“Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi

(1)

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA

DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI

MISKONSEPSI PADA KONSEP GERAK DUA DIMENSI

(Penelitian Deskriptif pada Siswa Kelas XI di SMAN 2 Kabupaten Tangerang)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Sri Rahayu NIM 1110016300014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv ABSTRAK

Sri Rahayu, “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat umtuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Gerak Dua Dimensi. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Kegurua, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis miskonsepsi fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan instrumen tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat, yang terdiri dari tes pilihan ganda beralasan terbuka dan tes pilihan ganda beralasan tertutup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase siswa yang mengalami miskonsespsi sebesar 44,25% dari 40 siswa yang diteliti. Indikator atau sub pokok bahasan yang mengalami miskonsepsi pada bahan kajian gerak dua dimensi (gerak parabola dan gerak melingkar) terdapat pada indikator menganalisis vektor posisi, kecepatan dan percepatan gerak parabola; dan indikator merumuskan hubungan posisi, kecepatan dan percepatan gerak parabola.

Kata Kunci: Miskonsepsi, Tes Pilihan Ganda Dua Dimensi, Konsep Gerak Dua Dimensi


(6)

v ABSTRACT

Sri Rahayu, “Development Two-Tiers Multiple-Choice Diagnostic Test for Identifying Student’s Misconception about Two-Dimensional Motion Concept. Undergraduate Thesis, Physics Education Programm, Science Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training of Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.

This study aims to identifying physics student misconceptions about two-dimensional motion concept with two-tiers multiple-choice diagnostic test. The method used is the method of the study’s descriptive with two-tiers multiple-choice diagnostic test which consists of multiple multiple-choice with open reasoning instrument and multiple choice close reasoning instrument. Based on the result analysis shows that the percentage of student who had misconceptions 44,25% of the number of participants 40 students. The indicator or sub subject who had misconceptions about two-dimensional motion concept is analysis of the position vector, velocity and acceleration parabolic motion: and indicator formulate relationships of position, velocity and acceleration parabolic motion.

Keywords: Misconceptions, Tiers Multiple-Choice Diagnostic Test, Two-Dimensional Motion Concept


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alakum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat, iman dan Islam kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad saw yang telah membawa umatnya ke jalan yang terang.

Penulis sangat menyadari bahwa selesainya penyusunan skripsi yang berjudul “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Konsep Gerak Dua Dimensi” ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis khususnya Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Anim dan Ibu Rakbiyah yang tak henti-hentinya mendoakan dan memberikan dukungannya baik moril maupun materil kepada penulis. Kedua kakakku, Rakhman dan Khaeriah yang telah memberikan doa dan dukungannya lahir dan batin selama penulis menempuh pendidikan. Seluruh keluarga besar yang memberikan penulis kekuatan untuk tetap semangat menyelesaikan pendidikan.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Iwan Permana Suwarna, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Ai Nurlaela, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

vii

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan IPA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menempuh perkuliahan, semoga ilmu yang Bapak/Ibu berikan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

7. Kepala SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang yang sudah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Seluruh dewan guru SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya ibu Fatiah selaku guru mata pelajaran fisika yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis selama penelitian.

9. Siswa dan siswi SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang khususnya kelas XI MIA.5. 10.Teman-teman fisika angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga kita tetap menjadi keluarga sampai kapan pun, semangat untuk kita semua.

11.Para sahabat tercinta, Anaa Shalihah, Eka Safitri, Yani Astuti, Siti Qurrotu Uyun, Yessi Fauzia Rahmi, dan Redha Rara Amelia yang selalu memberikan dukungan dan selalu ada untuk penulis disaat paling terpuruk sekalipun.

12.Teman-teman satu kamar, Caca, Nia, Okta, dan Tia yang sudah memberikan dukungan dan doa serta selalu setia mendengarkan curahan hati penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam mengerjakannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, Februari 2015

Penulis Sri Rahayu


(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ………...i

LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH ………...ii

LEMBAR PENGESAHAN KARYA SENDIRI ………iii

ABSTRAK …...………...iv

ABSTRACT ……….v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ………..……….………… ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR ... 7

A.Deskripsi Teoritis ... 7

1. Konsep Fisika ... 7

a. Definisi Konsep ... 7

b. Perolehan Konsep ... 9

c. Pencapaian Konsep ... 10


(10)

ix

a. Definisi Miskonsepsi ... 12

b. Penyebab Miskonsepsi ... 14

c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi ... 16

d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual ... 18

3. Tes Diagnostik ... 20

a. Definisi Tes Diagnostik ... 20

b. Penaksiran Diagnosis ... 21

c. Fungsi Tes Diagnostik ... 24

d. Karakateristik Tes Diagnostik ... 24

e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik ... 24

f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik ... 27

g. Menindaklanjuti Hasil Tes Diagnostik ... 28

4. Tes Diagnostik Plihan Ganda Dua Tingkat ... 29

5. Gerak Dua Dimensi ... 30

a. Kompetensi Dasar ... 30

b. Karakteristik Konsep ... 30

c. Peta Konsep ... 31

d. Uraian Materi ... 31

6. Penelitian Relevan ... 35

B. Kerangka Pikir ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Desain Penelitian ... 40

D. Variabel Penelitian ... 40

E. Prosedur Penelitian ... 41


(11)

x

G. Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil penelitian ... 47

1. Hasil Tes Tertulis ... 47

2. Hasil Wawancara ... 55

B. Pembahasan ... 59

1. Analisis Data Hasil Tes Tertulis ... 59

2. Analisis Dimensi Konsep ..……….. 65

3. Jenis Miskonsepsi Ditinjau dari Dimensi Konsep ………....69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Persamaan-Persamaan Umum Gerak Kinematika untuk Percepatan

Konstan Dalam Dua Dimensi ……… 32

Tabel 2.2 Persamaan-Persamaan Gerak Kinematika Untuk Gerak Parabola (y positif arah ke atas; ax = 0, ay = -g = -9,8 m/s2) ……… 33

Tabel 3.1 Pedoman Penafsiran Validitas dan Reliabilitas ……… 44

Tabel 3.2 Indeks Kesukaran Butir Soal ……… 44

Tabel 3.3 Indeks Daya Pembeda ………... 45

Tabel 4.1 data jumlah jawaban benar yang diperoleh siswa ……… 47

Tabel 4.2 data skor jawaban siswa berdasarkan kriteria penskoran ………. 49

Tabel 4.3 keterkaitan kriteria paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep dengan kriteria jawaban siswa ………... 51

Tabel 4.4 persentase paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep berdasarkan nomor soal ………. 52

Tabel 4.5 perhitungan persentase miskonsepsi berdasarkan indikator atau sub pokok bahasan ……….. 54

Tabel 4.6 Analisis Dimensi Konsep Atribut ………...………...65

Tabel 4.7 Analisis Dimensi Konsep Struktur …………...……….66

Tabel 4.8 Analisis Dimensi Konsep Keabstrakan ………...………..67

Tabel 4.9 Analisis Dimensi Konsep Keinklusifan ……….67

Tabel 4.10 Analisis Dimensi Konsep Generalitas ………...………..68

Tabel 4.11 Analisis Dimensi Konsep Ketepatan …………...………...68

Tabel 4.12 Analisis Dimensi Konsep Kekuatan ………...……….69


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep ………31

Gambar 2.2 Lintasan Gerak Parabola ………32

Gambar 2.3 Gerak Melingkar Beraturan ………...34

Gambar 2.4 Gerak Melingkar Berubah Beraturan ………35

Gambar 2.5 Bagan Kerangka Pikir ………....39

Gambar 4.1 diagram persentase pemahaman siswa secara keseluruhan ………...51

Gambar 4.2 grafik perbandingan persentase paham konsep, miskonsepsi dan tidak paham konsep ………..53


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ………..75

Lampiran 2: Kisi Penulisan Instrumen Tes ………..96

Lampiran 3: Kisi Instrumen Tes ………...97

Lampiran 4: Instrumen Validitas ………115

Lampiran 5: Instrumen Tes Pilihan Ganda Beralasan Terbuka ………..121

Lampiran 6: Instrumen Tes Beralasan Tertutup ……….126

Lampiran 7: Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………..133

Lampiran 8: Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes ………...139

Lampiran 9: Pemetaan Jawaban Siswa Berdasarkan Kriteria Jawaban ……...140

Lampiran 10: Perhitungan Persentase Pemahaman Konsep Secara Keseluruhan ………...142


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu. Konsep merupakan inti pemikiran seseorang. Konsep meningkatkan pemikiran seseorang dalam beberapa cara, salah satunya konsep mengurangi kompleksitas dunia. Konsep juga dapat mengklasifikasikan objek dan peristiwa yang sama sehingga menjadi lebih sederhana, dan lebih mudah dipahami. Konsep membantu dalam menarik sebuah kesimpulan pada situasi-situasi baru. Selain itu, konsep kadang-kadang memadatkan berbagai macam informasi menjadi informasi tunggal.1

Siswa mempelajari konsep baru setiap harinya di sekolah. Siswa mendapatkan beberapa konsep tertentu dengan cepat dan mudah. Konsep-konsep lainnya mereka dapatkan secara perlahan-lahan dan terus dimodifikasi seiring waktu. Sementara itu, mereka sudah memiliki sedikit pemahaman mengenai konsep-konsep tersebut meskipun belum sepenuhnya. Di kelas, siswa mengkonstruksi makna dan tafsiran mereka di setiap konsep atau materi pelajaran yang sedang mereka pelajari. Siswa menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan gagasan-gagasan baru yang mereka dapatkan kemudian menarik kesimpulan. Ketika siswa mengkonstruksi pemahamannya tersebut, tentu tidak ada jaminan bahwa mereka akan mengkonstruksi pemahaman dengan benar.

Kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya dari siswa yang bersangkutan.2 Jika siswa secara terus-menerus memiliki konsep-konsep yang tidak tepat, maka akan menimbulkan masalah belajar di masa yang akan datang. Masalah yang timbul misalnya terjadinya miskonsepsi pada diri siswa.

1

Jeanne E. Ormrod, Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

2 Tri Wahyuni, Trustho dan Dyah, Pembuatan Instrumen Tes Diagnostik Fisika SMA


(16)

2

Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu.3 Miskonsepsi adalah kepercayaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang sebenarnya dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data hasil penelitian ilmiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.4 Penyebab miskonsepsi pada siswa dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti kesalahan dari siswa sendiri, kesalahan dari guru ketika menjelaskan pelajaran, kesalahan dari buku teks yang digunakan, kesalahan konteks, dan kesalahan dari metode mengajar yang digunakan oleh guru saat pembelajaran.

Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi siswa, kemampuan tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lainnya. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu segi sering memunculkan salah pengertian pada siswa.5

Cara mengatasi miskonsepsi yang terjadi di kalangan siswa, selain mengetahui penyebab dari miskonsepsi itu sendiri, perlu juga dilakukan diagnosa miskonsepsi-miskonsepsi yang dialami siswa. Diagnosis adalah proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian dengan kategori secara baik.6 Dalam dunia pendidikan diagnosis memiliki arti

3Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.

4Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.

5Suparno,

op. cit., h. 29.

6 Suwarto,

Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2013), h. 90.


(17)

3

yang luas, meliputi identifikasi mengenai kekuatan dan kelemahan siswa pada suatu konsep. Dalam mendiagnosis miskonsepsi diperlukan suatu alat ukur atau alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang ada dikalangan siswa.

Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam suatu mata pelajaran tertentu.7 Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa, termasuk kesalahan pemahaman konsep.8 Dengan diketahuinya letak kesalahan pemahaman konsep pada siswa, guru dengan segera dapat mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui tes diagnostik ini dapat diketahui tentang konsep-konsep yang telah dipahami dan yang belum dipahami oleh siswa.

Terdapat beberapa alat diagnostik yang dapat digunakan, yaitu: wawancara, pertanyaan terbuka, peta konsep, dan instrumen pilihan ganda dua tingkat.9 Dari ketiga alat diagnostik tersebut, tes pilihan ganda dua tingkat memiliki keunggulan karena dalam tes ini selain siswa mengerjakan butir tes yang mengungkapkan konsep tertentu siswa juga harus mengungkapkan alasan kenapa memilih jawaban tersebut.10 Dengan mengungkapkan alasan mereka dalam menjawab setiap pertanyaan, maka akan diketahui letak miskonsepsi yang terjadi. Selain itu, tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat mudah dilaksanakan dan mudah pula bagi guru dalam memberikan penilaian. Cengiz Tusyuz dalam jurnalnya yang berjudul, “Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry” pada tahun 2009 mengembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat melalui tiga tahapan. Pertama, dilakukan wawancara terhadap 21 siswa untuk mengembangkan tes pilihan ganda. Kedua, 24 siswa diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat untuk setiap

7Anas Sudjiono,

Pengantar Evaluasi Pendiidkan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 70.

8 Suwarto,

op. cit., h. 94.

9Ayla C. Dindar dan Omer, Development of a Three-Tier to Assess High School

Students’ Understanding of Acids and Bases, Procedia Social and Behavioral Sciences 15, 2011, pp. 600.

10Suwarto, “Pengembangan The Two-Tier Diagnostic Tests Pada Bidang Biologi”,


(18)

4

pertanyaan dan kemudian mereka memberi penjelasan atas pilihan mereka untuk mengembangkan tes two-tier. Pada fase ketiga dari penelitiannya, uji two-tier yang terdiri dari 15 pertanyaan dikembangkan dan diterapkan kepada 141 siswa untuk mengumpulkan data.11

Miskonsepsi dapat terjadi pada semua bidang sains, seperti: fisika, biologi, kimia, dan astronomi. Dalam bidang fisika, miskonsepsi dapat terjadi di semua subbidang fisika, seperti, mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern.12 Dari sekian banyaknya penelitian miskonsepsi di bidang fisika, miskonsepsi banyak terjadi pada subbidang mekanika, salah satunya adalah pada konsep kinematika gerak dua dimensi. Konsep gerak dua dimensi ini terdiri dari gerak parabola dan gerak melingkar. Menurut beberapa penelitian, miskonsepsi banyak terjadi pada gerak parabola. Siswa masih sulit memahami mengapa kecepatan pada puncak suatu proyektil adalah nol, meskipun percepatannya tidak nol. Mereka berpikir, jika kecepatan nol maka, percepatannya juga harus nol.13

Selain terjadi pada gerak parabola, miskonsepsi juga terjadi pada gerak melingkar. Seperti yang ditulis oleh Rosita, dkk. dalam artikel yang berjudul “Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode Demonstrasi Berbantuan Guided Note Taking di SMA”, bahwa siswa mengalami miskonsepsi salah satunya pada pengertian kecepatan, siswa menganggap GMB suatu benda memiliki kecepatan tetap karena sepanjang perjalanan benda tidak berhenti dan GMB memiliki kecepatan linier yang arahnya menuju pusat lingkaran.14 Padahal pada kenyataannya tidak lah demikian, GMB merupakan gerak sebuah benda yang membentuk suatu lingkaran dengan laju konstan (v) dengan arah kecepatan terus berubah. Karena percepatan didefinisikan sebagai

11

Cengiz Tüysüz, Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’ understanding in chemistry, Scientific Research and Essay Vol. 4 (6) pp. 626.

12Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 7.

13

Ibid., h. 13.

14 Rosita, dkk., Remediasi Miskonsepsi Siswa Tentang GMB Menggunakan Metode

Demonstrasi Berbantuan Guided Note Taking di SMA, Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Untan, h. 2.


(19)

5

besar perubahan kecepatan, maka perubahan arah dan besar kecepatan menyebabkan terjadinya percepatan.15

Oleh karena itu, perlu dikembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua dimensi yang terdiri dari gerak parabola dan gerak melingkar. Berdasarkan permasalahan yang sudah dijelasakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti miskonsepsi siswa pada konsep gerak dua dimensi dan penulis mengambil judul dalam penellitian ini mengenai “Pengembangan Tes Diagnostik Pilihan Ganda Dua Tingkat untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Pada Konsep Gerak Dua Dimensi”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:

1. Siswa akan lebih memahami apa yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung, namun pada prakteknya pembelajaran hanya sekedar hafalan sehingga besar kemungkinan terjadi miskonsepsi

2. Banyak siswa yang kesulitan dalam memahami konsep-konsep fisika, yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi pada siswa.

3. Diperlukan alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi-miskonsepsi di kalangan siswa untuk dapat memberikan tindak lanjut dengan tindakan yang tepat

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang dikaji tidak terlalu luas, maka masalahnya dibatasi sebagai berikut: hasil belajar fisika yang diukur hanya mencakup aspek kognitif berdasarkan pada Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan Kratwohl (2006) pada tingkatan C1, C2, C3, dan C4.16

15 Giancoli,

Fisika Edisi kelima Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 132-133.

16 Anderson dan Krathwohl,

Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), h. 100.


(20)

6

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa saja jenis miskonsepsi fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi yang teridentifikasi dengan menggunakan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat?”. Secara operasional, rumusan masalah di atas dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Pada sub konsep dan tingkat kognitif apa saja dalam konsep gerak dua dimensi siswa mengalami miskonsepsi?

2. Jenis miskonsepsi apa saja yang terdeteksi dengan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat ditinjau dari dimensi konsep?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis miskonsepsi fisika siswa pada konsep gerak dua dimensi dengan menggunakan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi siswa, dengan teridentifikasinya miskonsepsi diharapkan siswa dapat memperbaiki miskonsepsi yang terjadi pada dirinya sehingga hasil belajarnya meningkat.

2. Bagi guru, sebagai alat ukur alternatif yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa sehingga dapat menentukan tindak lanjut yang dianggap tepat untuk mengatasi miskonsepsi yang terjadi.


(21)

7 BAB II

DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR

A. Deskripsi Teoritis 1. Konsep Fisika a. Definisi Konsep

Konsep adalah cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu.17 Menurut Rosser (1984), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama karena orang mengalami stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokkan stimulus dengan cara tertentu.18 Karena konsep itu adalah abstraksi-absraksi yang berdasarkan pengalaman maka, setiap orang akan membentuk konsep yang berbeda-beda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulus.

Para ahli psikologi memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang sesungguhnya dipelajari orang ketika mendapatkan suatu konsep baru. Mereka mengemukakan bahwa suatu konsep mungkin saja dipelajari sebagai serangkaian fitur, suatu prototipe, serangkaian eksemplar, atau kombinasi ketiganya.19

1) Konsep sebagai serangkaian fitur yang dimiliki bersama

Ketika mempelajari suatu konsep terkadang melibatkan pembelajaran berbagai atribut spesifik, atau fitur-fitur yang mencirikan anggota suatu kategori konsep. Hal ini mencakup baik fitur-fitur pendefinisi, yaitu karaketristik yang ada di semua anggota kategori itu. Dan fitur-fitur yang hanya sekedar berkolerasi dengan konsep tersebut, yaitu karakteristik yang terlihat di banyak contoh konsep itu tapi tidak penting bagi atribut konsep. Ketika anak-anak

17 Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 327.

18 Ratna Wilis Dahar,

Teori-teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 63.

19 Jeanne,


(22)

8

mempelajari sebuah konsep untuk pertama kalinya, terkadang mereka terkecoh dengan fitur-fitur yang sebenarnya hanya berkolerasi pada konsep dan bukan fitur pendefinisi suatu konsep, terutama apabila fitur-fitur yang lain itu lebih terlihat nyata dibandingkan fitur-fitur yang sebenarnya.

2) Sebagai prototipe

Begitu para siswa telah membentuk prototipe suatu konsep, mereka bisa membandingkan objek dan peristiwa yang baru dengan prototipe tersebut dalam rangka menentukan keanggotaan konsep. Peristiwa atau objek yang mirip dengan prototipe lebih mudah diidentifikasi sebagai contoh konsep tersebut. Sementara peristiwa atau objek yang sangat berbeada dari prototipe tersebut cenderung diidentifikasi sebagai bukan contoh.

3) Konsep sebagai rangkaian eksemplar

Pada beberapa kasus, mengetahui suatu konsep umumnya mungkin tergantung pada mengetahui berbagai contoh atau eksemplar dari konsep tersebut. Eksemplar memberikan siswa pemahaman mengenai variabilitas yang mudah mereka lihat pada setiap kategori objek atau peristiwa. Siswa biasanya mempelajari konsep dengan lebih efektif apabila diberi berbagai macam contoh dibandingkan hanya satu atau dua contoh saja.

Flavell (1970) menyarankan bahwa konsep-konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi, yaitu:20

1) Atribut: Setiap konsep memiliki atribut yang berbeda. Contoh, konsep harus mempunyai atribut yang relavan termasuk juga atribut yang tidak relevan. Atribut dapat berupa fisik, seperti warna, tinggi, bentuk, atau dapat juga berupa fungsinya.

2) Struktur: Struktur menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut itu. Terdapat tiga macam struktur yang dikenal, yaitu:

a) Konsep konjungtif, yaitu konsep yang di dalamnya terdapat dua atau lebih sifat sehinggga dapat memenuhi syarat sebagai contoh konsep.

b) Konsep disjungtif adalah konsep yang di dalamnya satu dari dua atau lebih sifat harus ada.

20 Willis,


(23)

9

c) Konsep relasional menyatakan hubungan tertentu antara atribut konsep. 3) Keabstrakan: Konsep-konsep dapat dilihat dan konkrit atau konsep itu terdiri

atas konsep-konsep lain.

4) Keinklusifan: Ini ditunjukkan pada jumlah contoh yang terlibat dalam konsep itu.

5) Generalitas atau keumuman: Bila diklasifikasikan, konsep dapat berbeda dalam posisi superordinat atau subordinatnya. Makin umum suatu konsep, makin banyak asosiasi yang dapat dibuat dengan konsep lainnya.

6) Ketepatan: Ketepatan suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan untuk membedakan contoh dan noncontoh suatu konsep. Klausmeier (1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep, mulai dari tingkat tingkat konkret ke tingkat formal. Konsep pada tingkat formal merupakan konsep yang paling tepat sebab pada tingkat ini atribut-atribut yang dibutuhkan konsep dapat didefinisikan.

7) Kekuatan: Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju bahwa konsep itu penting.

b. Perolehan Konsep

Menurut Ausubel (1968), konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu pembentukan konsep dan asimilasi konsep.21 Anak-anak memperoeh Pembentukan konsep sebelum mereka masuk sekolah. Pembentukan konsep ini dapat disamakan dengan belajar konsep konkret menurut Gagne (1977). Sedangkan untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah dapat ditempuh melalui asimilasi konsep.22

1) Pembentukan konsep

Anak-anak sudah mendapatkan banyak konsep dan konsep tersebut terus mengalami perubahan atau modifikasi seiring bertambahnya pengalaman mereka. Konsep-konsep yang diperoleh tersebut didapatkan melalui pembentukan konsep. Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Pembentukan konsep mengikuti

21

Ibid., h. 64.

22


(24)

10

pola contoh/aturan. Anak-anak yang belajar konsep tertentu dihadapkan pada sejumlah contoh dan noncontoh konsep tersebut. Melalui proses diskriminasi dan abstraksi, mereka menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu.

2) Asimilasi Konsep

Anak-anak dihadapkan dengan lebih banyak konsep yang harus dipelajari setelah mereka masuk sekolah melalui asimilasi konsep. Berlawanan dengan pembentukan konsep yang bersifat induktif, asimilasi konsep bersifat deduktif. Menurut Ausubel (1968), dalam proses ini anak-anak diberi nama konsep dan atribut konsep itu. Ini berarti mereka akan belajar arti konseptual baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria konsep, kemudian mereka akan menghubungkan atribut-atribut ini dengan gagasan-gagasan relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka.

Dalam memperoleh konsep melalui asimilasi, orang yang belajar harus sudah memperoleh definisi formal mengenai konsep tersebut. Menurut Rosser (1984), suatu definisi formal suatu kata menunjukkan kesamaan dengan konsep tertentu dan membedakan kata itu dari konsep-konsep lain. Sesudah definisi itu disajikan, konsep itu dapat diilustrasikan dengan memberikan contoh atau deskripsi verbal contoh.23

Walaupun kedua bentuk belajar konsep ini efektif, pembentukan konsep lebih lama daripada asimilasi konsep. Dengan mempertimbangkan bahwa begitu banyak konsep yang harus dipelajari siswa selama sekolah, penggunaan berlebihan metode penemuan hendaknya dibatasi.

c. Pencapaian Konsep

Konsep berkembang melalui satu seri tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu mulai dengan hanya mampu menunjukkan suatu contoh suatu konsep hingga dapat sepenuhnya menjelaskan atribut-atribut konsep. Klausmeier (1977) mengemukakan empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan yang intervarian. Empat tingkat pencapaian konsep menurut

23


(25)

11

Klausmeier adalah tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikasi, dan tingkat formal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:24

1) Tingkat konkret

Seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret apabila orang tersebut mengenal suatu benda yang telah dihadapinya. Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperlihatkan benda itu dan dapat membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Selanjutnya, ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental dan menyimpan gambaran mental itu.

2) Tingkat identitas

Pada tingkat identitas, seseorang akan mengenal suatu objek: 1) sesudah selang waktu tertentu; 2) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu; atau 3) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Selain ketiga operasi yang dibutuhkan untuk pencapaian tingkat konkret, yaitu: memperhatikan, mendiskriminasi, dan mengingat, siswa harus dapat mengadakan generalisasi untuk mengenal bahwa dua atau lebih bentuk yang identik dari benda yang sama adalah anggota dari kelas yang sama. Ada ahli psikologi yang menggunakan istilah-istilah yang berbeda untuk menunjukkan dua tingkat pencapaian konsep ini. Gagne (976) menggunakan istilah diskriminasi untuk tingkat konkret dan generalisasi dari diskriminasi untuk tingkat identitas.

3) Tingkat klasifikasi

Pada tingkat klasifikasi, siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat menentukan kriteria atribut ataupun menentukan kata yang dapat mewakili konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh dan noncontoh konsep, sekalipun contoh dan noncontoh itu mempunyai banyak atribut yang mirip. Operasi mental tambahan yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat klasifikasi ialah mengadakan generalisasi bahwa dua atau lebih contoh sampai batas-batas tertentu itu ekuivalen. Dalam operasi mental ini siswa berusaha

24


(26)

12

untuk mengabstraksi kualitas-kualitas yang sama yang dimiliki oleh subjek-subjek itu.

4) Tingkat formal

Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Kita dapat menyimpulkan bahwa siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat formal bila siswa itu dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendiskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh dan noncontoh konsep.

2. Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika a. Definisi Miskonsepsi

Sejak kecil sebelum masuk pendidikan formal siswa sudah mulai membangun pemahamannya sendiri mengenai suatu peristiwa tertentu. Namun, ketika siswa membangun pemahamannya itu belum tentu mereka membangun pemahamannya secara benar dan akurat. Siswa kadang hanya mempercayai dengan apa yang mereka lihat. Ketika siswa menerima pengetahuan mengenai suatu peristiwa tertentu dan ternyata tidak sesuai dengan pemahaman awalnya, siswa berusaha untuk membangun kembali pemahamannya yang baru, dengan menghubungkan pemahaman awal yang sudah dimilikinya dengan pengetahuan yang baru dia dapatkan. Namun, terkadang siswa salah dalam menarik kesimpulan, sehingga memunculkan kesalahan pemahaman yang akhirnya menimbulkan miskonsepsi.

Miskonsepsi merupakan kesalahan pemahaman suatu peristiwa atau konsep tertentu yang dialami seseorang akibat dari konsep yang sudah dibangunnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah para ahli dalam bidang itu. Miskonsepsi dapat berupa konsep awal yang salah dan kesalahan dalam


(27)

13

menghubungkan konsep-konsep. Menurut Feldsine miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.25

Miskonsepsi adalah kepercyaan yang tidak sesuai dengan penjelasan yang diterima umum dan terbukti sahih tentang suatu fenomena atau peristiwa. Dalam pelajaran sains, misalnya, miskonsepsi siswa mungkin bertentangan dengan data hasil penelitian ilimiah yang terkumpul selama puluhan bahkan ratusan tahun.26 Menurut Vosniadou, miskonsepsi itu muncul dari niat baik siswa itu sendiri untuk memahami apa yang mereka lihat.27

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan siswa-siswa tingkat sekolah menengah untuk menemukan miskonsepsi dalam topik-topik: “light, electric and simple circuits, heat and temperature, force and motion, the gaseous state, the particulate nature of matter in the gaseous phase, beyond appearances: the conservation of matter under physical and chemical transformations”, Driver (1985) mengemukakan hal-hal berikut:28

1) Miskonsepsi bersifat pribadi

Bila dalam suatu kelas anak-anak disuruh menulis tentang percobaan yang sama, mereka memberikan berbagai interpretasi. Setiap anak “melihat” dan menginterpretasikan eksperimen itu menurut caranya sendiri. Setiap anak menngkonstruksi kebermaknaannya sendiri.

2) Miskonsepsi memiliki sifat yang stabil

Kerap kali terlihat bahwa gagasan anak yang berbeda dengan gagasan ilmiah ini tetap dipertahankan anak, walaupun guru sudah berusaha memberikan suatu kenyataan yang berlawanan.

3) Menyangkut koherensi

Bila menyangkut koherensi anak tidak merasa butuh pandangan yang koheren sebab interpretasi dan prediksi tentang peristiwa-peristiwa alam praktis

25Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 4.

26 Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 338.

27

Ibid., h. 339.

28 Ratna Wilis Dahar,

Teori-teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 154.


(28)

14

kelihatannya cukup memuaskan. Kebutuhan akan koherensi dan kriteria untuk koherensi menurut persepsi anak tidak sama dengan yang dipersepsi ilmuan.

b. Penyebab Miskonsepsi

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya miskonsepsi pada siswa. Faktor tersebut dapat berupa dari dalam diri siswa maupun dari luar. Penyebab miskonsepsi secara garis besar dapat disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut:29

1) Siswa

Kesalahan pada siswa dapat berupa kesalahan pemahaman awal (prakonsepsi) siswa mengenai suatu fenomena/peristiwa tertentu, kemampuan siswa dalam memahami suatu peristiwa, tahap perkembangan, minat siswa dalam suatu hal yang akhirnya dapat mempengaruhi cara berpikir siswa, kesalahan siswa dalam menarik kesimpulan yang terkadang hanya berdasarkan pada apa yang mereka lihat, dan teman yang dapat mempengaruhi siswa dalam memahami berbagai hal.

2) Guru

Kesalahan dari guru biasanya disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam menjelaskan suatu konsep kepada siswa, sehingga siswa sulit untuk memahami apa yang disampaikan oleh guru. Pemahaman konsep guru yang kurang, cara mengajar yang kurang tepat atau sikap guru yang kurang baik dalam berhubungan dengan siswa. Padahal jika guru bersikap ramah dan terbuka terhadap siswa, siswa tidak akan segan untuk bertanya mengenai materi yang belum mereka pahami.

3) Buku teks

Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya diakibatkan karena kesalahan dalam memberikan penjelasan, kurangnya gambar yang dimuat di buku teks yang dapat menyebabkan siswa harus menggambarkan sendiri dalam

29 Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 29.


(29)

15

pikirannya tentang suatu fenomena tertentu dan terkadang gambaran yang dibuat tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

4) Konteks

Kesalahan konteks dalam hal ini dapat berupa masyarakat sekitar, budaya, agama, dan bahasa sehari-hari yang digunakan siswa. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang umum dalam bahasa terkadang salah menginterprestasikan makna sebenarnya dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

5) Metode mengajar

Beberapa guru kurang variatif dalam mengajar. Metode yang digunakan pun monoton dan tidak melibatkan siswa dalam pembelajaran, yang akhirnya pembelajaran hanya berpusat pada guru, siswa hanya mendengarkan apa yang guru sampaikan. Sehingga membuat siswa jenuh dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran yang akhirnya siswa tidak memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Metode mengajar yang digunakan guru yang hanya menekankan kebenaran dari satu sisi sering memunculkan kesalahan pemahaman pada siswa.

Driver (1985) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan terbentuknya miskonsepsi dalam pembelajaran, terutama untuk tingkat primer, yaitu:30

1) Terbentuknya miskonsepsi disebabkan karena anak cenderung mendasarkan berpikirnya pada hal-hal yang tampak dalam suatu situasi masalah.

2) Dalam banyak kasus, anak itu hanya memperhatikan aspek-aspek tertentu dalam suatu situasi. Hal ini disebabkan karena anak lebih cenderung menginterpretasikan suatu fenomena dari segi sifat absolut benda-benda, bukan dari segi interaksi antara unsur-unsur suatu sistem.

3) Anak lebih cenderung memperhatikan perubahan draipada situasi diam.

4) Bila anak-anak menerangkan perubahan, cara berpikir mereka cenderung mengikuti urutan kausal linier.

5) Gagasan yang dimiliki anak mempunyai berbagai konotasi; gagasan anak lebih inklusif dan global.

30 Willis,


(30)

16

6) Anak kerap kali menggunakan gagasan-gagasan yang berbeda untuk menginterpretasikan situasi-situasi yang oleh para ilmuwan digunakan cara yang sama.

c. Teknik Mendeteksi Miskonsepsi

Terdapat beberapa teknik dalam mendeteksi miskonsepsi, yaitu: peta konsep, tes uraian tertulis, wawancara klinis, dan diskusi dalam kelas yang dapat dijelaskan sebagai berikut:31

1) Peta Konsep

Novak, J. D. & Growin, D. B. (1984) mennyatakan bahwa peta konsep sebagai suatu alat skematis untuk mempresentasikan suatu rangkaian konsep yang digambarkan dalam suatu rangkaian proposisi. Peta itu mengungkapkan hubungan-hubungan yang berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok. Peta konsep disusun secara hirarkis, konsep esensial akan berada pada bagian atas peta. Miskonsepsi dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan antara dua konsep apakah benar atau tidak.

2) Tes Uraian Tertulis

Tes uraian adalah tes yang terdiri dari butir-butir tes dimana masing-masing butir tes berupa suatu pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Guru dapat mempersiapkan tes uraian yang memuat beberapa konsep yang mau diajarkan atau sudah diajarkan. Dari tes tersebut dapat diketahui salah pengertian yang dibawa siswa dan salah pengertian dalam bidang apa.

3) Wawancara Klinis

Wawancara klinis dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa konsep yang dperkirakan sulit dimengerti sisw, atau beberapa konsep yang esensial dari bahan yang mau diajarkan. Kemudian, siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Dari sini dapat dimengerti latar belakang munculnya

31 Suwarto,

Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2013), h. 78-82.


(31)

17

miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut.

4) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang mau diajarkan. Dari diskusi tersebut, guru atau peneliti dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang dipunyai siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar dan juga sebagai penjajakan awal. Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila tidak diperhatikan dengan seksama oleh guru.

Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Miskonsepsi & Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika”, menyebutkan bahwa cara mendeteksi miskonsepsi selain yang sudah disebutkan di atas terdapat cara lainnya, yaitu melalui tes multiple choice dengan reasioning terbuka dan melalui praktikum dengan tanya jawab.

1) Tes Multiple Choice dengan Reasioning terbuka32

Tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka ini siswa harus menjawab dan menulis alasan mengapa memilih jawaban tersebut. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda tersebut selanjutnya dijadikan bahan tes pada tahap berikutnya. Treagust dalam penelitiannya menggunakan pilihan ganda dengan alasan. Dalam bagian alasan, siswa harus menulis mengapa memilih jawaban itu. Beberapa peneliti lainnya menggunakan pilihan ganda dengan wawancara. Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka mewawancarai siswa. tujuan dari wawancara adalah untuk meneliti bagaimana siswa berpikir, dan mengapa mereka berpikir seperti itu.

2) Praktikum dengan tanya jawab33

Praktikum yang disertai tanya jawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak. Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan

32 Paul Suparno,

Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta: Grasindo, 2005), h. 123.

33


(32)

18

bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut. Praktikum ini dapat diurutkan sebagai berikut:

a) Guru mengungkapkan persoalan yang ingin dilakukan dalam praktikum b) Siswa diminta untuk membuat hipotesis atau dugaan lebih dulu dan

alasannnya

c) Siswa melakukan praktikum. Selama itu guru dapat mengajukan pertanyaan sehingga semakin mengerti konsep siswa.

d) Siswa menyimpulkan hasilnya. Guru dapat menanyakan apakah hasilnya sesuai dengan hipotesis yang dipikirkan sebelumnya.

e) Dari seluruh proses di atas, guru dapat mengerti apakah siswa mempunyai miskonsepsi atau tidak, dan bagaimana miskonsepsi itu dapat diperbaiki.

Dalam penelitian ini teknik yang digunakan dalam mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada konsep gerak dua dimensi adalah dengan menggunakan instrumen tes pilihan ganda dua tingkat. Tes ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada tahap awal dan tes pilihan ganda beralasan tertutup pada tahap kedua. Dalam tes ini selain siswa mengerjakan butir tes yang mengungkapkan konsep gerak dua dimensi siswa juga harus mengungkapkan alasan kenapa memilih jawaban tersebut.

d. Cara Mendorong Konstruksi Pengetahuan Dan Perubahan Konseptual Guru berkewajiban untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pemahaman yang akurat tentang konsep yang dipelajari, dan mendorong mereka untuk melepaskan setiap kepercayaan yang keliru yang telah mereka konstruk sebelumnya, sehingga tidak terjadi miskonsepsi pada diri siswa. Berikut adalah beberapa cara mendorong konstruksi pengetahuan dan perubahan konseptual,34 1) Mendorong konstruksi pengetahuan yang efektif

Para ahli psikologi percaya bahwa ada banyak cara membantu siswa mengkonstruksi basis pengetahuan yang kaya dan lebih canggih. Ada

34 Jeanne E. Ormrod,

Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 341.


(33)

19

beberapa pendekatan yang telah diidentifikasi oleh para ahli psikologi kontemporer dan pendidik, yaitu sebagai berikut:

a) Memberikan kesempatan untuk melakukan eksperimen

Melalui interaksi dan ujicoba dengan objek-objek di sekitar mereka, siswa dapat menemukan dari dekat beberapa karakteristik dan prinsip dunia. b) Menyajikan perspektif ahli

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengetahuan dikonstruksi tidak hanya oleh orang-orang secara mandiri tapi juga oleh orang-orang yang bekerja bersama. Meskipun terkadang bermanfaat meminta siswa menemukan prinsip-prinsip dasar bagi diri mereka sendiri, kita juga perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendengar dan membaca gagasan para ahli. Pembelajaran akan lebih bermanfaat jika siswa mengalami sendiri secara langsung dan dari mempelajari bagaimana orang-orang sebelum mereka menafsirkan pengalaman manusia.

c) Menekankan pemahaman konseptual

Semakin sering siswa membentuk kesalingketerkaitan dalam sebuah materi yang mereka pelajari, semakin mudah mereka mengingat dan menerapkannya dikemudain hari. Ketika siswa membentuk banyak hubungan logis diantara berbagai konsep dan prinsip spesifik yang terkait dengan sebuah topik, mereka mendapatkan pemahaman konseptual.

d) Mendorong dialog di kelas

Umumnya, siswa mampu mengingat berbagai gagasan dan pengalaman baru secara lebih efektif dan akurat ketika mereka membahas masalah ini secara bersama-sama. Karenanya, banyak ahli kontemporer merekomendasikan agar diskusi kelas menjadi bagian yang rutin dari kegiatan belajar-mengajar.

e) Menugaskan aktivitas-aktivitas yang otentik

Beberapa ahli kognitif kontemporer megemukakan bahwa siswa dapat mengkonstruksi basis pengetahuan yang lebih terintegrasi dan berguna apabila mereka mempelajari suatu topik dalam konteks aktivitas-aktivitas


(34)

20

otentik, yaitu aktivitas-aktivitas yang mirip dengan apa yang sering mereka jumpai di dunia luar sekolah.

f) Merancah (Scaffold) konstruksi teori

Sudah kita ketahui bahwa siswa mulai membentuk teori mengenai beragam aspek jauh sebelum mereka mulai sekolah. Oleh karena itu teori yang sudah dibangun siswa tersebut perlu untuk dikembangkan dan direvisi agar sesuai dengan teori yang dikembangkan para ahli. Para ahli psikologi dan pendidik telah menawarkan beberapa saran untuk membantu siswa mengkonstruksi teori-teori yang produktif, yaitu: dorong dan jawablah pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” dari siswa, mintalah siswa membuat prediksi mengenai apa yang akan terjadi dalam eksperimen yang dilakukan, gunakan analogi untuk menghubungkan konsep dan gagasan baru dengan pengetahuan awal mereka, sajikan model fisik atau simbolik yang menerangkan fitur-fitur utama sebuah fenomena, pilihlah penjelasan yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif mereka, mintalah siswa merefleksikan dan membuat hubungan di antara berbagai hal yang telah mereka pelajari.

g) Membentuk komunitas belajar

Mengingat manfaat dialog dan bentuk-bentuk interaksi siswa yang lain serta tujuan meningkatkan konstruksi makna secara sosial, beberapa ahli psikologi dan pendidik menyarankan agar kita membentuk suatu komunitas pembelajar, yaitu kelas dimana kita dan siswa secara konsisten saling membantu dalam belajar.

3. Tes Diagnostik

a. Definisi Tes Diagnostik

Diagnosis merupakan suatu istilah yang diadopsi dari bidang medis. Menurut Thorndike dan Hagen, diagnosis dapat diartikan sebagai:35

35 Abin S. Makmun,

Psikologi Kependidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 307.


(35)

21

1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya (symptons);

2) Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;

3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.

Diagnosis adalah proses yang kompleks dalam suatu usaha untuk menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemeriksaan gejala-gejala, perkiraan penyebab, pengamatan dan penyesuaian dengan kategori secara baik.36 Dalam bidang pendidikan diagnosis merupakan keputusan yang diambil setelah dilakukan analisis dari suatu pengolahan data. Diagnosis dapat berupa keputusan mengenai kesulitan belajar yang dialami siswa, keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar siswa, dan keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar siswa.

Sedangkan tes diagnostik itu sendiri adalah tes yang digunakan untuk menilai pemahaman konsep yang dimiliki siswa, terutama kelemahan (miskonsepsi) yang dalami siswa terhadap suatu konsep tertentu dan mendapatkan masukan tentang respon siswa untuk memperbaiki kelemahannya tersebut. Tes diagnosis berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi siswa, termasuk kesalahan pemahaman konsep.37 Bagi guru tes diagnostik ini berfungsi untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Sedangkan bagi siswa, berfungsi untuk memotivasi siswa untuk memperoleh jawaban yang benar setelah melakukan tes diagnostik tersebut.

b. Penaksiran Diagnosis

Menurut Nitko & Brookhart (2007: 296) ada enam pendekatan penaksiran diagnostik terkait dengan masalah pembelajaran, yaitu:38

36

Suwarto, Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 90.

37

Ibid., h. 94.

38


(36)

22

1) Pendekatan profil kekuatan dan kelemahan kemampuan pada suatu bidang Pada pendekatan ini, suatu mata pelajaran sekolah dbagi kedalam bagian-bagian, dimana masing-masing bagian dianggap sebagai cirri atau kemampuan yang terpisah. Hasil diagnosis dilaporkan sebagai suatu profil kekuatan dan kelemahan siswa. Langkah-langkah melakukan penaksiran diagnostik jenis ini, yatu: (a) kenali dua atau lebih bidang kemampuan yang diinginkan untuk membuat profil setiap siswa, (b) buatlah butir-butir untuk mengukur konsep-konsep dasar pada masing-masing bidang, (c) himpunlah soal-soal ke dalam sub-subtes yang terpisah, dan (d) kelola masing-masing subtes secara terpisah, dan gunakan petunjuk dan pemilihan waktu secara terpisah.

2) Pendekatan mengidentifikasi kekurangan pengetahuan prasyarat

Pendekatan ini mengeksplorasi apakah siswa-siswi tertinggal dikarenakan mereka tidak memiliki pengetahuan atau keahlian khusus yang dibutuhkan untuk memahami pelajaran yang akan datang. Langkah-langkah penaksiran diagnostik jenis ini, yaitu: membuat suatu hierarki dari suatu target pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa, melakukan analisis untuk mengidentifikasi prasyarat-prasyarat yang harus dipahami oleh siswa untuk mencapai target pembelajaran tersebut. Untuk masing-masing prasyarat yang diidentifikasi, kemudian dianalisis lagi sehingga diperoleh suatu hierarki prasyarat.

3) Pendekatan mengidentifikasi target-target pembelajaran yang tidak dikuasai Pendekatan ini memusatkan penaksiran pada target-target yang penting dan spesifik dari tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tes-tes pendek dibuat untuk menngukur keberhasilan dari masing-masing target pembelajaran. Informasi diagnostik yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah suatu daftar target pembelajaran yang sudah dikuasai atau tidak dikuasai oleh siswa. Langkah-langkah pendekatan jenis ini meliputi: (a) Mengenal dan menulis pernyataan-pernyataan target pembelajaran yang merupakan hasil pembelajaran. (b) Untuk setiap target pembelajaran, buatlah empat sampai delapan butir soal. (c) Jika memungkinkan, mintalah guru lain untuk mengulas setiap butir soal dan menaksir kecocokan butir soal dengan target


(37)

23

pembelajaran. (d) Kelompokkan butir-butir soal ke dalam suatu tes tunggal jika target pembelajaran relatif pendek (kurang dari enam). (e) Berikan label lulus untuk setiap target pembelajaran jika nilai siswa telah melebihi dari passing grade yang telah ditentukan. (f) Lakukan penaksiran pada setiap siswa. setelah melakukan penaksiran, nilailah target-target pembelajaran secara terpisah.

4) Pendekatan pengidentifikasian kesalahan siswa

Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan siswa. Ketika guru mengidentifikasi dan mengklasifikasi kekeliruan siswa, selanjutnya guru dapat memberikan pelajaran remedi. Mewawancarai siswa adalah cara terbaik untuk menemukan banyak kekeliruan pada siswa. guru dapat meminta siswa untuk menjelaskan bagaimana mereka menyelesaikan sebuah soal, menjelaskan mengapa mereka menjawab seperti itu, memberitahukan aturan untuk menyelesaikan suatu soal.

5) Pendekatan mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa

Mengidentifikasi struktur pengetahuan siswa dapat dilakukan dengan menggunakan peta konsep. Peta konsep ini menunjukkan bahwa siswa tersebut memiliki pengetahuan yang benar-benar terorganisir dengan baik mengenai konsep-konsep pada unit pelajaran. Bagaimana seorang siswa berpikir mengenai konsep-konsep dan keterkaitan hubungan konsep-konsep tersebut. Bagaimana siswa melihat konsep tersebut diatur, dan bagaimana kemungkinan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep lain yang telah dipelajari siswa. Hal ini bisa membantu guru menjelaskan mengapa siswa membuat kekeliruan, atau mengapa mereka memiliki kesulitan dalam menyelesaikan soal.

