnya. Sedangkan indikasi eksternal meliputi keterlibatan dalam hubungan romantis dengan sesama jenis kelamin, pengungkapan identitas kepada non-gay, dan perubahan strategi dalam menghadapi stigma.

Seperti identitas lainnya, perkembangan identitas seksual juga terjadi dalam konteks sosial (Rosario & Schrimshaw, 2013). Lingkungan melalui beberapa kelompok sosial mendukung identitas tertentu dan menghukum identitas lainnya, dalam hal ini identitas sebagai gay (Rosario & Schrimshaw, 2013). Rosario dan Schrimshaw mengatakan bahwa selama proses perkembangan identitas berlangsung, gay menghadapi tantangan baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, gay mengalami konflik antara identitas dirinya dengan ekspektasi heteroseksual yang terinternalisasi. Sedangkan, tantangan dari sisi eksternal merupakan reaksi negatif dari orang lain.

Menerima identitas sebagai gay menjadi hal yang sulit, terutama jika

gay yang dibesarkan oleh orang tua heteroseksual diharapkan untuk menjadi

heteroseksual juga (Rosario & Schrimshaw, 2013). Menurut Erikson (dalam Rosario & Schrimshaw, 2013), kegagalan untuk menerima dan mengintegrasikan identitas akan mengarah ke kebingungan identitas. Rosario dan Schrimshaw mengatakan bahwa berkomitmen pada identitas yang bertentangan dengan identitas diri yang sebenarnya akan mengarah pada identitas buatan atau hilangnya identitas. Gay yang identitasnya kurang


(40)

berkembang cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dan harga diri yang lebih rendah (Rosario, Schrimshaw, & Hunter dalam Rosario & Schrimshaw, 2013). Oleh karena itu, penerimaan diri atas identitas sebagai

gay menjadi penting. Seperti yang telah disampaikan, penerimaan diri atas

identitas mengarah pada identitas yang terintegrasi yang akan menjadi dasar bagi perkembangan lebih jauh dan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat penerimaan diri gay, semakin dekat pula ia dengan tahap keempat perkembangan identitas yang diajukan oleh Troiden (1988) yang salah satu indikatornya adalah pengungkapan identitas seksual kepada orang lain.

4. Pengungkapan Identitas Gay

Coming out of the closet adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan proses pengungkapan identitas yang sebelumnya disembunyikan (LeVay & Valente, 2006). Coming out merupakan bagian penting dari perkembangan identitas gay (Legate, Ryan, & Weinstein, 2012). Proses tersebut membuat gay mengembangkan diri yang otentik dan stabil (Ragins dalam Legate et al., 2012), memperkuat identitas positif sebagai anggota dari kelompok gay (Wells & Kline dalam Legate et al., 2012), dan mengurangi efek psikologis negatif dari manajemen identitas (Cain dalam Legate et al., 2012). Legate et al. juga menemukan bahwa gay yang semakin terbuka atas orientasi seksualnya menunjukkan tingkat kemarahan dan gejala depresi yang lebih rendah serta harga diri yang lebih tinggi. LeVay dan


(41)

Valente menyatakan bahwa proses coming out memiliki beberapa elemen sebagai berikut.

a. Coming out kepada diri sendiri, menyadari dan menerima diri sebagai gay. Tahap ini merupakan tahap yang sangat sulit bagi sebagian gay,

terutama bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang sangat menentang homoseksualitas.

b. Coming out kepada orang lain, biasanya dimulai dari mengungkap

identitas kepada sesama gay, sahabat, saudara, atau konselor. Pengungkapan identitas kepada orang tua biasanya dihindari karena adanya ketakutan tentang penolakan dari orang tua.

c. Bergabung dengan komunitas gay.

d. Mengintegrasikan homoseksualitas dengan aspek kehidupan lain, misalnya agama, suku, atau identitas lain pada diri.

Pengungkapan gay atas orientasi seksualnya dapat berefek positif maupun negatif, tergantung konteks di mana pengungkapan tersebut dilakukan. Dalam penelitian Legate et al. (2012), terdapat sebuah konsep, yaitu autonomy support yang didefinisikan sebagai penerimaan interpersonal dan dukungan atas ekspresi diri yang otentik (Lynch, La Guardia, & Ryan; Ryan, La Guardia, Solky-Butzel, Chirkov, & Kim dalam Legate et al., 2012). Dalam lingkungan dengan autonomy support yang tinggi, individu merasa diterima sebagai dirinya sendiri, bebas berperilaku dan berekspresi, dan lebih bisa mengandalkan orang lain (Legate et al., 2012). Sedangkan, dalam


(42)

lingkungan dengan autonomy support yang rendah (atau lingkungan yang mengontrol), individu merasa tertekan untuk tampil, berperilaku dalam cara tertentu (Deci & Ryan dalam Legate et al., 2012), cenderung tertutup dan defensif (Hodgins et al. dalam Legate et al., 2012). Oleh karena itu, gay cenderung selektif dalam mengungkapkan orientasi seksualnya (Legate et al., 2012).

5. Sikap Terhadap Gay

Sikap didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap berbagai aspek kehidupan sosial (Baron, Byrne, & Branscombe dalam Sugianto, 2014) dan dapat ditujukan kepada orang-orang, obyek, ataupun ide-ide (Aronson, Wilson, & Akert dalam Sugianto, 2014). Dalam hal ini, sikap terhadap gay dapat diartikan sebagai evaluasi individu atau kelompok terhadap gay yang dapat berujung positif atau negatif.

Di Amerika Serikat, sikap positif masyarakat akan homoseksualitas semakin meningkat dari tahun ke tahun (Pew Research Center, 2014), khususnya pada isu pernikahan sejenis (Baunach, 2012). Akan tetapi, hasil yang berbanding terbalik ditunjukkan oleh survei yang dilakukan LSI (2012) dan Pew Research Center (2014) yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menunjukkan sikap negatif pada kelompok gay.

Pew Research Center (2014) menyatakan bahwa tingkat kepentingan agama


(43)

pada kelompok gay. Segala jenis sikap dan perilaku anti-gay disebut sebagai

homophobia (LeVay & Valente, 2006).

Selain homophobia, ada pula istilah heteroseksisme. Heteroseksisme mengacu pada ideologi yang melanggengkan stigma buruk pada kelompok

gay dengan cara menolak dan memperburuk citra perilaku, identitas,

hubungan, dan komunitas nonheteroseksual (Herek, 2004). Heteroseksisme melekat pada institusi dan budaya yang pada akhirnya akan melahirkan hubungan penuh hierarki di mana kelompok gay memiliki posisi yang lebih inferior daripada heteroseksual (Herek, 2004). Masyarakat yang heteroseksis berusaha untuk mengaburkan keberadaan kelompok gay, jika kelompok gay menunjukkan eksistensinya, maka mereka akan dicap sebagai imoral, kriminal, sakit, menyimpang, berdosa, bahkan mengancam (Herek, 2004). Masyarakat heteroseksis kemudian menganggap bahwa kekerasan atau diskriminasi menjadi hal yang pantas diterima oleh kelompok gay (Herek, 2004).

Lebih jauh, sikap negatif yang ditunjukkan ternyata memiliki tingkat

yang berbeda berdasarkan jenis kelamin target (D’Augelli & Grossman,

2001). Sikap terhadap gay ternyata lebih negatif jika dibandingkan dengan

sikap terhadap lesbian (D’Augelli & Grossman, 2001), terutama ditunjukkan

oleh laki-laki (Nierman, Thompson, Bryan, & Mahaffey, 2007). Jumlah gay yang menerima ancaman dan diserang secara fisik lebih banyak daripada

lesbian (D’Augelli & Grossman, 2001). Sikap negatif tersebut dapat muncul


(44)

2007). Standar maskulinitas yang digunakan untuk menggambarkan peran

gender laki-laki yang kaku membuat laki-laki berusaha menghindari hal

berbau feminin dan menunjukkan sikap negatif terhadap gay demi menegaskan maskulinitasnya (Nierman et al., 2007). Sesuai dengan pernyataan Kimmel (2004), laki-laki menjadi maskulin ketika ia menolak nilai-nilai feminin.

B. Dukungan Sosial 1. Definisi Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai sebuah interaksi sosial atau hubungan di mana individu menerima bantuan konkret atau interaksi yang membuatnya merasa memiliki kelekatan dengan orang lain atau kelompok lain yang dianggap memperhatikan dan mencintainya (Hobfoll & Stokes dalam Goodwin, Cost, & Adonu, 2004). Dukungan sosial mengacu kepada diterimanya rasa nyaman, perhatian, penghargaan dan pertolongan oleh individu dari individu lain atau sebuah kelompok (Sarafino, 2008). Selain itu, Cobb (1976) dan Cohen dan Wills (1985) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan interaksi di mana si pemberi dukungan menyampaikan kepada penerima dukungan bahwa ia dicintai, diperhatikan, dan merupakan bagian dari suatu jaringan yang saling berkomunikasi dan memiliki kewajiban bersama (dalam Chen, Kim, Mojaverian, & Morling, 2012). Individu yang menerima dukungan sosial merasa bahwa ia merupakan


(45)

bagian dari kelompok tertentu yang dapat menolongnya ketika ia membutuhkan bantuan atau sedang menghadapi bahaya (Sarafino, 2008).

Dukungan sosial telah didapatkan oleh individu bahkan ketika ia masih seorang bayi (Cobb, 1976). Hal ini tercermin terutama ketika bayi sedang digendong. Menurut Cobb, ketika hidup mulai berjalan, dukungan akan semakin meningkat, tidak hanya dari keluarga, namun juga dari rekan kerja ataupun sebuah komunitas. Sarafino (2008) pun berpendapat sama, bahwa dukungan bisa datang dari berbagai sumber, seperti pasangan, keluarga, teman, atau komunitas.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa dukungan sosial memengaruhi tingkat kesehatan mental atau biologis individu. Namun, tidak semua orang bisa mendapat dukungan sosial. Menurut Sarafino (2008), hal ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerima dan sisi pemberi dukungan. Dari sisi penerima dukungan, Sarafino menyatakan bahwa individu biasanya tidak mendapat dukungan karena jarang bergaul, tidak pernah menolong orang lain, tidak memberi tahu orang lain bahwa ia sedang membutuhkan bantuan, merasa harus menjadi pribadi yang independen dan tidak menyusahkan orang lain, atau memang tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Sedangkan dari sisi pemberi dukungan, dukungan bisa saja tidak diberikan karena individu tidak memiliki sumber daya yang cukup, sedang mengalami stres dan bahkan membutuhkan bantuan, atau karena memang tidak sensitif dengan kebutuhan orang di sekitarnya.


(46)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan interaksi yang membuat individu merasa nyaman, dicintai, diperhatikan, dihargai, dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Dukungan sosial dapat berasal dari banyak sumber termasuk keluarga, teman, atau komunitas. Walau begitu, dukungan sosial tidak selalu dapat diterima atau diberi karena adanya faktor-faktor penghambat pada diri pemberi ataupun penerima.

2. Jenis-jenis Dukungan Sosial

Cutrona dan Gardner (2004), Schaefer, Coyne, dan Lazarus (1981), dan Wills dan Fegan (2001) membagi dukungan sosial menjadi empat fungsi dasar sebagai berikut (dalam Sarafino, 2008).

a. Dukungan emosional atau penghargaan (emotional or esteem) berupa empati, perhatian, kepedulian, dan dorongan semangat kepada individu. Hal tersebut memberi kenyamanan dan ketentraman hati karena membuat individi merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok dan dicintai di saat sedang stres.

b. Dukungan instrumental atau nyata (instrumental or tangible) berupa bantuan langsung seperti meminjamkan uang atau barang lainnya. c. Dukungan informasional (informational) berupa nasihat, arahan, atau

umpan balik ketika individu melakukan sesuatu.

d. Dukungan persahabatan (companionship) berupa kehadiran dan kesediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama sehingga


(47)

individu merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu yang memiliki ketertarikan dan aktivitas sosial yang sama.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, jika jenis dukungan yang dibutuhkan dan diterima oleh kelompok gay tidak sesuai, maka kemungkinan bahwa dukungan tersebut mengurangi tingkat stres akan semakin kecil (Sarafino, 2008). Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan mereka sebelum memutuskan untuk memberikan dukungan. Wulandari (2015) menyatakan bahwa keempat informannya secara umum membutuhkan dukungan emosional atau informasional. Selain itu, anggota kelompok gay yang masih tergolong remaja juga cenderung mencari dukungan dari orang lain yang dapat menjadi figur orang tua, terutama remaja-remaja yang memiliki masalah dengan orang tua kandung mereka (Nesmith et al., 1999). Apa yang mereka cari dari figur orang tua ini adalah kesediaan untuk memberi nasihat atau saran tentang kelompok gay, yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh orang tua kandung mereka (Nesmith et al., 1999).

3. Peran Dukungan Sosial

Dukungan sosial memengaruhi kesehatan individu, baik fisik maupun psikologis. Dukungan sosial bekerja dengan dua cara yang diberi istilah main

effect dan stress buffer (Cohen & Wills, 1985; Sarafino, 2008). Dalam konsep main effect, dukungan sosial dianggap dapat memberikan efek positif pada


(48)

penerima dukungan terlepas dari apakah ia sedang mengalami stres atau tidak. Sedangkan, konsep stress buffer menyatakan bahwa dukungan sosial akan memberi efek positif ketika penerima dukungan sedang mengalami kejadian yang berpotensi menimbulkan stres.

Sebagai main effect, Cohen dan Wills (1985) menyatakan bahwa dukungan sosial memberi efek positif karena jaringan atau kelompok sosial memberi pengalaman positif dan peran yang dihargai pada individu dalam kelompok. Adanya afek positif, kestabilan dalam hidup dan pengakuan atas diri membuat individu dapat menghindari pengalaman negatif yang dapat menimbulkan gangguan psikologis maupun fisik.

Sebagai stress buffer, penting untuk mengetahui proses terjadinya stres terlebih dahulu. Secara sederhana, Cohen dan Wilss (1985) menggambarkan stres terjadi ketika individu menganggap atau menilai bahwa sebuah kejadian sebagai stresor yang kemudian mengarah ke munculnya afek negatif yang dirasakan individu atau perilaku yang memperburuk kesehatan seperti merokok atau mengonsumsi alkohol secara berlebihan. Berikut adalah grafik yang dikemukakan oleh Cohen dan Wills mengenai cara bekerja dukungan


(49)

sosial sebagai stress buffer.

Skema 1. Peran dukungan sosial sebagai stress buffer. (Cohen & Wills, 1985)

Skema Cohen dan Wills (1985) menggambarkan dua titik di mana dukungan sosial bekerja dalam mengurangi stres. Pada titik pertama, dukungan sosial berada di antara stresor dan hasil penilaian individu atas stresor tersebut. Pada titik ini, adanya dukungan sosial akan membuat individu merasa bahwa ia akan dibantu oleh orang lain sehingga ia merasa dapat mengatasi stresor tersebut (Cohen & Wills, 1985). Pada titik kedua, dukungan sosial berada di antara hasil penilaian individu atas stresor dan dampak yang muncul setelah individu merasa stres. Pada titik ini, dukungan sosial berperan untuk mengurangi reaksi stres yang timbul. Contohnya, adanya solusi atas masalah yang ditawarkan oleh keluarga atau teman sehingga hal tersebut membuat individu lebih tenang.


(50)

4. Perbedaan Budaya dalam Mencari dan Memberi Dukungan Sosial Dukungan sosial tidak selamanya membuahkan hasil positif. Individu bisa saja tidak menganggap suatu dukungan sebagai sesuatu yang membantu jika dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhannya atau ia memang tidak sedang membutuhkan bantuan (Sarafino, 2008). Menurut Sarafino, jika hal tersebut terjadi, dukungan sosial memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengurangi stres. Oleh karena itu, pemberian dukungan sosial bukan hanya masalah mencocokkan kebutuhan dengan jenis dukungan, tetapi juga kecocokan antara pemberi dan penerima dukungan berdasarkan cara berpikir dan berperilakunya (Sarason & Sarason, 2009). Jika dilihat dari perspektif tersebut, latar belakang budaya tentu memengaruhi jenis dukungan yang dipilih oleh pemberi atau jenis dukungan yang dicari oleh penerima.

Individu berlatarbelakang budaya kolektivistik dan individualistik ternyata menunjukkan perbedaan dalam hal mencari dukungan sosial. Menurut Taylor et al. (2004), warga Amerika Serikat yang lebih individualis lebih banyak mencari dukungan sosial ketika menghadapi masalah dibandingkan dengan orang Asia yang kolektivis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh orang-orang individualis menganggap bahwa sebuah hubungan adalah sarana untuk mencapai tujuan pribadi sehingga mereka cenderung meminta dukungan agar tujuan tersebut dapat tercapai (Taylor et al., 2004). Sedangkan, orang kolektivis memandang diri dan orang-orang di sekitarnya sebagai kesatuan yang saling bergantung sehingga penyesuaian diri dan berkompromi adalah hal yang penting untuk menjaga


(51)

keharmonisan kelompok (Taylor et al., 2004). Ada ketakutan bahwa keharmonisan akan terganggu jika individu menunjukkan masalah-masalah pribadinya.

