Vietnam Kebijakan Perberasan di Empat Negara Asia Tenggara

Agricultural Cooperatives BAAC berencana untuk meningkatkan modal sekitar 10 miliar baht sekitar 33juta untuk meningkatkan rasio modal sampai 10 persen. Menurut Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives BAAC sebagaimana dilaporkan Oryza 2013, pemerintah telah menghabiskan sekitar 667 miliar baht sekitar 21.3 miliar sejak awal program gadai beras pada Oktober 2011. Awal tahun 2013, pemerintah Thailand akan membayar sekitar 220 miliar baht sekitar 7 miliar untuk BAAC pada akhir tahun dari hasil penjualan beras. Namun, sampai September 2013, pemerintah telah membayar hanya 139 miliar baht sekitar 4,4 milyar. Rendahnya penjualan beras tahun 2013 menyulitkan pemerintah untuk mendapatkan dana dari sumber dalam negeri. Pemerintah harus meminjam lebih banyak uang dari bank untuk melanjutkan program gadai beras. Pemerintah Thailand menyetujui 270 miliar baht sekitar 8.35 Miliar untuk menjalankan program gadai beras 2013-2014 Oktober- September untuk membeli sekitar 16,5 juta ton padi dari petani diatas harga pasar. Sebagai perbandingan, pemerintah menghabiskan sekitar 376 miliar baht sekitar 12.5 Milyar untuk membeli sekitar 21,7 juta ton padi dari petani pada tahun pertama dari program gadai beras Oktober 2011-September 2012 , dan sekitar 410 miliar baht sekitar 13.6 Miliar untuk membeli sekitar 18 juta ton padi dari petani di 2012-2013.

2.5.4. Vietnam

Perdagangan beras telah dibebaskan sejak tahun 1997 secara umum perusahaan swasta mendominasi pasar beras lokal, khususnya Vietnam Selatan. Sistem pemasaran beras Vietnam telah berkembang menjadi sebuah sistem yang Universitas Sumatera Utara kompleks dari ribuan pedagang yang menangani jutaan ton beras setiap hari yang bergerak dari provinsi surplus ke daerah yang defisit, dari petani ke konsumen perkotaan dan eksportir. Saluran pemasaran banyak dan berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Sejak tahun 1989 ketika Vietnam mulai mengekspor beras, negara telah mengontrol volume ekspor beras dengan menetapkan kuota ekspor tahunan, hal yang paling penting dan mendasar dibalik kebijakan ini adalah ketahanan pangan. Pembatasan volume ekspor beras, pemerintah menjamin pasokan domestik yang memadai dengan harga yang stabil. Sejumlah State Owned Enterprises-SOE 15-40 perusahaan mendapat kuota ekspor beras. Penentuan kuota ini awalnya sampai pertengahan 1990-an, tetapi sedikit lebih fleksibel yang tergantung pada produksi dalam negeri. Namun, pada bulan November 2001, pemerintah membekukan ekspor beras dimana pemerintah menginstruksikan kepada pedagang di daerah penghasil utama beras menghentikan penawaran kontrak ekspor beras baru setelah melihat cadangan dalam negeri turun. Langkah- langkah awal liberalisasi ekspor beras mulai tahun 1997 dan ketika itu, pemerintah mengizinkan perusahaan swasta untuk mengekspor beras Reyes- Cantos, 2002. Pemerintah membelanjakan subsidi biaya bunga bagi eksportir, diperkirakan mencapai 200 miliar dong 14 juta tahun 1999-2001. Eksportir mendapatkan kredit untuk kontrak ekspor sebesar 0,75 persen per bulan, atau 9 persen setahun. Rata-rata harga ekspor atau subsidi sekitar 150 dong per kg 1,58. Subsidi ini tentu tidak semua diterima di tingkat petani, karena ada biaya tambahan untuk penyimpanan. Karena masih terbatasnya subsidi ini, maka tidak bisa disebut dumping karena subsidi negara-negara Organization for Economic Universitas Sumatera Utara Co-operation and Development OECD jauh lebih tinggi. Namun demikian kebijakan subsidi menunjukkan bahwa pemerintah serius untuk terus mempertahankan ekspor beras sebagai sumber devisa. Vietnam menggunakan tarif impor untuk mengurangi masuknya beras impor dari negara tetangga dan mendorong petani untuk memperluas pertanaman varietas padi unggul dan kualitas tinggi dan mengimpor beras jenis ini dalam jumlah yang sangat terbatas, terutama berasal dari Thailand. Sama halnya dengan manajemen yang fleksibel dalam pembatasan ekspor, tarif impor sering berubah. Pada bulan April 2000, Vietnam menaikkan pungutan impor dari 10 persen menjadi 20 persen untuk semua jenis beras kecuali padi. Selanjutnya terjadi kenaikan 30 persen dilaksanakan pada bulan Juli 2000 serta 40 persen pada 1 November 2001 Reyes- Cantos, 2002. Di tingkat lokal, proses tawar-menawar bersifat kompetitif antara State Owned Enterprises-SOE dan pedagang swasta. Perbedaan harga dan kualitas beras mendorong petani untuk menghasilkan beras dengan kualitas baik. Sebagai contoh, sebagian besar petani di Delta Sungai Mekong, terutama Provinsi Angiang dan Cantho dengan iklim yang sangat mendukung untuk pertanaman padi kualitas tinggi, dimana sekitar 60 persen padi berbulir panjang dan 40 persen padi berbulir pendek yang dijual dengan harga dasar Anonymous, 2010. Kualitas beras yang dijual dibedakan berdasarkan tiga kriteria, yaitu panjang bulir beras, tingkat patahan dan jenis varietas aroma dan warna. Persentase patahan menjadi indikator utama, setelah itu kualitas ditentukan berdasaran panjang bulir. Para produsen beras beranggapan bahwa beras long- grained lebih disukai di banyak negara. Pedagang di Vietnam menggunakan Universitas Sumatera Utara standar yang sederhana, yaitu: ordinary rice C2, beras berkualitas rendah dan sedang, yaitu beras patahan 20 persen hingga 25 persen dan luxury rice C1, beras berkualitas tinggi, yaitu beras patahan 5 persen hingga 10 persen. Kualitas beras tecermin pada harga beras tersebut dan perbedaan harga dasar juga didasarkan pada perbedaan musim Anonymous, 2010. Tindakan pemerintah menaikkan harga dasar terjadi pada saat panen melimpah, seperti yang terjadi pada 2008. Petani menanam lebih banyak beras akibat harga bagus pada musim semi dan gugur. Akibat panen yang melimpah, semenjak bulan Agustus dilaporkan harga sudah di bawah tingkat biaya produksi petani, yang berarti petani mengalami kerugian. Dalam rangka mengatasi proses penurunan tersebut, pemerintah meminta State Owned Enterprises-SOE membeli satu juta ton beras pada Februari 2009. Hal ini berakibat pada naiknya harga beras di Delta Sungai Mekong sebesar 14 persen. Meskipun pemerintah mengupayakan selisih keuntungan 3 persen setiap tahun, kenaikan harga produk- produk konsumsi lain masih lebih tinggi ketimbang harga beras. Selama periode 1989-2000, harga beras naik 14,85 persen, hanya saja pada periode itu pula tercatat kenaikan harga produk lain sebesar 18,25 persen. Angka ini menunjukkan bahwa harga yang diterima petani sesungguhnya menurun 2,97 persen per tahun dan penurunan harga ditingkat eceran 1,91 persen. Penurunan harga beras yang diterima petani sedikit terkompensasi oleh peningkatan hasil panen per hektar Anonymous, 2010.

2.6. Kerangka Pemikiran