Latar Budaya Jawa Latar Tentang Kehidupan Seks

58 Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku Sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan.Meski tidak menarik bayaran.Kakak dan ayahku tidak menghormatiku Utami, 1998:115.

2.2.4 Plot atau Alur

Plot atau alur adalah cerita berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain, Nurgiyantoro,1995:130. Dalam novel Saman karya Ayu Utami alur yang dipergunakan adalah alur sorot-balik, atau flash-back.Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal merupakan awal cerita secara logika, mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkanNurgiyantoro,1995: 154. Dalam novel Saman, penulis menggunakan alur sorot-balik atau flashback, karena jelas sekali dalam novel Saman, penulis membuat latar waktu yang berbolak balik. Pada awal telah diceritakan bahwa pada tahun 1996 ketika Laila sedang berada di New York untuk menunggu Sihar. Saya akan pelukan, ciuman, jalan-jalan dan minum di Russian Tea Room beberapa blok ke barat daya. Mahal sedikit tidak apa-apa. Sebab hari ini Cuma sekali.Sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini Utami, 1998: 2. Kemudian diceritakan pada awal mula pertemuan antara Laila dan Sihar yaitu pada tahun 1993 di pertambangan sekitar Laut Cina Selatan. Lalu ia memperkenalkan orang-orang servis itu kepada kedua tamunya. Yang pertama adalah Sihar Situmorang, Insinyur analisis 59 kandungan minyak, orang yang membuat Laila tertarik karena ketidakacuhannya dan posturnya yang liat. Juga rambutnya yang terlihat kelabu karena serat-serat putih mulai tumbuh berjajakan Utami, 1998:10. Selanjutnya penulis menceritakan sosok Wisanggeni yang menjadi pastor pada tahun 1983. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapak Uskup dengan mitra keemasan memanggil nama mereka satu per satu. Juga namanya Athanasius Wisanggeni. Sakramen presbiterat. Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkap mencium ubin katerdal yang dingin. Mereka telah mengucapkan kaulnya. Pada mereka telah dikenakan stola dan kasula. Sejak hari itu, orang-orang memanggil mereka pater. Dan namanya menjadi Pater Wisanggeni, atau Romo Wis, Utami, 1998:40-41. Diceritakan kejadian yang dialami Wisanggeni di masa kecilnya di daerah Perabumulih pada tahun 1962. Cerita tentang masa kecil Saman ketika ia masih tinggal bersama-sama dengan kedua orang tuanya. Barangkali dia beruntung. Dia adalah satu-satunya anak yang berhasil lahir dari rahim ibunya dan hidup. Dua adiknya tak pernah lahir, satu mati pada hari ketiga, Utami, 1998:44. Kejadian aneh dialami oleh ibunya. Ibunya sering berdiam diri tanpa alasan yang jelas. Terkadang Saman tidak mengerti apa yang dialami oleh ibunya. Ibunya yang masih raden ayu adalah sosok yang tak selalu bisa dijelaskan oleh akal. Ia sering nampak tidak berada di tempat ia ada, atau berada di tempat ia tidak ada. Pada saat itu, sulit mengajaknya bercakap-cakap, sebab ia tak mendengarkan orang yang berbicara di dekatnya. Kadang kebisuanya diakhiri dengan pergi ketempat yang tidak diketahui orang, barangkali suatu ruang yang tidak dimana- mana: suatu suwung, Utami, 1998:44. 60 Kejadian aneh juga dirasakanya kembali ketika pada saat ibunya mengandung adik pertama Saman. Tiba-tiba sesuatu terjadi pada ibunya, bayi yang ada didalam kandungannya telah hilang begitu saja. Tidak hanya itu, pada beberapa waktu ketika Saman hendak memiliki adik yang kedua, pada akhirnya adiknya juga meninggal di hari ke tiga. Tatkala ibunya pulang, entah dari mana, wanita itu tak lagi mengandung. Perutnya tak lagi besar. Ia Nampak kelelahan. Ia rebah pada dipan di teras belakang, lalu menatap pepohonan, yang semakin jauh semakin rapat Utami, 1998:48. Setelah itu penceritaan kembali ke tahun 1984 ketika Wis ditugaskan untuk menjadi Pastor di Perabumulih tempat tinggal ia sewaktu kecil yang setelah sekian lama ditinggalkannya. Tugasnya di Prabumulih tidak berjalan dengan mulus, pada waktu itu ia dituduh dan ditangkap karena ia difitnah telah menghasut masyarakat perkebunan karet untuk mengadakan pemberontakan kepada pemerintah karena tidak mau manyerahkan tanahnya kepada PT Anugerah Lahan Makmur untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Akhirnya Saman ditahan dan dipenjara. Tapi dua orang berseragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lenganya, mendorong punggungnya hingga dada serta pelepisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangan sebelum ia sempat mengerang nyeri Utami, 1998:101. Wis merasa beberapa orang menyeret dan melempar tubunya kedalam mobil yang mesinnya segera bergemuruh meninggalkan tempat itu.Ia mencium percik api dan bau karet terbakar. Dan suara salawat semakin sayup, semakin jauh, akhirnya tak terdengar Utami, 1998:101-102.