Industri besi baja Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan bahan baku baja yang harganya meningkat sehingga industri besi
baja nasional mengalami kenaikan biaya input produksi yang besar. Ini menyebabkan terjadi pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Pada tahun 2003,
pertumbuhan nilai tambah menurun sebesar 28,81 persen dan di tahun 2004 terjadi penurunan output produksi sebesar 6,40 persen serta penurunan nilai
tambah sebesar 24,84 persen. Dengan demikian, kinerja industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu.
Hal ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri besi baja di masa yang akan datang sehingga menghambat pula perannya dalam
memberikan sumbangan atau kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto PDB Indonesia.
5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur
Kontribusi industri besi baja Indonesia terhadap industri manufaktur dapat dilihat pada Tabel 5.3. Kinerja suatu industri dapat dilihat juga dari berapa besar
kontribusinya dalam pembentukan PDB. Industri logam dasar besi baja merupakan salah satu industri manufaktur, untuk itu dalam penelitian ini melihat
kinerja industri besi baja dari kontribusi yang diberikannya kepada industri manufaktur yang secara tidak langsung juga memberikan sumbangan terhadap
PDB Indonesia.
Tabel 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 persen
Nilai Tambah Tenaga kerja
Unit Usaha Tahun
27101 27102 27103
Rata2
27101 27102 27103
Rata2
27101 27102 27103
Rata2
1995 0,35 5,82 0,72 1,91 0.091 0.595 0.363 0.350 0,074 0,274 0,288 0,212
1996 0,32 8,92 0,80 2,12 0.093 0.589 0.361 0.348 0,052 0,246 0,265 0,188
1997 0,34 3,92 0,57 1,73 0.103 0.632 0.311 0.349 0,076 0,268 0,246 0,197
1998 0,88 1,54 0,19 1,22 0.313 0.325 0.116 0.252 0,126 0,219 0,149 0,165
1999 0,41 1,51 0,24 1,06 0.170 0.378 0.176 0.241 0,095 0,218 0,172 0,162
2000 0,56 1,30 0,23 0,99 0.168 0.369 0.165 0.234 0,072 0,198 0,072 0,114
2001 0,40 2,17 1,42 1,71 0.108 0.471 0.279 0.286 0,103 0,290 0,206 0,199
2002 0,23 1,80 1,33 1,26 0.010 0.505 0.309 0.305 0,076 0,255 0,232 0,188
2003 0,09 1,09 1,30 1,57 0.113 0.433 0.317 0.288 0,094 0,236 0,207 0,179
2004 0,04 1,32 0,95 1,71 0.065 0.495 0.310 0.290 0,116 0,242 0,218 0,192
Total
0,36 2,94 0,77 1,36 0,132 0,479 0,271 0,294 0,088 0,245 0,205 0,179
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Besarnya kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur dari tahun 1995 sampai tahun 2004 sebesar 1,36 persen. Pada tahun
2004, kontribusi nilai tambah yang diberikan industri besi baja nasional sebesar 1,71 persen. Tahun 1996 merupakan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi,
kontribusi yang diberikan industri besi baja cukup besar yaitu sebesar 2,12 persen kepada industri manufaktur. Namun, setelah terjadi krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997 sampai 1999 kontribusi nilai tambahnya mengalami penurunan yang cukup besar. Hal ini karena pada saat krisis ekonomi, terjadi
kenaikan harga bahan baku besi baja yang diimpor sehingga menyebabkan naiknya biaya-biaya input produksinya. Banyak perusahaan terutama perusahaan
berskala kecil terpaksa menghentikan proses produksinya, sedangkan perusahaan berskala besar yang masih bertahan terpaksa juga harus menurunkan kapasitas
produksinya. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan nilai tambah industrinya sehingga mengurangi kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri
manufaktur. Rata-rata kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri
manufaktur paling besar disumbangkan oleh subsektor industri penggilingan baja
yaitu sebesar 2,94 persen. Hal ini karena nilai tambah yang dihasilkan oleh industri penggilingan baja cukup besar tetapi belum mampu memberikan
kontribusi nilai tambah yang menyamai atau melebihi kontribusi pada saat sebelum krisis ekonomi yaitu sebesar 8,92 persen kepada industri manufaktur.
Kontribusi nilai tambah terendah diberikan oleh subsektor industri besi dan baja dasar. Rata-rata industri ini memberikan kontribusi sebesar 0,36 persen dari tahun
1995 sampai 2004. Hal ini karena jumlah unit usaha yang terdapat pada subsektor ini masih relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unit usaha dari subsektor
industri besi baja yang lain sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah tetapi industri ini mampu menciptakan pangsa pasar terbesar pada industri besi baja di
Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi ini menyebabkan industri logam dasar besi
dan baja sulit untuk memperbaiki bahkan meningkatkan produksinya sehingga mengakibatkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Sejak krisis ekonomi
tahun 1997, kinerja industri logam dasar besi dan baja mengalami penurunan dari tahun ke tahun dalam memberikan sumbangan nilai tambah terhadap total industri
manufaktur di Indonesia. Bila dilihat dari kontribusi yang diberikan industri logam dasar besi dan
baja Indonesia terhadap industri manufaktur dari sisi penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor ini merupakan industri yang padat modal karena
penyerapan tenaga kerja industri ini rendah. Rata-rata kontribusi total penyerapan tenaga kerja terhadap industri manufaktur selama periode tahun 1995 sampai
tahun 2004 hanya sebesar 0,294 persen. Angka ini sangat rendah bila
dibandingkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur lainnya, seperti industri rokok kretek. Pada tahun 1999, kontribusi penyerapan tenaga kerja
industri rokok kretek terhadap industri manufaktur sebesar 4,65 persen Sumarno dan Kuncoro, 2003 sedangkan untuk tahun yang sama kontribusi penyerapan
tenaga kerja industri logam dasar besi dan baja hanya sebesar 0,291 persen. Besarnya penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek dikarenakan industri
tersebut merupakan industri yang padat karya atau padat tenaga kerja sehingga total penyerapan tenaga kerjanya pun cukup besar.
Industri yang padat modal cenderung pada penggunaan mesin-mesin berteknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerjanya cenderung pada tenaga
kerja yang terampil dan terdidik yang menguasai teknologi produksi besi dan baja. Berbeda dengan industri yang padat modal, industri padat tenaga kerja
memberikan kinerja yang baik dalam penyerapan tenaga kerja industrinya sehingga memberikan peluang kesempatan kerja yang banyak untuk para pekerja.
Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pengangguran yang banyak diperbincangkan.
Kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur Indonesia dilihat dari sisi kontribusi jumlah unit usaha dari tahun
1995 sampai tahun 2004 secara rata-rata yaitu sebesar 0,179 persen. Nilai
kontribusinya rendah karena jumlah unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja Indonesia sangat sedikit dibandingkan industri-industri lain yang termasuk
dalam industri manufaktur. Selama sepuluh tahun terakhir mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2004, rata-rata kontribusi jumlah unit usaha terhadap industri
manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan
industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar 0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja
dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak
unit usaha yang menutup usahanya. Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa
krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang
dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi menyebabkan banyak dunia usaha dalam industri ini tidak mampu
mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan
harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi. Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit
usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal.
5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia