2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali
Perairan Selat Bali terletak diantara Pulau Jawa di sebelah barat dan Pulau Bali di sebelah timur dengan posisi antara 114
°
20’-115
°
10’ BT dan 8
°
10’-8
°
50’ LS. Perairan ini menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di utara dan Samudera
Hindia di selatan. Perairan Selat Bali merupakan suatu bentuk perairan yang relatif sempit, berbentuk corong dengan luas kira-kira 2.500 km
2
. Perairan Selat Bali bagian utara lebih sempit dibanding dengan mulut selat yang menghadap ke perairan
Samudera Hindia. Di bagian mulut selat bagian utara sangat sempit yaitu hanya mencapai 1 mil dan melebar ke bagian selatan hingga mencapai 28 mil.
Karakteristik perairan tersebut menyebabkan Selat Bali cenderung lebih dipengaruhi oleh masa air Samudera Hindia di bagian selatan dibanding oleh masa air Laut
Flores atau Selat Madura di bagian uatara. Kedalaman perairan di sebelah utara mencapai 50 meter dan semakin ke selatan kedalaman perairan menjadi sangat
dalam hingga mencapai 1.300 meter Burhanudin Praseno 1982. Pada musim barat di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa bergerak Arus Pantai
Jawa AJP yang bergerak ke arah timur dan masuk ke Selat Bali. Massa air yang berasal dari selatan Pulau Jawa ini memiliki salinitas yang rendah dan suhu yang
relatif tinggi. Pada musim timur, akibat adanya angin muson timur menyebabkan Arus Khatulistiwa Selatan AKS yang mengalir ke barat bergeser dan melebar ke
arah utara mencapai pantai selatan Jawa dan mendesak mundur AJP Illahude 1974. Birowo 1975
menjelaskan bahwa faktor utama penyebab terjadinya penaikan massa air adalah angin dan sirkulasi air. Angin erat hubungannya dengan musim
sedangkan sirkulasi air yang disebabkan oleh arus mempunyai hubungan erat dengan keadaan angin. Pada musim barat di perairan Selat Bali, lapisan homogen
mempunyai ketebalan mencapai kurang lebih 100 meter dengan suhu yang tinggi 28-29 °C dan salinitas yang relatif rendah 32-34
‰. Lapisan termoklin cukup tajam berada dibawah lapisan homogen. Pada saat terjadi upwelling lapisan
homogen tipis, kurang dari 30 meter dengan suhu yang rendah 26,5-27 °C dan salinitas yang relatif tinggi mencapai 34,2 ‰. Pada lapisan
5
bawahnya terdapat lapisan termoklin yang dicirikan perubahan suhu menurun dengan cepat seiring bertambahnya kedalaman. Pada lapisan permukaan, upwelling
ditandai dengan rendahnya suhu permukaan berkisar antara 25,5-26,9 °C dan salinitas yang tinggi antara 33,6-
34,2 ‰ Illahude 1974. Menurut data statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian
Kelautan Perikanan Indonesia, perikanan tangkap lemuru sampai akhir tahun 2010 menunjukkan produksi tertinggi perikanan pelagis yang menjadi komoditi
utama dengan jumlah sebesar 71,3 ribu ton atau sekitar 25 dari total produksi perikanan dominan di WPP 573 Gambar 2. Di Selat Bali, produksi lemuru dari
tahun 2005 sampai 2007 terus naik hingga mencapai 38.617,008 ton, namum menurun sampai tahun 2010 produksinya sebesar 17.854,857 ton Tabel 1.
Menurunnya produksi lemuru pada tahun 2010 diakibatkan sering terjadinya cuaca ekstrim yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut selama hampir empat bulan
Juni dan September-Desember di Kabupaten Banyuwangi, namun di Kabupaten Jembrana masih bisa berproduksi. Produksi pada armada ukuran 5-10 GT dan 10-30
GT memiliki pola trend yang sama, yaitu menunjukkan trend naik walaupun trend armada 5-10 GT lebih tinggi dibandingkan armada 10-30 GT Wiyono 2011.
Gambar 2. Grafik produksi jenis ikan dominan di WPP 573 tahun 2010
6
Tabel 1. Hasil produksi tahunan lemuru di Selat Bali tahun 2005-2010 Tahun
Produksi lemuru ton 10-30 GT
5-10 GT Total
2005 8.674,112
3.126,746 11.800,858
2006 13.695,591
4.936,050 18.631,641
2007 6.757,780
11.859,228 18.617,008 2008
20.287,721 11.518,945 31.806,666 2009
20.840,529 14.760,997 35.601,526 2010
10.128,554 7.726,303
17.854,857
2.2. Parameter Fisika Perairan 2.2.1. Suhu