Supplay – Demand Beras TINJAUAN PUSTAKA

provinsi direspon oleh karakteristi provinsi seperti jarak, infrastruktur transportasi, hasil komoditi, produktivitas lahan dan income per kapita. Debaniyu 2013, melakukan penelitan berjudul Price Integration of Cowpea Retail Markets in Niger State, Nigeria . Metode penelitian yang digunakan adalah Multistage Stratified Random Sampling dengan membandingkan enam pasar, yaitu pasar Kontagora dan Salka tingkat produsen, pasar Minna dan Bida tingkat konsumen dan pasar Sabonwuse dan Mokwa tingkat perantaratransit. Analisis yang digunakan adalah akar unit uji unit root metode Augmented Dicky Fuller ADF, Johansen co-integration test, error correction model ECM test dan granger causality test. Hasil penelitian integrasi pasar menggambarkan harga pasar kacang tunggak cowpea terintegrasi dalam jangka panjang. Terjadi keterkaitan harga yang kuat secara spasial antara pasar Kontagora terhadap Sabonwuse dan pasar Bida terhadap Sabonwuse. Sedangkan hasil granger causality menunjukkan terjadi hubungan timbal balik, yaitu Kontagora granger cause Sabonwuse dan sebaliknya dan hubungan searah pasar Bida granger cause Sabonwuse tidak berlaku sebaliknya.

2.2. Supplay – Demand Beras

Penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Berdasarkan hasil perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan beras, kebutuhan beras tahun 2012 diperkirakan mencapai 33.6 juta ton, sedangkan ketersediaan beras 38.8 juta ton. Dengan memperhitungkan stok awal beras Bulog tahun 2012 sebesar 1.93 juta ton, maka pada akhir tahun 2012 terdapat surplus Universitas Sumatera Utara 7.17 juta ton. Walaupun terdapat surplus beras pada akhir tahun 2012, namun demikian pada bulan Oktober – Januari terjadi defisit BKP-Kementan, 2012. Tabel 2.1. Neraca Beras Indonesia Tahun 2003 - 2012 Tahun Ketersediaan Kebutuhan Impor Ekspor SurplusDefisit 2003 29.789.443 29.739.416 1.428.506 676 1.477.857 2004 30.410.296 30.109.555 236.867 904 536.704 2005 30.445.508 30.592.406 189.617 42.286 433 2006 30.616.337 30.995.245 438.109 959 58.242 2007 32.135.769 31.398.084 1.396.448 1.604 2.132.529 2008 33.917.197 31.799.017 289.260 865 2.406.575 2009 36.207.151 32.616.760 250.225 2.601 3.838.015 2010 37.371.255 33.601.942 687.582 345 4.456.550 2011 36.970.670 33.590.391 2.744.002 377 6.123.904 2012 38.825.600 33.580.902 1.927.330 897 7.171.131 Sumber : BKP-Kementan 2013 Tipisnya ketersediaan pasar beras dunia, maka posisi Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor utama merupakan stabilisator dan destabilisator harga beras dunia. Tingkat konsumsi beras Indonesia sekitar 29 juta ton, termasuk negara konsumen terbesar ketiga setelah China dan India. Oleh karena itu, apabila Indonesia, China dan India mengalami penurunan produksi beras dan harus mengimpor untuk menutupi defisit produksinya, maka harga beras dunia akan segera naik dengan drastis. Hal ini sangat riskan bagi Indonesia untuk menggantungkan diri pada impor beras dari pasar dunia dengan ketersediaan dan harga yang sangat fluktuatif. Kenaikan harga keseimbangan beras dunia akibat peningkatan impor beras Indonesia tentu akan berefek balik pada peningkatan pengeluaran devisa. Selain itu, sangat mungkin akan muncul pemaksaan politik political extortion dari negara pemasok beras apabila pemenuhan permintaan beras domestik sebagai bahan pangan pokok tergantung pada pasar beras dunia, terutama jika impor beras tersebut bersifat bantuan dari negara adikuasa seperti Universitas Sumatera Utara Amerika Serikat dan Jepang. Ketika terjadi kekurangan pasokan di pasar dunia, maka konsekuensinya bukan hanya tidak terpenuhinya kebutuhan beras domestik, melainkan juga akan menimbulkan gejolak sosial politik yang membahayakan kedudukan pemerintah dan kestabilan negara. Ketergantungan Indonesia secara terus-menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan posisi perekonomian Mulyana, 1998.

2.3. Daya Saing