keterampilan kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, pembelajaran tidak dapat berfungsi secara efektif apabila dalam kelompok terjadi miskomunikasi.
Oleh karena itu, keterampilan komunikasi sangat penting dalam pembelajaran ini agar dalam melaksanakan kerja kelompok setiap anggota kelompok dapat
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya kepada anggota yang lain. Dengan demikian, pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
peserta didik baik tertulis maupun lisan serta nilai bahkan sampai sikap mereka dalam kelas terhadap matematika. Pada kelas kontrol yang dikenai pembelajaran
ekspositori, peneliti tidak melakukan pembelajaran di kelas. Akan tetapi, pembelajaran dilakukan oleh guru matematika sekolah tersebut. Peneliti hanya
mengambil data tes hasil belajar kemampuan komunikasi matematik.
4.3.3 Kemampuan Komunikasi Matematik
Berdasarkan hasil analisis deskriptif data hasil tes kemampuan komunikasi matematik materi pokok segiempat jajargenjang, persegi panjang,
persegi, dapat diketahui bahwa sebelum dilakukan uji ketuntasan belajar dan uji perbedaan rata-rata, hasil belajar kemampuan komunikasi matematik peserta didik
yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TPS memberikan hasil yang lebih tinggi daripada peserta didik yang
mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran ekspositori. Rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang mendapat pembelajaran
kooperatif tipe NHT lebih tinggi daripada peserta didik yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe TPS dan pembelajaran ekspositori.
Dari ketiga kelas, terlihat bahwa varians terbesar adalah pada kelas yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS. Hal itu
berarti kemampuan peserta didik pada kelas tersebut setelah pembelajaran cenderung lebih bervariasi dibandingkan dengan kelas yang mendapat
pembelajaran kooperatif tipe NHT maupun dengan model pembelajaran ekspositori. Hal ini disebabkan pembagian kelompok dengan pembelajaran TPS
berdasarkan pada teman sebangku. Pembagian kelompok yang seperti ini memungkinkan terjadi kelompok dengan kedua anak pandai, salah satu anak
pandai, atau kedua-duanya tidak pandai. Keadaan yang demikian mengakibatkan jalannya diskusi kurang berjalan baik karena tidak semua pasangan memahami
permasalahan yang diberikan. Menurut Suherman 2003 :262 bahwa ukuran kelompok yang ideal dalam pembelajaran kooperatif adalah tiga sampai 5 orang.
Pada model TPS jumlah kelompok yang terbentuk menjadi banyak karena anggota kelompok hanya terdiri dari dua anak. Hal ini menjadikan guru sulit
untuk mengkoordinasikan pembelajaran. Pada hasil uji perbedaan rata-rata tes kemampuan komunikasi
matematik, rata-rata kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe TPS tidak berbeda secara signifikan
bila dibandingkan dengan rata-rata kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang mendapat model pembelajaran ekspositori. Hal ini menunjukkan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan model pembelajaran ekspositori dalam menyampaikan materi segiempat jajargenjang, persegi
panjang, dan persegi kelas VII SMP N 2 Candimulyo dapat dipilih salah satu tipe
yaitu bisa menggunakan model pembelajaran TPS ataupun model pembelajaran ekspositori. Akan tetapi, rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik
peserta didik pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata
kemampuan komunikasi matematik peserta didik pada kelas yang menggunakan model pembelajaran ekspositori. Hal ini menunjukkan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam menyampaikan materi segiempat jajargenjang, persegi panjang, dan persegi kelas VII SMP N 2 Candimulyo
model pembelajaran NHT lebih baik digunakan daripada model pembelajaran kooperatif tipe TPS dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematik
peserta didik. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sulistiyorini 2007 yang mengatakan bahwa model pembelajaran NHT lebih efektif daripada
model pembelajaran ekspositori. Pada rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe NHT
berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik peserta didik yang mendapat model pembelajaran
kooperatif tipe TPS. Hal ini menunjukkan penerapan model pembelajaran kooperatif dalam menyampaikan materi segiempat jajargenjang, persegi panjang,
dan persegi kelas VII SMP N 2 Candimulyo model pembelajaran NHT lebih baik digunakan daripada model pembelajaran kooperatif tipe TPS dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematik peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riana 2009 yang menyatakan bahwa
model NHT lebih efektif daripada model TPS terhadap kemampuan pemecahan masalah.
Dalam hal tidak adanya perbedaan rata-rata hasil belajar kemampuan komunikasi matematik yang signifikan antara peserta didik yang diberi
pembelajaran model kooperatif tipe TPS dengan peserta didik yang diberi pembelajaran ekspositori, diduga faktor penyebabnya adalah sebagai berikut.
1 Terjadi kesulitan yang dialami oleh pasangan dalam mengerjakan soal. Keadaan demikian karena pasangan tersebut adalah pasangan yang kedua-
duanya tidak pandai, sehingga yang terjadi anak hanya diam dan tidak mengerjakan soalnya. Hal ini juga berakibat ketika setiap anak dituntut untuk
berkomunikasi baik dalam menyampaikan hasil pemikirannya, anak menjadi cenderung pasif dan diam. Hal ini menjadi salah satu hal yang membuat model
ini tidak dapat berjalan dengan baik, sehinggga hasil kemampuan komunikasi matematik peserta didik tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang
diberi perlakuan ekspositori. 2 Walaupun sebelumnya diduga bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS
akan memberikan hasil belajar yang lebih baik dari model pembelajaran ekspositori, tetapi kenyataannya terjadi beberapa hambatan dalam proses
pembelajaran di dalam kelas. Hambatan itu terjadi dikarenakan beberapa hal diantaranya adalah pengkondisian guru di dalam kelas dan adanya beberapa
peserta didik pada saat diskusi mengerjakan soal tidak berjalan dengan baik, diantaranya ada yang mengandalkan pasangan kelompok lain atau teman
sepasangan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik pada peserta didik yang
mendapat pembelajaran model pembelajaran NHT dengan peserta didik yang mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran ekspositori adalah sebagai
berikut. 1 Pada pembelajaran matematika dengan model pembelajaran NHT, guru
menyediakan pengalaman belajar yang dirancang dalam bentuk belajar kelompok yang membantu peserta didik dalam memahami materi dan
membangun pengetahuannya sendiri dengan pendampingan guru. Akibatnya, anak lebih mudah mengingat materi yang telah dipelajari. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Lundgren dalam Ibrahim 2000:18 bahwa manfaat dari pembelajaran NHT dapat membuat pemahaman peserta didik
menjadi lebih dalam. Pada pembelajaran secara ekspositori, peserta didik cenderung pasif dalam menerima materi.
2 Melalui model pembelajaran NHT, pembelajaran menjadi lebih menarik sehingga peserta didik semangat dan termotivasi dalam kegiatan belajar
mengajar. Indikatornya adalah keaktifan peserta didik dalam menyampaikan pendapat dan gagasan serta menangggapi pendapat temannya dalam diskusi
baik dalam kelompok maupun saat diluar kelompok. Pada pembelajaran secara ekspositori guru menerangkan dan membahas soal secara klasikal
sehingga membosankan dan mendemotivasi peserta didik. 3 Dalam pembelajaran matematika model pembelajaran NHT, peserta didik
lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila
mereka saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya. Melalui diskusi dalam pembelajaran kooperatif akan terjalin komunikasi
dimana peserta didik saling berbagi ide atau pendapat. Melalui diskusi akan terjadi elaborasi kognitif yang baik, sehingga dapat memberi kesempatan
pada peserta didik untuk mengungkapkan pendapatnya. Hal ini tidak terjadi pada model pembelajaran ekspositori, karena pada pembelajaran ini mereka
memahami dan menyelesaikan masalahnya sendiri. 4 Pada pembelajaran NHT, pembagian kelompok dilakukan secara merata atau
heterogen. Artinya pada setiap kelompok terdiri dari peserta didik yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi hingga yang rendah sehingga
peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi dapat membantu peserta didik dengan kemampuan rendah. Hal itu tidak terjadi pada pembelajaran
ekspositori. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan yang signifikan
antara rata-rata hasil kemampuan komunikasi matematik pada peserta didik yang mendapat pembelajaran model pembelajaran NHT dengan peserta didik yang
mendapat pembelajaran dengan model pembelajaran TPS pada dasarnya terletak pada perbedaan jumlah anggota kelompok antara model pembelajaran NHT dan
TPS. Pada NHT banyaknya anggota kelompok ada empat orang yang dibagi secara heterogren, sedangkan pada TPS hanya dua orang dimana kedua orang
tersebut duduk dalam sebangku. Hal ini berpengaruh terhadap jalannya diskusi selama mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru. Pada pembelajaran
dengan NHT pembagian kelompok yang heterogen bisa memunculkan anak
dengan kemampuan kognitif yang tinggi sampai dengan yang rendah, sehingga jika terdapat kesulitan dalam mengerjakan soal bisa dipastikan anak yang tidak
paham akan bertanya pada anak yang lebih paham dan lebih pandai. Akan tetapi, pada TPS pembagian kelompok yang hanya berdasar teman sebangku, sehinggga
memungkinkan terjadinya pasangan kelompok dengan kedua anak pandai, salah satu anak pandai, atau kedua anak tidak pandai. Dengan demikian, jika terdapat
anak yang kesulitan dalam mengerjakan soal dan termasuk kelompok yang tidak pandai kedua anaknya, maka cenderung diam dan tidak mengerjakan soalnya
karena tidak ada teman yang bisa membantu. Jika kesulitan tersebut pada pasangan yang satu pandai dan tidak pandai maka hal itu bisa lebih membantu.
Keadaan yang demikian, dapat menjadikan diskusi pada kelas TPS kurang berjalan dengan baik, sehingga masih ada beberapa anak yang belum paham
mengenai materi ataupun soal yang diberikan. Dengan model pembelajaran NHT dan TPS, keduanya memiliki
kelebihan yang bermanfaat bagi pembelajaran di kelas. Pembelajaran kooperatif tipe NHT membuat peserta didik mengerti tentang materi apa yang mereka
pelajari. Peserta didik juga lebih mudah dalam belajar terlihat dalam bersungguh- sungguh ketika mengikuti pembelajaran. Selain itu pembelajaran ini melatih
peserta didik untuk tidak hanya bertanggung jawab terhadap diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Hal ini bisa terlihat pada anggota dari kelompok yang
belum paham bisa menanyakan pada anggota yang lain pada kelompok tersebut yang sudah paham. Pembelajaran NHT juga menjadikan peserta didik lebih
termotivasi karena sistem pemanggilan kelompok dalam menyampaikan hasil
diskusi secara acak, sehingga membutuhkan kesiapan yang matang dari peserta didik.
Model TPS dapat melatih peserta didik dalam mengeksplor pengetahuannya dengan baik, karena guru memberikan kesempatan peserta didik
untuk memikirkan jawaban atas soal yang diberikan. Selain hal tersebut pembelajaran ini mampu melatih peserta didik dalam berkomunikasi secara baik.
Terlihat ketika dalam pasangan kelompok, peserta didik saling mengutarakan hasil pemikirannya masing-masing. Dengan begitu dibutuhkan kemampuan
komunikasi yang baik terhadap pelajaran matematika dalam menyampaikan gagasan ataupun ide-idenya kepada orang lain.
Dalam penelitian ini, banyak kendala yang peneliti alami. Kendala- kendala itu diantaranya mengenai persiapan sebelum penelitian yang kurang
maksimal, sehingga masih banyak kekurangannya selama pembelajarannya. Kendala yang lain dari peserta didik yang kurang mendukung selama mengikuti
pembelajaran. Manajemen kelas yang belum baik yang dalam hal ini keterbatasan peneliti untuk menguasai peserta didik di kelas dan pemilihan peserta didik dalam
kelompok yang kurang baik juga menjadi kekurangan peneliti selama penelitian. Selain ditemukan kendala-kendala selama penelitian, peneliti juga menemukan
hal-hal positif dari pembelajaran selama penelitian yaitu antusias peserta didik yang tinggi untuk mengutarakan pendapatnya di depan kelas. Hal ini dapat dilihat
pada aktivitas peserta didik dari pertemuan satu ke pertemuan berikutnya terjadi kenaikan.
Untuk menghindari dan mengurangi terjadinya kendala-kendala selama pembelajaran, sebaiknya dilakukan persiapan pembelajaran secara maksimal baik
itu pembuatan RPP maupun penyediaan alatmedia belajar, sehingga mampu mengkoordinasikan peserta didik dalam menjawab pertanyaan. Selanjutnya
diperlukan juga penguasaan penuh oleh guru ataupun peneliti pada model pembelajaran yang dipakai selama pembelajaran baik dalam hal pengkondisian
kelas, pembagian kelompok, ataupun ketepatan dalam melakukan bimbingan individual di tengah pembelajaran kelompok. Dengan demikian, sintak-sintak
yang ada dalam model pembelajaran dapat terlaksana dengan baik dan diharapkan apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. Selanjutnya peneliti
merekomendasikan untuk penelitian berikutnya, pengamatan terhadap aktivitas peserta didik di kelas melalui penilaian observer dengan lembar pengamatan,
sebaiknya dilakukan oleh observer lebih dari satu. Hal ini dimaksudkan agar hasil dari pengamatan aktivitas peserta didik menjadi lebih akurat. Pada analisis data
awal, menjadi bahan pertimbangan penelitian berikutnya untuk dilakukan analisis uji ketuntasan belajar data awal dengan maksud agar semua sampel juga dalam
keadaan yang sama kemampuannya sehingga tidak dikhawatirkan hasil penelitian bukan karena ada faktor lain yang mempengaruhi penelitian misalnya dari awal
peserta didik memang memiliki kemampuan kognitif yang tinggi, tetapi hasil penelitian yang diperoleh benar-benar karena perlakuan yang diberikan peneliti.
108
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan