Seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami, keluarga atau kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus mendapatkan pengajaran dan
pendidikan sedemikian rupa sehingga ia sanggup dan dapat berdiri di atas kaki sendiri. Terlebih-lebih Raden Dewi Sartika telah merasakan dan menyaksikan
sendiri perlakuan yang sangat berbeda antara pendidikan bagi perempuan dan laki-laki waktu itu, yang menjadikan posisi kaum perempuan berada di nomor dua
daripada laki-laki dalam menerima pendidikan. Maka, ia semakin mempunyai tekad untuk berjuang terus melaksanakan cita-citanya dalam memajukan kaum
perempuan untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak, dan memperkuat keteguhan untuk berjuang dalam memajukan kaum perempuan.
Namun tidak hanya itu, keadaan sosial yang masih terikat dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat pun mengikat anak perempuan untuk
berkembang. Ketika anak perempuan menginjak usia 12 tahun, ia mulai dipingit oleh orang tuanya. Mereka tidak diizinkian ke luar rumah tanpa sepengatahuan
orang tuanya. Di rumah, mereka hanya belajar mempersiapkan diri untuk terampil di dapur sambil menunggu nasibnya disunting oleh laki-laki yang hendak
menjadikannya istri. Bagi mereka yang sedang sekolah, tidak ada pilihan lain kecuali harus ke luar dari sekolah.
145
Dengan kondisi sosial budaya seperti itu, betapa besar kesulitan yang dihadapi Raden Dewi Sartika untuk mewujudkan cita-citanya. Karena sulit
baginya untuk mengubah suatu keadaan yang sudah tertanam dalam masyarakat dan menjadikannya suatu perubahan demi menciptakan peradaban baru dalam
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, baginya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya tersebut justru semakin memperkuat keinginannya untuk dapat memberikan
pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, yang ia realisasikan dengan mendirikan sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi kaum
perempuan. Keinginannya itu dapat terwujud dengan bantuan Bupati Bandung
R.A.A. Martanegara yaitu pada tanggal 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika
145
Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006, h. 94
61
dapat mendirikanlah sebuah sekolah yang khusus untuk kaum perempuan yang bertempat di Paseban Kulon, Kompleks Pendopo Kabupaten Bandung dengan
nama “Sakola Istri” dan kemudian diganti dengan nama “Sakola Kautamaan Istri.
146
B. Berdirinya Sakola Kautamaan Istri
Semua pengalamannya baik ketika tinggal bersama uwaknya di Cicalengka, maupun ketika kembali tinggal bersama ibunya di Bandung, telah
menyadarkan Raden Dewi Sartika bahwa selayaknyalah kaum perempuan harus mampu mandiri dan terampil. Untuk itu anak perempuan harus dididik dan dibina
agar menjadi manusia yang dapat mengembangkan potensinya dan supaya dikemudian hari mereka dapat menjadi ibu yang baik, yang sanggup melindungi
keluarganya. Karena dari ibu yang baik akan lahir generasi yang baik. Oleh karena itu, ia mulai berpikir untuk mewujudkan cita-citanya untuk
mendidik anak-anak perempuan dari kalangan menak maupun rakyat jelata demi kemajuan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri, sehingga dapat
menjadi manusia berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dan hanya dengan pendidikanlah jalan keluarnya. Maka, inilah alasan mengapa
Raden Dewi Sartika mencetuskan gagasan untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan.
Usahanya dalam mengajar dan mendidik kaum perempuan, dilakukan pertama kali pada tahun 1902 ketika ia kembali ke rumah ibunya di Kota
Bandung. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, dia mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan, seperti merenda,
menyulam, merancang pakaian, tatakrama, memasak, menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya. Mereka pun sangat senang diajari oleh Raden Dewi
Sartika sehingga pengetahuan mereka semakin bertambah. Sebagai imbalan atas
146
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947, ...h. 5
62
pelajaran yang diberikan Raden Dewi Sartika, biasanya murid-muridnya membawa makanan, beras, garam, buah-buahan dan sebagainya.
147
Kegiatan belajar mengajar yang dirintis Raden Dewi Sartika perlahan- lahan tercium oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung yang
bernama C. Den Hammer. Pada mulanya, Den Hammer menilai kegiatan tersebut adalah kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Terlebih Raden
Dewi Sartika adalah anak dari Patih Somanagara yang dikenal menentang Gubernemen. Tetapi, setelah melihat secara dekat, dengan cara mendatangi rumah
R.A. Rajapermas untuk melihat kegiatan pengajaran yang dilakukan Raden Dewi Sartika, akhirnya C. Den Hammer menilai kegiatan tersebut tidak membahayakan
dan bahkan dinilai positif, sehingga ia terkesan dengan pemikiran dan keinginan Raden Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan.
148
Karena terkesan dan simpati, secara pribadi maupun sebagai pejabat Inspektur Pengajaran, Den Hammer menyatakan dukungannya atas rencana untuk
mendirikan sekolah untuk kaum perempuan, bahkan Den Hammer menyuruhnya agar segera mendirikan sekolah tersebut.
