struktur industri besi baja Indonesia karena pangsa pasar yang diraih industri ini semakin berkurang sehingga mengganggu pula kinerja industrinya.
5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Kinerja industri logam dasar besi dan baja Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; besarnya kontribusi industri
logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur di Indonesia dari sisi total penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan penyediaan lapangan usaha atau
unit usaha yang tersedia. Selain itu, kinerja industri dilihat dari efisiensi, dan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh setiap perusahaan pada industri besi
baja ini.
5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia.
Untuk melihat pertumbuhan output dan nilai tambah industri besi baja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Pertumbuhan output industri besi baja
Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi sebesar 39,16 persen, pada saat itu kondisi perekonomian nasional dan dunia masih stabil. Akan tetapi, pada saat
terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia dipertengahan tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan output produksi
industri besi baja Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini karena adanya kenaikan biaya produksi yang sangat besar sehingga banyak perusahaan
mengurangi output produksinya bahkan menghentikan produksinya. Oleh karena itu, pada saat terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan berskala kecil keluar dari
industri tersebut, begitu pula dengan perusahaan yang berskala besar juga
menurunkan output produksinya sehingga berdampak pada penurunan rasio konsentrasinya. Penurunan output karena kenaikan biaya input tersebut, juga
menyebabkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif pada saat terjadi krisis.
Tabel 5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 persen
Output Nilai Tambah
Tahun 27101 27102 27103 271 27101 27102 27103 271
1995 - - - - - - - -
1996 19,88 41,86
33,93 39,16
13,43 93,46
41,83 83,97
1997 - 11,62
- 25,29 -30,56
- 25,05 - 2,43
- 59,70 - 35,39 - 55,93
1998 479,08
- 74,79 - 60,37
- 30,14 141,35
- 63,40 - 69,47 - 49,73
1999 - 84,71
135,72 34,41
- 12,73 - 48,71
7,47 39,89
- 9,17 2000 46,83 0,65
39,61 9,77
55,42 7,67
46,56 21,04
2001 92,45 72,87
232,13 96,17
- 20,68
69,46 416,30
93,58 2002
- 77,09 - 29,00
58,48 - 17,18
- 39,39 - 11,36
0,18 - 10,07 2003
- 8,51 27,02
- 12,54 9,19
- 61,93 - 41,57
- 5,83 - 28,81 2004
- 64,02 12,22
- 36,06 - 6,40
- 65,04 - 2,51
- 40,88 - 24,84 Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Keterangan : ISIC 271 = Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar
ISIC 27102 = Industri Penggilingan Baja ISIC 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja
Krisis ekonomi cukup berpengaruh terhadap aktifitas produksi industri besi baja nasional karena sebagian besar bahan baku untuk industri besi bajanya
adalah impor. Impor bahan baku yang besar ini karena industri besi baja Indonesia tidak memiliki mesin-mesin untuk pengolahan bijih besi bahan baku baja yang
ada di Indonesia, padahal Indonesia memiliki kandungan bijih besi yang sangat banyak. Seandainya industri besi baja nasional mampu mengolah sendiri bijih besi
tersebut maka adanya kenaikan harga bahan baku besi baja dapat memberikan peluang keuntungan yang besar bagi industri besi baja Indonesia sehingga dapat
meningkatkan kinerja industrinya dan pengaruh krisis ekonomi tidak terlalu besar mempengaruhi aktivitas produksinya.
Adanya krisis ekonomi yang menyebabkan kondisi perekonomian tidak stabil, mengakibatkan segala proyek-proyek pembangunan mulai terhenti
sehingga konsumsi besi baja pun mengalami penurunan. Tahun 2000, masa setelah krisis ekonomi industri besi baja mulai mengarah pada usaha pemulihan
sehingga industri ini memberikan pertumbuhan output dan nilai tambah yang positif. Hingga tahun 2001, kondisi industri besi baja secara keseluruhan mulai
mengalami perbaikan karena perekonomian nasional mulai membaik sehingga konsumsi besi baja mulai meningkat ditandai dengan berbagai proyek
pembangunan mulai berjalan kembali seperti proyek jalan tol, jembatan, apartemen, pusat perbelanjaan, maupun permintaan industri lain yang
menggunakan produk baja sebagai bahan baku industrinya juga meningkat. Oleh karena itu, terjadi peningkatan output produksi besi baja nasional. Namun, hal itu
tidak berarti industri besi baja nasional tidak mengalami tantangan lagi. Pada tahun 2002, industri besi baja nasional kembali menghadapi
tantangan yang besar karena industri ini mengalami persaingan yang besar dengan produk baja impor. Pada tahun tersebut, banyak produk baja impor yang masuk
terutama produk besi baja impor dengan harga dumping dan ilegal sehingga menyebabkan kinerja industri besi baja nasional terganggu. Oleh karena itu,
terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula. Menurut data dari Komite Anti Dumping Indonesia KADI 2002
menunjukkan bahwa pada tahun 2002 ada beberapa kasus dumping produk baja impor yang ada di Indonesia yaitu berupa produk lembaran canai panas hot rolled
coil HRC dari India, Rusia, Turki, dan Ukraina; serta adanya kasus dumping
besi beton wire rod impor dari India dan Turki Kompas, 2003. Hal tersebut menyebabkan persaingan yang tidak sehat pada industri besi baja nasional.
Dampaknya, adanya produk-produk impor tersebut banyak mematikan perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri yang kurang efisien. Perusahaan
dengan efisiensi produksi yang kurang terpaksa menutup usahanya karena tidak mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga di tahun tersebut industri
besi baja nasional mengalami penurunan jumlah unit usaha dan menyebabkan penurunan output produksinya sebesar 17,18 persen, juga penurunan nilai
tambahnya sebesar 10,07 persen. Sejak tahun 2003, terjadi kelangkaan bahan baku baja di dunia karena
adanya kenaikan konsumsi besi baja yang sangat besar untuk negara-negara seperti China, Irak, dan Rusia. Besarnya konsumsi baja China ini karena pesatnya
pertumbuhan ekonomi China dan adanya rencana pembangunan stadion olimpiade yang diselenggarakan di China pada tahun 2008. Irak pun meningkatkan
konsumsi baja untuk memperbaiki infrastruktur yang hancur akibat perang. Begitu pula dengan Rusia, besarnya konsumsi baja karena seiring dengan semakin
membaiknya kondisi negaranya. Saat itu, Rusia juga mulai mengurangi ekspor bahan baku besi baja karena untuk memenuhi sendiri kebutuhan bajanya
Ikhsan,2005. Kondisi tersebut menyebabkan bahan baku baja lebih banyak terserap
untuk negara-negara yang mengkonsumsi baja dalam jumlah besar sehingga menyebabkan harga bahan baku baja mengalami kenaikan. Hal ini tentu
berdampak pada aktivitas produksi dan kinerja industri besi baja Indonesia.
Industri besi baja Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan bahan baku baja yang harganya meningkat sehingga industri besi
baja nasional mengalami kenaikan biaya input produksi yang besar. Ini menyebabkan terjadi pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Pada tahun 2003,
pertumbuhan nilai tambah menurun sebesar 28,81 persen dan di tahun 2004 terjadi penurunan output produksi sebesar 6,40 persen serta penurunan nilai
tambah sebesar 24,84 persen. Dengan demikian, kinerja industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu.
Hal ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri besi baja di masa yang akan datang sehingga menghambat pula perannya dalam
memberikan sumbangan atau kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto PDB Indonesia.
5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur