Karya-karya RIWAYAT HIDUP RADEN DEWI SARTIKA

Keadaan keponakan-keponakan dan teman-teman Raden Dewi Sartika, yang dibiarkan bodoh akan baca tulis, dapat membahayakan bagi nasib kaum perempuan itu sendiri. Karena jika mereka meminta tolong kepada orang lain, untuk membaca atau menuliskan surat, maka tidak menutup kemungkinan mereka bisa ditipu oleh orang lain. Hal inilah yang membuka pikirannya bahwa anak perempuan harus bisa menulis dan membaca, agar dapat menjaga dirinya dan tidak menjadi korban penipuan. Ketika ibunya kembali ke Bandung setelah ayahnya meninggal di Ternate, Raden Dewi Sartika pun memutuskan pergi dari rumah uwaknya dan hidup bersama ibunya. Namun tak disangka kehidupannya terasa pahit, karena ibunya sudah jatuh miskin dan tidak memiliki kemampuan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Karena semua hartanya disita oleh pemerintah ketika suaminya, Raden Somanagara diasingkan ke Ternate. Karena Raden Ayu Rajapermas, ibunya Raden Dewi Sartika tidak mendapat pengajaran dan pendidikan, sehingga ia tidak bisa mencari nafkah untuk kelima putra-putrinya, apalagi untuk hidup di atas kaki sendiri. Sehingga ia dan keluarga hidup dalam keadaan serba kekurangan dan banyak mendapat kesulitan-kesulitan dalam menjalani kehidapannya. Hal ini mengakibatkan penderitaan batin bagi ibu Raden Dewi Sartika. 144 Raden Raden Dewi Sartika sangat prihatin akan ketidakberdayaan ibunya sebagai seorang perempuan. Dalam pikirannya, sudah tentu banyak perempuan yang bernasib buruk dan tidak berdaya seperti ibunya, lebih-lebih di kalangan rakyat kecil. Kesedihan dan keprihatinan yang dialaminya telah membukakan mata hatinya untuk berusaha mengubah jalan pikiran kaum perempuan sebangsanya sehingga timbullah keinginan untuk memperbaiki kehidupan mereka dengan jalan memberikan pengajaran dan pendidikan kepada kaum perempuan supaya mereka dapat memiliki berbagai kecakapan yang diperlukan sebagai perempuan, terutama calon ibu rumah tangga. 144 Panitia peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947,..., h. .3- 4 60 Seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami, keluarga atau kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus mendapatkan pengajaran dan pendidikan sedemikian rupa sehingga ia sanggup dan dapat berdiri di atas kaki sendiri. Terlebih-lebih Raden Dewi Sartika telah merasakan dan menyaksikan sendiri perlakuan yang sangat berbeda antara pendidikan bagi perempuan dan laki-laki waktu itu, yang menjadikan posisi kaum perempuan berada di nomor dua daripada laki-laki dalam menerima pendidikan. Maka, ia semakin mempunyai tekad untuk berjuang terus melaksanakan cita-citanya dalam memajukan kaum perempuan untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak, dan memperkuat keteguhan untuk berjuang dalam memajukan kaum perempuan. Namun tidak hanya itu, keadaan sosial yang masih terikat dengan adat istiadat yang berlaku di masyarakat pun mengikat anak perempuan untuk berkembang. Ketika anak perempuan menginjak usia 12 tahun, ia mulai dipingit oleh orang tuanya. Mereka tidak diizinkian ke luar rumah tanpa sepengatahuan orang tuanya. Di rumah, mereka hanya belajar mempersiapkan diri untuk terampil di dapur sambil menunggu nasibnya disunting oleh laki-laki yang hendak menjadikannya istri. Bagi mereka yang sedang sekolah, tidak ada pilihan lain kecuali harus ke luar dari sekolah. 145 Dengan kondisi sosial budaya seperti itu, betapa besar kesulitan yang dihadapi Raden Dewi Sartika untuk mewujudkan cita-citanya. Karena sulit baginya untuk mengubah suatu keadaan yang sudah tertanam dalam masyarakat dan menjadikannya suatu perubahan demi menciptakan peradaban baru dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, baginya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya tersebut justru semakin memperkuat keinginannya untuk dapat memberikan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, yang ia realisasikan dengan mendirikan sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi kaum perempuan. Keinginannya itu dapat terwujud dengan bantuan Bupati Bandung R.A.A. Martanegara yaitu pada tanggal 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika 145 Nina Herlina Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga peneltiian Universitas Padjajajran, 2006, h. 94 61