2.3.6. Kebersihan Wajah
Mencuci wajah berlebihan dapat menyebabkan hilangnya minyak di permukaan wajah yang akan menyebabkan kekeringan pada wajah, sehingga
menstimulasi produksi minyak lebih banyak Magin et al., 2005. Membersihkan wajah dua kali sehari dengan pembersih yang ringan dan dengan PH yang
seimbang direkomendasikan untuk kulit yang memiliki acne Ray et al., 2013; Eichenfield et al., 2013. Membersihkan wajah berlebihan, menggunakan scrub,
atau menggunakan pembersih yang kuat atau produk astringent toner dengan alkohol dapat mengiritasi kulit sehingga dapat memperparah kejadian acne Ray
et al., 2013. Tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Kubaisy et al. 2014, didapatkan prevalensi yang rendah pada responden yang mencuci muka
lebih dari lima kali sehari.
2.3.7. Kuantitas Tidur
Kortisol merupakan hormon stres yang dihasilkan oleh aksis adrenal Khani et al., 2001. Beberapa penelitian menunjukkan pembatasan jumlah jam
tidur dapat meningkatkan kadar kortisol plasma selama sore dan menjelang pagi hari. Efek kurang tidur pada aksis adrenal, khususnya sebagai respon stres dapat
mengakibatkan perubahan metabolisme glukosa yang langsung bekerja pada kelenjar adrenal ataupun secara tidak langsung melalui perubahan hormon
pituitari, misalnya ACTH. Leptin merupakan adipokine yang bekerja sebagai sinyal kenyang Mantzoros et al., 2011. Kurang tidur dapat menurunkan kadar
leptin dan meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan. Penurunan kadar leptin dapat memperburuk sensitivitas insulin, meningkatkan lipid di sirkulasi, sehingga
dapat mengakibatkan obesitas dan obesitas abdominal melalui ketidakseimbangan energi dan meningkatnya keinginan untuk memakan makanan kaya karbohidrat
Reynolds et al., 2012. Adanya kelebihan jaringan adiposa dapat menginduksi peroksidasi lipid,
yang akan mempengaruhi proses inflamasi dari innate immunity yang merupakan bagian dari patogenesis acne vulgaris Rohr., 2002. Wanita obesitas yang
mengalami acne menunjukkan kadar IL-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mengalami acne Abulnaja, 2009. Hal ini terjadi karena efek dari leptin dan resistensi insulin terhadap mekanisme inflamasi. Produksi IL-1
mempengaruhi kelenjar sebaceous dan sebocyte dalam memproduksi dan mengekskresi sebum. Peningkatan ekskresi sebum berhubungan dengan
pembentukan lesi acne Zouboulis, 2003. Pada penelitian yang dilakukan Leproult et al. 2011, dikatakan bahwa
tidak terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 4 jam dalam sehari selama 5 malam 04:00–08:00. Sedangkan, pada penelitian lain
dikatakan bahwa terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 5 jam dalam sehari selama 8 malam 12:30–05:30. Hal ini mungkin dapat
berpengaruh akibat perbedaan waktu dan durasi jam tidur. Penelitian menunjukkan pembatasan jam tidur hingga 4.5 jam dapat menurunkan kadar
testosteron pada paruh pertama malam jika dibandingkan pada paruh kedua malam Wittert, 2014; Schmid et al., 2012. Kadar testosteron semakin menurun
dengan lebih awalnya jam bangun tidur Axelsson et al., 2005. Sedangkan, teori lain mengatakan bahwa pada kurang tidur dapat
menyebabkan stres fisiologis yang akan menyebabkan aktivasi HPA aksis, sehingga meningkatkan kortisol di sirkulasi Reynolds et al., 2012. Selama
respon stress akut, nukleus paraventrikular hipotalamus mengeluarkan CRH yang kemudian bekerja di kelenjar pituitari dengan menginduksi ACTH, sehingga
menyebabkan korteks adrenal mengeluarkan kortisol. Pavlovsky et al., 2007. Teori lain juga mengatakan bahwa pada penderita acne, mungkin terdapat
peningkatan kortisol dan androgen adrenal. Kedua hormon tersebut dapat memperberat acne dan menginduksi hiperplasia kelenjar sebaceous selama
penderita mengalami stres emosional Huynh et al., 2013. Tetapi, stres menginduksi perubahan sistem kolinergik lokal yang
kemudian akan mengubah respon inflamasi. Stimulasi vagal dapat menginhibisi respon inflamasi melalui aktivasi nicotinic acethylcholine receptors. Stres juga
dapat menginduksi perubahan homeostasis barrier permeabilitas epidermis yang dimediasi oleh glukokortikoid endogen. Mekanismenya melibatkan inhibisi
sintesis lipid epidermis yang kemudian akan menurunkan sekresi dan
Universitas Sumatera Utara
pembentukan badan lamelar, serta adanya penurunan corneodesmosomes, sehingga keseluruhannya dapat menurunkan homeostasis barrier permeabilitas
epidermis dan menurunkan integritas stratum korneum Pavlovsky et al., 2007. Prevalensi mental distress paling sering terjadi pada remaja tahap lanjut
dimana acne merupakan kondisi yang sering terjadi Halvorsen et al., 2009. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor neurogenik yang dapat mengkontribusi
eksaserbasi pembentukan acne, yang kemungkinan mekanismenya adalah melalui neuropeptida substansi P dan peningkatan jumlah serat saraf di sekitar kelenjar
sebaceous pada pasien acne. Stres dapat mempengaruhi pengeluaran substansi P dari saraf perifer yang kemudian dapat meningkatkan lipogenesis di kelenjar
sebaceous. Peningkatan serat saraf pada kulit yang mengalami acne dapat disebabkan karena ekspresi nerve growth factor pada kelenjar sebaceous yang
mekanisme kerjanya adalah sebagai molekul neurotropik yang menstimulasi pembentukan jaringan saraf di kulit Toyoda et al., 2003.
Penelitian yang dilakukan oleh Ganceviciene et al. 2008, mengatakan bahwa tingginya ekspresi CRH terdapat dalam sebocytes kulit yang mempunyai
acne, pada seluruh tahapan diferensiasi sebocyte. Sedangkan, pada kulit yang tidak mempunyai acne, misalnya di paha ataupun pada responden yang
mempunyai kulit wajah yang bersih dari acne, timbulnya acne bergantung pada tahapan diferensiasi dari sebocyte. Ekspresi CRHBP cukup kuat dalam
diferensiasi sebocyte pada kulit yang mempunyai acne, yang merupakan akibat dari reaksi stres lokal pada acne. Sehingga, disimpulkan bahwa CRH berperan
sebagai central director, melalui CRHR-1, sebagai respon neuroendokrin terhadap eksaserbasi acne yang diinduksi oleh stres.
2.4. Etiopatogenesis