manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan
industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar 0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja
dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak
unit usaha yang menutup usahanya. Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa
krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang
dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi menyebabkan banyak dunia usaha dalam industri ini tidak mampu
mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan
harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi. Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit
usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal.
5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Salah satu indikator yang juga digunakan untuk melihat kinerja suatu industri adalah dari tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh industri tersebut.
Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu perusahaan atau industri untuk
meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan. Tabel 5.4 menunjukkan tingkat efisiensi industri logam dasar besi baja di Indonesia.
Tabel 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 persen
Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Tahun
ISIC 27101 ISIC 27102
ISIC 27103 ISIC 271
1995 44,34 94,09
58,14 83,86
1996 40,98 195,05
63,76 151,86
1997 47,25 55,43
56,81 54,92
1998 15,45 107,41
38,71 34,27
1999 81,38 30,91
40,94 36,15
2000 86,02 28,86
37,81 35,81
2001 24,34 32,90
90,12 40,63
2002 107,45 44,10
42,78 45,36
2003 27,48 16,58
47,63 25,72
2004 26,50 14,09
42,51 19,65
Total 50,12 61,94
51,92 52,82
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Kemampuan industri besi baja Indonesia meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1995 sampai 2004
yaitu sebesar 52,82 persen. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu di tahun 1996 menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri
besi baja nasional cukup besar yaitu sebesar 151,86 persen. Hal ini berarti bahwa sebelum krisis ekonomi, kemampuan industri besi baja dalam menekan biaya
produksi sangat baik sehingga menunjukkan industri besi baja berproduksi secara efisien dan memberikan kinerja industri yang cukup baik pula. Dengan demikian,
industri besi baja mampu memberikan keuntungan yang besar. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya rasio konsentrasi yang dimiliki industri besi baja pada saat
sebelum krisis ekonomi. Pada masa krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997, efisiensi
yang dihasilkan oleh industri besi baja semakin menurun dibandingkan sebelum
terjadi krisis ekonomi. Hal ini karena banyak perusahaan pada industri besi baja yang berproduksi kurang efisien karena adanya kenaikan harga-harga bahan baku
besi baja yang sangat tinggi. Di tahun 1998, industri penggilingan baja mempunyai efisiensi yang besar yaitu sebesar 107,41 persen. Ini karena ada
sebagian wilayah tempat berproduksinya industri tersebut, mampu menekan biaya input produksinya sehingga perusahaan tersebut efisien dalam berproduksi. Hal
inilah yang menyebabkan tingkat efisiensi industri penggilingan baja secara keseluruhan cukup besar. Wilayah yang mampu meminimumkan biaya produksi
yaitu industri penggilingan baja yang terletak di kabupaten Surabaya, Bekasi, Serang, dan Jakarta Utara Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, Tahun 1998
Kabupaten Nilai Tambah
ribu rupiah Nilai Input
ribu rupiah Efisiensi
persen Medan 24198609
45558501 53,12
Jaktim 100335769 130319203
76,99 Jakut 54046981
42856109 126,11
Bogor 86565 20586512
0,42 Karawang 716659
4778378 14,99
Bekasi 109109369 83168959
131,19 Tanggerang 2920088
12486954 23,39
Serang 18361749 7940793
231,23 Semarang 49878726
164460567 30,33
Sidoarjo 131180054 132809098
98,77 Gresik 2475458
9989607 24,78
Surabaya 639801121 360372798
177,54 Pontianak 7471640
16126604 46,33
Ujung Pandang 4652844
34763301 13,38
Sumber : Diolah dari data BPS, 1998
Saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja di tahun 2003 akibat meningkatnya permintaan baja oleh negara-negara yang sedang melakukan
proyek pembangunan besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar dunia, juga mempengaruhi kinerja industri besi baja di
Indonesia sehingga industri besi baja nasional memiliki efisiensi produksi yang rendah. Di tahun 2003 tersebut, nilai efisiensinya hanya sebesar 25,72 persen dan
efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan nilai efisiensi sebesar 19,65 persen.
Adanya kelangkaan bahan baku baja menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga mempengaruhi efisiensi produksi bagi
ketiga subsektor industri besi baja nasional. Hal tersebut memberikan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Ini berarti bahwa adanya ketergantungan
impor bahan baku yang sangat besar untuk industri besi baja Indonesia menjadikan industri besi baja Indonesia sangat tergantung atau terpengaruh dari
kondisi yang terjadi di pasar internasionalnya sehingga berdampak kurang baik bagi kinerja industri besi baja Indonesia.
Dalam teori ekonomi industri, dinyatakan bahwa semakin tinggi rasio konsentrasi maka dapat menyebabkan semakin tidak efisien industri tersebut
berproduksi karena tingginya rasio konsentrasi menunjukkan perusahan dalam industri tersebut tidak bersaing sempurna. Perusahaan pada pasar persaingan
sempurna cenderung efisien dalam mengalokasikan sumber dayanya. Namun, kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada industri logam dasar besi baja.
Misalnya, walaupun industri besi baja mempunyai konsentrasi rasio yang cukup besar saat sebelum terjadi krisis ekonomi tetapi industri ini menunjukkan tingkat
efisiensi yang cukup besar. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi mengakibatkan ada sebagian besar perusahaan pada industri ini berproduksi
kurang efisien sehingga memberikan rasio konsentrasi yang menurun. Oleh
karena itu, tingginya rasio konsentrasi tidak selalu berpengaruh buruk atau merugikan karena ada industri yang harus berproduksi dengan skala ekonomi
yang besar atau membutuhkan modal yang sangat besar untuk berproduksi dengan efisien. Bila industri tersebut dipaksa untuk mengurangi atau menurunkan rasio
konsentrasinya justru akan membuat perusahaan tersebut kurang efisien. Besarnya rasio konsentrasi sering diidentikkan dengan tingkat persaingan
yang rendah. Untuk industri besi baja, tingginya rasio konsentrasi yang dihasilkan bukan karena tidak ada persaingan diantara perusahaannya tetapi karena adanya
kemampuan perusahaan untuk meminimumkan biaya input untuk menghasilkan output yang optimal. Persaingan yang ada pada industri ini cukup besar, baik
persaingan antar perusahaan di dalam industri tersebut ataupun persaingan dengan produk-produk baja impor.
5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia