12
motivasi, performa kerja, produktivitas dan loyalityas dalam mencapai keberhasilan dan kesejahteraan.
2. Aspek-aspek Work-Life Balance
Greenhaus, Collins dan Shaw 2003 mengidentifikasikan tiga aspek work- life balance, yaitu:
a.
Time Balance
Keseimbangan jumlah waktu yang dihabiskan individu untuk memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, keseimbangan waktu
yang dimiliki oleh karyawan menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh karyawan pada pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka dengan keluarga.
Dengan demikian, karyawan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan yang dapat mengurangi waktu mereka berkumpul bersama keluarga. Selain itu, karyawan
juga tetap dapat menyelesaikan pekerjaannya secara profesional tanpa adanya tuntutan keluarga yang terlalu menyita waktu mereka.
b. Involvement Balance
Keseimbangan keterlibatan psikologis individu dalam memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, ketika karyawan dapat terlibat
secara fisik dan emosional dalam pekerjaan dan keluarganya, maka involvement balance akan tercapai.
c. Satisfaction Balance
Keseimbangan kepuasan individu terhadap tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, kepuasan karyawan akan muncul apabila karyawan
Universitas Sumatera Utara
13
menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga.
Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek work-life balance adalah time balance, involvement balance dan satisfaction balance.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work-Life Balance
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work-life balance, yaitu:
a. Emotional Intelligence
Mayer dan Salovey 1997 menyatakan bahwa emotional intelligence adalah kemampuan untuk memahami, mengakses dan menghasilkan emosi untuk
membantu pikiran, pengetahuan emosional dan pertumbuhan intelektual. Dalam hal ini dijelaskan bahwa emotional intelligence berperan penting dalam
meningkatkan work-life balance seseorang. Menurut Gardner Goleman 1998, karyawan yang menggunakan emotional intelligence akan mampu bekerja dalam
tim, mengurangi stres, merasa termotivasi dalam bekerja, mengembangkan empati, memiliki komunikasi yang baik dengan rekan kerja serta dapat mengatur
waktu, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan yang baik dengan anggota keluarga.
b. Spiritual Intelligence
Spiritual intelligence memiliki banyak efek pada kehidupan individu, terutama di tempat kerja dan di keluarga Sum, 2005. Menurut Emmons 2000,
individu yang memiliki spiritual intelligence mampu memanfaatkan sumber daya spiritual untuk memecahkan masalah. Spiritual intelligence berperan sebagai
Universitas Sumatera Utara
14
motivasi untuk menyeimbangkan peran di tempat kerja dan di keluarga sehingga
individu dapat meningkatkan work-life balance Tekkeveettil, 2005.
c. Job Engagement
Job engagement adalah keadaan dimana individu secara emosional dan intelektual berkomitmen untuk organisasi yang tampak melalui produktivitas dan
loyalitas terhadap organisasi Jawaharrani Susi, 2010. Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker 2002 secara khusus mendefinisikan job engagement
sebagai pemenuhan pekerjaan yang terkait dengan pikiran yang dilakukan dengan semangat dan dedikasi yang tinggi. Jawaharrani Susi 2010 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara job engagement dan work-life balance pada karyawan. Dalam hal ini, karyawan yang
terikat dengan pekerjaannya cenderung memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi dalam pekerjaan sehingga mereka akan mampu mengelola work-life
balance yang baik Jawaharrani Susi, 2010. d.
Organizational Support Work-life balance tidak hanya menjadi tanggung jawab karyawan, tetapi
juga organisasi. Dalam hal ini, organisasi berperan untuk membantu karyawan dalam menyeimbangkan peran di tempat kerja dan keluarga dengan cara
memberikan dukungan yang diperlukan karyawan untuk mempertahankan work- life balance mereka Eisenberger, Huntington, Hutchison Sowa, 1986.
Organisasi yang memberikan dukungan berarti menghargai kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan mereka Eisenberger, dkk, 1986. Di sisi lain,
organisasi yang peduli terhadap work-life balance karyawan akan menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
15
dukungan melalui program dan kebijakan yang menekankan pada work-life balance karyawan McCarthy, Cleveland, Hunter, Darcy, Grady, 2013. Dalam
penelitian ini dijelaskan bahwa upaya tersebut memiliki dampak positif terhadap
work-life balance karyawan McCarthy, dkk, 2013.
e. Work Overload
Work-overload merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi work-life balance. Leiter Schaufeli 1996 menyatakan bahwa karyawan yang
mengalami work-overload cenderung merasa kelelahan sehingga mempengaruhi motivasi karyawan dalam menanggapi tuntutan peran yang lain, seperti keluarga.
Menurut Aryee, Srinivas Tan 2005, ketika karyawan bekerja terlalu keras, mereka cenderung tidak memberikan hasil yang baik. Vogel 2012 dalam
penelitiannya menambahkan bahwa karyawan yang kelebihan beban pekerjaan sering merasa frustrasi dan merasa bahwa mereka tidak mampu menyeimbangkan
peran di tempat kerja dan keluarga dengan baik.
f. Technology Advancement
Menurut Lester 1999, technology advancement baik untuk membantu menyelesaikan pekerjaan secara fleksibel karena dapat diakses dengan mudah dan
cepat. Namun dalam penelitiannya juga dijelaskan bahwa teknologi dapat menghambat work-life balance seseorang karena waktu dan peran di keluarga
menjadi berkurang Lester, 1999. Stephens, McGowan, Stoner, dan Robin 2007 menyatakan bahwa teknologi membuat beberapa kehidupan kurang fleksibel dan
mengakibatkan kesulitan dalam menjaga work-life balance seseorang. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
16
didukung oleh Waller dan Ragsdell 2012 yang menemukan bahwa teknologi
memiliki dampak negatif pada karyawan di luar jam kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi work- life balance adalah emotional intelligence, spiritual intelligence, job engagement,
organizational support, work overload dan technology advancement.
B. PERSEPSI DUKUNGAN ORGANISASI