Dalam hal memberi dukungan sosial, perbedaan juga tampak pada individu kolektivis dan individualis. Chen et al. (2012) menggolongkan dukungan menjadi dua kategori, yaitu emotion-focused support dan

problem-focused support. Emotion-problem-focused support terdiri dari dukungan emosional

atau penghargaan, sedangkan problem-focused support terdiri dari dukungan instrumental dan informasional. Menurut Chen et al., emotion-focused

support bertujuan untuk menenangkan dan mengurangi dampak psikologis

dari stresor pada individu. Sedangkan problem-focused support bertujuan untuk langsung membantu penyelesaian masalah dengan cara memberi solusi atau memberi barang yang dibutuhkan. Chen et al. menunjukkan bahwa orang-orang individualis cenderung memberi emotion-focused support yang menunjukkan bahwa mereka menghargai pikiran dan emosi penerima dukungan serta tidak ingin melanggar rasa independen penerima dukungan. Sedangkan, orang-orang kolektivis yang cenderung mengenyampingkan persoalan pribadi agar tidak merusak keharmonisan kelompok lebih sering memberi problem-focused support. Hal tersebut dianggap normatif karena orang-orang kolektivis kurang menghargai ekspresi emosi (Butler, Lee, & Gross dalam Chen et al., 2012).


(52)

C. Dukungan Sosial Pada Gay

Gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan bagi gay telah berlangsung cukup lama. Organisasi pertama di dunia yang memperjuangkan hak-hak gay berdiri pada tahun 1897 di Berlin, Jerman dengan nama

Scientific-Humanitarian Committee (LeVay & Valente, 2006). Setelah hancur dengan

berkuasanya Nazi di Jerman, organisasi yang memperjuangan hak-hak gay muncul kembali pada tahun 1950 dengan nama Mattachine Society dan tahun 1955 dengan nama Daughters of Bilitis di Amerika Serikat (LeVay & Valente, 2006). Di Indonesia, pembentukan organisasi bernama Lambda Indonesia pada tahun 1982 (Boellstorff dalam Ariyanto & Triawan, 2008) dapat dianggap sebagai awal dari gerakan mendukung gay.

Gerakan-gerakan tersebut menunjukkan kepedulian dan dukungan terhadap kelompok gay. Dukungan sosial diperlukan oleh gay karena menjadi bagian kelompok minoritas yang terdiskriminasi dari banyak aspek. Ariyanto dan Triawan (2008) menyebutkan setidaknya ada lima bentuk diskriminasi yang dialami oleh

gay, yaitu diskriminasi sosial, hukum, politik, ekonomi, dan budaya. Standar ganda

yang diterapkan negara tentu menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi gay. Bahkan pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD) ’45 yang mengatur tentang hak asasi manusia pun terasa mandul ketika yang menjadi korban pelanggaran HAM adalah kelompok gay. Banyak kasus kekerasan yang bahkan berujung kematian terjadi pada gay ternyata tidak mendapat perhatian dari aparatur negara (lihat Ariyanto & Triawan, 2008).


(53)

Dukungan sosial diperlukan oleh gay karena ternyata dukungan sosial berkorelasi positif dengan kondisi psikologis dan fungsi interpersonal mereka (Kwon, 2013). Dukungan sosial akan berfungsi sebagai stress buffer ketika gay menghadapi situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Walaupun begitu, tidak semua dukungan sosial berbuah positif, terutama jika jenis dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan atau si pemberi dukungan tidak punya kapasitas untuk memberi dukungan (Sarafino, 2008). Kesimpulannya, pemberian dukungan sosial pada kelompok gay adalah adanya upaya untuk membuat mereka merasa bahwa mereka diterima, dicintai, dihargai, dan menjadi anggota dari masyarakat.

D. Pengalaman dan Makna yang Dikonstruksi

Brouwer (1988) menyatakan bahwa ada tiga cara dalam melihat dunia dan benda. Pertama, cara para naturalis atau orang-orang biasa yang melihat dunia dan benda sebagai apa adanya dunia dan benda tersebut. Dua lingkaran kecil dalam lingkaran besar akan dilihat sebagai tiga buah lingkaran yang berbeda ukurannya. Kedua, cara para ahli sains yang mereduksi dunia dan benda menjadi simbol-simbol. Dua lingkaran kecil dalam lingkaran besar akan dicari keliling dan diameternya sehingga mereka dapat mendefinisikan lingkaran tersebut berdasarkan simbol matematis. Ketiga, cara para fenomenologis yang melihat dunia dan benda dalam sebuah kesatuan yang tak terpisah. Dua lingkaran kecil dalam lingkaran besar akan dilihat sebagai sepasang mata yang tertanam di wajah seseorang.


(54)

Dalam kacamata fenomenologis, dunia bukanlah suatu obyek, melainkan pengalaman-akan-dunia atau subyek (Brouwer, 1988). Pengalaman berarti saya mengalami dunia atau alam dan berbentuk kesayaan dari dunia. Pengalaman menjadi subyektif karena selalu mengandung unsur kesayaan. Unsur kesayaan dalam pengalaman membuat saya mengkonstruksi makna, kenyataan atau kebenaran subyektif. Hal tersebut membuat pengalaman harus dijelaskan dari sudut pandang saya sebagai saya-yang-mengalami-dunia atau alam.

Baumeister (dalam Park, 2010) mendefinisikan makna sebagai representasi mental atas hubungan antara benda-benda, kejadian-kejadian, dan relasi-relasi. Oleh karena itu, makna menghubungkan banyak hal. Sedangkan Steiger (dalam Heintzelman & King, 2014) mendefinisikan makna sebagai,

The web of connections, understandings, and interpretations that help us comprehend our experience and formulate plans directing our energies to the achievement of our desired future. Meaning provides us with the sense that our lives matter, that they make sense, and that they are more than the sum of our seconds, days, and years. (hal. 154)

Seperti yang dikatakan oleh Frankl (1972, hal. 154), usaha untuk menemukan makna merupakan dorongan utama dalam hidup manusia. Proses pemaknaan diawali dengan proses penginderaan yang membentuk pengalaman inderawi (Schutz dalam Hasbiansyah, 2008). Pengalaman inderawi tersebut akan menjadi bermakna ketika dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya serta melalui proses interaksi dengan orang lain (Hasbiansyah, 2008). Proses pemaknaan pengalaman atau fenomena sendiri tidak lepas dari pengaruh konteks sejarah dan sosial budaya di tempat individu tinggal (Creswell, 2009). Oleh karena itu, makna dapat menjadi sangat subyektif. Individu kolektivis dapat mengalami hal yang sama


(55)

dengan individu individualis namun memproduksi makna yang berbeda atas pengalaman tersebut.

Park (2010) menyatakan bahwa pemaknaan merupakan hal penting dalam melawan pengalaman yang berpotensi menimbulkan stres. Sedangkan Heintzelman dan King (2014) menyatakan bahwa makna bertindak sebagai informasi bahwa ada pola-pola dan koneksi yang sistematik di dunia. Dengan mengetahui pola-pola dan koneksi tersebut, individu belajar untuk adaptif supaya dapat bertahan hidup di dunia (Heintzelman & King, 2014).

Berdasarkan paparan di atas, semakin jelas bahwa pengalaman menerima dukungan sosial dan maknanya bagi gay akan lebih baik jika ditelaah dari kacamata

gay itu sendiri. Pengalaman tersebut menjadi sangat subyektif karena ada unsur

kesayaan yang pasti akan berbeda-beda pada setiap gay. Makna, kenyataan atau kebenaran yang dikonstruksi para gay menjadi subyektif, tergantung pada pengalaman hidup, konteks sosial dan budaya di tempat gay itu tinggal.

E. Pemaknaan Dukungan Sosial oleh Gay

Kelompok gay terdiri dari individu-individu yang merasakan ketertarikan secara erotik, psikologis, emosi, dan sosial kepada individu berjenis kelamin sama. Mereka menjadi target perilaku tidak menyenangkan karena mereka tidak memenuhi standar yang ditetapkan masyarakat pada umumnya. Masyarakat yang heteroseksis bahkan berusaha mengaburkan keberadaan mereka (Herek, 2004). Oleh karena itu, Meyer (1995) berpendapat bahwa kelompok gay menjadi sangat rentan pada stres kronis karena mereka kerap distigmatisasi.


(56)

Dukungan sosial kemudian berperan sebagai agen penetral stres yang ditimbulkan akibat sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang-orang di sekitar kelompok gay. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa dukungan sosial berkontribusi pada meningkatnya tingkat kesehatan mental kelompok gay (lihat Beals, Peplau, & Gable, 2009; Cohen & Wills, 1985; Griffith & Hebl, 2002; Kwon, 2013; Shilo & Savaya, 2011). Dukungan sosial juga dikatakan sebagai faktor pembentuk resiliensi pada kelompok gay (Kwon, 2013).

Pengalaman menerima dukungan sosial akan menjadi unik antara gay satu dengan gay lainnya. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Brouwer (1998), pengalaman selalu mengandung unsur kesayaan yang membuat tiap pengalaman menjadi subjektif. Subjektivitas pengalaman kemudian akan berkontribusi pada subjektivitas makna yang dikonstruksi pula. Memaknai pengalaman menerima dukungan sosial menjadi penting karena pemaknaan membantu kelompok gay untuk menyadari bahwa ada pola-pola dan koneksi dalam hidup mereka yang dapat membantu mereka mengembangkan perilaku adaptif dalam menghadapi lingkungan di sekitarnya (Heintzelman & King, 2014). Pernyataan Park (2010) mendukung ide tersebut, bahwa pemaknaan merupakan hal penting dalam menghadapi pengalaman yang berpotensi menimbulkan stres.


(57)

Skema 2. Alur berpikir.

Dukungan sosial

Laki-laki gay

Mengkonstruksi makna atas pengalaman menerima dukungan

sosial

Dampaknya pada kondisi psikologis dan tindakan kelompok gay


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan cara untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dimiliki individu atau kelompok mengenai masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2009). Penelitian kualitatif dilakukan karena ada kebutuhan untuk mendengarkan suara-suara yang didiamkan (silenced voices) (Creswell, 2007). Kemudian, kebutuhan untuk memahami isu secara detail yang tidak bisa dijelaskan oleh statistik hanya dapat dilakukan dengan cara berbicara langsung dengan individu dan membiarkan mereka bercerita (Creswell, 2007). Penelitian kuantitatif memang memberikan informasi mengenai gambaran tren, asosiasi, atau hubungan kausal, namun ia tidak memberi alasan mengapa individu memberikan respons tertentu, dalam konteks apa individu merespons, dan pikiran apa yang memunculkan respons tersebut (Creswell, 2007). Oleh karena itu, penelitian kualitatif diperlukan untuk menggenapi penelitian-penelitian kuantitatif yang telah banyak dilakukan sebelumnya tentang topik ini.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekaran penelitian yang dipilih peneliti adalah Interpretative

Phenomenological Analysis (IPA). IPA dipilih sebagai pendekatan penelitian untuk

mengeksplorasi bagaimana individu memaknai dunia personal dan sosialnya secara


(59)

detail (Smith & Osborn, 2008). IPA juga berfokus pada mencoba memahami suatu fenomena dari sudut pandang individu yang mengalami fenomena tersebut (Smith & Osborn, 2007). Oleh karena itu, IPA menjadi pendekatan yang tepat untuk penelitian ini.

C. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah eksplorasi pengalaman menerima dukungan sosial dan makna yang dikonstruksi atas pengalaman tersebut. Jika selama proses wawancara peneliti menemukan hal lain di luar dua titik fokus utama penelitian ini, maka data tersebut akan digunakan sebagai data tambahan hasil penelitian.

D. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini merupakan tiga gay yang telah mengungkapkan orientasi seksualnya dan menerima dukungan sosial setidaknya dari orang terdekat. Kriteria tersebut ditentukan oleh peneliti karena peneliti harus memilih informan yang paling dapat membantu peneliti dalam memahami masalah yang diteliti (Creswell, 2009).

Proses pencarian informan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, peneliti menghubungi laki-laki gay yang secara terbuka mengungkap orientasi seksualnya kepada peneliti. Kedua, peneliti menghubungi orang yang memiliki teman seorang gay. Individu gay yang telah bersedia menjadi informan penelitian ini kemudian bertemu secara langsung dengan peneliti untuk


(1)

412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457

itu kan posisinya aku sedang suka sama, eeh, koko di wihara, udah lama banget, sekarang udah gak di Jogja lagi. Saat itu kan aku gak punya temen untuk cerita, satu-satunya cuman mereka berdua, ya kalo cuma cerita ke satu orang, gak menemukan solusi yang pas, gitu pada saat itu. Akhirnya, adekku nanya kenapa diem, di situlah, udahlah berani ajalah, ngaku-ngakulah, dia marah, marahlah, bodo amat, waktu itu kan. Cerita, ngaku, dia seperti itu jawabnya, ya udah.

R: Waktu itu responsnya kayak gimana? H: Dia cuma bilang kayak gini sambil main PS, trus emang kenapa? Diem lagi, trus gak ada respons apa-apa lagi, trus dia ketawa-ketawa. Jadi aku merasa, ini adekku bukan ya? Hahaha.

R: Berarti, apa namanya, dia cuek ya? H: Tipikalnya cuek banget. Cuek tapi dia penyayang.

R: Ooo baguslah. Hahaha. Lagi kuliah sekarang.

H: Kuliah. R: Di? H: UKDW. R: Semester? H: Angkatan sama.

R: Angkatannya sama? Kok bisa? H: Kan kuliahnya bareng.

R: Hah, gimana? Aku gak ngerti.

H: Eeh, aku sama adekku SMP-nya bareng, karena dulu papa mamaku kan cerai. Dulu papa mamaku cerai itu, aku sempet berhenti sekolah, trus akhirnya aku sekolahnya barengan sama adekku. R: Ooh begitu. Ya ya. Oo berarti sekarang kalo balik ke Bali tinggalnya sama? H: Mama.

R: Sama mama. Berarti tadi ketika kamu mendapat dukungan ya, kamu merasa seneng, kamu merasa langkahmu lebih ringan karena gak ada beban. Kemudian ketika kamu gak mendapat dukungan, ketika kamu, ya itu tadi bertemu

orang-pengungkapan orientasi seksual informan;

membutuhkan

dukungan dalam bentuk didengarkan dan saran; merasa bingung dan tidak nyaman ketika tidak memiliki teman cerita saat sedang menghadapi masalah Menerima sikap tidak acuh dari saudara

tidak menerima dukungan di saat sedang

menghadapi masalah

Menerima dukungan


(2)

458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494 495 496 497 498 499 500 501 502 503

orang yang ternyata gak bisa menerima, apa yang kamu rasain?

H: Paling cuma mikir, oh dia gak bisa nerima, ya udahlah.

R: Gitu? cuek aja?

H: Cuek aja. Karena satu di antara sekian orang dan kebetulan orangnya memang, feeling dari awal bukanlah tipikal, oh ini bukan tipe temenku, kayak gitu. Jadi, ya udah aku cuek. Ibarat kata ya dari, apa ya, dia punya haknya sendiri, aku punya hakku sendiri, kayak gitu. Jadi ya sudah dia mau berkomentar apa pun, dah terserah, silakan. Karena kan prinsip orang juga berbeda dan pengertian orang juga berbeda-beda. Mungkin bagi mereka karena dulunya dia pernah diganggu atau diapakan sama kaum LGBT, dia menganggap hal seperti itu menjadi sebuah pengganggu atau apa, gitu kan. Tapi bagi temen-temenku selama ini, karena aku berteman sama mereka gak pernah apa-apain mereka juga, gitu kan, jadi mereka akan baik-baik aja. Jadi ya, responsku cuman, oh gitu yaudah. Hahaha.

R: Tapi pernah menerima respons yang negatif?

H: Eeh, respons negatif selama ini sih belum. Paling kemaren ketika KKP, kebetulan temenku itu ada yang, waktu aku cerita tentang bahwa dulu pernah, ya aku sendiri juga walaupun salah satu dari kaum LGBT itu tapi kalo digangguin sama banci ya agak gimana gitu. hahaha. R: Hahaha. Trus trus?

