Proses belajar mengajar Sistem Pendidikan di Sakola Kautamaan Istri

5. Metode Pembelajaran

Metode merupakan salah satu komponen yang menempati peranan yang tidak kalah penting dengan komponen lainnya dalam proses pembelajaran. Metode merupakan salah satu cara yang digunakan oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam proses ini, seorang guru dituntut untuk menggunakan lebih dari satu metode pembelajaran, jika hanya menggunakan satu metode saja dalam menyampaikan materi pelajaran kepada murid-muridnya, pada umumnya, akan cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang membosankan, sehingga anak didik terlihat kurang bergairah karena merasa jenuh dan malas dengan proses belajar mengajar, dan akhirnya tujuan pendidikan pun tidak tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik, maka seorang guru harus mampu mengembangkan metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Berikut ini merupakan metode pembelajaran yang diberikan di Sakola Kautamaan Istri: Tabel 3. Metode Pembelajaran yang Digunakan pada Materi Pelajaran Sakola Kautamaan Istri 165 NO MATERI KATEGORI 1 Berhitung Ceramah dan tanya jawab 2 Menulis Ceramah dan praktek 3 Membaca Ceramah dan praktek 4 Bahasa Belanda Ceramah dan praktek 5 Bahasa Melayu Ceramah dan praktek 6 Budi PekertiAkhlak Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek 7 Agama Ceramah, diskusi, tanya jawab dan praktek 165 Lihat Yan Daryono, R. Dewi Sartika, ..., h. 128, 130, 133-134 75 8 Membatik Ceramah dan praktek 9 Menjahit Ceramah dan praktek 10 Merenda Ceramah dan praktek 11 Menambal Ceramah dan praktek 12 Menyulam Ceramah dan praktek 13 Menisi Ceramah dan praktek 14 Menyongket Ceramah dan praktek 15 Memasak Ceramah dan praktek 16 Menyajikan Makanan Ceramah dan praktek 17 Memelihara Bayi Ceramah dan praktek 18 Mencuci Ceramah dan praktek 19 Menyetrika Ceramah dan praktek 20 Mengatur Rumah Ceramah dan praktek 21 Merawat Orang Sakit Ceramah dan praktek 22 Kesehatan PPPK Ceramah dan praktek 23 Olah raga Ceramah dan praktek Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa metode-metode yang diterapkan Raden Dewi Sartika kepada murid-muridnya di Sakola Kautamaan Istri, seluruhnya selain menggunakan metode ceramah dalam upaya menyampaikan materi pelajaran juga menggunakan metode praktek. Hal itu sengaja diberlakukan dengan tujuan agar setiap murid senantiasa dapat berperan aktif dalam proses belajar mengajar, dan agar dapat bermanfaat bagi mereka ketika terjun ke tengah- tengah masyarakat luas. 76 Walaupun metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika tidak menggunakan metode-metode yang banyak sekarang ini, namun pada esensinya penerapan metode yang diberikan oleh Raden Dewi Sartika sama dengan guru- guru pada masa sekarang, yaitu untuk menjadikan anak memiliki ilmu pengetahuan yang luas, serta aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

D. Konsep Pendidikan Perempuan menurut Raden Dewi Sartika

Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Raden Dewi Sartika merupakan tokoh perempuan Sunda yang memiliki cita-cita tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Ia prihatin ketika para perempuan banyak dilecehkan oleh kaum pria. Menurutnya, kaum perempuan harus hidup sejajar dengan kaum pria, ia harus memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang akan membawanya pada tarap hidup yang lebih tinggi, dan jalan untuk mendapatkannya yaitu dengan pendidikan. Namun yang terjadi pada lingkungannya, ada fakta yang kuat bahwa Kaum Tua sangat berat untuk menyekolahkan putri-putri mereka. Mereka khawatir dan takut untuk membiasakan anak setiap hari bergaul dengan ratusan orang, apalagi selama bersekolah putri-putri mereka berada di luar pengawasan orang tua. Orangtua pun tidak mempunyai kepastian bahwa anak mereka bersama dengan teman-teman yang baik. Menurut pandangan mereka pendidikan sekolah membangkitkan sikap bebas pada sang anak, yang dikhawatirkan anak mereka akan lebih mudah tergoda untuk berbuat jahat. Selain itu juga Kaum Tua tidak dapat rela melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, bahwa mereka sesungguhnya tidak pernah bersekolah, tapi mereka mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik. 166 Selain itu juga, terdapat beberapa pandangan masyarakat dalam hal menyekolahkan anak perempuan, diantaranya sebagian besar orang berpendapat: 1. Anak perempuan itu tidak perlu sekolah, karena walaupun pintar tidak akan memiliki kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi, bisa membuat sambal, dan bisa memelihara rumah, sudah bisa untuk 166 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 93 77 mengabdi kepada suaminya. Dan kalau ingin bisa menulis, minta diajar kepada suaminya. 2. Percuma anak perempuan disekolahkan, karena kalau sudah pandai menulis, suka digunakan membuat surat-surat cinta yang mendorong berbuat tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik diam saja di rumah membantu pekerjaan orangtua. 3. Menurut kaum santri, anak perempuan itu bukan disekolahkan, melainkan agar mempelajari pengetahuan agama, belajar shalat, mempelajari sifat 20 dan tasawuf, supaya baik hati dan ada sesuatu untuk menahan nafsunya, karena wanita itu harus teguh benteng pertahanannya. 4. Perempuan itu tidak boleh terlihat oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya dan muhrimnya. Oleh karenanya wanita itu tidak baik disekolahkan 167 . Selain pemikiran orang tua yang terlalu kolot dalam pandangannya tentang pendidikan, juga kebiasaan mengawinkan anak-anak di usia kanak-kanak telah menjadi penyakit di masyarakat. Dalam masyarakat, ada kebiasaan buruk untuk saling memperjodohkan anak-anak di usia yang masih kanak-kanak, bahkan sebelum yang bersangkutan mempunyai sesuatu pengertian mengenai hal itu. Walau perkawinan masih jauh, tetapi orangtua masing-masing sudah menginginkan kepastian, karena khawatir bahwa akan timbul peristiwa yang dapat menghalangi maksud itu. Betapa seringnya terjadi bahwa kedua orang anak yang sama sekali tidak saling mengenal dijodohkan, dan tidak diperhitungkan adanya dua tabiat yang justru bertentangan satu sama lain. Menurut Raden Dewi Sartika, pemikiran para orangtua untuk menikahkan anak-anak mereka dalam usia dini akan dapat diubah dengan pendidikan. Dengan pendidikan, orangtua akan menyadari bahwa perkawinan kanak-kanak itu adalah keliru. Selain orangtua, kaum perempuan sendirilah yang harus menginsyafi bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan keinginan dari kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan 167 Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 86 78