65
Jika kembali melihat Gambar 9 pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada satu responden dalam penelitian ini yang melaut lebih jauh
satu mil dari ketentuan yang berlaku baginya. Sementara itu seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jarak maksimal nelayan tradisional untuk melaut
adalah 6 mil. Sedangkan setelah zonasi dilakukan, pada Gambar 10 diketahui bahwa semakin banyak nelayan tradisional yang melaut melebihi jarak 6 mil. Hal
ini membuktikan bahwa nelayan membutuhkan usaha yang lebih banyak untuk memanfaatkan sumberdaya alam di samudera tersebut untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun hal ini bukan disebabkan karena mereka tidak boleh lagi berlayar di tempat biasa mereka melaut melainkan karena mereka
jarang mendapatkan hasil jika tetap di tempat biasa. Berdasarkan pengakuan nelayan tradisional, tidak ada larangan bagi
nelayan untuk melaut di daerah tertentu. Mereka dapat memasuki semua wilayah samudera dan mencari ikan di tempat tersebut. Walaupun ada jalur pelayaran
kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo, namun nelayan mengetahui batasan tersebut dan dapat mengantisipasi keberadaaan mereka. Terkadang ada
nelayan yang mencari ikan di sana tetapi ketika akan ada kapal yang akan memasuki dermaga atau keluar darinya maka nelayan tersebut akan pergi. Namun,
berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa nelayan tidak akan memasuki area lego jangkar kapal non nelayan yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke
dermaga. Mereka juga tidak mendekati wilayah tersebut karena takut jaring yang ditabur terkena jangkar kapal sehingga dapat rusak. Pengetahuan nelayan
mengenai keberadaan jangkar kapal yang sedang dilego tidak memadai sehingga tidak jarang ada jaring nelayan yang rusak karena terkena jangkar.
7.2 Analisis Keterkaitan
Zonasi Wilayah Pesisir Terhadap Akses
Sumberdaya Alam Nelayan
Di wilayah Kabupaten Cilacap khususnya daerah dekat samudera telah dibangun industri sejak akhir tahun 1970-an. Menurut beberapa informan pada
zaman tersebut sudah ada kapal-kapal non nelayan yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan. Pada saat itu baru ada dua jenis kapal non nelayan yang berlabuh
di sana yaitu kapal kargo dan kapal tanker. Jumlah mereka tidak banyak setiap
66
harinya. Rata-rata kapal yang datang dan pergi meninggalkan pelabuhan kurang dari sepuluh buah per hari. Pada saat itu lalu lintas perairan belum terlalu padat.
Jumlah nelayanpun belum sebanyak saat ini. Kemudian pada beberapa tahun belakangan ini, mulai dibangun beberapa
industri lain yang juga menggunakan jalur pelayaran sebagai salah satu sarana transportasi mereka. Hal ini terjadi ketika Surat Keputusan Bersama Dua Menteri
telah disahkan. Dengan adanya jumlah industri yang semakin banyak dan telah ditetapkannya mengenai jalur pelayaran maka semakin banyak pula jumlah dan
jenis kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan tersebut. Ketika kapal non nelayan bertambah banyak dan mereka harus melego
jangkar untuk menunggu giliran masuk ke dermaga maka luas lautan yang digunakan untuk tempat parkir sementara semakin luas. Hal ini mengakibatkan
wilayah tersebut tidak bisa diarungi oleh para nelayan tradisional. Hal ini mempengaruhi akses sumberdaya alam nelayan di wilayah Cilacap.
Sementara itu bagi nelayan tradisional yang menjadi responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa ada beberapa dari mereka yang memperluas
wilayah tangkap demi mendapatkan hasil lebih banyak. Hal ini digambarkan pada Gambar 9 dan Gambar 10 di atas. Berdasarkan kedua gambar tersebut ada
perubahan jumlah nelayan yang melaut melebih ketentuan yang telah ditetapkan bagi nelayan tradisional yaitu sejauh 6 mil. Bahkan ada 4 nelayan yang melaut
hingga jarak 10 mil. Sedangkan 4 orang lainnya berada pada jarak 7 hingga 9 mil. Sebenarnya jarak tersebut tergolong jauh tetapi hal ini bukan merupakan
persoalan besar bagi para nelayan. Perubahan jarak yang dilakukan juga mempengaruhi waktu tempuh yang dilalui oleh para nelayan. berdasarkan data
yang diperoleh, ada beberapa nelayan yang melaut lebih lama dari biasanya. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan waktu tempuh mereka baik sebelum
maupun sesudah zonasi.
67
Gambar 13 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sebelum Zonasi Sebagian besar nelayan tradisional tersebut membutuhkan waktu 4 hingga
6 jam untuk melaut. Biasanya mereka berangkat ketika subuh dan kembali sekitar menjelang siang. Namun ada juga nelayan yang melaut hingga 10 jam. Biasanya
mereka melaut dari subuh hingga sore hari atau dari malam hingga pagi hari.
Gambar 14 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sesudah Zonasi Pada Gambar 14 dijelaskan bahwa sebanyak 15 orang nelayan
memperpanjang waktu melaut mereka. Bahkan ada nelayan yang melaut hingga lebih dari satu hari. Nelayan tersebut adalah nelayan tradisional yang
68
menggunakan perahu bermotor 15 PK. Perubahan waktu yang ditempuh nelayan tersebut dikarenakan pendapatan hasil tangkap mereka menurun.
Gambar 15 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan Kg Sebelum Zonasi Sebagian besar nelayan memiliki jumlah tangkapan antara 1 hingga 5
kilogram dalam sekali melaut. Namun ada juga nelayan yang memiliki jumlah tangkapan hingga belasan bahkan puluhan kilogram. Pendapatan hasil tangkapan
nelayan tidak dapat dipastikan setiap harinya. Menurut mereka salah satu faktor terpenting dalam melaut adalah keberuntungan. Namun selama tiga tahun terakhir
ini terjadi penurunan yang cukup signifikan. Penurunan jumlah tangkapan ini dapat disebabkan karena cuaca dan iklim yang berubah, laut yang tercemar karena
semakin banyak jumlah industri, kapal non nelayan, dan kapal nelayan yang hilir mudik. Berikut ini perubahan hasil tangkapan para nelayan setelah zonasi.
69
Gambar 16 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan Kg Sesudah Zonasi Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan
signifikan jika dibandingkan dengan Gambar 15. Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan nelayan rata-rata 0,25 hingga 1 kilogram. Hanya ada tiga
orang yang bisa mendapatkan tangkapan lebih dari 1 kilogram. Seperti yang telah diuraikan di atas kemungkinan hal-hal yang dapat menyebabkan keadaan ini
terjadi. Hingga saat ini belum dapat diketahui pasti apa penyebab dari penurunan hasil tangkapan nelayan tersebut. Sebagain nelayan ada yang berpikir hal ini
terjadi karena laut yang tercemar sehingga ikan-ikan sudah tidak dapt tinggal lagi di wilayah tersebut. Namun ada yang menduga hal ini terjadi karena iklim dan
cuaca yang sednag tidak menentu. Menurut salah satu nelayan modern di wilayah Cilacap, pada akhir tahun 1970-an pernah terjadi hal yang sama seperti sekarang
ini selama tiga tahun. penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Zonasi wilayah pesisir dapat dikatakan mempengaruhi akses sumberdaya
alam nelayan. Perubahan jauhnya jarak serta lamanya waktu tangkap nelayan merupakan salah satu indikasi bahwa zonasi ini mempengaruhi akses nelayan.
Selain itu dengan adanya kapal non nelayan yang semakin banyak hilir mudik menuju pelabuhan dan harus melakukan lego jangkar terlebih dahulu maka
membuat ada sebagain wilayah lautan yang tidak dapat dijamah oleh para nelayan. Selain itu hal ini juga membuat nelayan harus lebih waspada dalam
menyebar jaringnya agar tidak terkena jangkar pada kapal yang sedang menunggu
70
giliran untuk masuk dermaga. Sedangkan untuk perubahan jumlah tangkapan yang sangat signifikan tersebut, masih dibutuhkan penelitian lanjutan agar
mengetahui dengan pasti penyebab dari terjadinya hal tersebut. Mungkin hal ini hanya disebabkan oleh cuaca dan iklim atau laut yang tercemar sebagai efek tidak
langsung dari jumlah kapal non nelayan yang semakin meningkat karena adanya zonasi. Namun, hal ini juga bisa disebabkan karena perpaduan keduanya atau
alasan lain. Berdasarkan kondisi yang terjadi pada nelayan, maka dibutuhkan suatu
strategi pembangunan agar permasalahan tersebut dapat ditanggulangi. Waktu tempuh nelayan yang makin tinggi karena adanya area perairan yang tidak dapat
dimasuki merupakan salah satu penyebabnya. Hal ini juga terkait dengan hasil tangkapan yang menurun. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan mengimplementasikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 dengan baik. Pemberian
HP3 kepada nelayan seperti melakukan budidaya dan usaha perikanan lainnya di area kekuasaan pemerintahan kabupaten dapat dilakukan.
Impelmentasi kedua undang-undang tersebut bisa dikoordinasikan dengan pihak pelabuhan karena pada dasarnya pemerintah daerah dan DKP memiliki
wewenang untuk memanfaatkan wilayah pesisir sejauh empat mil dari garis pantai. Kondisi saat ini yang terjadi adalah pada daerah perairan di sekitar area
pelayaran tidak ada pemanfaatan yang dilakukan oleh pemerintah darah dan DKP walaupun mereka memiliki kewenangan tersebut. Penyebabnya adalah alur
pelayaran pelabuhan merupakan otoritas dari pemerintah pusat. Jadi hal yang saat ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dan DKP adalah mengatur keberadaan
kapal non nelayan dan perahu tangkap nelayan terutama nelayan tradisional. Nelayan tradisional diharapkan tidak melaut di daerah alur kapal agar tidak terjadi
kecelakaan.
71
BAB VIII PENGARUH AKSES SUMBERDAYA ALAM
TERHADAP KONFLIK
Perubahan akses sumberdaya alam yang dialami oleh nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap konflk yang terjadi. Hal ini disebabkan karena para nelayan
lebih banyak pasrah atas keadaan yang terjadi. Hal ini terlihat pada nelayan yang tetap melaut pada jarak dan dalam waktu yang sama. Nelayan tidak dapat berbuat
banyak untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Selain itu merekapun tidak mengetahui faktor penyebab yang mengakibatkan musim paceklik terjadi selama
tiga tahun terakhir ini. Konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh keberadaan kapal tanker
dan tongkang saat mengalami kecelakaan. Semenjak tahun 1975 yaitu saat salah satu industri mulai dibangun di Cilacap sudah ada tiga kecelakaan kapal tanker.
Dua di antaranya yaitu kapal tanker MT. King Fisher dan Lucky Lady. Berikut ini merupakan deskripasi mengenai kecelakaan tersebut.
8.1 Kecelakaan Kapal Tanker