6) Pendekatan mengidentifikasi kompetensi untuk menyelesaikan soal cerita Pendekatan ini berpusat pada pendiagnosisan apakah siswa memahami komponen-komponen soal cerita. Diagnosis di dalam pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal cerita dan apakah kekurangan mereka terletak pada pengetahuan linguistik dan faktual, pengetahuan skematis, pengetahuan strategis, atau pengetahuan alogaritmis.


(38)

24

c. Fungsi Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu:39 1) mengidentifikasi masalah atau kesulitan yang dialami siswa.

2) merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesulitan yang telah teridentifikasi.

d. Karakateristik Tes Diagnostik

Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:40

1) dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik

2) dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (penyakit) siswa

3) menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada alasan tertentu sehingga mengunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), harus disertakan penjelasan mengapa memilih jawaban tertentu sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan, dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau masalahnya

4) disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan (penyakit) yang teridentifikasi.

e. Langkah-langkah Pengembangan Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan secara garis besar langkah-langkah pengembangan tes diagnostik berangkat dari kompetensi dasar yang bermasalah.41

1) Mengidentifikasi kompetensi dasar yang belum tercapai ketuntasannya. Tes diagnostik dilakukan untuk mendiagnosis kesulitan atau masalah belajar yang dialami oleh siswa. Kesulitan belajar tersebut mengacu pada kesulitan

39

DEPDIKNAS, Tes diagnostik, (Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah-Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007).

40

Ibid.

41


(39)

25

untuk mencapai kompetensi dasar, karena itu sebelum menyusun tes diagnostik harus diidentifikasi terlebih dahulu kompetensi dasar-kompetensi dasar manakah yang tidak tercapai tersebut. Untuk mengetahui tercapainya suatu kompetensi dasar dapat dilihat dari munculnya sejumlah indikator, karena itu bila suatu kompetensi dasar tidak tercapai, perlu didiagnosis indikator-indikator mana saja yang tidak mampu dimunculkan. Mungkin saja masalah hanya terjadi pada indikator-indikator tertentu, maka cukup pada indikator-indikator itu saja disusun tes diagnostik yang sesuai.

2) Menentukan kemungkinan sumber masalah

Setelah kompetensi dasar atau indikator yang bermasalah teridentifikasi, mulai ditemukan (dilokalisasi) kemungkinan sumber masalahnya. Dalam pembelajaran sains, terdapat tiga sumber utama yang sering menimbulkan masalah, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Di samping itu juga harus diperhatikan hakikat sains yang memiliki dimensi sikap, proses, dan produk. Sumber masalah bisa terjadi pada masing-masing dimensi tersebut.

3) Menentukan bentuk dan jumlah soal yang sesuai

Perlu dipilih alat diagnosis yang tepat berupa butir-butir tes diagnostik yang sesuai. Butir tes tersebut dapat berupa tes pilihan, esai (uraian), maupun kinerja (performa) sesuai dengan sumber masalah yang diduga dan pada dimensi mana masalah tersebut terjadi.

4) Menyusun kisi-kisi soal

Sebelum menulis butir soal dalam tes diagnostik harus disusun terlebih dahulu kisi-kisinya. Kisi-kisi tersebut setidaknya memuat: a) kompetensi dasar beserta indikator yang diduga bermasalah; b) materi pokok yang terkait; c) dugaan sumber masalah; d) bentuk dan jumlah soal; dan e) indikator soal. 5) Menulis soal

Sesuai kisi-kisi soal yang telah disusun kemudian ditulis butir-butir soal. Soal tes diagnostik tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan butir soal tes yang lain. Jawaban atau respons yang diberikan oleh siswa harus memberikan


(40)

26

informasi yang cukup untuk menduga masalah atau kesulitan yang dialaminya (memiliki fungsi diagnosis). Pada soal uraian, logika berpikir siswa dapat diketahui guru dari jawaban yang ia tulis, tetapi pada soal pilihan siswa perlu menyertakan alasan atau penjelasan ketika memilih option (alternatif jawaban) tertentu.

6) Mengulas soal

Butir soal yang baik tentu memenuhi validitas isi, untuk itu soal yang telah ditulis harus divalidasi oleh seorang pakar di bidang tersebut. Bila soal yang telah ditulis oleh guru tidak memungkinkan untuk divalidasi oleh seorang pakar, soal tersebut dapat direviu oleh guru-guru sejenis dalam MGMPS atau setidaknya oleh guru-guru mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah. 7) Menyusun kriteria penilaian

Kriteria penilaian memuat rentang skor yang menggambarkan pada rentang berapa saja siswa didiagnosis sebagai mastery (tuntas) yaitu sudah menguasai kompetensi dasar atau belum mastery yaitu belum menguasai kompetensi dasar tertentu, atau berupa rambu-rambu bahwa dengan jumlah type error (jenis kesalahan) tertentu siswa yang bersangkutan dinyatakan ber”penyakit” sehingga harus diberikan perlakuan yang sesuai.

Menurut Nichols (1994) terdapat lima langkah pengembangan tes diagnostik yang bertujuan untuk penilaian kognitif, yaitu: (1) Berdasarkan konstruksi teori yang subtansif. Teori yang subtansif merupakan dasar dalam pengembangan tes berdasarkan penilaian atau ulasan penelitian; (2) seleksi desain. Desain pengukuran digunakan untuk membuat konstruk butir yang dapat direspons dengan baik oleh peserta tes berdasarkan pengetahuan, keterampilan yang spesifik atau karakteristik lain sesuai teori; (3) administrasi tes. Administrasi tes meliputi beberapa aspek yaitu format butir, teknologi yang digunakan untuk membuat alat tes, situasi lingkungan pada waktu pengetesan dan sebagainya; (4) skoring hasil tes yaitu penentuan nilai tes yang telah dilakukan; (5) revisi, proses


(41)

27

penyesuaian antara teori dan model, apakah tes yang dikembangkan mendukung teori atau tidak jika tidak maka harus drevisi.42

f. Penskoran dan Penafsiran Tes Diagnostik

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan penskoran dan penafsiran hasil tes diagnostik.43

1) Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan penskoran juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama 0 (berarti responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah kesalahannya atau berapa skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi type error menjadi dasar interpretasi yang akurat.

2) Untuk memudahkan identifikasi dan analisis terhadap berbagai type error yang terjadi, setiap type error dapat diberi kode yang spesifik, sesuai selera guru asalkan konsisten, misalnya:

A = terjadi miskonsepsi

B = kesalahan mengubah satuan C = kesalahan menggunakan formula D = kesalahan perhitungan

dan seterusnya.

3) Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir soal perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang siswa itu dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi untuk jumlah dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau berdiskusi dengan guru-guru serumpun.

42 Suwarto,

Pengembangan Tes Diagnosis dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 2013), h. 126.

43 DEPDIKNAS,


(42)

28

4) Penskoran terhadap butir soal pemecahan masalah (problem solving) hendaknya mampu merekam setiap kemampuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut, meliputi: kemampuan menerjemahkan masalah ke dalam bahasa sains (linguistic knowledge); kemampuan mengiden-tifikasi skema penyelesaian masalah (schematic knowledge); kemampuan mengidentifikasi tahapan-tahapan penyelesaian masalah (strategy knowledge); dan kemampuan melakukan tahapan-tahapan penyelesaian masalah (algorithmic knowledge). Masing-masing komponen kemampuan di atas mendapat skor sesuai kompleksitas cakupannya dan dapat berbeda antara soal satu dengan lainnya.

5) Tes diagnostik menggunakan acuan kriteria (criterion- referenced), karena hasil tes diagnostik yang dicapai oleh seorang siswa tidak digunakan untuk membandingkan siswa tersebut dengan kelompoknya melainkan terhadap kriteria tertentu sehingga ia dapat diklasifikasikan “sakit dan membutuhkan terapi” ataukah “sehat” sehingga dapat mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya.

g. Menindaklanjuti Hasil Tes Diagnostik

Kegiatan guru menindaklanjuti hasil tes diagnostik siswanya, tindak lanjut tersebut berupa perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi siswa. Kegiatan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan siswa, tidak hanya tertuju kepada siswa itu sendiri, melainkan juga kepada semua pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran dan berkontribusi menimbulkan permasalahan siswa.

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menindaklanjuti hasil tes diagnostik dengan baik.44

1) Kegiatan tindak lanjut dilakukan betul-betul berdasarkan hasil analisis tes diagnostik secara cermat. Tindak lanjut tidak selalu berupa kegiatan remidial di kelas, tetapi dapat juga berupa tugas rumah, observasi lingkungan, kegiatan tutor sebaya, dan lain-lain sesuai masalah atau kesulitan yang dihadapi siswa.

44


(43)

29

Kegiatan tidak lanjut juga tidak selalu dilakukan secara individu, tetapi dapat juga dilakukan secara kelompok bergantung pada karakteristik masalah yang dihadapi siswa.

2) Mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh miskonsepsi membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kecerdasan guru. Penelitian Berg (1991) menunjukkan bahwa miskonsepsi sulit bila hanya diatasi melalui informasi atau penjelasan, oleh karena itu perlu dirancang aktivitas atau pengamatan secara langsung untuk memperbaikinya.