Namun, dukungan Den Hammer ternyata tidak cukup, karena masih saja ada yang menghalangi usahanya tersebut. Bahkan ketika Raden Dewi Sartika
menghubungi kerabat dekat dan sanak keluarganya untuk membantu mendirikan sekolah bagi anak perempuan, semua yang dihubunginya justru menolak dan
menentang gagasan tersebut dengan alasan adat istiadat. Seperti yang diungkapnya dalam salah satu artikelnya, dia menyayangkannya
,”.......masih banyak diantara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha
untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”.
149
Dengan kenyataan itu, Den Hammer ikut prihatin.
Melihat kenyataan bahwa keluarga Raden Dewi Sartika tidak mendukung cita-citanya dalam mendirikan sekolah bagi anak perempuan, akhirnya Den
Hammer mengusulkan agar ia meminta bantuan kepada Bupati Bandung, R.A.A. Martanegara. Mendengar usulan dari Den Hammer membuatnya merasa ragu,
147
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 22-24
148
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 56
149
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 55
63
mengingat ayahnya dibuang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana karena dituduh melakukan percobaan pembunuhan pada bupati Bandung, R.A.A.
Martanegara. Ia sudah membayangkan bahwa ibunya akan marah dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Tetapi setelah berpikir ulang, ia akhirnya
menerima usulan Den Hammer.
150
Mendengar bahwa Raden Dewi Sartika akan menghadapinya, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara terkejut, apalagi mendengar gagasan Raden Dewi
Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi anak perempuan. Setelah bupati Bandung mendengar paparan dari Raden Dewi Sartika dalam mewujudkan cita-
citanya untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan, demi kemajuan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri, R.A.A. Martanegara merasa haru, dan
kagum, akan tetapi sang Bupati perlu waktu untuk merundingkan ide itu dengan sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya. Tak lama setelah itu, ia pun dipanggil ke
Pendopo dalem. Dalam pertemuan itu, R.A.A. Martanegara menjawab keinginan Raden Dewi Sartika dan mengatakan:
“Nya atuh uwi, ari Uwi jeung kekeuh hayang mah, mugi- mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam,
urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh
hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka temp
at sejen,” ujar Martanegara.
Kalau memang Uwi tetap berkeinginan seperti itu, semoga dikabulkan oleh Allah penguasa semua alam. Kita mencoba
membuat sekolah sebagaimana keinginan Uwi. Untuk mencegah kalau ada hal-hal yang tdak diinginkan lebih baik
sekolahnya di Pendopo saja. Kalau sudah berjalan dengan
baik, silahkan pidah ke tempat lain,” ujar Martanegara.
151
Mendengar ucapan R.A.A. Martanegara, hilanglah semua perasaan cemasya. Ia sangat senang karena ucapan sang Bupati menandakan dukungan dan
perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk kaum perempuan. Oleh
150
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 28
151
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 57
64
karena itu, pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Dalam bahasa Sunda, istri berarti juga wanita.
152
Sekolah ini merupakan sekolah pertama bagi kaum perempuan Indonesia. Sesuai dengan amanat R.A.A. Martanegara, untuk sementara waktu tempat belajar
dilaksanakan di ruangan Paseban Barat di halaman rumah bupati Bandung.
153
C. Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri
Sehubungan dengan sistem pendidikan Sakola Kautamaan Istri, penulis mencatat beberapa elemen penting yang menjadi faktor penunjang keberhasilan
sebuah lembaga pendidikan. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Guru
Sakola Kautamaan Istri adalah sekolah yang khusus diperuntukkan untuk kaum perempuan. Oleh karena itu, guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut
semuanya merupakan perempuan. Salah satu tujuan diberlakukan kebijakan seperti ini adalah agar masyarakat dapat menyaksikan dan mampu memberikan
penilaian bahwa kaum perempuan juga mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam upaya pemberdayaan pendidikan.
Penulis mencatat, pada awal pembentukkannya pada tahun 1904, terdapat tiga guru yang mengajar di Sakola Kautamaan Istri, selain Raden Dewi Sartika
sendiri yang juga merangkap sebagai kepala sekolah, juga ada saudara misannya yang ikut membantu dalam memberikan ilmu pengetahuan. Diantara kedua guru
tersebut ialah Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Selain itu penulis mencatat beberapa nama guru setelah berdirinya tahun 1904, diantaranya mbok Suro guru pada mata
pelajaran membatik, Ibu Juhana, Ibu Neno Karsanah, Ibu Enceh, Ibu Halimah, Ibu Ine Tardine, dan Ibu Teiters guru bahasa Belanda.
154
Oleh karena keterbatasan sumber dan data yang tersedia, penulis hanya bisa menyajikan beberapa nama guru yang mengajar pada waktu itu. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya dokumentasi tertulis baik dari Perpustakaan Daerah Bandung maupun dari Sekolah Dewi Sartika sekarang, tentang
152
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 31-32
153
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 58
154
Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ...., h. 58, 72, 127, 128,
65