H: Ya aku pernah cerita kalo dulu pernah diganggu kayak gitu, dan dia meresponsnya bahwa aku bagaimana banget gitu. Trus aku bilang, oh gitu ya, oh ya udah, gitu. Karena yang tau aku seperti apa adalah temen-temenku selama ini yang aku ajak kan, dia kan orang yang baru aku ketemu saat ini, gitu lho. Dan dia belum tau aku seperti apa, mungkin kalo dia merespons seperti itu ya udah, gak,

Bersikap tidak acuh ketika tidak diterima; menyadari perbedaan reaksi orang lain terkait orientasi seksual

Merasa terganggu jika diganggu oleh orang transgender

Bersikap tidak acuh pada reaksi negatif yang ditunjukkan orang lain; menerima respons negatif berupa saran untuk kembali ke “jalan yang benar”

Bersikap indifferent

terhadap sikap negatif;

Bersikap indifferent

terhadap sikap negatif;

menyadari

perbedaan reaksi terkait orientasi seksual; tidak merasa terganggu dengan sikap negatif;

Merasakan afek negatif ketika menerima

perlakuan tidak menyenangkan dari sesama LGBT

Bersikap

indifferent pada reaksi negatif; menerima sikap negatif


(3)

504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 545 546 547 548 549 550

gak mempermasalahkan. Gitu aja. Karena, ya kemaren ketika KKP kebetulan 3 orang sih anak akuntansi, tiga-tiganya mereka seperti apa, ada yang bilang lah, sudah kembalilah ke jalan yang benar.

R: Hahaha.

H: Aku butuh penjelasan, seperti itu kan. Trus kemudian, udah kamu harus sembuh, oh gitu, ya udah besok cari obat, aku bilang gitu. hahaha. Yang satu malah, apa kamu mau aku ajak ke Sarkem? Oh boleh kapan-kapan ya. Hahaha. Ya santai aja. Itu cara aku menghadapi.

R: Oke oke. Menarik sekali ya.

H: Hahaha. Lah aku harus menanggapinya seperti apa, masa aku harus down gitu kan, sedangkan diriku harus KKP dan sebenernya ya memang dari awal bertemu sama mereka, oh 3 orang ini tipe orang yang bukan open-minded banget, kayak gitu. Walaupun mereka bilang aku ini open-minded, kayak gitu.

R: Ooh ya, berarti mungkin cuma kata-kata aja gitu ya.

H: Iya, kata-kata aja, kayak gitu.

R: Nah trus, eeh, berarti selama ini kamu kan menerima banyak dukungan ya dari temen organisasi kampus, temen deket. Kamu menganggap dukungan dari mereka itu sebagai apa?

H: Sebagai tombak untuk menghancurkan dinding yang besar, jika diibaratkan. Dalam artian ya, dukungan mereka itu seperti alat pemacu supaya aku bisa terus maju, gitu lho, tanpa memikirkan bahwa aku ini apa dan siapa. Dalam artian, ya, penyemangat hidup bisa dikatakan. Karena kan gak semua orang, gak semua kaum gay yang bisa mendapatkan orang-orang yang seperti itu. Ya seperti contoh yang kita tau kan kayak dulu si Rian Jombang itu kan kenapa dia bisa berperilaku seperti itu bisa jadi karena penolakan sosial temen-temennya kan bisa jadi kan. Dia tidak memiliki teman

Menerima reaksi negatif berupa anggapan bahwa

informan “sakit”;

menghadapi reaksi negatif dengan sikap santai dan penuh humor

Merasa bahwa reaksi negatif harus dihadapi dengan santai; menyadari perbedaan reaksi orang lain terkait orientasi seksual

Menganggap

dukungan sebagai tombak penghancur dinding, pemacu supaya dapat terus maju, penyemangat hidup; merasa beruntung karena tidak semua gay memiliki

teman-teman yang

mendukung;

menganggap bahwa mengalami

penolakan dari orang

Menerima sikap negatif;

menghadapi sikap negatif dengan tenang; tidak merasa terganggu dengan sikap negatif

Menghadapi sikap negatif dengan tenang; menyadari perbedaan reaksi terkait orientasi seksual

Memaknai

dukungan sebagai pendorong dan penyemangat hidup; merasa beruntung karena mendapat

dukungan; merasa bahwa orientasi seksual bukanlah penghambat dalam berinteraksi; menganggap bahwa penolakan


(4)

551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596

yang mendukung dia, dia tidak memiliki sahabat yang bisa mendengarkan cerita-cerita dia sehingga dia mungkin bingung, depresi, tertekan, segala macem dan akhirnya terjadilah kasus-kasus seperti itu yang bukannya malah membuat orang semakin mau menerima kaum LGBT, tapi malah semakin takut dengan kaumnya, seperti itu kan, karena yang dilakukan itu salah. Tapi selama ini aku bisa mendapatkan dukungan dan sahabat-sahabat yang seperti ini, di situ aku merasa bahwa, oh hal seperti ini bukanlah sesuatu yang bisa menjadi penghalang buat kamu. Tapi malah sebagai, apa, sebagai kamu bisa menjadi lebih maju lagi, lebih bagaimana, meskipun kamu berbeda dari mereka, mereka bisa menerima kamu, itu berarti bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Itu hanyalah, wajarlah ada perbedaan, seperti itu. Karena ya itu namanya proses dari kehidupan kan, kita gak tau kan, seperti apa seperti apa, bahkan orang cacatpun masih bisa bekerja, kayak gitu ibaratnya. Jadi ya bisa dikatakan dukungan mereka itu sebagai pemacu hidupku. Udah bijak banget gak? Hahaha.

R: Hahaha. Dukungan-dukungan itu berarti membuatmu lebih semangat gitu ya, dalam menjalani hidup. Eeh, kemudian dukungan-dukungan itu punya pengaruh gak dalam cara pandangmu melihat lingkungan, melihat temen-temenmu?

H: Eem, sepertinya punya ya, cuman aku yang gak sadar kali ya. Cara pandang temen-temenku kayak seperti bahwa, oh ini orang yang terbuka, ini yang masih, eeh, setengah terbuka, ini yang tertutup. Kayak ibaratnya ya memang, aku gak tau sih, sebenernya itu apakah LGBT itu bisa dibenarkan atau dipersalahkan, aku masih gak tau itu, baik itu dari segi agama, sosial, atau apapun itu. Tapi yang jelas ketika aku mendapat dukungan itu, ya

di sekitar dapat menyebabkan

depresi dan perasaan tertekan; merasa bahwa orientasi seksual tidak menjadi penghalang dalam berinteraksi dengan orang lain dan mengerjakan sesuatu

Menyadari

perbedaan reaksi orang lain terkait orientasi seksual; merasa bahwa dukungan yang diterima membuat informan menyadari perbedaan reaksi orang lain atas orientasi seksualnya;

akan

menimbulkan efek negatif pada diri

Menyadari

perbedaan reaksi terkait orientasi seksual setelah menerima

dukungan;

keinginan untuk tetap menjaga relasi dengan orang yang


(5)

597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642

pengaruhnya seperti melihat bahwa temen yang satu ini dia bener-bener bisa terbuka ataupun orangnya bagaimana, bagaimanapun orangnya mau dia itu gay, lesbian, transgender atau apapun, bahkan cacat sekalipun dia masih bisa menerima orang itu, berarti dia tipikal yang, bisa dikatakan bijak lah, gitu. Ini yang masih setengah, oh setengahnya dalam artian, dia bisa menerima kaum LGBT, tapi dia sendiri masih agak takut kalo misalnya dia yang disukai, kayak gitu. Yang ini, sama sekali gak bisa menerima karena mungkin ada pengalaman apa dulunya, atau masalah apa dulunya, seperti itu. Ya seperti dalam membagi-bagi tapi tetep aku gak bisa membedakan. Teteplah mereka temen, tapi ada yang terbuka 100%, ada yang terbuka 50%, ada yang sama sekali gak mau terbuka, seperti itu.

R: Ya ya ya. Eh, kalo dulu kan kamu merasa takut ya, takut ngomong karena kamu takut ditolak, iya nggak? Tapi setelah sekarang ternyata banyak orang yang memberimu dukungan, how, bagaimana pandanganmu tentang lingkunganmu, tentang duniamu sekarang?

H: Pandangan lingkunganku tentang duniaku itu...

R: pandanganmu.

H: Paling aku cuma bisa melihat bahwa nggak semua orang ternyata tertutup, kayak gitu. Semua orang mau menerima keadaan orang lain, itu yang bisa aku lihat sih duniaku sekarang ini. Dan bisa dikatakan duniaku menjadi lebih indah. R: Lebih indah?

H: Dalam artian ya, hidup tanpa harus membohongi orang lain dan diri sendiri kan suatu kebahagiaan kan. Kita bisa melangkah lebih ringan ke mana aja. Mereka, mereka udah tau, aku tidak perlu berpura-pura, eh, harus suka sama perempuan atau bagaimana. Ya sebenarnya kan itu menyebalkan, ih

tetap berteman dengan orang yang tidak bisa menerima orientasi seksual informan

Merasa bahwa lingkungan lebih terbuka, lebih indah

Kebahagiaan yang dirasakan ketika

tidak harus

membohongi orang lain dan diri sendiri; merasa lebih ringan dalam melangkah; senang karena tidak

menunjukkan sikap negatif;

Melihat lingkungan

sebagai tempat yang terbuka dan indah

Merasakan afek positif ketika mengungkapkan orientasi seksual; merasa bebas menjadi diri otentik;


(6)

643 644 645 646 647 648 649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659

kenapa sih kamu gak punya-punya pacar, sekarang jadi bisa lebih mengaku, ya kamu kan tau kalo susahlah mencari sesama, kayak gitu kan. Karena kan seringlah, temen-temen di kampus bercanda, ih jones sampe sekarang gak punya-punya pacar. Ya lu tau lah sendiri, susahlah cowok cari cowok, tak bilang kayak gitu kan, bisalah ngomong kayak gitu. Kamu kan gampang, kamu cewek cari cowok, kamu cowok cari cewek, gampang. Seperti itu, hehehe.

R: Oke oke. Berarti kamu merasa duniamu lebih indah ya sekarang. Hahaha. Ya itu dulu aja sekarang, nanti kalo aku butuh data tambahan, aku hubungi kamu lagi ya. Terima kasih.

harus berpura-pura; menjadi lebih terbuka dan bebas menjadi diri sendiri di hadapan orang lain

negatif ketika harus selalu menyembunyikan orientasi seksual


Dokumen yang terkait

Bahaya Komunitas Homoseksual Di Media Sosial (Studi Kasus: Interaksi Virtual Community Media Sosial Grindr)

3 17 120

Makna Sosial Uang Tilang Bagi Masyarakat dan Kepolisian.

8 57 6

KONSTRUKSI SOSIAL TENTANG PERKAWINAN BAGI KAUM GAY Studi pada Pasangan Gay yang Tinggal di Surabaya Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 13

BABI PENDAHULUAN - Dukungan sosial rekan kerja dengan penerimaan diri pada gay - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 10

Dukungan sosial rekan kerja dengan penerimaan diri pada gay - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 22

Hubungan antara dukungan sosial dengan konsep diri pada kaum gay di Surabaya - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 18

Hubungan antara dukungan sosial dengan konsep diri pada kaum gay di Surabaya - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 8

Hubungan antara dukungan sosial dengan konsep diri pada kaum gay di Surabaya - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 25

Dukungan sosial masyarakat terhadap munculnya komunitas gay di Situbondo sebagai kota santri ditinjau dari stereotype tentang gay, stereotype tentang komunitas gay, dan persepsi tentang kota santri - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 18

BABI PENDAHULUAN - Dukungan sosial masyarakat terhadap munculnya komunitas gay di Situbondo sebagai kota santri ditinjau dari stereotype tentang gay, stereotype tentang komunitas gay, dan persepsi tentang kota santri - Widya Mandala Catholic University Su

0 0 9