3) Kegiatan tindak lanjut diberikan secara bertahap dan berkelanjutan. Tes diagnostik pada hakikatnya merupakan bagian dari ulangan harian, maka pelaksanaannya juga perlu diatur sehingga tidak tumpangtindih (overlapping) dan tidak memberatkan siswa maupun guru.

4) Perlu dirancang program sekolah yang mendukung dan memberikan kemudahan bagi guru untuk mengadministrasi, melaporkan, dan menindak-lanjuti hasil tes diagnostik, misalnya penyediaan sarana dan tenaga teknis, pemberian insentif atau penghargaan, dan program-program lain yang mendukung profesionalitas guru, misalnya lokakarya, workshop, dan penelitian yang mengangkat hasil-hasil tes diagnostik. Selain untuk evaluasi di sekolah, bila memungkinkan hasil analisis tes diagnostik juga dikirimkan atau dilaporkan kepada orang tua siswa, sehingga secara bersama-sama dapat membantu siswa dalam memecahkan masalahnya.

4. Tes Diagnostik Plihan Ganda Dua Tingkat

Tes pilihan ganda dua tingkat yang dikembangkan adalah tes diagnostik yang berbentuk pilihan ganda yang terdiri dari dua tingkat: tingkat pertama adalah butir tes yang mengungkapkan suatu konsep tertentu dan tingkat kedua adalah butir tes yng mengungkap alasan responden tentang jawaban yang diberikan pada butir tes yang pertama. Alat tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat ini mulanya dikembangkan oleh Treagust, tes pilihan ganda dau tingkat ini memiliki dua


(44)

30

tingkatan. Tingkatan pertama terdiri dari pertanyaan pilihan ganda dengan dua pilihan jawaban, dan tingkat kedua merupakan alsaan jawaban tingkat pertama.45

Kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa ahli yang salah satunya adalah Tuysuz, yang mengembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat pada materi kimia dengan pilihan jawaban pada tingkat pertama berjumlah lima dan tingkat kedua terdiri dari lima pilihan alasan.46 Tusyuz mengembangkan tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat melalui dua tahapan. Pertama, dilakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka, dan hasilnya dikembangkan menjadi tes pilihan ganda beralasan terbuka pada tahap kedua. Pada tahap ketiga dilakukan tes pilihan ganda dua tingkat yang dikembangkan dari tes pilihan ganda beralasan terbuka.

5. Gerak Dua Dimensi a. Kompetensi Dasar

Kompetensi dasar yang ingin dicapai pada konsep gerak dua dimensi ini, yaitu: kompetensi dasar

3.1 Menganalisis gerak parabola dan gerak melingkar dengan menggunakan vektor

4.1 Mengolah dan menganalisis data hasil percobaan gerak parabola dan gerak melingkar

b. Karakteristik Konsep

Karakteristik konsep gerak dua dimensi yang dikaji adalah bersifat komprehensif yang artinya menyeluruh (secara luas). Pada konsep gerak dua dimensi ini, peneliti ingin mengkajinya secara luas atau keseluruhan, baik matematisnya maupun pemahaman konsepnya. Karena untuk mengetahui letak miskonsepsi siswa pada konsep tersebut peneliti perlu melihat dari semua segi, mulai dari pemahaman konsep siswa yang dapat diketahui ketika siswa menjawab

45 Cengiz Tüysüz, Development of two-tier diagnostic instrument and assess students’

understanding in chemistry, Scientific Research and Essay Vol. 4 (6) pp. 627.

46


(45)

31

pertanyaan, sampai bagaimana cara siswa dalam menyelesaikan soal-soal perhitungan yang relevan.

c. Peta Konsep

Gambar 2.1 Bagan Peta Konsep

d. Uraian Materi 1) Gerak Parabola

Gerak parabola merupakan gerak suatu benda dengan lintasan berbentuk parabola. Gerak parabola sering disebut juga dengan gerak peluru. Percepatan pada gerak parabola dipengaruhi oleh gravitasi, yang mempunyai arah ke bawah

GLB GLBB

Berlaku

V = tetap ω = 0

V = berubah ω = tetap Syarat

Persamaan

Gerak Dua Dimensi

Gerak Parabola Gerak Melingkar

Mencakup

Sumbu-x Sumbu-y

Ditinjau berdasarkan

GMB GMBB


(46)

32

dengan besar g = 9.80 m/s2, dan besarnya selalu konstan. Lintasan pada gerak parabola dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Lintasan Gerak Parabola

Dari gambar 2.1 di atas dapat dilihat bahwa pada gerak parabola berlaku gerak pada arah horizontal dan arah vertikal. Pada arah horizontal berlaku gerak lurus beraturan, karena benda bergerak sepanjang sumbu-x dengan kecepatan dan arah yang selalu tetap sehingga tidak ada percepatan. Sedangkan pada arah vertikal berlaku gerak lurus berubah beraturan. Pada arah vertikal ini arah kecepatan selalu berubah, karena dipengaruhi oleh percepatan benda yang arahnya selalu berubah bergantung posisi benda.Persamaan pada gerak parabola ditinjau secara terpisah untuk komponen-komponen vertikal dan horizontal dari gerak tersebut. Persamaan ini dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.

Tabel 2.1 Persamaan-Persamaan Umum Gerak Kinematika untuk Percepatan Konstan Dalam Dua Dimensi

x Komponen (horizontal) y Komponen (vertikal)

Pers. 2.1a

Pers. 2.1b

Pers. 2.1c

Y

Vy V Vy = 0

Vx

V0y Vy Vx Vy V

Θ Vx x

0 V0x a = g


(47)

33

Kita dapat menyederhanakan persamaan-persamaan tersebut untuk gerak parabola karena kita dapat menentukan ax = 0. Persamaan gerak parabola dapat dilihat pada

tabel 2.2 di bawah ini. Diasumsikan y positif ke atas, sehingga ay = -g = -9,80

m/s2. Perhatikan bahwa jika θ dipilih relatif terhadap sumbu +x, seperti pada gambar 2.3, maka v0x = v0 cos θ, dan v0x = v0 sin θ.

Tabel 2.2 Persamaan-Persamaan Gerak Kinematika Untuk Gerak Parabola (y positif arah ke atas; ax = 0, ay = -g = -9,8 m/s2)

Gerak Horizontal ax = 0, vy= konstan

Gerak Vertikal* ay = -g = konstan Pers. 2.2a

Pers. 2.2b

Pers. 2.2c *g positif jika benda bergerak ke bawah

2) Gerak Melingkar

Gerak melingkar adalah gerak yang memiliki lintasan berupa lingkaran. Pada gerak melingkar, arah gerak setiap saat berubah walaupun besar kecepatan dapat saja tetap. Arah kecepatan yang setiap saat berubah ini mengakibatkan adanya percepatan yang senantiasa mengarah ke pusat lingkaran. Percepatan ini sering disebut sebagai percepatan sentripetal.

Contoh gerak melingkar dalam kehidupan sehari-hari adalah mobil yang menikung, gerak kincir angin, gerak bulan mengelilingi bumi, dan gerak roda sepeda yang berputar pada porosnya. Prinsip gerak melingkar juga banyak diterapkan pada mesin-mesin kendaraan atau pabrik. Secara tidak langsung, pemahaman tentang gerak melingkar telah memperingan kerja manusia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengerti tentang gerak melingkar.

a) Gerak Melingkar Beraturan

Gerak melingkar beraturan (GMB) merupakan gerak suatu benda yang menempuh lintasan melingkar dengan besar kecepatan tetap. Kecepatan pada


(48)

34

GMB besarnya selalu tetap, namun arahnya selalu berubah, dan arah kecepatan selalu menyinggung lingkaran. Artinya, arah kecepatan (v) selalu tegak lurus dengan garis yang ditarik melalui pusat lingkaran ke titik tangkap vektor kecepatan pada saat itu. Benda bergerak melingkar beraturan dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Gerak Melingkar Beraturan

Dari gambar di atas dapat dituliskan persamaannya sebagai berikut: Persamaan 2.3a

Persamaan 2.3b

Persamaan 2.3c

b) Gerak Melingkar Berubah Beraturan

Seperti pada pembahasan gerak lurus, pada gerak melingkar juga dikenal gerak melingkar berubah beraturan (GMBB). Jika perubahan percepatan searah dengan kecepatan, maka kecepatannya akan meningkat. Jika perubahan percepatannya berlawanan arah dengan kecepatan, maka kecepatannya menurun. Pada gerak melingkar berubah beraturan (GMBB), kecepatan linear dapat berubah secara beraturan. Hal ini menunjukkan adanya besaran yang berfungsi untuk mengubah kecepatan. Besaran tersebut adalah percepatan tangensial (at), yang arahnya dapat sama atau berlawanan dengan arah kecepatan linear. Gerak melingkar berubah beraturan dari suatu benda dapat dilihat pada gabar 2.4 di bawah ini.

θ


(49)

35

Gambar 2.4 Gerak Melingkar Berubah Beraturan

Dari gambar di atas dapat di tuliskan persamaannya sebagai berikut: Persamaan 2.4a

Persamaan 2.4b

Persamaan 2.4c

Persamaan 2.4d

Persamaan 2.4e

6. Penelitian Relevan

Beberapa penelitian terkait dengan miskonsepsi, diantaranya:

a. Prof. Dr. Almahdi Ali Alwan (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Misconception of Heat and Temperature Among Physics Students”, mengidentifikasi empat konsep utama dari suhu dan panas ( termodinamika ) bahwa siswa ditemukan masalah dengan : konsepsi panas, konsepsi suhu, perpindahan panas, dan perubahan suhu, konsepsi tentang " Sifat termal " bahan, juga titik didih air 100°C, dan titik leleh dari Zinc pada 420 °C. Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memegang miskonsepsi pada suhu dan panas.

b. Beyza Karadeniz Bayrak (2013) dalam jurnal yang berjudul “Using Two-Tier Test to Identify Primary Students’ Conceptual Understanding and Alternative Conceptions in Acid Base”, menunjukkan bahwa siswa menemukan kesulitan tentang pemahaman konseptual dan mereka memiliki beberapa miskonsepsi

ar ar ar ar

v

v v


(50)

36

terkait dalam asam-basa. Pada tahap pertama siswa dapat menjawab pertanyaan dengan benar, namun siswa tidak dapat menjelaskan alasan mereka memilih jawaban tersebut pada tahap kedua.

c. Choksin Tanahoung, Ratchapak Chitaree, dan Chernchok Soankwan (2010) dalam jurnal yang berjudul “Probing Thai Freshmen Science Students’ Conceptions of Heat and Temperature Using Open-Ended Questions: a Case Study”, menunjukkan bahwa siswa yang menulis tanggapan memiliki beberapa kesalahpahaman umum dan spesifik pada tingkat pemahaman. Kebanyakan siswa tidak dapat memberikan alasan yang benar untuk jawaban mereka.

d. Cengiz Tusyuz (2009) dalam jurnal yang berjudul “Development of two-tier diagnostic instrumen and assess students’ understanding in chemistry”, menunjukkan bahwa uji dua tingkat efektif dalam menentukan kesalahpahaman siswa dan juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk tes pilihan ganda tradisional untuk penilaian dan evaluasi alternatif prestasi siswa. e. Fakhruddin, Azizahwati, dan Yelfi Rahmi (2012) dalam jurnal yang berjudul

“Analisis Penyebab Miskonsepsi Siswa Pada Pelajaran Fisika Di Kelas XII SMA/MA Kota Duri”, menyatakan bahwa 80% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi siswa yang disebabkan indikator pemikiran asosiatif. 83% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi siswa yang disebabkan indikator pemikiran humanistik. 12% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi sebagian yang disebabkan indikator alasan yang tidak lengkap. 86% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi siswa yang disebabkan indikator intuisi yang salah. 85% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi siswa yang disebabkan indikator tahap perkembangan kognitif dan 70% dari sampel berkontribusi terhadap miskonsepsi siswa yang disebabkan indikator kemampuan siswa.

f. Karunia Prihantini Putri dan Rinaningsih, S.Pd., M.Pd (2013) dalam jurnal yang berjudul “Pengembangan Tes Diagnostik Materi Teori Mekanika Kuantum Dan Ikatan Kimia”, menunjukkan bahwa tes diagnostik materi Teori Mekanika Kuantum dan Ikatan Kimia yang dikembangkan telah memenuhi


(51)

37

kelayakan dan dinyatakan sangat layak dari segi validitas isi sebesar 83,65% dan dari segi validitas bahasa sebesar 89,72%. Sedangkan hasil penelitian kesensitifan tes diagnostik ditampilkan dalam bentuk ketuntasan belajar pada peta diagnostik kesulitan belajar siswa dan pada tabel analisis kesulitan belajar berupa uraian deskriptif.

g. Eko Setyadi K. (2012) dalam jurnalnya “Miskonsepsi Tentang Suhu dan Kalor Pada Siswa Kelas 1 Di SMA Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah”, menunjukkan bahwa terdapat miskonsepsi tentang suhu dan kalor pada diri siswa sebesar 63,7% yang termasuk dalam kriteria miskonsepsi tinggi, sedangkan tingkat penguasaan materi pokok bahasan suhu dan kalor sebesar 36,3% yang termasuk dalam kategori tingkat penguasaan rendah.

h. Indah Rizki Anugrah (2013) dalam skripsi yang berjudul “Mengungkap Miskonsepsi Topik Stoikiometri Pada Siswa Kelas X Melalui Tes Diagnostik Two-Tier”, menunjukkan bahwa intsrumen tes diagnostik two-tier memiliki keunggulan dibandingkan dengan instrumen pilihan ganda biasa, karena tes two-tier dapat mengungkap alasan di balik opsi yang dipilih siswa dan dapat mengurangi tingkat error.

i. Dwi Anti Prapti Siwi (2013) dalam skripsi yang berjudul “Identifikasi Miskonsepsi Siswa Kelas VIII pada Konsep Sistem Pencernaan dan Pernapasan”, menunjukkan bahwa penyebab miskonsepsi pada siswa berasal dari pemahaman siswa, metode pembelajaran guru serta buku referensi.

B. Kerangka Pikir

Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Setelah pembelajaran dilakukan, guru perlu mengetahui efektivitas dan efisiensi dari semua komponen yang ada dalam proses pembelajaran melalui evaluasi pembelajaran. Evaluasi pembelajaran dapat dilakukan melalui tes tertulis. Namun, selama ini tes yang dilaksanakan oleh sebagian besar guru hanya terpaku pada hasil belajar siswa, tanpa mencari tahu kesulitan belajar yang dialami siswanya. Sehingga perbaikan yang dilakukan pun


(52)

38

tidak tepat sasaran. Jika hal tersebut berlanjut akan menimbulkan kesalahan pemahaman pada diri siswa.

Kesalahan pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan mempengaruhi efektivitas proses belajar selanjutnya dari siswa yang bersangkutan. Jika siswa secara terus-menerus memiliki konsep-konsep yang tidak tepat, maka akan menimbulkan masalah belajar di masa yang akan datang. Salah satu masalah yang akan timbul adalah terjadinya miskonsepsi pada diri siswa.

Miskonsepsi merupakan kesalahan pemahaman suatu peristiwa atau konsep tertentu yang dialami seseorang akibat dari konsep yang sudah dibangunnya tidak sesuai dengan pengertian ilmiah para ahli dalam bidang itu. Miskonsepsi dapat disebabkan karena beberapa hal seperti kesalahan dari siswa sendiri, kesalahan dari guru ketika menjelaskan pelajaran, kesalahan dari buku teks yang digunakan, kesalahan konteks, dan kesalahan dari metode mengajar yang digunakan oleh guru saat pembelajaran.

Miskonsepsi akan mempengaruhi pemahaman siswa dalam menyelesaikan persoalan yang relevan, oleh karena itu miskonsepsi harus segera di atasi. Untuk mengatasi persoalan tersebut terlebih dahulu perlu diidentifikasi letak miskonsepsi yang terjadi agar penanganan yang dilakukan tepat sasaran. Dengan demikian, diperlukan alat yang dapat mengidentifikasi letak miskonsepsi siswa.

Alat diagnostik yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa adalah melalui tes diagnostik. Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam suatu mata pelajaran tertentu. Dengan diketahuinya letak kesalahan pemahaman konsep pada siswa, guru dengan segera dapat mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Melalui tes diagnostik ini dapat diketahui tentang konsep-konsep yang telah dipahami dan yang belum dipahami oleh siswa.

Tes diagnostik yang dapat digunakan salah satunya adalah tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Tes ini memiliki keunggulan di bandingkan yang lain, karena dalam tes ini selain siswa mengerjakan butir tes yang mengungkapkan konsep tertentu siswa juga harus mengungkapkan alasan kenapa memilih jawaban


(53)

39

tersebut. Sehingga tes akan mudah dilaksanakan dan mudah pula bagi guru dalam memberikan penilaian. Dengan demikian dengan adanya tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat ini diharapkan dapat mengidentifikasi miskonsepsi-miskonsepsi yang dialami siswa khususnya pada konsep gerak parabola dan gerak melingkar. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pikir dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini:

Gambar 2.5 Bagan Kerangka Pikir

Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan untuk memudahkan terjadinya

proses belajar

Untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dari semua

komponen yang ada dalam proses pembelajaran perlu dilakukan evaluasi pembelajaran

Namun, selama ini tes yang dilaksanakan oleh sebagian besar guru hanya terpaku pada hasil belajar siswa, tanpa mencari tahu kesulitan

belajar yang dialami siswanya

Jika siswa secara terus-menerus memiliki konsep-konsep yang tidak tepat, maka akan menimbulkan masalah belajar di masa yang akan datang. Salah satu masalah yang akan timbul adalah terjadinya miskonsepsi pada diri siswa

Oleh karena itu dibutuhkan alat yang dapat mengidentifikasi miskonsepsi siswa, yaitu melalui tes diagnostik

Tes diagnostik yang dapat digunakan salah satunya adalah tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI IKATAN KIMIA.

13 38 36

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI KESETIMBANGAN KIMIA.

1 18 43

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENDIAGNOSIS MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI GAYA ANTARMOLEKUL.

0 3 32

PROFIL MISKONSEPSI SISWA SMA PADA MATERI HIDROKARBON MENGGUNAKAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT.

9 40 34

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT.

16 34 25

PENGEMBANGAN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA SMA KELAS X PADA MATERI HIDROKARBON.

2 6 32

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI IKATAN KIMIA - repository UPI S KIM 0905689 title

0 1 4

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI KESETIMBANGAN KIMIA - repository UPI S KIM 0900589 Title

0 0 7

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI TERMOKIMIA - repository UPI S KIM 0908862 Title

2 10 3

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA DUA TINGKAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA WAJIB SISWA MAN 1 MAKASSAR

0 1 135