membaca dan menulis karena dia pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu Eerste Klasse Inlandsche School di Bandung, sekolah khusus anak-anak Belanda dan
anak priyayi.
128
Meskipun sehari-hari ia diperlakukan seperti abdi dalem, tapi pancaran wajahnya tetap memantulkan darah kebangsawanannya. Ibarat kata pepatah, jika
terbuat dari loyang meskipun diletakkan di etalase tetap saja loyang. Dan meskipun terbuat dari emas, bila ditempatkan di tempat kotor, tetap saja bernilai
emas. Hal demikian dalam bahasa Sunda disebut sorot. Dan sorot itu diyakini tidak bisa dibuat-buat, karena ia adalah anugerah dari Kanjeng Gusti Allah.
Nampaknya kecantikan Raden Dewi Sartika mengundang hasrat Raden Kanjun yang sudah beristri, berniat memperistri Raden Dewi Sartika sebagai istri yang
kedua. Namun Raden Dewi Sartika menolak secara halus ajakan anak dari istri ketiga pamannya itu.
129
Penolakannya, bukan hanya disebabkan karena tidak menaruh hati pada saudaranya misannya itu, juga karena ia tidak bisa menganut
paham poligami, dan tidak ingin merusak rumah tangga orang lain.
130
Setelah Raden Dewi Sartika kembali tinggal dan hidup dengan ibunya di Bandung, tepatnya setelah Raden Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri. Ia
kembali dilamar oleh seorang lelaki yaitu dari salah satu anak Pangeran Djajadiningrat melalui utusan yang datang dari Banten yang menemui
R.A.Rajapermas. Namun lamaran tersebut ditolak oleh Raden Dewi Sartika, karena menurutnya dirinya tak mungkin bisa menikah dengan pria yang belum
dikenalnya dengan baik, dan yang belum tentu mengena dihatinya.
131
Akhirnya, pada tahun 1906 Raden Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata.
132
Raden Agah Kanduruan sendiri merupakan seorang duda beranak dua, namun salah satu anaknya meninggal menyusul
128
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 16
129
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18
130
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 51
131
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 64
132
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 42
55
istrinya yang lebih dahulu meninggal. Ia adalah seorang guru Eerste Klasse School di Karang Pamulang.
133
B. Latar Belakang Pendidikan
Orangtua Raden Dewi Sartika sangat menginginkan anaknya tumbuh dengan cerdas dan pintar. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, maka
Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School yakni sekolah setingkat sekolah dasar. Pada prinsipnya
sekolah tersebut hanya untuk anak-anak Belanda dan peranakan, tapi sehubungan Raden Dewi Sartika dan saudara-saudaranya adalah putri Patih, maka ia
diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Disitulah mereka mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan Inggris.
134
Di sekolah tersebut Raden Dewi Sartika termasuk ke dalam golongan murid yang maju, sungguh-sungguh dalam belajar dan sukai oleh teman-
temannya. Sayang ia tidak dapat menamatkan sekolahnya hanya sampai kelas 3 karena ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya karena musibah telah menimpa
ayahandanya. Raden Rangga Somanegara, ayah Raden Dewi Sartika telah dituduh sebagai pelopor pemberontakkan yang akan menggulingkan kedudukan Bupati
Bandung masa itu.
135
Dari kejadian itulah, Raden Rangga Somanagera diasingkan ke Ternate, hal itu menjadikan kaum kerabat dan masyarakat menjauhkan diri dari
kehidupan mereka, sebab takut dicurigai atau dianggap bersekutu dengan “pemberontak”. Sekolah-sekolah tidak mau menerima kelima anak
R.A.Rajapermas sebagai muridnya. Mereka takut kepada tindakan Pemerintah Hindia Beland
a, sebab menerima anak seorang “pemberontak”. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk terus belajar, Raden Dewi Sartika kemudian dibawa
pamannya ke Cicalengka, yang diangkat sebagai Patih Cicalengka.
136
Di tempat uwaknya tersebut, Raden Dewi Sartika tetap mendapatkan pendidikan dari istri ke empat Raden Aria Suriakarta, yakni Nyi Raden Eni Agan
133
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 66
134
Yan Daryono, R. Dewi Sartika,..., h. 29
135
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85
136
Nina H Lubis, 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, ..., h. 92-93
56
Eni. Oleh uwaknya ia dididik dan dibekali bermacam-macam ilmu pengetahuan yang perlu untuk perempuan. Ia merasa bangga karena pada waktu itu ia
merupakan satu-satunya diantara wanita-wanita di lingkungannya yang sudah pandai membaca dan menulis.
137
Dalam pengajarannya, Agan Eni mengajarkan para perempuan menak bawah tentang kepandaian bertutur, bertingkah laku,
memasak makanan sehat, berdandan, dan semua hal yang sudah seharusnya wanita kuasai untuk menyenangkan suami.
138
Pada waktu itu Raden Dewi Sartika sudah memperlihatkan minat terhadap usaha dalam mendidik kaumnya. Bila ada kesempatan bermain dengan
sesama gadis para menak, Raden Dewi Sartika sering bermain sekolah-sekolahan, dimana ia bertindak sebagai guru sedangkan teman-temannya sebagai murid. Ia
juga sering membantu teman-temannya yang buta huruf untuk membacakan surat- surat yang mereka terima.
Mungkin, hal tersebut yang kelak menjadi pendorong bagi Raden Dewi Sartika untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan dari kalangan
masyarakat biasa, agar memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikan yang akan menjadi pembuka atau jalan bagi kehidupan yang
lebih baik.
C. Karya-karya
Karangan-karangan Raden Dewi Sartika dalam pidatonya tentang Konsep Pendidikan bagi Kaum Perempuan. Karangan tersebut disampaikan dalam
pidatonya di Surabaya dalam acara Sarekat Islam atas undangan HOS Tjokroaminoto sekaligus perayaan tujuh tahun didirikannya Sakola Kautamaan
Istri di Bandung dengan judul: 1.
Kautamaan Istri yang berisi tentang keutamaan perempuan dalam kehidupan teruatam hak untuk mendapatkan pendidikan.
2. Wanita Pribumi yang berisi tentang keadaan wanita pribumi pada masa
kolonial masa Raden Dewi Sartika.
137
Edi S. Ekajati dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat,..., h. 85-86
138
Meidiana F, Dewi Sartika,..., h. 18
57
BAB IV KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT RADEN
DEWI SARTIKA
A. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Kautamaan Istri
Dari semenjak kecil Raden Dewi Sartika sudah bercita-cita menjadi seorang guru. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering
memperagakan layaknya seorang guru di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
139
Cita-citanya tersebut semakin kuat untuk dilaksanakan, setelah terjadi prahara di kepatihan yang
menyebabkan Ayahnya harus dibuang ke Ternate, karena dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap bupati Bandung yang akan dilantik pada saat itu,
R.A.A. Martanegara.
140
Raden Ayu Rajapermas, Ibu Raden Dewi Sartika, memutuskan untuk ikut menemani suaminya ke Ternate.
141
Raden Dewi Sartika merasakan pedihnya ditinggal oleh kedua orangtuanya, terlebih lagi ibunya yang sebenarnya tidak menerima hukuman
buang ke Ternate, namun lebih memilih menemani ayahnya daripada menjaga dan mengasuh ia dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Kejadian itu membukakan
pikirannya untuk mengubah jalan pikiran perempuan agar lebih mandiri dalam
139
Meidiana F, Dewi Sartika, Jakarta:Bee Media Indonesia, 2010, cet ke-1, h. 12
140
Kosoh, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994, h. 162
141
Meidiana F, Dewi Sartika,..., cet ke-1, h. 14
58
menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan kemampuan yang perempuan miliki, selayaknya kaum perempuan harus dapat keluar dari bayang-bayang kaum pria.
Karena bagaimanapun, tak selamanya seorang istri terus berada di belakang suaminya.
Selain itu, ketika Raden Dewi Sartika tinggal bersama uwaknya, di Cicalengka, ia melihat kehidupan rumah tangga uwaknya yang berpoligami.
Raden Aria Suriakarta Adiningrat, uwak Raden Dewi Sartika, memiliki empat orang istri. Bahkan konon walaupun telah memiliki empat orang istri, Raden Aria
Suriakarta Adiningrat masih suka mengganggu istri-istri bawahannya, bahkan ketika berburu ia suka memanfaatkan kesempatan mencari wanita yang bisa
dikencani.
142
Dari realitas kehidupan yang ia alami di rumah uwaknya, Raden Dewi Sartika melihat bahwa seorang istri tidak berdaya ketika suaminya ingin memiliki
istri lagi, dan tidak dapat menolak keinginan suaminya itu. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan perempuan
lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang istri harus menerima apapun yang suaminya berikan kepadanya, tanpa bisa menolak sedikitpun.
Selain melihat kehidupan keluarga yang berpoligami, Raden Dewi Sartika pun melihat realita bahwa keponakan-keponakannya, serta anak-anak
abdi dalem yang sebaya dengannya tidak dapat membaca dan menulis. Hal itu diketahui ketika ia dan teman-teman sebayanya mendapatkan pengajaran dan
pendidikan dari Agan Eni, istri keempat uwaknya, Raden Aria Suriakarta Adiningrat. Dari seluruh anak-anak yang diajar oleh Agan Eni, hanya Raden Dewi
Sartika yang pandai membaca dan menulis, hal itu disebabkan karena ia sebelumnya telah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Pada waktu itulah
ia merasa bangga karena ia merupakan satu-satunya murid yang sudah pandai membaca dan menulis. Oleh karena itu ia seringkali dimintai pertolongan oleh
teman-teman sebayanya untuk menulis surat atau membacakan surat.
143
142
Yan Daryono, R. Dewi Sartika, Jakarta: CV. Pialamas Permai, 1998, h. 50
143
Panitia Peringatan Hari Lahir Ibu Rd.Dewi Sartika, Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1884-1947, Bandung,: Konsolidasi Partisipasi Masyarakat Meneruskan Perjuangan Rd. Dewi
Sartika, h. 2
59